Tag:

sertifikasi halal

BPJPH Pertimbangkan Sanksi Produk Usaha yang Tidak Bersertifikasi Halal

Hidayatullah.com—Kementerian Agama (Kemenag) bakal menarik dan menutup para pelaku usaha yang produk-produknya tidak bersertifikasi halal. Pengawas Jaminan Produk Halal (JPH) telah mendata objek usaha yang akan ditutup tersebutKepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Haikal Hasan mengatakan, dari hasil JPH, BPJPH akan melakukan kajian dan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran. Untuk selanjutnya, akan ditentukan apakah pelaku usaha dapat dikenai sanksi sesuai regulasi.“Perlu saya tegaskan bahwa sanksi para pelanggaran kewajiban sertifikasi halal ada dua. Yakni, administratif (peringatan tertulis) dan penarikan produk dari peredaran termasuk penutupan usaha,” ujarnya di Jakarta, Jumat (25/10/2024).BPJPH, sambung Haikal, memastikan bahwa setelah masa penahapan pertama kewajiban sertifikasi halal berakhir pada 17 Oktober 2024. Maka, setelahnya atau mulai 18 Oktober 2024, kewajiban sertifikasi halal diberlakukan.“Untuk mengawal pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal sebagaimana diamanatkan oleh UU No 33/2014 tentang JPH. Karena itu, BPJPH melaksanakan pengawasan Jaminan Produk Halal secara serentak mulai 18 Oktober 2024.” kata Haikal.Untuk melaksanakan pengawasan JPH tersebut, BPJPH telah menyiapkan sebanyak 1.032 personel Pengawas JPH yang telah memenuhi persyaratan. Salah satunya, telah lulus Pelatihan Pengawas JPH.“BPJPH telah siapkan tenaga Pengawas JPH. Karena sesuai regulasi. Memang pengawasan terhadap kewajiban sertifikasi halal ini adalah kewenangan BPJPH,” ucapnya.Adapun keterlibatan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dalam melaksanakan pengawasan JPH dapat dilakukan setelah berkoordinasi dan bekerja sama dengan BPJPH. Hal ini diatur UU No 33/2014 dan PP No 42/2024 tentang Penyelenggaraan Bidang JPH.“Regulasi tersebut menggantikan PP Nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang JPH. Melalui pelaksanaan pengawasan serentak 18 Oktober 2024, Pengawas JPH melakukan pendataan pelaku usaha diduga tidak melakukan kewajiban sertifikasi halal produknya,” ucapnya.*

Wajib Sertifikasi Halal, BPJPH Siapkan 1.032 Personil Pengawas  

Hidayatullah.com—Pemerintah Indonesia menetapkan masa pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal mulai 18 Oktober 2024. Hal ini sesuai diamanahkan Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.“Untuk mengawal pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, maka BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) melaksanakan pengawasan Jaminan Produk Halal secara serentak mulai 18 Oktober 2024,” kata Kepala BPJPH, Muhammad Aqil Irham, di Jakarta dikutip KBRN. Untuk melaksanakan pengawasan JPH tersebut, BPJPH telah menyiapkan 1.032 personil Pengawas JPH yang telah memenuhi persyaratan untuk diangkat sebagai Pengawas JPH. Salah satunya, telah lulus Pelatihan Pengawas JPH. “BPJPH telah siapkan tenaga Pengawas JPH. Karena sesuai regulasi, memang pengawasan terhadap kewajiban sertifikasi halal ini adalah kewenangan BPJPH.” kata Aqil menegaskan. Adapun keterlibatan kementerian terkait, lembaga terkait, dan/atau pemerintah daerah dalam melaksanakan pengawasan JPH dapat dilakukan setelah berkoordinasi dan bekerjasama dengan BPJPH. Hal ini sebagaimana diatur oleh Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal yang menggantikan Peraturan PP Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa melalui pelaksanaan pengawasan serentak yang dimulai 18 Oktober 2024, personil Pengawas JPH yang ditugaskan melakukan pendataan pelaku usaha yang diduga tidak melakukan kewajiban sertifikasi halal produknya. Bersamaan dengan pendataan itu, personil Pengawas JPH juga memberikan himbauan kepada pelaku usaha untuk bersegera melaksanakan kewajiban sertifikasi halal. Dari hasil pendataan yang dilakukan oleh Pengawas JPH tersebut, BPJPH akan melakukan kajian dan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran. Untuk selanjutnya, akan ditentukan apakah pelaku usaha dapat dikenai sanksi sesuai regulasi. “Perlu saya tegaskan bahwa sanksi yang dapat diberikan terhadap pelanggaran kewajiban sertifikasi halal ini hanya ada dua. Yakni sanksi administratif berupa peringatan tertulis, dan/atau penarikan produk dari peredaran.” tegas Aqil. Terkait pelaksanaan pengawasan JPH tersebut, ia juga menjelaskan bahwa Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 juga memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengawasan JPH. Peran serta masyarakat dimaksud berbentuk pengaduan atau pelaporan ke BPJPH. Untuk itu BPJPH menyediakan fitur pengaduan atau pelaporan melalui website resmi BPJPH https://.halal.go.id/.*

Wajib Halal Sudah Berlaku, Pemerintah Siapkan Pengawasan dan Sanksi Pelaku Usaha

Hidayatullah.com—Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama memberlakukan kewajiban sertifikasi halal sejak hari Jumat (18/10/2024). Penetapan ini dilakukan usai melakukan tahapan pertama kewajiban sertifikasi halal yang berakhir pada 17 Oktober 2024.“Terhitung mulai 18 Oktober 2024, kewajiban bersertifikat halal secara resmi diberlakukan bagi produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia. Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal,” kata Kepala BPJPH, Muhammad Aqil Irham, di Jakarta, Jum’at (18/10/2024). Untuk melaksanakan pengawasan JPH tersebut, BPJPH telah menyiapkan 1.032 personil Pengawas JPH yang telah memenuhi persyaratan untuk diangkat sebagai Pengawas JPH. Salah satunya, telah lulus Pelatihan Pengawas JPH. “BPJPH telah siapkan tenaga Pengawas JPH. Karena sesuai regulasi, memang pengawasan terhadap kewajiban sertifikasi halal ini adalah kewenangan BPJPH.” kata Aqil menegaskan. Adapun keterlibatan kementerian terkait, lembaga terkait, dan/atau pemerintah daerah dalam melaksanakan pengawasan JPH dapat dilakukan setelah berkoordinasi dan bekerjasama dengan BPJPH. Hal ini sebagaimana diatur oleh Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal yang menggantikan Peraturan PP Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa melalui pelaksanaan pengawasan serentak yang dimulai 18 Oktober 2024, personil Pengawas JPH yang ditugaskan melakukan pendataan pelaku usaha yang diduga tidak melakukan kewajiban sertifikasi halal produknya. Bersamaan dengan pendataan itu, personil Pengawas JPH juga memberikan himbauan kepada pelaku usaha untuk bersegera melaksanakan kewajiban sertifikasi halal. Dari hasil pendataan yang dilakukan oleh Pengawas JPH tersebut, BPJPH akan melakukan kajian dan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran. Untuk selanjutnya, akan ditentukan apakah pelaku usaha dapat dikenai sanksi sesuai regulasi. “Perlu saya tegaskan bahwa sanksi yang dapat diberikan terhadap pelanggaran kewajiban sertifikasi halal ini hanya ada dua. Yakni sanksi administratif berupa peringatan tertulis, dan/atau penarikan produk dari peredaran.” tegas Aqil. Kewajiban Tiga Kelompok Aqil mengatakan, kewajiban sertifikasi halal mulai diberlakukan bagi tiga kelompok produk yang diproduksi pelaku usaha menengah dan besar. Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan. “Ketiga kelompok produk dari pelaku usaha menengah dan besar tersebut harus sudah bersertifikat halal mulai 18 Oktober 2024. Kalau belum bersertifikat halal dan beredar di masyarakat, maka akan ada sanksinya, berupa peringatan tertulis atau penarikan produk dari peredaran,” ujar Aqil. Adapun bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) yang memproduksi ketiga jenis produk tersebut, masih diberikan perpanjangan waktu. Paling lambat sampai 17 Oktober 2026 untuk mengurus perizinan dan sertifikat halal. Karenanya, BPJPH mengimbau pelaku UMK yang produknya wajib bersertifikat halal, agar segera melakukan pengajuan sertifikasi halal melalui ptsp.halal.go.id. Informasi lebih lanjut terkait pengajuan sertifikat halal dapat diakses melalui website halal.go.id dan/atau akun resmi media sosial BPJPH. Sementara untuk produk luar negeri berupa produk makanan, minuman, jasa penyembelihan dan hasil sembelihan, kewajiban bersertifikat halalnya akan ditetapkan Menteri Agama. Paling lambat tanggal 17 Oktober 2026, setelah menyelesaikan kerja sama pengakuan saling keberterimaan sertifikat halal. Lebih lanjut Aqil menjelaskan, mulai 18 Oktober 2024 BPJPH melaksanakan pengawasan Jaminan Produk Halal (JPH) di seluruh Indonesia. Tujuannya, untuk memastikan bahwa ketiga kelompok produk yang dihasilkan dari usaha menengah dan besar tersebut telah bersetifikat halal atau belum. “Sejalan dengan pengawasan ini, kami juga terus mengedukasi pelaku usaha agar adaptif terhadap tren kesadaran konsumen yang semakin tinggi untuk mengkonsumsi produk halal. Jadi jadikan sertifikat halal sebagai nilai tambah bagi produk untuk meningkatkan kualitas dan daya saing sekaligus memperluas jangkauan market,” kata Aqil.*

MUI Kembali Tegaskan Larangan Penggunaan Nama, Bentuk, Produk yang Diharamkan

Hidayatullah.com—Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Ni’am Sholeh, memberikan klarifikasi terkait isu viral di masyarakat mengenai produk yang menggunakan nama atau istilah yang dilarang secara syariat.Isu ini mencuat karena beberapa produk dianggap terasosiasi dengan sesuatu yang haram, najis, atau mengandung pengertian kekufuran dan kesesatan, yang berpotensi tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan sertifikasi halal. Asrorun Ni’am menjelaskan bahwa MUI telah mengeluarkan Fatwa No. 44 Tahun 2020 tentang penggunaan nama, bentuk, dan rasa produk yang terasosiasi dengan sesuatu yang diharamkan. “Majelis Ulama Indonesia telah melakukan proses konfirmasi dan klarifikasi terhadap masalah ini. Fatwa MUI No. 44 Tahun 2020 mengatur secara jelas penggunaan nama, bentuk, dan rasa yang terasosiasi dengan hal-hal haram atau dilarang secara syariat, yang tidak bisa disertifikasi halal,” jelasnya kepada MUI Digital di Aula Buya Hamka Gedung MUI sesuai rapat pimpinan, Selasa (8/10/24). Dia menambahkan bahwa meskipun suatu produk secara substansi halal, baik dari segi bahan baku maupun proses produksinya, jika menggunakan nama atau istilah yang berkonotasi haram, produk tersebut tetap tidak dapat disertifikasi halal. “Misalnya, bir non-alkohol, meskipun secara substansi halal dan tidak mengandung unsur haram atau najis, penggunaan kata ‘bir’ tidak bisa disertifikasi halal karena terasosiasi dengan sesuatu yang haram,” lanjut Kiai Ni’am, begitu akrab disapa. Hal ini dilakukan untuk memastikan agar masyarakat tidak mendekati atau terjerumus pada sesuatu yang haram atau berbau kekufuran. Selain itu, MUI juga ingin meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kehalalan produk, tidak hanya dari substansi tetapi juga dari aspek-aspek lain yang berpotensi menimbulkan kebingungan atau kesalahpahaman di kalangan konsumen. Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mencontohkan kasus viral produk dengan nama “Mie Setan” dan “Mie Cap Babi”. Meskipun secara substansi produk tersebut halal, penggunaan nama-nama tersebut dilarang dalam proses sertifikasi halal. Namun, setelah berdiskusi dengan MUI, para pelaku usaha akhirnya mengganti nama produk mereka tanpa mengurangi omset penjualan, menunjukkan bahwa perubahan nama tidak merugikan bisnis. Fatwa ini memberikan pengecualian untuk beberapa istilah yang sudah dikenal secara umum oleh masyarakat dan tidak terasosiasi dengan hal-hal haram, seperti “bir pletok” dan “roti buaya”. Istilah-istilah ini sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat dan tidak menimbulkan kebingungan, sehingga tetap bisa disertifikasi halal. Kiai Ni’am menekankan pentingnya kepatuhan pelaku usaha terhadap Fatwa MUI No. 44 Tahun 2020, serta peran lembaga pemeriksa halal dalam memastikan sertifikasi halal sesuai dengan standar yang ditetapkan. “Ini adalah bagian dari upaya untuk melindungi masyarakat dan meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya produk halal, baik dari segi substansi maupun aspek-aspek lainnya,” pungkasnya dikutip laman resmi MUI. Dengan klarifikasi ini, diharapkan masyarakat dan pelaku usaha lebih memahami pentingnya mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, sehingga dapat mendukung terciptanya ekosistem produk halal yang lebih baik di Indonesia.*

LPPOM MUI Periksa 32 Produk Halal “Wine” dan “Beer”: Ada Salah Ketik

Hidayatullah.com– BPJPH Kementerian Agama RI menyebutkan ada 32 produk dengan kata kunci “wine” dan “beer” yang diperiksa oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) usai di media sosial ramai makanan dan minuman bernama “tuyul”, “tuak”, “beer”, dan “wine” mendapatkan sertifikat halal.Direktur LPPOM MUI, Muti Arintawati menyampaikan empat hal untuk menjawab penjelasan BPJPH Kemenag tersebut. Pertama, kata dia, setelah dilakukan pemeriksaan di database LPPOM, ada 25 produk menggunakan kata kunci “wine” namun semuanya adalah produk kosmetik sebagai simbol warna merah wine dalam lipstik. “Wine di sini berasosiasi dengan warna di lipstik kosmetika, bukan sensori rasa maupun aroma, menurut Komisi Fatwa MUI, penggunaan kata wine untuk menunjukkan jenis warna warna wine untuk produk non-pangan diperbolehkan, ” terang Muti dikutip MUIDigital,Kamis (03/10/2024). Baca: MUI Tak Bertanggung Jawab Pemberian Sertifikasi Halal pada Produk Tuak, Beer, Tuyul dan Wine Kedua, Muti mengatakan, produk yang memakai nama “bir” yang lolos LPPOM MUI adalah minuman tradisional yang bukan merupakan khamr dan sudah terkenal umum (menjadi adat) seperti bir pletok. “Hal ini pun diperbolehkan oleh Komisi FAtwa MUI mempertimbangkan produk tersebut sudah dikenal lama di tengah masyarakat sebagai minuman tradisional non-khamr, ” jelasnya. Ketiga, LPPOM MUI juga menelusuri ada tiga produk memakai nama “beer” yang melalui pemeriksaan dari LPH LPPOM. Ternyata setelah ditelusuri, ada kesalahan pengetikan dari yang seharusnya beef (daging sapi) menjadi beer. Ada produk produk Beer Strudel dengan Nomor SH BPJPH ID32110000651650922 diterbitkan pada tanggal 27 Oktober 2022 dengan Pelaku Usaha “Meylia Kharisma Puspita.” berdasarkan Ketapan Halal MUI Provinsi Jawa Barat No. LPPOM-01201281591022. “Ketetapan Halal (KH) yang diunggah ke Sihalal menunjukkan tidak ada nama Beer Strudel, hanya ada nama Beef Strudel, secara paralel dilakukan pengajuan permohonan perubahan nama dalam SH BPJPH sesuai dengan KH berlaku, yakni dari Beer Strudel diubah menjadi Beef Strudel, ” ungkapnya. Selain itu, imbuh dia, ada produk bernama Beer Stroganoff, SH BPJPH No. ID34220000185660321 diterbitkan pada tanggal 26 April 2021 dengan Pelaku Usaha “Salsa Catering” berdasarkan Ketetapan Halal MUI DI Yogyakarta No. 12340002010421. “Ketetapan Halal (KH) yang diunggah ke Sihalal menunjukkan tidak ada nama Beer Stroganoff, hanya ada nama Beef Stroganoff, secara paralel dilakukan pengajuan permohonan perubahan nama sesuai dengan KH berlaku, yakni dari Beer Stroganoff dengan nama Beef Stroganoff.” Ada pula produk bernama Ginger Beer, SH BPJPH No. ID52320000072060221 diterbitkan pada tanggal 16 Maret 2021 dengan Pelaku Usaha “PT Metro Lombok Asri (Hotel Santika Mataram)” berdasarkan Ketetapan Halal MUI Provinsi NTB No. B-45/DP.P-XXVIII/III/2021. Ketetapan Halal yang diunggah ke Sihalal benar menunjukkan ada nama Ginger Beer. Setelah melakukan penelusuran ulang ke Pelaku Usaha, dapat dipastikan bahwa tidak ditemukan adanya bahan haram dalam pembuatan produk tersebut. Produknya pun tidak berasosiasi dengan “beer”. “Perusahaan bersedia untuk mengganti nama menu yakni dari Ginger Beer menjadi Fresh Ginger Breeze. Hal ini dibuktikan dengan surat permohonan perubahan nama yang secara paralel diajukan oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH dan perubahan nama pada Ketetapan Halal, ” ungkap Muti. Poin klarifikasi ke empat, Muti menegaskan bahwa LPH LPPOM MUI tidak pernah meloloskan produk dengan nama “tuyul” dan “tuak”. “LPH LPPOM berkomitmen untuk melakukan perbaikan layanan untuk menghasilkan produk halal yang terjamin dan terpercaya. Kami harap seluruh pihak yang terlibat tidak menyebarkan isu yang belum jelas. LPPOM menerima segala bentuk saran dan masukan untuk kemajuan layanan sertifikasi halal Indonesia ke depan, ” pungkasnya.*

BPJPH Kemenag Berlakukan Sertifikasi Halal Produk Impor mulai Oktober 2024

Hidayatullah.com – Mulai Oktober 2024, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) akan mulai memberlakukan sertifikasi halal untuk produk impor. Kepala Pusat Kerja Sama dan Standardisasi Halal Abd Syakur mengatakan, sertifikasi produk impor dilakukan secara bertahap. Karena itu, BPJPH menggelar Forum Group Discussion (FGD) sebagai bentuk sosialisasi kepada sejumlah asosiasi pelaku usaha dan importir. “Kami mengundang para pimpinan atau perwakilan asosiasi usaha dan importir untuk diskusi bersama-sama,” kata Abd Syakur usai memimpin FGD di Jakarta, Selasa (11/6/2024), lansir laman resmi Kemenag. Syakur mengatakan, BPJPH berkepentingan untuk memastikan terwujudnya kesepahaman regulasi Jaminan Produk Halal (JPH) dan teknis implementasinya di antara pemerintah dan kalangan industrial. Hal itu sebagai bentuk tanggungjawab dalam penyelenggaraan JPH. “Diskusi konstruktif ini tujuannya adalah untuk melakukan mitigasi dan membangun situasi yang kondusif untuk memastikan implementasi kewajiban sertifikasi halal,” kata Syakur. Selain sebagai sarana menyosialisasikan kebijakan dan regulasi JPH, FGD juga menjadi wadah untuk menyerap aspirasi para pelaku usaha. Sejumlah perwakilan asosiasi usaha turut hadir dalam FGD itu, diantaranya; APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia), HIPPINDO (Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia), AFFI (Asosiasi Flavor dan Fragran Indonesia), ASPIDI (Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia), ASPADIN (Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia), APRINDO (Asosiasi Retail Indonesia), Gabungan Perusahaan Makanan & Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), American Chamber of Commerce Indonesia, European Chamber of Commerce Indonesia, APREGINDO (Asosiasi Pengusaha Ritel Merk Global Indonesia), British Chamber of Commerce Indonesia, dan US-ASEAN.*

Fatwa MUI: Hewan Ternak yang Diberi Pakan Darah Babi Tak Boleh Disertifikasi Halal

<img width="650" height="433" src="http://muslimnews.id/wp-content/uploads/2024/05/niam-mui-bangka.jpg" class="attachment-jannah-image-post size-jannah-image-post wp-post-image" alt data-main-img="1" decoding="async" fetchpriority="high" srcset="https://i0.wp.com/suaraislam.id/wp-content/uploads/2024/05/niam-mui-bangka.jpg?w=650&ssl=1 650w, https://i0.wp.com/suaraislam.id/wp-content/uploads/2024/05/niam-mui-bangka.jpg?resize=300%2C200&ssl=1 300w" sizes="(max-width: 650px) 100vw, 650px" data-attachment-id="86933" data-permalink="https://suaraislam.id/fatwa-mui-hewan-ternak-yang-diberi-pakan-darah-babi-tak-boleh-disertifikasi-halal/niam-mui-bangka/" data-orig-file="https://i0.wp.com/suaraislam.id/wp-content/uploads/2024/05/niam-mui-bangka.jpg?fit=650%2C433&ssl=1" data-orig-size="650,433" data-comments-opened="0"...

Jawa Barat Miliki Produk Halal Terbanyak di Indonesia

Hidayatullah.com—Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat Bey Triadi Machmudin menyebutkan bahwa Jawa Barat merupakan provinsi dengan produk halal terbanyak di Indonesia. “Data menunjukkan, hingga akhir 2023, Jabar menjadi provinsi dengan jumlah produk bersertifikat halal terbanyak di Indonesia, sebanyak 694.684 produk,” kata Bey dalam keterangan di Bandung belum lama ini. Bahkan, angka tersebut akan bertambah dengan adanya 1.000 produk UMKM yang mendapat sertifikat halal dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) pada Kamis (16/5) lalu dalam acara Roadshow #KITAHALALIN Jabar 2024 yang juga diprakarsai Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Jawa Barat. Produk halal, kata Bey, termasuk dari UMKM ini menjadi tuntutan, karena Jabar adalah provinsi dengan populasi muslim terbesar di Indonesia. Sertifikat halal 1.000 UMKM ini berangkat dari self declare (klaim sendiri) UMKM, lalu kemudian didampingi Kementerian KUKM sejak April 2024 untuk didaftarkan mendapatkan sertifikat halal. 1.000 produk UMKM yang dapat sertifikat halal self declare itu berasal dari Bandung Raya yakni Kota/Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat. Meski menyambut baik pemberian sertifikat halal bagi 1.000 produk UMKM Jabar, Bey mengingatkan sertifikat tersebut betul-betul mencerminkan kehalalan produknya, mengingat ini adalah self declare. “Kami mendukung pemberian sertifikat halal, tapi itu tadi harus ada kejelasan aturan. Jadi kami dari sisi pemerintah baik Pusat Kementerian, dan Pemda Provinsi Jabar, mendorong se-transparan mungkin,” tuturnya. Sementara itu, Deputi Bidang Usaha Mikro Kementerian Koperasi dan UKM Yulius mengatakan, sertifikat halal penting karena memberi rasa tenang kepada konsumen untuk membeli suatu produk. “Ini roadshow ketujuh, dan akan ada 15 roadshow pada tahun ini, dan tahun depan kita akan roadshow lagi,” ucap Yulius pada acara di Kampus Unpad tersebut.*