Tag:

rasulullah saw

Tips Mendidik Anak di Era Digital: Belajar dari Nabi Muhammad

Hidayatullah.com – Di era digital ini, tantangan dalam mendidik anak semakin kompleks. Informasi yang melimpah ruah dan mudah diakses menjadi berkah sekaligus ancaman. Bagaimana kita, sebagai orang tua, dapat membimbing anak-anak kita agar tetap tumbuh dengan nilai-nilai Islami di tengah derasnya arus informasi? Nabi Muhammad SAW, dengan kasih sayangnya yang luar biasa terhadap anak-anak, memberikan kita banyak pelajaran berharga yang relevan untuk diterapkan, bahkan di zaman serba digital ini.Tips Membimbing Anak Terlepas dari kesibukan Rasulullah, beliau memprioritaskan untuk menunjukkan kasih sayang kepada anak-anak, mengajarkan kepada kita bahwa mengasuh anak-anak dapat dan harus diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, sesibuk apa pun kita. Sikap Nabi Muhammad SAW ini terangkum dalam sebuah ayat Al-Quran: “Dan dengan rahmat Allah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” (QS Ali Imran: 159). Menyaring Informasi D era di mana informasi mudah diakses dan melimpah sangatlah penting untuk mendekati anak dengan bijaksana dan penuh pengertian. Orang tua menghadapi tantangan besar dalam membantu anak-anak mereka memilah informasi yang benar dan menolak yang salah. Penting untuk mengajari anak-anak berpikir kritis dan membedakan antara sumber yang dapat dipercaya dan yang tidak, terutama saat mereka bertanya tentang Nabi Muhammad SAW. Ibnu Abbas pernah ditanya bagaimana ia memperoleh ilmunya yang luas. Ia menjawab, “Dengan lidah yang selalu bertanya dan hati yang memahami.” (Imam Ahmad dalam kitab Fadail Al-Sahabah, 2/970). Jawaban ini menegaskan bahwa kombinasi antara pertanyaan dan pemahaman mendalam sangat penting dalam memperoleh pengetahuan. Pernyataan Ibnu Abbas menunjukkan pentingnya kombinasi dua kualitas: lidah yang secara aktif mencari pengetahuan melalui pertanyaan, yang merupakan naluri dalam diri setiap anak, dan hati yang memahami dan menyimpan apa yang dipelajarinya. Ketika kedua kualitas ini hadir bersama-sama, seseorang dapat memperoleh banyak pengetahuan. Namun, jika salah satu dari kedua sifat tersebut tidak ada, maka sifat ketakwaan akan berkurang, begitu pula dengan tingkat pengetahuan seseorang sesuai dengan apa yang hilang. Pernyataan Ibnu Abbas ini juga merupakan bantahan terhadap para filsuf dan ateis tertentu yang menganggap bahwa bertanya adalah tujuan akhir dari ilmu. Mereka terus mengajukan banyak pertanyaan tetapi tidak berusaha benar-benar mencari jawaban. Bahkan ketika jawaban diberikan, mereka tidak berusaha memahami maknanya; sebaliknya, mereka berusaha melemahkan jawaban tersebut dengan memunculkan pertanyaan tambahan yang tak terhitung jumlahnya, yang pada akhirnya melemahkan kekuatan dan koherensi dari jawaban asli. Akar penyebab dari perilaku ini adalah karena hati mereka tidak memiliki pemahaman yang diperlukan untuk memungkinkan pengetahuan berakar, dan mereka tidak memiliki kepastian untuk menjangkarkan pengetahuan tersebut. Akibatnya, hati mereka dipenuhi dengan keraguan, kebingungan, kegelisahan, dan kontradiksi. Menggunakan Teknologi secara Bijak Orang tua dapat memanfaatkan momen-momen keingintahuan dan hasrat akan pengetahuan dan pembelajaran untuk membantu anak-anak mereka mengembangkan pemahaman yang lebih dalam dan lebih akurat tentang kehidupan dan ajaran Nabi. Hal ini termasuk mendorong mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bijaksana, mengeksplorasi perspektif yang berbeda, dan mencari informasi yang kredibel. Nabi sendiri berkata, “Sebaik-baik kalian adalah mereka yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya.” (HR Bukhari) Hadits ini menekankan pentingnya mencari ilmu dan membagikannya kepada orang lain, sebuah prinsip yang dapat diterapkan untuk mengajarkan anak-anak tentang Nabi di era digital. Jadi, bagaimana orang tua dapat lebih mudah memperkenalkan Nabi tercinta kita kepada anak di era konflik teknologi dan informasi ini? Kuncinya terletak pada menggabungkan ajaran tradisional dengan alat-alat modern. Orang tua harus terlibat dengan anak-anak mereka dengan menggunakan teknologi secara bijak, baik melalui menonton video pendidikan yang disajikan oleh para ahli yang dapat dipercaya, membaca e-book interaktif, atau menjelajahi aplikasi yang dirancang untuk mengajarkan tentang Nabi dengan cara yang menarik. Di saat yang sama, orang tua harus memastikan bahwa informasi tersebut akurat dan berakar pada sumber-sumber Islam yang otentik. Yang lebih penting lagi, orang tua harus menerapkan karakter Nabi Muhammad dalam kehidupan sehari-hari mereka karena anak belajar dengan meniru. Mendidik Anak dengan Meneladani Nabi Seiring bertambahnya usia anak-anak, terutama sekitar usia 6 atau 7 tahun, mereka mulai mengembangkan pemahaman tentang benar dan salah. Pada masa kritis inilah Nabi Muhammad SAW memberikan teladan sempurna untuk membimbing anak-anak dengan kelembutan dan kebijaksanaan. Abdullah bin Amr bin ‘Ash meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: “Yang Maha Pengasih (Allah SWT) menyayangi orang-orang yang penyayang. Jika kalian menyayangi orang-orang yang ada di bumi, Dia yang ada di langit akan menyayangi kalian.”(Sunan Abu Dawud) Ketika Rasulullah melihat seorang anak melakukan kesalahan, beliau akan mengoreksinya dengan kebaikan dan pengertian, tidak mengomel dengan nada tinggi atau mempermalukan anak. Umar bin Abu Salamah berkata: “Saya adalah seorang anak laki-laki yang berada di bawah asuhan Rasulullah, dan ketika tangan saya biasa berpindah-pindah di piring, beliau pernah berkata kepada saya, ‘Wahai anakku, sebutlah Nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang terdekat olehmu’”. (HR Bukhari Muslim dalam Musnad Ahmad) Cara Rasulullah mengoreksi sikap Umar bin Abu Salamah yang sederhana ini tidak hanya membimbing sang anak, namun juga menanamkan nilai-nilai kesadaran dan etika, yang dilakukan dengan cara yang dapat menjaga harga dirinya. Merenungkan perilaku Nabi Muhammad yang penuh kasih dan lembut terhadap anak-anak mengajarkan kita untuk menghindari tindakan yang dapat membuat Allah tidak senang dan merusak hubungan kita dengan anak-anak yang berada di bawah pengasuhan kita. Kasih sayang Nabi Muhammad kepada anak-anak digambarkan dengan indah dalam banyak tindakannya. Sebagai contoh, beliau pernah mencium cucunya, Al-Hasan bin Ali, di hadapan Al-Aqra’ bin Habis At-Tamim. Al-Aqra’ berkata, “Saya memiliki sepuluh anak dan belum pernah mencium salah satu dari mereka.” Nabi Muhammad lantas memberi peringatan: “Barangsiapa yang tidak berbelas kasih kepada orang lain, maka ia tidak akan diperlakukan dengan penuh belas kasihan.” (HR Bukhari) Hadits ini menggaungkan prinsip Al-Quran bahwa “Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat dengan orang-orang yang berbuat baik” (Al-A’raf:56), yang menunjukkan bahwa belas kasihan akan menghasilkan belas kasihan. Interaksi Rasulullah SAW dengan anak-anak juga mengajarkan kita bahwa menunjukkan kasih sayang dan perhatian adalah bentuk ibadah dan kepatuhan terhadap Sunnah. Menunjukkan kasih sayang, menggendong dan memeluk bayi, serta mencium anak adalah sunnah. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak menghormati orang tua.” (HR Tirmidzi) Anak-anak adalah sumber kegembiraan, rahmat, dan anugerah dari Allah. Mereka membawa berkah bagi keluarga mereka dan melembutkan hati yang paling keras sekalipun, seperti yang ditunjukkan oleh Rasulullah berulang kali.Yang terpenting, kita harus mengasihi anak-anak kita karena mereka yang paling memahami bahasa kasih. Nabi Muhammad mencontohkan hal ini dalam banyak cara. Salah satunya, beliau akan mempersingkat shalatnya jika mendengar suara tangisan bayi, karena tidak ingin menyusahkan ibu dari bayi tersebut. Pada kesempatan lain, beliau salat dengan menggendong seorang anak, mengangkat anak tersebut ketika beliau berdiri dan meletakkan anak tersebut ketika beliau bersujud. Perilaku lembut ini mencerminkan kasih sayang dan kepedulian beliau yang mendalam terhadap anak-anak, sesuai dengan tuntunan Al-Quran untuk “berbuat baik kepada orang tua, kerabat, anak yatim, dan orang-orang miskin” (Al-Quran 2:83). Nabi Muhammad juga sangat toleran dan pemaaf terhadap kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan anak-anak. Beliau akan bermain dengan mereka, memberi mereka tumpangan di atas untanya, dan menyuapi mereka kurma. Beliau memahami bahwa anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang besar dan senang mengeksplorasi hal-hal baru. Dalam setiap interaksinya, Rasulullah mencontohkan pentingnya kasih sayang, cinta, dan kesabaran kepada anak-anak. Dengan mengikuti teladan beliau, kita dapat mengajarkan anak-anak kita tentang karakter mulia beliau dan memastikan bahwa mereka tumbuh dengan rasa cinta yang mendalam, rasa hormat, dan hubungan yang erat dengan iman mereka. Al-Quran mengingatkan kita, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Ahzab: 21). Mari kita wujudkan teladan ini dalam pendekatan kita dalam mengasuh anak-anak, saat kita membimbing mereka dengan kasih sayang dan kebijaksanaan yang sama seperti yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW.*

Pelanjut Dakwah Nabi

Rabiul Awwal adalah bulan istimewa dalam perjalanan sejarah Islam dan manusia. Di bulan tersebut lahir seorang manusia penuh cinta dan kasih sayang. Seorang nabi pilihan di akhir zaman, penyempurna ajaran-ajaran nabi sebelumnya.Kelahirannya dinanti oleh semua makhluk dan para ahlul kitab yang faham akan kehadirannya. Lahir di kota suci, tempat baitullah dan Nabi Ismail berada. Dan, hadir di saat manusia diliputi kejahiliyahan.Tumbuh berkembang di antara orang-orang penuh cinta dan perjuangan. Disusui wanita dari lingkungan Bani Sa’ad yaitu Halimah as-Sa’diyah. Sempat diasuh ibundanya, Aminah, yang penuh kasih sayang dan kesabaran. Dan, wafatnya ibunda Aminah melengkapi perjuangan Nabi Muhammad muda, hingga sang kakek pun Abdul Mutholib turut mengasuh.Bersama Abdul Mutholib Nabi Muhammad belajar kedermawanan, menjadi pelayan para tamu Allah di Masjidil Haram. Setelah sang kakek meninggal, pengasuhan beralih kepada Abu Thalib, paman yang sangat mencintainya. Beliau yang paling lama dan banyak memberikan pengaruh kepada Nabi Muhammad terkait kepemimpinan, kemandirian, dan perniagaan.Nabi Saw sangat dikenal oleh penduduk Makkah, sebelum dan setelah mengemban tugas kenabian. Sebelum menjadi Nabi, beliau terlibat banyak peristiwa penting di Makkah. Dua diantaranya perihal Hilful Fudhul (perjanjian kebaikan) dan peristiwa peletakan Hajar Aswad.Perjanjian Hilful Fudhul, saat seorang pedagang yang merasa dirugikan akibat barang dagangannya yang tidak dibayar oleh sang pembeli. Inilah yang menggerakkan Nabi Saw untuk mengajak para pemuka Quraisy menuntut sang pembeli agar mau membayar barang dagangan yang telah diambil. Kemudian dibuat perjanjian kebaikan agar setiap kewajiban ditunaikan dan hak diberikan, yang kemudian dikenal dengan Hilful Fudhul.Peristiwa berikutnya terjadi ketika Ka’bah mengalami renovasi. Para pemuka dari setiap kabilah di Quraisy merasa berhak untuk meletakkan kembali hajar Aswad ke tempatnya semula. Hal ini menimbulkan keributan dan hampir terjadi perang di antara sesama suku Quraisy. Hingga akhirnya seorang di antara mereka mengusulkan agar keputusan diberikan kepada siapapun yang masuk ke Masjidil Haram di saat para pemuka berada di dalam.Dan, yang hadir adalah sosok yang tepat, pemuda yang jujur, berakhlak mulia dan bukan salah satu di antara kabilah yang sedang berebut, yaitu Nabi Muhammad. Pun Nabi Muhammad memutuskan dengan meletakkan dan melebarkan kain sorbannya. Lalu, hajar Aswad diletakkan di atas kain. Setelah itu, beliau meminta para pemuka Quraisy mengangkat hajar Aswad secara bersama. Setelah dekat, Nabi meletakkannya di tempatnya. Keputusan ini diterima para pemuka Quraisy yang tadinya bersitegang.Pasca Bi’tsah Nubuwah atau penetapan Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, tugas beliau semakin berat dan besar. Nabi SAW berusaha menggerakkan orang-orang terdekat untuk terlibat dalam proses dakwah Islam. Seperti Khadijah istri Nabi, Ali bin Abi Thalib sepupunya, Zaid bin Haritsah anak angkatnya, dan Abu Bakar sahabat terdekat. Mereka dikenal as-sabiqunal awwalun yang membantu pergerakan dan penyebaran dakwah Islam. Hingga pada puncaknya dakwah dikekang, dan akhirnya diperintahkan untuk hijrah ke Madinah.Rabiul Awwal kembali menjadi penting, karena di bulan ini Rasul dan Abu Bakar sampai di Kota Madinah untuk hijrah. Setelah melewati perjuangan dan pengejaran kafir Quraisy, Nabi pun mengawali perjuangan dakwah di Madinah. Peristiwa hijrah ini merupakan tonggak awal sejarah berdirinya kekuatan dan pemerintahan Islam pertama.Dari Madinah penyebaran wilayah Islam meluas khususnya wilayah Jazirah Arab. Di masa Khulafaurrasyidin dan pemerintahan Daulah Bani Umayyah, Abbasiyah hingga Turki Utsmani melanjutkan penyebaran Islam hingga dua pertiga adalah kekuasaan Islam.Tugas Nabi Saw berakhir di bulan Rabiul Awwal tahun sebelas Hijriyah, beliau wafat diusia 63 tahun. Bulan yang menjadi kesedihan mendalam bagi para sahabat, sekaligus sebagai babak baru pemerintahan Islam. Di mana Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib menjadi sosok pemimpin pelanjut pemerintahan Islam.1 2Laman berikutnya

Momentum Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, Ini Pesan Ketum Muhammadiyah

Yogyakarta (SI Online) – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengajak umat Islam meneladani Nabi Muhammad Saw dengan terus menebarkan kedamaian dan jalan ihsan atau kebaikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.“Bagi kaum Muslim sebagai mayoritas penduduk di negeri ini, mari kita praktikkan Islam sebagai agama rahmat semesta alam yang menebar kebaikan, keluhuran, perdamaian, persatuan dan nilai-nilai utama dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan kemanusiaan di ranah global,” kata Haedar Nashir dalam keterangannya di Yogyakarta, Senin (16/09/2024).Haedar mengatakan, momentum peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw selalu menjadi sumber nilai kebaikan, keutamaan dan keluhuran hidup bersama.“Jauhi sikap ekstrem (ghuluw) menebar benih saling membenci, menghujat, dan memusuhi. Lebih-lebih merasa diri paling benar dan bersih sendiri. Sikap naif seperti itu tidaklah mencerminkan akhlak mulia dan misi kerisalahan Nabi,” ujar dia.Haedar mengajak umat Islam menjadikan sifat welas asih dan rahmat bagi semesta alam sebagai inti dalam membangun peradaban mulia sesuai risalah Nabi Muhammad Saw.“Kami percaya ketika kaum Muslimin menjadi umat yang berada di garda depan dalam mewujudkan nilai-nilai kebaikan, keluhuran, kebenaran, keadilan, kesatuan dan keutamaan dalam kehidupan, maka otomatis kaum Muslim menjadi pengikut Nabi Muhammad yang meniru dan meneladani uswah hasanah,” kata dia.Nabi Muhammad Saw, menurut dia, telah memberi teladan pula untuk hidup maju di segala bidang kehidupan guna membangun peradaban alternatif yang mencerahkan semesta.Dia berharap umat Islam mampu menjadikan figur Nabi Muhammad Saw sebagai role model untuk menghadirkan kehidupan yang lebih beradab, lebih bermoral, dan menjunjung tinggi nilai-nilai utama.Bangsa Indonesia yang sejatinya berbasis pada kebudayaan luhur diharapkan mampu mewujudkan cita-cita luhur untuk membangun kehidupan yang lebih baik.“Kaum Muslimin harus mengembangkan kecerdasan yang murni, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memanfaatkan segala potensi yang dianugerahkan Tuhan dalam memahami segala ciptaan-Nya, serta melahirkan peradaban yang utama bagi kehidupan di alam semesta ini,” kata dia. [ANTARA]

Momentum Peringatan Maulid Nabi, Ajari Anak-Anak Bela Nabi Saw

Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw dapat dijadikan sebagai momentum untuk menanamkan dan memupuk rasa cinta kepada Nabi Saw. Bukan hanya rasa cinta, tetapi juga memupuk kecintaan terhadap beliau.Cinta Nabi: Kewajiban dan Bagian dari ImanAllah SWT berfirman: “Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q. S. Ali Imran: 31).Rasulullah Saw bersabda: “Tidaklah beriman (secara sempurna) salah seorang dari kamu sehingga aku lebih ia cintai daripada orangtuanya, anaknya dan segenap manusia.” (HR. Al-Bukhari).Kewajiban setiap Muslim untuk cinta Nabi Saw, melebihi cintanya kepada semua makhluk. Cinta Nabi Saw merupakan ushul iman (pokok keimanan) yang berkaitan erat dengan cinta kepada Allah Saw.Allah SWT berfirman: “Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah SWT dan RasulNya dan dari berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah SWT mendatangkan keputusanNya. Dan Allah SWT tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS At Taubah: 24).Kecintaan kepada Allah adalah dengan mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi Saw. Menaati perintahnya dan meninggalkan larangan-larangannya.Pengaruh kecintaan itu tampak saat terjadi pertentangan antara perintah dan larangan Nabi Saw dengan hawa nafsunya, keinginan istri, anak-anak serta segenap manusia di sekelilingnya. Jika ia benar-benar cinta Rasulullah Saw, ia akan mendahulukan perintah-perintahnya dan tidak menuruti kehendak nafsunya, keluarga atau orang-orang di sekelilingnya. Jika cinta palsu, maka ia akan mendurhakai Allah dan RasulNya, lalu menuruti setan dan hawa nafsunya.Jika kita cinta Rasulullah Saw dengan sepenuh hati, maka akan: mendapatkan kesempurnaan iman, mendapatkan kecintaan Allah SWT, bersama Rasulullah Saw di Akhirat, merasakan manisnya iman. Manisnya keimanan adalah merasakan lezatnya segala ketaatan dan siap menunaikan beban agama serta mengutamakan itu daripada seluruh materi dunia.Bukti Cinta: Bela Nabi Saw Ketika Dihina dan Rela BerkorbanKita mencintai Nabi Saw dengan menjadikan beliau sebagai teladan dalam menjalani kehidupan. Kita di baris terdepan ketika ada yang merusak, menghina, melecehkan, dan menodai Nabi dan agama.Cinta adalah memberi bukan meminta dari yang dicintai. Cinta adalah berkorban untuk yang dicintai bukan mengorbankan yang dicintai untuk meraih keuntungan pribadi. Bukti cinta adalah rela berkorban untuk kepentingan dakwah, baik jiwa, harta, keluarga, dan kedudukan mereka. Tujuannya menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat.Rasulullah Saw menyebarkan Islam di kota Mekah, memberi pemahaman pengorbanan dan menanamkannya di hati setiap sahabatnya. Beliau Saw lebih dulu melakukan pengorbanannya kepada orang lain, kemudian menganjurkan kaum kerabatnya yang terdekat. Siti Khadijah ra, istri beliau, selalu rela mengorbankan apa saja yang ia miliki, demi membela agama yang disebarkan oleh Nabi Saw.Setiap dai harus rela berkorban, baik berupa harta, jiwa, pikiran, tenaga, waktu, dengan pengorbanan sebaik-baiknya. Para sahabat Nabi Saw: seperti Abu Bakar ra, Umar ra, Utsman ra dan Ali ra, semuanya rela meninggalkan tempat tinggal, harta, keluarga, anak, dan istrinya. Semua kaum Muhajirin rela mengorbankan semua kesenangannya demi menegakkan agamanya. Mereka berhijrah hanya membawa bekal seperlunya demi menegakkan agama Islam di tempat lain. Penduduk Madinah yang beriman menyambut mereka dengan luar biasa. Mereka rela membagi harta dan apa saja milik mereka kepada kaum Muhajirin.

Momentum Peringatan Maulid, Ajari Anak-Anak Bela Nabi Saw

Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw dapat dijadikan sebagai momentum untuk menanamkan dan memupuk rasa cinta kepada Nabi Saw. Bukan hanya rasa cinta, tetapi juga memupuk kecintaan terhadap beliau.Cinta Nabi: Kewajiban dan Bagian dari ImanAllah SWT berfirman: “Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q. S. Ali Imran: 31).Rasulullah Saw bersabda: “Tidaklah beriman (secara sempurna) salah seorang dari kamu sehingga aku lebih ia cintai daripada orangtuanya, anaknya dan segenap manusia.” (HR. Al-Bukhari).Kewajiban setiap Muslim untuk cinta Nabi Saw, melebihi cintanya kepada semua makhluk. Cinta Nabi Saw merupakan ushul iman (pokok keimanan) yang berkaitan erat dengan cinta kepada Allah Saw.Allah SWT berfirman: “Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah SWT dan RasulNya dan dari berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah SWT mendatangkan keputusanNya. Dan Allah SWT tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS At Taubah: 24).Kecintaan kepada Allah adalah dengan mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi Saw. Menaati perintahnya dan meninggalkan larangan-larangannya.Pengaruh kecintaan itu tampak saat terjadi pertentangan antara perintah dan larangan Nabi Saw dengan hawa nafsunya, keinginan istri, anak-anak serta segenap manusia di sekelilingnya. Jika ia benar-benar cinta Rasulullah Saw, ia akan mendahulukan perintah-perintahnya dan tidak menuruti kehendak nafsunya, keluarga atau orang-orang di sekelilingnya. Jika cinta palsu, maka ia akan mendurhakai Allah dan RasulNya, lalu menuruti setan dan hawa nafsunya.Jika kita cinta Rasulullah Saw dengan sepenuh hati, maka akan: mendapatkan kesempurnaan iman, mendapatkan kecintaan Allah SWT, bersama Rasulullah Saw di Akhirat, merasakan manisnya iman. Manisnya keimanan adalah merasakan lezatnya segala ketaatan dan siap menunaikan beban agama serta mengutamakan itu daripada seluruh materi dunia.Bukti Cinta: Bela Nabi Saw Ketika Dihina dan Rela BerkorbanKita mencintai Nabi Saw dengan menjadikan beliau sebagai teladan dalam menjalani kehidupan. Kita di baris terdepan ketika ada yang merusak, menghina, melecehkan, dan menodai Nabi dan agama.Cinta adalah memberi bukan meminta dari yang dicintai. Cinta adalah berkorban untuk yang dicintai bukan mengorbankan yang dicintai untuk meraih keuntungan pribadi. Bukti cinta adalah rela berkorban untuk kepentingan dakwah, baik jiwa, harta, keluarga, dan kedudukan mereka. Tujuannya menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat.Rasulullah Saw menyebarkan Islam di kota Mekah, memberi pemahaman pengorbanan dan menanamkannya di hati setiap sahabatnya. Beliau Saw lebih dulu melakukan pengorbanannya kepada orang lain, kemudian menganjurkan kaum kerabatnya yang terdekat. Siti Khadijah ra, istri beliau, selalu rela mengorbankan apa saja yang ia miliki, demi membela agama yang disebarkan oleh Nabi Saw.Setiap dai harus rela berkorban, baik berupa harta, jiwa, pikiran, tenaga, waktu, dengan pengorbanan sebaik-baiknya. Para sahabat Nabi Saw: seperti Abu Bakar ra, Umar ra, Utsman ra dan Ali ra, semuanya rela meninggalkan tempat tinggal, harta, keluarga, anak, dan istrinya. Semua kaum Muhajirin rela mengorbankan semua kesenangannya demi menegakkan agamanya. Mereka berhijrah hanya membawa bekal seperlunya demi menegakkan agama Islam di tempat lain. Penduduk Madinah yang beriman menyambut mereka dengan luar biasa. Mereka rela membagi harta dan apa saja milik mereka kepada kaum Muhajirin.

Sifat Para Nabi dan Rasul

Siddiq, amanah, tabligh, fathanah, adalah sifat para Nabi dan Rasul. Sebab tugas Nabi dan Rasul dalam menyampaikan risalah dari Allah SWT menuntut para Nabi dan Rasul untuk memiliki sifat siddiq, amanah, tabligh, fathanah.Para Nabi dan Rasul, utamanya Rasulullah Muhammad Saw memiliki tugas yang sangat berat yaitu menyampaikan risalah dari Allah SWT apa adanya, tidak mengikuti hawa nafsunya, melainkan harus sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Allah SWT saja.Firman Allah SWT:قُلۡ اِنَّمَاۤ اُنۡذِرُكُمۡ بِالۡوَحۡىِ ‌‌ۖ وَلَا يَسۡمَعُ الصُّمُّ الدُّعَآءَ اِذَا مَا يُنۡذَرُوۡنَ“Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku hanya memberimu peringatan sesuai dengan wahyu.” Tetapi orang tuli tidak mendengar seruan apa-bila mereka diberi peringatan.” ( QS. Al-Anbiya : 45).وَمَا يَنۡطِقُ عَنِ الۡهَوٰىؕ“dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut keinginannya.” (QS. An-Najm: 3).اِنۡ هُوَ اِلَّا وَحۡىٌ يُّوۡحٰىۙ‏“Tidak lain (Al-Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),” (QS. An-Najm: 4)قُلْ لَّاۤ اَقُوۡلُ لَـكُمۡ عِنۡدِىۡ خَزَآٮِٕنُ اللّٰهِ وَلَاۤ اَعۡلَمُ الۡغَيۡبَ وَلَاۤ اَقُوۡلُ لَـكُمۡ اِنِّىۡ مَلَكٌ‌ ۚ اِنۡ اَتَّبِعُ اِلَّا مَا يُوۡحٰٓى اِلَىَّ‌ ؕ قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِى الۡاَعۡمٰى وَالۡبَصِيۡرُ‌ ؕ اَفَلَا تَتَفَكَّرُوۡنَ“Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan aku tidak mengetahui yang gaib dan aku tidak (pula) mengatakan kepadamu bahwa aku malaikat. Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku.” Katakanlah, “Apakah sama antara orang yang buta dengan orang yang melihat? Apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (QS. Al-An’am : 50).Karenanya sifat para Nabi dan Rasul, yaitu siddiq, amanah, tabligh, fathanah, menjadi faktor utama dalam keberhasilan menyampaikan risalah langit, wahyu dari Allah SWT. Sebab Allah SWT benar-benar menjaga utusan-Nya dengan menyematkan secara sempurna sifat-sifat mulia tersebut dalam diri para Nabi dan Rasul, termasuk Rasulullah Muhammad Saw.Adapun sifat siddiq pada Nabi dan Rasul artinya adalah benar. Maksudnya ialah tiap-tiap perkataan yang diucapkan atau disampaikan oleh para Nabi dan Rasul sifatnya selalu benar bersumber dari Allah SWT.Sedangkan amanah menurut bahasa adalah janji atau titipan, yakni sesuatu yang dipercayakan seseorang. Adapun secara etimologis dari bahasa Arab dalam bentuk mashdar dari amina-amanatan yang berarti jujur atau dapat dipercaya.Adapun tabligh artinya menyampaikan. Secara bahasa, kata tabligh sendiri berasal dari kata dasar بَلَغَ yang artinya sampai. Dari konteks dakwah sendiri, tabligh diartikan sebagai menyampaikan atau menginformasikan ajaran Allah SWT kepada manusia, tujuannya agar diimani dan dipahami, serta juga dijadikan sebagai pedoman hidup. Sebab Nabi dan Rasul Allah hanya menyampaikan apa yang Allah suruh kepadanya tanpa ada yang tertinggal.

Ikuti Perjuangan Rasulullah Saw

Dalam menempuh jalan dakwahnya, Rasulullah Saw telah mengikuti suatu jalan yang telah digariskan oleh Allah SWT. Ini merupakan ketentuan Allah SWT sebagaimana firman Nya:“Katakanlah: ‘Inilah jalanku (dakwah)ku. Aku beserta orang-orang yang mengikutiku (yang) mengajak kalian kepada Allah dengan hujjah nyata. Maha suci Allah dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’.” (QS. Yusuf: 108)Ayat ini memberikan pengertian kepada kita bahwa agenda besar kehidupan Beliau Saw adalah berdakwah mengajak manusia kejalan Allah SWT. Fakta sejarah hidup Beliau Saw telah memberikan kesaksian bahwa hidup dan mati Beliau Saw telah dipertaruhkan untuk tegaknya kalimat Allah SWT di muka bumi.Dalam mengemban dakwahnya, Rasulullah dan para sahabat selalu mengadakan pergolakan pemikiran melawan kepercayaan kaum musyrikin serta tradisi jahiliyah mereka.Beliau Saw menyerang tradisi mereka mengubur anak perempuan hidup-hidup, menyerang tradisi kecurangan mereka dalam takaran dan timbangan, serta menyerang tradisi ribawi dalam transaksi-transaksi mereka.Beliau juga melakukan perjuangan politik melawan para pembesar Quraisy untuk melemahkan kekuatan mereka dengan tujuan melakukan perubahan agar kekuasaan orang-orang Quraisy berdasarkan Islam semata.Keberanian dan keteguhan jiwa beliau sudah sangat terkenal dan diakui kawan maupun lawan. Keterusterangan Rasul tampak pada sikap Beliau Saw dalam setiap kata yang diucapkan dan kejelasan pemikirannya. Ketika Beliau Saw mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dari kalangan kerabatnya, di hadapan kaumnya dan penduduk Mekkah, Beliau Saw berpidato:“Sesungguhnya seorang pemimpin tidak akan berdusta kepada kaumnya. Demi Allah, bahkan andaikan aku berdusta kepada segenap manusia, maka aku tidak akan berdusta kepada kalian. Juga andaikan aku menipu manusia seluruhnya, maka tidak mungkin aku menipu kalian. Demi Allah yang tidak ada Tuhan kecuali Dia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kalian khususnya dan kepada manusia seluruhnya. Demi Allah kalian akan mati sebagaimana kalian tidur dan kalian akan dibangkitkan kembali sebagaimana kalian bangun tidur, dan dihisab atas segala apa yang kalian kerjakan sehingga kalian akan dibalas dengan kebaikan atas amal baikmu dan dengan keburukan atas amal burukmu. Adapun balasan itu berupa surga yang kekal dan neraka yang langgeng.”Keberanian Beliau Saw yang paling menonjol ketika beliau masih sendiri, tidak ada penolong, pengikut apalagi pembela kecuali Allah SWT. Ketika Rasulullah Saw dilarang melakukan shalat di sebelah Ka’bah oleh Abu Jahal dan kawan-kawannya dengan ancaman antara lain mau menginjak leher beliau ketika sujud. Namun beliau saw. tak bergeming sedikitpun. Bahkan mengulangi shalatnya lagi. Keberanian tersebut timbul karena adanya keyakinan yang bulat terhadap adanya pertolongan Allah SWT. Pada hakikatnya kekuatan Rasulullah tampak dari kebenaran yang diserukan melalui rangkaian kalimat yang jelas, tegas dan penuh percaya diri serta keteguhan hati beliau dalam berdakwah yang tidak pernah sedikitpun turun semangat, walaupun berbagai kesulitan dan rintangan serta bahaya besar menghadangnya.Meskipun menghadapi berbagai intimidasi dan provokasi dari kaumnya agar beliau meninggalkan dakwahnya, Rasulullah tetap konsisten pada pendiriannya. Ini terbukti ketika para pemimpin Quraisy membujuk dengan menawarkan kepada beliau kekuasaan, harta, dan wanita melalui paman beliau, Abu Thalib. Rasulullah Saw menjawab bujukan itu dengan pernyataan yang tegas kepada pamannya:“Demi Allah, hai pamanku. Seandainya mereka letakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku supaya aku tinggalkan dakwah ini, tidak akan aku tinggalkan sampai Allah memenangkan dakwah ini atau aku binasa karenanya.” (lihat Tarikh Ath-Thabari Juz II hal 326).Kenapa Rasulullah Saw begitu mantap dan penuh keberanian dalam menyampaikan dakwahnya?

Peringatan Maulid: Meneladani Kepemimpinan Nabi Saw

Tidak ada seorang nabi yang dipuji begitu tinggi di antara nabi-nabi yang lain melebihi Nabi Muhammad Saw. Beliau disebut sebagai uswah hasanah (teladan yang baik) bagi umat manusia sebagaimana yang disampaikan Allah dalam Al-Ahzab ayat 29.لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”Tidak hanya itu, Allah SWT pun mengutus nabi juga sebagai rahmat bagi setiap makhluk. Berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Anbiya ayat 107:وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”Al-Qadhi Iyadh menjelaskan dalam kitab “Asy-Syifaa’ bi Ta’riif Huquuq al-Musthafaa”, halaman 58, yakni: “Dikatakan (kerahmatan Rasulullah) itu bagi seluruh makhluk. Bagi orang mukmin rahmat itu berupa hidayah. Bagi orang munafik rahmat itu berupa rasa aman mereka dari pembunuhan. Bagi orang kafir rahmat itu berupa penundaan azab atas mereka (berbeda dengan umat-umat sebelumnya yang mengingkari Rasul mereka diazab langsung di dunia, pen).”Membuktikan kecintaan kepada NabiMencintai Nabi adalah sesuatu yang wajib bagi umat Muslim. Bahkan melebih kecintaan kepada segala sesuatu. Allah SWT berfirman dalam Qur’an surat At-Taubah ayat 24:“Katakanlah: “jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”Orang yang mengakui kecintaannya kepada Rasul adalah orang yang menampakkan bukti kecintaan pada dirinya. Tanda atau bukti cinta kepada Rasul yaitu dengan meneladani beliau, mengikuti semua ucapan dan perintahnya, serta menjauhi segala larangannya.Meneladani kepemimpinan nabi dalam politik dan pemerintahanSalah satu bukti kecintaan kepada nabi adalah dengan menjadikan Rasulullah sebagai hakim dan pasrah pada setiap keputusannya. Keharusan pasrah terhadap semua ketentuan Allah dan Rasul-Nya telah disampaikan Allah pada firman-Nya:“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa ayat 65)Berdasarkan ayat di atas, harusnya seorang muslim itu wajib untuk berhukum kepada Rasulullah dalam segala perkara yang diperselisihkan, wajib menghilangkan keberatan dalam hati terhadap keputusan yang Rasulullah berikan, dan berserah diri pada semua perkara yang telah ditetapkan Rasul, bukan hanya pada perkara yang diinginkan saja.1 2Laman berikutnya