Hidayatullah.com—Media ‘Israel’ melaporkan bahwa ratusan perwira penjajha mengundurkan diri dari ketentaraan di puncak perang Gaza. Media Yahudi menggambarkan krisis tenaga kerja di ‘Israel’ ini “sangat parah”, setelah militer berencana untuk memperluas jajarannya.
Militer ‘Israel’ melaporkan sejak kuartal kedua tahun ini, khususnya dalam enam bulan terakhir, sekitar 500 mayor telah secara sukarela meninggalkan kemiliteran, demikian laporan surat kabar Yahudi, Israel Hayom.
Surat kabar tersebut menganggap bahwa ini adalah statistik yang “harus mengguncang ‘Israel’,” terutama pada saat tantangan keamanan meningkat dan militer berencana untuk membangun kerangka tempur tambahan.
Ditambahkannya bahwa pimpinan militer ‘Israel’ terkejut dengan skala fenomena ini, mengakui bahwa mereka memperkirakan gelombang pengunduran diri perwira akan meningkat setelah perang, bukan selama perang.
Laporan tersebut menyoroti bahwa militer memulai perang dengan bergulat dengan kekurangan tenaga kerja yang akut. Pada tahun 2022, tercatat 613 mayor meninggalkan angkatan darat dalam satu tahun, bersama dengan perwira berpangkat rendah, khususnya kapten.
Media Yahudi itu menyebutkan bahwa proyeksi untuk tahun 2025 “tidak menggembirakan,” menjelaskan bahwa alasan di balik krisis di antara prajurit yang bertugas tetap banyak dan tidak semata-mata terkait dengan beban tak tertahankan yang ditimbulkan oleh perang.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa fakta bahwa banyak prajurit yang bertugas tetap hampir tidak melihat rumah atau keluarga mereka selama setahun terakhir karena perang yang sedang berlangsung telah meninggalkan dampak.
Laporan juga menunjukkan bahwa tidak seperti prajurit cadangan, yang menerima dukungan publik, hibah, dan bantuan keuangan yang signifikan, prajurit yang bertugas secara tetap tidak menerima pengakuan, empati publik, atau manfaat yang sama.
Menurut surat kabar tersebut, para prajurit cadangan juga menikmati waktu istirahat dari pertempuran, sementara para prajurit yang bertugas secara tetap terus menjalani tugas dengan intensitas yang sama melelahkannya.
Situasi seperti ini tidak mungkin berubah dalam waktu dekat mengingat demobilisasi para prajurit cadangan dalam skala besar.
Perwira yang ‘tidak terlihat’
Selain itu, laporan tersebut menyoroti bahwa para perwira militer senior telah lama mengakui masalah tersebut dan menyadari bahwa para prajurit yang bertugas tetap merasa “tidak terlihat” di mata publik.
Sementara itu, Israel Hayom mengatakan ada “perdebatan sengit” di antara tentara yang bertugas tetap, dengan banyak yang percaya perang hanya membuktikan bahwa mereka dapat bertugas sebagai tentara cadangan tanpa bekerja penuh waktu dengan gaji yang relatif rendah.
Surat kabar itu menggambarkan krisis itu sebagai “sangat parah” sekarang, karena militer Israel berencana untuk memperluas jajarannya guna memenuhi berbagai tanggung jawab tambahan yang dibebankan oleh perang.
Ancaman strategis
Media itu melaporkan, krisis tentara ini tidak terbatas hanya pada mereka yang berngpangkat kapten dan mayor, laporan itu menambahkan bahwa ada juga “sejumlah besar” komandan unit, termasuk perwira tempur, yang tidak yakin tentang jalan masa depan mereka.
Pada tahun 2024, hanya lima letnan kolonel yang keluar dari militer, dan tidak ada dari unit tempur, tetapi menurut tren saat ini, angka untuk tahun 2025 bisa “mengkhawatirkan”, bahkan di antara unit tempur, kata Israeli Hayom.
Surat kabar itu memperingatkan bahwa masalah itu tidak terbatas pada militer Israel, menegaskan bahwa krisis tenaga kerja merupakan ancaman strategis bagi “Israel” itu sendiri.
“Perang tidak dimenangkan dengan tank dan pesawat, tetapi dengan orang-orang yang mengoperasikannya,” simpulnya.*
Sumber Klik disini