Salam-online.com

Gencatan Senjata di Gaza Sudah Dekat, Menteri Keamanan Penjajah Ancam Mundur

SALAM-ONLINE.COM: Kesepakatan gencatan senjata antara Hamas dengan Zionis penjajah semakin dekat, demikian menurut para negosiator yang terlibat dalam negosiasi di Doha, Qatar. Dengan ekspektasi bahwa gencatan senjata akan segera diumumkan, Majed al-Ansari, juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, mengatakan bahwa rincian akhir kesepakatan dibahas pada Selasa (14/1/2025). “Negosiasi sedang berlangsung mengenai rincian akhir, tetapi kami telah mengatasi hambatan utama,” katanya saat konferensi pers, Selasa (14/1). “Saat ini kita paling dekat dengan kesepakatan. Situasinya masih lancar, kami semua optimis.” Joe Biden, Presiden AS yang akan segera habis masa jabatannya, mengatakan, “Perjanjian tersebut akan membebaskan para sandera, menghentikan pertempuran, memberikan keamanan kepada ‘Israel’ dan memungkinkan kami meningkatkan bantuan kemanusiaan secara signifikan ke Palestina.” Sumber Palestina yang dekat dengan pembahasan gencatan senjata tersebut mengatakan kepada Reuters bahwa ia memperkirakan kesepakatan akan diselesaikan pada hari Selasa. “Jika semuanya berjalan dengan baik.” Menurut sejumlah media “Israel”, Pemerintahan Donald Trump memainkan peran penting dalam negosiasi. Haaretz memberitakan bahwa Steven Witkoff, utusan Trump untuk Timur Tengah, pekan lalu mengatakan kepada para pembantu Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bahwa dia akan tiba di “Israel” pada Sabtu sore. Para ajudannya mengatakan bahwa saat itu tengah hari “Sabat”. Pertemuan harus dilakukan pada malam hari. Tetapi dilaporkan, ini “tidak menarik” bagi Witkoff, yang tetap tidak ingin menunda pertemuan tersebut pada malam hari. Seorang diplomat senior “Israel” mengatakan kepada Haaretz bahwa Witkoff, seorang investor real estat Yahudi tanpa latar belakang diplomatik, “melakukan tuntutan dengan sangat agresif”. Times of “Israel” melaporkan, mengutip dua pejabat penjajah, bahwa pertemuan antara Witkoff dan Netanyahu berlangsung “menegang”. Dikatakan, meskipun Netanyahu menginginkan kesepakatan yang hanya menghasilkan gencatan senjata sementara, namun perjanjian final akan mencakup tahap kedua dan ketiga, sehingga mempersulit penjajah untuk melanjutkan serangan genosida ke Gaza. Ben Gvir ancam akan mundur  Witkoff dan Brett McGurk, utusan Biden untuk Timur Tengah, menghadiri pembicaraan di Doha yang diselenggarakan oleh perdana menteri Qatar pada Selasa. David Barnea, direktur badan intelijen Mossad, dan Ronen Bar, direktur badan keamanan internal Shin Bet, mewakili penjajah Zionis “Israel” selama pembicaraan tersebut. Menurut seorang pejabat penjajah yang dikutip Reuters, tahap pertama dari usulan kesepakatan tersebut akan melibatkan pembebasan 33 tawanan yang ditahan di Gaza, termasuk anak-anak, perempuan (beberapa di antaranya adalah tentara), laki-laki berusia di atas 50 tahun, serta mereka yang terluka dan sakit. Sumber Palestina mengatakan, tahap pertama akan mencakup pembebasan 1.000 tahanan Palestina yang ditahan di penjara-penjara “Israel”. Pembicaraan untuk mencapai kesepakatan tahap kedua, yang dimaksudkan untuk mengakhiri perang, dilaporkan akan berlangsung sekitar dua pekan setelah tahap pertama dimulai. Kesepakatan itu diperkirakan akan melibatkan penarikan bertahap pasukan penjajah dari Gaza, termasuk di sepanjang Koridor Philadelphi yang perbatasan dengan Mesir, dan Koridor Netzarim di Gaza tengah. Padahal Netanyahu sebelumnya menyatakan pada musim panas bahwa kendali “Israel” atas perbatasan Gaza dengan Mesir sangat penting dan akan tetap dipertahankan tanpa batas waktu. Kesepakatan tersebut juga akan mencakup pemulangan warga Palestina yang terlantar ke Gaza utara, meskipun belum jelas pengaturan keamanan seperti apa yang akan disetujui Zionis penjajah di bagian utara Jalur Gaza itu. Middle East Eye (MEE) melansir, tidak dapat segera memverifikasi secara independen rincian kesepakatan yang diusulkan tersebut. Perjanjian yang sedang dan sudah dibahas banyak mendapat kritik dari pentolan senior sayap kanan penjajah “Israel”. Menteri Keamanan penjajah, lItamar Ben Gvir, mengancam akan mengundurkan diri jika gencatan senjata disepakati. “Kesepakatan yang sedang dibuat sangat buruk,” tulis Ben Gvir di X. Dia mengatakan hal itu termasuk pembebasan “teroris” dari penjara dan ke Gaza utara, serta penarikan “Israel” dari Koridor Netzarim. Dia mengatakan kesepakatan itu “secara efektif menghapus pencapaian perang yang telah dicapai dengan banyak darah oleh para tentara kita”. “Saya menyerukan kepada teman saya, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, untuk bergabung dengan saya dalam kerja sama penuh melawan kesepakatan buruk yang sedang dibuat, dan untuk memberi tahu Perdana Menteri dengan jelas dan tegas bahwa jika kesepakatan itu berhasil, kami akan mengundurkan diri dari perjanjian tersebut,” ancam Ben Gvir. Menteri Keamanan penjajah itu juga mengatakan dia tidak akan menjatuhkan Netanyahu, namun pengunduran dirinya adalah “satu-satunya kesempatan kami” untuk mencegah perjanjian tersebut dilaksanakan. Menteri Keuangan penjajah, Smotrich menggambarkan kesepakatan itu sebagai “bencana”. “Ini adalah waktu untuk melanjutkan dengan sekuat tenaga, menduduki dan membersihkan seluruh Jalur Gaza, untuk akhirnya mengambil kendali bantuan kemanusiaan dari Hamas, dan membuka gerbang neraka di Gaza sampai Hamas menyerah sepenuhnya dan semua sandera dikembalikan,” tulis menteri keuangan penjajah, Smotrich, di X. Belum jelas apakah Smotrich akan mengundurkan diri dari pemerintahan penjajah–sebuah langkah yang kemungkinan akan menjatuhkan koalisi sayap kanan Netanyahu, jika dia serius mumdur. Diketahui. saat ini sudah lebih dari 46.000 warga Palestina, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, telah terbunuh akibat serangan genosida Zionis penjajah di Gaza sejak Oktober 2023. (mus)Berita Lainnya

Pemimpin de Facto Suriah: Revolusi Berakhir, Jauhi Pola Pikir Balas Dendam

Ahmad Al Sharaa SALAM-ONLINE.COM: Pemimpin de facto Suriah Ahmad al-Sharaa mengatakan bahwa masa depan negaranya akan ditentukan oleh pengampunan dan amnesti. Ia mendesak masyarakat untuk menjauh dari pola pikir dendam dan agitasi revolusioner. Dalam wawancara selama 15 menit dengan pembuat film Joe Hattab yang dikutip Middle East Eye (MEE), Senin (13/1/2025), Sharaa mengatakan bahwa revolusi telah berakhir dan fokusnya sekarang adalah pada pembangunan dan penataan lembaga-lembaga negara. “Pola pikir revolusioner tidak bisa membangun negara,” ujarnya. Revolusi, lanjutnya, ditandai dengan agitasi dan perilaku reaksioner, yang mungkin berhasil menggulingkan suatu rezim. Namun tidak cocok untuk membangun rezim. “Itulah mengapa saya katakan hari ini, bagi kami, revolusi telah berakhir.” Kelompok Hay’at Tahrir al-Syam (HTS) pimpinan Sharaa memimpin serangan oposisi Suriah pada Desember 2024. Ia menggulingkan rezim Basyar Asad dalam hitungan hari. Ia mengatakan bahwa meskipun revolusi Suriah akan dihargai dan dirayakan, mentalitas yang berbeda diperlukan untuk fase baru Suriah. Sebagai bagian dari pendekatan tersebut, ia beberapa kali menegaskan bahwa akan ada pengampunan dan amnesti, kecuali bagi pelaku kejahatan massal dan sistematis. “Damaskus telah kembali ke kancah internasional. Kami telah mengubah posisi negara yang pernah mengganggu seluruh dunia,” kata Sharaa. “Hari ini kita telah memulihkan fondasi peradaban ini dan mengembalikannya ke kedudukan strategis, politik, ekonomi dan sosialnya. Jadi Anda tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan besar ini hanya untuk membalas dendam.” Sharaa mengatakan pejuang Suriah telah mengumumkan amnesti menyusul kemenangan mereka untuk menghindari pertumpahan darah dan mengulangi kesalahan di masa lalu. Setelah pertempuran besar, katanya, hak untuk membalas dendam seringkali “dilepaskan”, kecuali dalam kasus-kasus tertentu. Kasus-kasus yang ia pilih dalam konteks Suriah adalah para pejabat di penjara Sednaya yang terkenal kejam, kepala cabang keamanan yang menyiksa orang, dan mereka yang membantai dan menjatuhkan bom terhadap warga sipil. “Keadilan harus ditegakkan melalui peradilan dan hukum,” katanya, sambil menekankan bahwa hak-hak setiap orang akan terjamin, termasuk baik korban maupun pelanggar. “Jika dibiarkan saja, maka hukum rimba akan berlaku,” tegasnya. Sekarang orang bisa saling percaya satu sama lain Sharaa mengatakan, puluhan tahun di bawah rezim dinasti Asad telah menyebabkan masyarakat tidak percaya satu sama lain. Maka upaya sekarang harus dilakukan untuk membantu masyarakat hidup bersama secara harmonis. “Orang-orang dulu hidup dalam rasa curiga dan takut satu sama lain,” katanya. “Sekarang orang bisa saling percaya lagi.” “Siapa pun bebas mengutarakan pendapatnya, selama tidak melanggar hukum, merusak fasilitas umum, atau mengganggu kehidupan bermasyarakat.” Dia menekankan bahwa di daerah yang dianggap sebagai benteng pasukan Asad, masyarakat tidak melarikan diri setelah serangan pejuang oposisi. Sebaliknya, katanya, lebih banyak orang yang pindah ke daerah tersebut. “Tidak ada seorang pun yang melarikan diri dari daerah tersebut. Tidak ada satupun Muslim, Kristen, Kurdi, Alawi atau Druze,” katanya. “Pertempuran ini ditandai dengan belas kasihan dan penyatuan kembali keluarga, jadi bagaimana mungkin orang-orang tidak bahagia?” Sharaa bersumpah untuk melindungi hak semua orang. “Bahkan jika itu mengorbankan nyawaku.” Di tempat lain dalam wawancara tersebut, pemimpin de facto tersebut mengatakan bahwa ia yakin dalam waktu dua tahun, hanya sekitar satu hingga 1,5 juta pengungsi Suriah di seluruh dunia yang akan tetap berada di luar Suriah. Dia mencatat di bawah pemerintahan sebelumnya, paspor Suriah telah menjadi salah satu yang terlemah di dunia, meskipun merupakan salah satu yang termahal. Insya Allah paspor Suriah akan memiliki arti penting dalam beberapa tahun ke depan, katanya. “Yang paling menyakitkan bagi saya adalah melihat orang-orang berebut paspor dan betapa buruknya perlakuan terhadap mereka di bandara.” “Rakyat Suriah merasa rendah diri dibandingkan warga negara lain karena kekuatan warga negara berasal dari kekuatan negaranya.” Kini, katanya, warga Suriah merasa bangga dan dihormati oleh negara lain di seluruh dunia. Dia menambahkan bahwa perang yang dilakukan oleh orang-orang tertindas jarang berhasil selama satu abad terakhir. Namun Suriah telah menulis “babak baru dalam sejarah”. “Kami berperang membela kaum tertindas tanpa sumber daya, namun kami berhasil mendapatkan kembali hak-hak kami, karena kebenaran jauh lebih kuat daripada kepalsuan.” (S)Berita Lainnya

Media ‘Israel’ Ungkap Rincian Gencatan Senjata Hamas dengan Penjajah

Terakhir Diperbaru 14 Jan 2025 16:29 SALAM-ONLINE.COM: Channel 12 “Israel” pada Senin (13/1/2025) mengungkapkan rincian tentang potensi gencatan senjata dan kesepakatan pertukaran tahanan antara penjajah itu dengan kelompok perlawanan Palestina, Hamas. Perjanjian tersebut dilaporkan terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama berlangsung selama 42 hari dan termasuk pembebasan 33 tawanan “Israel”. Perdana Menteri Qatar Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, delegasi “Israel” dan mediator dari Mesir, Qatar dan Amerika Serikat sedang menunggu keputusan akhir dari pemimpin Hamas Mohammed Sinwar mengenai rancangan teks perjanjian tersebut, channel tersebut melaporkan. Mediator telah meminta Hamas untuk memberikan respons pada Senin tengah malam, katanya. Menurut Channel 12, yang dikutip Kantor Berita Anadolu, Perdana Menteri penjajah Benjamin Netanyahu juga berkonsultasi dengan pejabat keamanannya mengenai masalah ini. Rincian kesepakatan yang diusulkan Tahap pertama, yang disebut “fase kemanusiaan”, akan berlangsung selama 42 hari. Ini mencakup pembebasan 33 tawanan “Israel”, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, dengan fokus pada perempuan, orang tua dan orang sakit. Sebagai imbalannya, militer penjajah akan menarik diri dari sebagian besar wilayah yang saat ini dikuasainya di Gaza. Pembebasan kelompok pertama tawanan “Israel” direncanakan dilakukan pada hari ketujuh setelah gencatan senjata dimulai. Pihak penjajah juga setuju untuk membebaskan ratusan tahanan Palestina, termasuk mereka yang menjalani hukuman panjang atau hukuman seumur hidup. Untuk setiap tentara wanita “Israel” yang dibebaskan, 50 tahanan Palestina akan dibebaskan, 30 orang menjalani hukuman seumur hidup dan 20 orang menjalani masa hukuman yang diperpanjang, kata laporan itu. Demikian pula, untuk setiap perempuan “Israel” atau warga sipil lanjut usia yang dibebaskan, maka 30 tahanan Palestina termasuk anak di bawah umur, perempuan dan orang sakit akan dibebaskan. Tahap kedua, yang dimulai pada hari ke-16 perjanjian, akan fokus pada negosiasi yang lebih luas untuk membebaskan para tawanan yang tersisa, termasuk tentara dan tahanan muda. Tahap ketiga (terakhir), menurut laporan tersebut, melibatkan pengaturan jangka panjang, termasuk diskusi mengenai pemerintahan alternatif untuk Gaza dan rencana rekonstruksinya. (mus)Berita Lainnya

Uni Eropa Akan Cabut Sanksi terhadap Suriah dengan Syarat

Terakhir Diperbaru 14 Jan 2025 13:55 Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Kaya Kallas SALAM-ONLINE.COM: Para menteri luar negeri Uni Eropa akan membahas pelonggaran sanksi terhadap Suriah selama pertemuan di Brussels pada 27 Januari mendatang Uni Eropa telah meminta negara-negara anggotanya untuk menangguhkan sementara sanksi terhadap Suriah di berbagai bidang seperti transportasi, energi dan perbankan, menurut sebuah makalah yang dikutip oleh Reuters. Para pemimpin Eropa mulai menilai kembali kebijakan mereka terhadap Suriah setelah penggulingan terhadap Basyar al-Asad oleh kelompok pejuang Hay’at Tahrir al-Syam (HTS). Dokumen tersebut, yang ditandatangani oleh Jerman, Prancis, Belanda, Spanyol, Finlandia dan Denmark, mengatakan bahwa Uni Eropa harus segera mulai menyesuaikan sanksi. Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Kaya Kallas mengungkapkan pada Ahad (12/1/2025) di Riyadh bahwa para menteri luar negeri Uni Eropa akan bertemu di Brussels pada 27 Januari mendatangi untuk membahas pelonggaran sanksi terhadap Suriah. Kallas mengatakan pertemuan itu bertujuan untuk memutuskan cara-cara meringankan sanksi, sambil mencatat bahwa keputusan Eropa akan bergantung pada pendekatan pemerintahan baru Suriah. Sementara itu, Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock, Senin (13/1) mengusulkan penerapan “pendekatan cerdas” terhadap sanksi Barat terhadap Suriah di era rezim Asad dengan mencatat bahwa Jerman akan memberikan tambahan 50 juta euro kepada Damaskus untuk membantu menyediakan makanan, tempat penampungan darurat, dan perawatan medis. Baerbock mengatakan bahwa Jerman memimpin perundingan di Uni Eropa mengenai pelonggaran (peringanan) sanksi yang dijatuhkan selama rezim Asad berkuasa, sebagai bagian dari upaya membantu rakyat Suriah. Ia menekankan bahwa pencabutan sanksi terhadap Suriah tergantung pada perilaku pemerintah Suriah yang baru, dan pembentukan pemerintahan yang mencakup semua golongan, dengan tetap memastikan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Pernyataan Baerbock muncul lebih dari seminggu setelah kunjungannya ke Damaskus dan pertemuannya dengan kepala pemerintahan baru Suriah, Ahmad al-Sharaa, dalam sebuah langkah yang bertujuan memfasilitasi proses pelonggaran sanksi dan memberikan dukungan kemanusiaan ke Suriah. Sebelumnya, Kerajaan Arab Saudi menggelar pertemuan Arab dan internasional yang didedikasikan untuk membahas situasi di Suriah, pada Ahad, 12 Januari, di Ibu Kota Riyadh, dengan tujuan menciptakan stabilitas di Suriah setelah jatuhnya rezim Asad. Pertemuan tersebut dihadiri oleh para menteri luar negeri Turki, Suriah dan negara-negara anggota Dewan Kerjasama Teluk, ditambah perwakilan dari Irak, Lebanon, Yordania, Mesir, Inggris, Jerman, Amerika Serikat dan Italia pada tingkat Wakil Menteri Luar Negeri dan utusan PBB. (ah) Sumber : shaam.org, Reuters Berita Lainnya

Konferensi Riyadh Membuka Jalan Dukungan terhadap Suriah

Konferensi di Riyadh, Saudi, yang dihadiri seluruh negara Arab dan Teluk, negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Uni Eropa, Liga Arab, PBB, dll, membuka jalan dukungan untuk Suriah baruSALAM-ONLINE.COM: Para pakar dan analis politik menegaskan bahwa konferensi Riyadh, yang menghasilkan konsensus Arab dan internasional untuk mendukung Suriah dan berupaya mencabut sanksi ekonomi yang dijatuhkan kepadanya, merupakan pergeseran pendekatan Arab dan internasional terhadap Suriah baru. Dukungan Arab tanpa syarat dan komitmen internasional terhadap Suriah serta dukungan dan posisi Barat yang menetapkan pelonggaran sanksi dengan reformasi politik, mengacu pada dukungan terhadap rakyat Suriah dan membantu mereka membangun kembali Suriah sebagai negara Arab yang bersatu, independen dan aman bagi semua warga negaranya,. Dalam diskusi pada segmen analisis politik “Jalannya Peristiwa” di Al Jazeera Channel,Dr. Liqaa Makki, Peneliti Senior di Al Jazeera Center for Studies, menjelaskan bahwa pentingnya konferensi ini terletak pada tiga faktor utama: kecepatan penyelenggaraannya, kehadiran Menteri Luar Negeri Suriah yang baru Asaad al-Shaibani, dan sifat dukungan Arab tanpa syarat. Ia menilai penyelenggaraan konferensi yang begitu cepat dan dihadiri oleh banyak negara Arab, terutama negara-negara tetangga Suriah dan negara-negara Teluk, ditambah lagi dengan kehadiran perwakilan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, mencerminkan respons cepat terhadap inisiatif-inisiatif yang diajukan oleh pemerintahan baru Suriah. Sementara itu, Dr. Mu’ayyad Ghazlan Al-Qablawi, penulis dan peneliti politik, menilai kesan awal yang muncul dari Menteri Luar Negeri Suriah sangat positif, mengingat konferensi tersebut merupakan upaya penting oleh Kerajaan Arab Saudi, Negara Teluk dan negara Arab untuk mengintegrasikan kembali Suriah ke dalam wilayah Arabnya. Peneliti politik Ahmed Al-Hawas mengemukakan, ada dua pesan yang jelas dalam pertemuan ini: yang pertama adalah Arab, dengan perantara Arab Saudi, untuk memberikan dukungan tanpa batas dan tanpa syarat kepada Suriah. Yang kedua adalah Barat, melalui Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock, yang berbicara tentang pencabutan sanksi secara bertahap atau “cerdas”. Terkait sanksi, Makki menekankan perlunya segera mengatasi situasi ekonomi di Suriah. Ia mencatat bahwa negara-negara Arab dapat berkontribusi melalui dukungan ekonomi langsung untuk mengatasi kekurangan kebutuhan dasar, dan dengan menggunakan pengaruh Arab, terutama negara-negara Teluk, dalam interaksi dengan Barat untuk pencabutan sanksi. Terkait dengan sikap pemerintah Suriah terhadap persyaratan Eropa, Al-Qablawi menegaskan bahwa tidak ada masalah dalam memenuhi tuntutan terkait pembentukan pemerintahan inklusif dan representasi perempuan, seraya menunjuk pada langkah-langkah yang telah diambil oleh pemerintah Suriah dalam arah ini. Namun ia memperingatkan bahwa proses politik memerlukan lebih banyak waktu daripada kebutuhan mendesak untuk mencabut sanksi. Al-Qablawi menambahkan bahwa PBB mempunyai peran di masa depan yang mengharuskan organisasi internasional ini untuk fokus pada dua aspek. Pertama, terkait dengan menekan negara-negara Eropa untuk mencabut sanksi, dan yang kedua terkait dengan membantu pengungsi Suriah dan mengaktifkan kepulangan mereka, terutama mengingat rendahnya respons terhadap sumbangan dan bantuan internasional. Pernyataan akhir pertemuan tersebut menekankan perlunya menghormati pilihan dan keinginan rakyat Suriah dalam menentukan nasib mereka. Pernyataan tersebut juga menekankan pentingnya menghormati persatuan, kedaulatan dan integritas teritorial Suriah, dengan menghindari campur tangan atau ancaman eksternal apa pun terhadap keamanan dan stabilitas. Pentingnya proses politik komprehensif yang mewakili semua komponen rakyat Suriah dan menjaga hak-hak semua partai politik dan sosial. (ah) Sumber: shaam.orgLink: خبراء: مؤتمر الرياض يحدد مسار دعم سوريا ويُظهر تباينًا في المواقف العربية والغربية | شبكة شام الإخباريةBerita Lainnya

Ahmad Al-Mansour: Pejuang Mesir di Suriah Bikin El-Sisi Ketakutan

Ahmad Al Mansour bersama anggota Revolusioner 25 Januari (Mesir). Sumber: X SALAM-ONLINE.COM: Ia relatif tidak dikenal hingga beberapa pekan lalu. Tetapi Ahmed al-Mansour telah berhasil mengembangkan pengikut fanatik di negara asalnya, Mesir, setelah pejuang Suriah menggulingkan dinasti Asad. Dia, seorang warga negara Mesir yang pertama kali mulai bertempur bersama Mujahidin (pejuang) Suriah melawan Basyar al-Asad pada tahun 2013. Mansour, telah membuat video sejak pejuang oposisi menembus Damaskus. Dalam video itu Mansour menyerukan Presiden rezim kudeta Mesir, Abdel Fattah el-Sisi, untuk mundur setelah 12 tahun berkuasa. Dengan menggunakan tagar “Giliran Anda, Diktator”, frasa yang didasarkan pada seruan rakyat Suriah tahun 2011 (“Giliran Anda, Dokter/Asad”), Mansour telah memposting konten hampir setiap hari yang meratapi kondisi politik dan ekonomi yang buruk negaranya, Mesir, di Afrika Utara tersebut. “Keadaan teror yang di era Sisi mengharuskan kita untuk berinisiatif menyalakan kembali revolusi,” kata Mansour dalam sebuah video yang baru-baru ini diunggah di X. Dalam beberapa bulan terakhir, Sisi, mantan kepala angkatan darat yang berkuasa pada tahun 2013 setelah melakukan kudeta terhadap Presiden Mesir pertama yang sah dipilih secara demokratis, Mohammad Morsi, telah menghadapi kemarahan publik yang meningkat atas pembantaian yang terjadi di negara tetangga Gaza itu, termasuk kegusaran terhadap ekonomi Mesir yang terus lesu. Sebagai rumah bagi lebih dari 109 juta orang, Mesir telah bergulat dengan inflasi yang memecahkan rekor dan kekurangan mata uang asing sejak Sisi merebut kekuasaan berdarah, dengan utang luar negeri meningkat empat kali lipat menjadi $164 miliar pada Desember 2023. Di tengah kerusuhan, Sisi telah berulang kali mencoba melepaskan diri dari tanggung jawab apa pun atas kesengsaraan negara itu, dan juga berusaha menjauhkan diri dari segala yang menyamakannya dengan Asad. Dalam beberapa pidatonya, ia mengklaim tangannya tidak ternoda darah rakyat Mesir dan tidak pula menjarah kekayaan negara. “Jika presiden Anda tidak baik, jika tangannya berlumuran darah, atau jika ia telah mencuri uang, Anda seharusnya khawatir dengan negara Anda. Syukurlah, kedua masalah ini tidak ada,” begitu klaim Sisi dalam pidatonya baru-baru ini. Namun, pengguna media sosial lainnya, yang menggunakan tagar Mansour, mengatakan bahwa dalam beberapa bulan setelah kudeta (tahun 2013), Sisi mengawasi kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan, karena ribuan pengunjuk rasa pro-Morsi ditembak mati atau ditahan dalam episode kebrutalan polisi terburuk di negara itu dalam sejarah modern. Sisi juga melakukan tindakan kekerasan berskala besar, menangkap sekitar 65.000 lawan politik—termasuk politisi, pengunjuk rasa, jurnalis dan aktivis masyarakat sipil. Sisi ‘takut’? Setelah Asad digulingkan, yang awalnya dikecam oleh rezim Mesir, Kairo dilaporkan mulai menyusun daftar warga Mesir yang telah memutuskan untuk pergi dan bertempur di Suriah setelah dimulainya revolusi Suriah. Media pemerintah Saudi, mengutip sumber-sumber Mesir, melaporkan bahwa beberapa orang dalam daftar tersebut dilaporkan terlibat dalam kegiatan perlawanan di Mesir sebelum berangkat ke Suriah. Mansour, yang dulu bergabung dengan kelompok pejuang Hay’at Tahrir al-Syam (HTS) di Suriah—yang mengambil alih Damaskus—telah mengejek tindakan rezim Mesir, dengan menyatakan bahwa Sisi “ketakutan”. “Sisi telah menyusun daftar orang Mesir yang bertempur di Suriah. Saya ingin mengatakan sesuatu kepadanya. Anda bodoh. Anda takut,” kata Mansour yang menantang dalam sebuah video pada Senin (13/1/2025) seperti dilansir Middle East Eye (MEE). Setelah video tersebut dirilis, Arabi21 melaporkan bahwa otoritas Mesir telah menangkap beberapa anggota keluarga dekat Mansour, termasuk ayah dan pamannya. Beberapa hari kemudian, dalam video lain di X, Mansour mengajukan empat tuntutan utama: pengunduran diri Presiden Sisi, penyingkiran tentara Mesir dari politik, pembebasan semua tahanan politik, dan kembali ke prinsip-prinsip revolusi 25 Januari 2011. Sejak Mansour meluncurkan kampanye media sosialnya, pejabat Mesir dilaporkan sangat khawatir sehingga menteri dalam negeri baru-baru ini mengadakan pertemuan dengan pejabat keamanan senior dan meningkatkan kewaspadaan keamanan negara ke tingkat tertinggi. Di tengah meningkatnya kerusuhan, Ahmed Moussa, pendukung Sisi terkemuka, menyerang Mansour di akun X-nya, mengancamnya dengan nasib seperti Hisham Ashmawy, mantan perwira militer yang dieksekusi atas tuduhan pengkhianatan dan terorisme. Sementara itu, Nashat al-Daihi, pendukung Sisi lainnya, mengkritik Mansour di acara televisinya, melabelinya sebagai teroris pengkhianat yang melarikan diri dari Mesir pada tahun 2012 dan menyerukan revolusi bersenjata seperti yang terjadi di Suriah. Sumber yang dekat dengan Mansour mengatakan kepada Middle East Eye bahwa meskipun rezim Mesir berupaya mencoreng mantan pejuang asing di Suriah itu sebagai teroris, keputusan Mansour untuk benar-benar terjun ke medan perang ditentukan oleh kudeta Sisi dan tindakan keras brutal berikutnya. Dia mengatakan, Mansour, yang lahir di Provinsi Alexandria, menempuh pendidikan universitas setelah belajar di Al-Azhar dan menghadiri Akademi Angkatan Laut, tempat dia mengkhususkan diri dalam logistik. Sumber tersebut mengatakan Mansour akan melanjutkan studi di Institut Persiapan Para Pendakwah dan memberikan ceramah Islam di TV Mesir. Ia mencatat Mansour mengalami perubahan setelah penyiksaan dan pembunuhan Khaled Said oleh polisi pada tahun 2010. Sumber tersebut mengatakan bahwa Mansour tidak memiliki hubungan dengan Ikhwanul Muslimin atau partai politik mana pun setelah Hosni Mubarak digulingkan, dan bahwa pembantaian Rabaa al-Adawiya terbukti menjadi titik balik yang penting. “Mansour ikut serta dalam aksi duduk Rabaa dan menyaksikan banyak pembantaian oleh rezim militer,” kata sumber tersebut. Dalam waktu dua bulan, ia meninggalkan Mesir menuju Suriah untuk bergabung dalam perang melawan rezim Asad, tambah sumber itu. Kecemasan seputar perkembangan di Suriah telah mengakibatkan peningkatan langkah-langkah keamanan yang diambil oleh otoritas Mesir terhadap warga Suriah, sebagian besar pengungsi, yang tinggal di Mesir. Di Kairo, ketika anggota masyarakat Suriah turun ke jalan untuk merayakan jatuhnya Asad, mereka ditahan dengan dalih melakukan protes tanpa izin. Sementara otoritas Mesir dilaporkan telah memberi tahu perusahaan perjalanan dan maskapai penerbangan yang beroperasi di negara itu untuk tidak mengizinkan warga negara Suriah memasuki Mesir dari mana pun di dunia, kecuali mereka pemegang izin tinggal sementara. (S)Berita Lainnya

Ahmad Al-Mansour: Pejuang Mesir di Suriah Bikin El-Sisi Ketakutan

Ahmad Al Mansour bersama anggota Revolusioner 25 Januari (Mesir). Sumber: X SALAM-ONLINE.COM: Ia relatif tidak dikenal hingga beberapa pekan lalu. Tetapi Ahmed al-Mansour telah berhasil mengembangkan pengikut fanatik di negara asalnya, Mesir, setelah pejuang Suriah menggulingkan dinasti Asad. Dia, seorang warga negara Mesir yang pertama kali mulai bertempur bersama Mujahidin (pejuang) Suriah melawan Basyar al-Asad pada tahun 2013. Mansour, telah membuat video sejak pejuang oposisi menembus Damaskus. Dalam video itu Mansour menyerukan Presiden rezim kudeta Mesir, Abdel Fattah el-Sisi, untuk mundur setelah 12 tahun berkuasa. Dengan menggunakan tagar “Giliran Anda, Diktator”, frasa yang didasarkan pada seruan rakyat Suriah tahun 2011 (“Giliran Anda, Dokter/Asad”), Mansour telah memposting konten hampir setiap hari yang meratapi kondisi politik dan ekonomi yang buruk negaranya, Mesir, di Afrika Utara tersebut. “Keadaan teror yang di era Sisi mengharuskan kita untuk berinisiatif menyalakan kembali revolusi,” kata Mansour dalam sebuah video yang baru-baru ini diunggah di X. Dalam beberapa bulan terakhir, Sisi, mantan kepala angkatan darat yang berkuasa pada tahun 2013 setelah melakukan kudeta terhadap Presiden Mesir pertama yang sah dipilih secara demokratis, Mohammad Morsi, telah menghadapi kemarahan publik yang meningkat atas pembantaian yang terjadi di negara tetangga Gaza itu, termasuk kegusaran terhadap ekonomi Mesir yang terus lesu. Sebagai rumah bagi lebih dari 109 juta orang, Mesir telah bergulat dengan inflasi yang memecahkan rekor dan kekurangan mata uang asing sejak Sisi merebut kekuasaan berdarah, dengan utang luar negeri meningkat empat kali lipat menjadi $164 miliar pada Desember 2023. Di tengah kerusuhan, Sisi telah berulang kali mencoba melepaskan diri dari tanggung jawab apa pun atas kesengsaraan negara itu, dan juga berusaha menjauhkan diri dari segala yang menyamakannya dengan Asad. Dalam beberapa pidatonya, ia mengklaim tangannya tidak ternoda darah rakyat Mesir dan tidak pula menjarah kekayaan negara. “Jika presiden Anda tidak baik, jika tangannya berlumuran darah, atau jika ia telah mencuri uang, Anda seharusnya khawatir dengan negara Anda. Syukurlah, kedua masalah ini tidak ada,” begitu klaim Sisi dalam pidatonya baru-baru ini. Namun, pengguna media sosial lainnya, yang menggunakan tagar Mansour, mengatakan bahwa dalam beberapa bulan setelah kudeta (tahun 2013), Sisi mengawasi kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan, karena ribuan pengunjuk rasa pro-Morsi ditembak mati atau ditahan dalam episode kebrutalan polisi terburuk di negara itu dalam sejarah modern. Sisi juga melakukan tindakan kekerasan berskala besar, menangkap sekitar 65.000 lawan politik—termasuk politisi, pengunjuk rasa, jurnalis dan aktivis masyarakat sipil. Sisi ‘takut’? Setelah Asad digulingkan, yang awalnya dikecam oleh rezim Mesir, Kairo dilaporkan mulai menyusun daftar warga Mesir yang telah memutuskan untuk pergi dan bertempur di Suriah setelah dimulainya revolusi Suriah. Media pemerintah Saudi, mengutip sumber-sumber Mesir, melaporkan bahwa beberapa orang dalam daftar tersebut dilaporkan terlibat dalam kegiatan perlawanan di Mesir sebelum berangkat ke Suriah. Mansour, yang dulu bergabung dengan kelompok pejuang Hay’at Tahrir al-Syam (HTS) di Suriah—yang mengambil alih Damaskus—telah mengejek tindakan rezim Mesir, dengan menyatakan bahwa Sisi “ketakutan”. “Sisi telah menyusun daftar orang Mesir yang bertempur di Suriah. Saya ingin mengatakan sesuatu kepadanya. Anda bodoh. Anda takut,” kata Mansour yang menantang dalam sebuah video pada Senin (13/1/2025) seperti dilansir Middle East Eye (MEE). Setelah video tersebut dirilis, Arabi21 melaporkan bahwa otoritas Mesir telah menangkap beberapa anggota keluarga dekat Mansour, termasuk ayah dan pamannya. Beberapa hari kemudian, dalam video lain di X, Mansour mengajukan empat tuntutan utama: pengunduran diri Presiden Sisi, penyingkiran tentara Mesir dari politik, pembebasan semua tahanan politik, dan kembali ke prinsip-prinsip revolusi 25 Januari 2011. Sejak Mansour meluncurkan kampanye media sosialnya, pejabat Mesir dilaporkan sangat khawatir sehingga menteri dalam negeri baru-baru ini mengadakan pertemuan dengan pejabat keamanan senior dan meningkatkan kewaspadaan keamanan negara ke tingkat tertinggi. Di tengah meningkatnya kerusuhan, Ahmed Moussa, pendukung Sisi terkemuka, menyerang Mansour di akun X-nya, mengancamnya dengan nasib seperti Hisham Ashmawy, mantan perwira militer yang dieksekusi atas tuduhan pengkhianatan dan terorisme. Sementara itu, Nashat al-Daihi, pendukung Sisi lainnya, mengkritik Mansour di acara televisinya, melabelinya sebagai teroris pengkhianat yang melarikan diri dari Mesir pada tahun 2012 dan menyerukan revolusi bersenjata seperti yang terjadi di Suriah. Sumber yang dekat dengan Mansour mengatakan kepada Middle East Eye bahwa meskipun rezim Mesir berupaya mencoreng mantan pejuang asing di Suriah itu sebagai teroris, keputusan Mansour untuk benar-benar terjun ke medan perang ditentukan oleh kudeta Sisi dan tindakan keras brutal berikutnya. Dia mengatakan, Mansour, yang lahir di Provinsi Alexandria, menempuh pendidikan universitas setelah belajar di Al-Azhar dan menghadiri Akademi Angkatan Laut, tempat dia mengkhususkan diri dalam logistik. Sumber tersebut mengatakan Mansour akan melanjutkan studi di Institut Persiapan Para Pendakwah dan memberikan ceramah Islam di TV Mesir. Ia mencatat Mansour mengalami perubahan setelah penyiksaan dan pembunuhan Khaled Said oleh polisi pada tahun 2010. Sumber tersebut mengatakan bahwa Mansour tidak memiliki hubungan dengan Ikhwanul Muslimin atau partai politik mana pun setelah Hosni Mubarak digulingkan, dan bahwa pembantaian Rabaa al-Adawiya terbukti menjadi titik balik yang penting. “Mansour ikut serta dalam aksi duduk Rabaa dan menyaksikan banyak pembantaian oleh rezim militer,” kata sumber tersebut. Dalam waktu dua bulan, ia meninggalkan Mesir menuju Suriah untuk bergabung dalam perang melawan rezim Asad, tambah sumber itu. Kecemasan seputar perkembangan di Suriah telah mengakibatkan peningkatan langkah-langkah keamanan yang diambil oleh otoritas Mesir terhadap warga Suriah, sebagian besar pengungsi, yang tinggal di Mesir. Di Kairo, ketika anggota masyarakat Suriah turun ke jalan untuk merayakan jatuhnya Asad, mereka ditahan dengan dalih melakukan protes tanpa izin. Sementara otoritas Mesir dilaporkan telah memberi tahu perusahaan perjalanan dan maskapai penerbangan yang beroperasi di negara itu untuk tidak mengizinkan warga negara Suriah memasuki Mesir dari mana pun di dunia, kecuali mereka pemegang izin tinggal sementara. (S)Berita Lainnya

Media Zionis: 90% Rincian Perjanjian Gencatan Senjata Telah Rampung

SALAM-ONLINE.COM: Rincian gencatan senjata di Gaza dan kesepakatan pertukaran tahanan antara “Israel” penjajah dengan kelompok Hamas “hampir selesai’. Demikian sebuah surat kabar penjajah melaporkan pada Sabtu (11/1/2025). Surat kabar Yedioth Ahronoth mengutip sumber politik penjajah melaporkan, “90% rincian kesepakatan pertukaran tahanan antara ‘Israel’ dan Hamas telah disepakati.” Sumber tersebut mengklaim bahwa permasalahan utama antara kedua pihak adalah bahwa Hamas menginginkan “jaminan” di pihak ‘Israel” melaksanakan perjanjian tahap kedua dan menghubungkannya dengan tahap pertama. Surat kabar itu menambahkan bahwa Hamas khawatir Perdana Menteri penjajah Benjamin Netanyahu akan melanjutkan perang setelah kesepakatan tahap pertama selesai. Laporan tersebut juga mencatat bahwa karena kemajuan dalam perundingan gencatan senjata, utusan Presiden terpilih AS Donald Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, melakukan kunjungan mendadak pada Sabtu ke wilayah jajahan “Israel” dan bertemu dengan Netanyahu. Laporan itu menambahkan semua pihak bertujuan untuk mencapai kesepakatan sebelum Trump mulai menjabat pada 20 Januari. Sebelumnya upaya mediasi yang dipimpin oleh AS, Mesir dan Qatar untuk mencapai gencatan senjata di Gaza gagal karena penolakan Netanyahu untuk menghentikan perang. Tentara penjajah terus melancarkan perang genosida di Gaza, meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera. Perang genosida yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023 itu telah menelan lebih dari 46.500 korban jiwa. Sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Pada November 2024, Pengadilan Kriminal Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. “Israel” juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional karena perang genosidanya di wilayah kantong tersebut (Gaza). (mus) Sumber: Anadolu Berita Lainnya

Media Zionis: 90% Rincian Perjanjian Gencatan Senjata di Gaza Telah Rampung

Terakhir Diperbaru 12 Jan 2025 13:41 SALAM-ONLINE.COM: Rincian gencatan senjata di Gaza dan kesepakatan pertukaran tahanan antara “Israel” penjajah dengan kelompok Hamas “hampir selesai’. Demikian sebuah surat kabar penjajah melaporkan pada Sabtu (11/1/2025). Surat kabar Yedioth Ahronoth mengutip sumber politik penjajah melaporkan, “90% rincian kesepakatan pertukaran tahanan antara ‘Israel’ dan Hamas telah disepakati.” Sumber tersebut mengklaim bahwa permasalahan utama antara kedua pihak adalah bahwa Hamas menginginkan “jaminan” di pihak ‘Israel” melaksanakan perjanjian tahap kedua dan menghubungkannya dengan tahap pertama. Surat kabar itu menambahkan bahwa Hamas khawatir Perdana Menteri penjajah Benjamin Netanyahu akan melanjutkan perang setelah kesepakatan tahap pertama selesai. Laporan tersebut juga mencatat bahwa karena kemajuan dalam perundingan gencatan senjata, utusan Presiden terpilih AS Donald Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, melakukan kunjungan mendadak pada Sabtu ke wilayah jajahan “Israel” dan bertemu dengan Netanyahu. Laporan itu menambahkan semua pihak bertujuan untuk mencapai kesepakatan sebelum Trump mulai menjabat pada 20 Januari. Sebelumnya upaya mediasi yang dipimpin oleh AS, Mesir dan Qatar untuk mencapai gencatan senjata di Gaza gagal karena penolakan Netanyahu untuk menghentikan perang. Tentara penjajah terus melancarkan perang genosida di Gaza, meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera. Perang genosida yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023 itu telah menelan lebih dari 46.500 korban jiwa. Sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Pada November 2024, Pengadilan Kriminal Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. “Israel” juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional karena perang genosidanya di wilayah kantong tersebut (Gaza). (mus) Sumber: Anadolu Berita Lainnya

Tentara Penjajah Tembak Mati Jurnalis Kantor Berita Turki di Gaza

Terakhir Diperbaru 11 Jan 2025 09:08 Juru kamera Kantor Berita Turki, Anadolu, Abu Nabhan, jadi sasaran tembak mati pasukan penjajah di Gaza, Jumat (10/1/2025) SALAM-ONLINE.COM: Lagi, jurnalis jadi sasaran serangan pasukan Zionis di Gaza. Kali ini tentara “Israel” menembak mati juru kamera Kantor Berita Turki, Anadolu, di Gaza, pada Jumat (10/1/2025) dalam serangan jarak jauh. Abu Nabhan (25), yang jadi sasaran serangan biadab penjajah itu, meninggalkan seorang istri dan satu anak. Pada Peristiwa fatal tersebut, militer penjajah terlebih dahulu mengepung sebuah area di Kamp Pengungsi Al-Jadeed, yang terletak di wilayah Nuseirat di Jalur Gaza tengah, tempat banyak jurnalis berkumpul. Rekaman dari tempat kejadian menunjukkan seseorang yang terluka dilarikan dengan tandu. Di dekatnya, Abu Nabhan terlihat berusaha berlari sambil meliput kejadian tersebut dengan peralatannya. Pada saat itulah dia menjadi sasaran tembakan yang nampak seperti bermasalah senapan jarak jauh. Abu Nabhan kemudian tersungkur ke tanah dan terbaring tak bergerak. Orang-orang di dekatnya mencoba mendekatinya dengan was-was karena khawatir menjadi sasaran peluru “Israel” berikutnya. Kantor berita resmi Palestina Wafa yang melaporkan serangan itu, membenarkan bahwa Abu Nabhan jadi sasaran tembak mati. Secara terpisah, setidaknya satu orang juga dilaporkan terbunuh. Korban meninggal dan terluka dibawa ke Rumah Sakit Baptis Al-Ahli, menyusul serangan udara “Israel” terhadap sebuah rumah di kawasan Shuja’iyya di Gaza. Kematian Abu Nabhan menjadikan jumlah total jurnalis Palestina yang terbunuh dalam serangan Zionis di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 menjadi 203 orang. Laporan juga menunjukkan bahwa 399 jurnalis terluka, dan 43 lainnya ditangkap pasukan penjajah. Tentara penjajah terus melakukan perang genosida di Gaza yang telah membunuh lebih dari 46.000 orang, sejak 7 Oktober 2023. Kebanyakan korban jiwa adalah wanita dan anak-anak. Meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera, namun perang genosida oleh pasukan penjajah sampai saat ini tetap berlangsung. Pada November 2023, Pengadilan Kriminal Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri penjajah, Benjamin Netanyahu, dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. “Israel” juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas perang mematikannya di Gaza. (S)Berita Lainnya

Tentara Penjajah Tembak Mati Jurnalis Kantor Berita Turki di Gaza

Terakhir Diperbaru 11 Jan 2025 09:08 Juru kamera Kantor Berita Turki, Anadolu, Abu Nabhan, jadi sasaran tembak mati pasukan penjajah di Gaza, Jumat (10/1/2025) SALAM-ONLINE.COM: Lagi, jurnalis jadi sasaran serangan pasukan Zionis di Gaza. Kali ini tentara “Israel” menembak mati juru kamera Kantor Berita Turki, Anadolu, di Gaza, pada Jumat (10/1/2025) dalam serangan jarak jauh. Abu Nabhan (25), yang jadi sasaran serangan biadab penjajah itu, meninggalkan seorang istri dan satu anak. Pada Peristiwa fatal tersebut, militer penjajah terlebih dahulu mengepung sebuah area di Kamp Pengungsi Al-Jadeed, yang terletak di wilayah Nuseirat di Jalur Gaza tengah, tempat banyak jurnalis berkumpul. Rekaman dari tempat kejadian menunjukkan seseorang yang terluka dilarikan dengan tandu. Di dekatnya, Abu Nabhan terlihat berusaha berlari sambil meliput kejadian tersebut dengan peralatannya. Pada saat itulah dia menjadi sasaran tembakan yang nampak seperti bermasalah senapan jarak jauh. Abu Nabhan kemudian tersungkur ke tanah dan terbaring tak bergerak. Orang-orang di dekatnya mencoba mendekatinya dengan was-was karena khawatir menjadi sasaran peluru “Israel” berikutnya. Kantor berita resmi Palestina Wafa yang melaporkan serangan itu, membenarkan bahwa Abu Nabhan jadi sasaran tembak mati. Secara terpisah, setidaknya satu orang juga dilaporkan terbunuh. Korban meninggal dan terluka dibawa ke Rumah Sakit Baptis Al-Ahli, menyusul serangan udara “Israel” terhadap sebuah rumah di kawasan Shuja’iyya di Gaza. Kematian Abu Nabhan menjadikan jumlah total jurnalis Palestina yang terbunuh dalam serangan Zionis di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 menjadi 203 orang. Laporan juga menunjukkan bahwa 399 jurnalis terluka, dan 43 lainnya ditangkap pasukan penjajah. Tentara penjajah terus melakukan perang genosida di Gaza yang telah membunuh lebih dari 46.000 orang, sejak 7 Oktober 2023. Kebanyakan korban jiwa adalah wanita dan anak-anak. Meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera, namun perang genosida oleh pasukan penjajah sampai saat ini tetap berlangsung. Pada November 2023, Pengadilan Kriminal Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri penjajah, Benjamin Netanyahu, dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. “Israel” juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas perang mematikannya di Gaza. (S)Berita Lainnya