Tag:
medsos
Hidayatullah.com
Media Sosial Pengaruhi Kosakata Baru Generasi Alpha
Hidayatullah.com—Guru Besar Bidang Ilmu Etnolinguistik Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Dr Dra Ni Wayan Sartini MHum, mengatakan, kosakata baru Generasi Apha (Gen Apha) terbentuk akibat pengaru pratform digital dan perkembangan media sosial.“Di era digital ini, banyak model bahasa baru bermunculan. Salah satunya bahasa Gen Alpha. Sebenarnya, cikal bakal tersebut adalah dari bahasa gaul kemudian berkembang sampai kepada Gen-Z dan Gen Alpha,” katanya dikutip laman resmi Unair.Menurut Prof Wayan, bahasa Gen Alpha tidak lepas dari pengaruh media sosial dan teknologi. Tumbuh dalam ekosistem digital, membuat generasi alpha terbiasa dengan pemakaian kosakata unik ini.Menurutnya, bahasa setiap generasi selalu mengalami perubahan. Tidak terkecuali, bahasa-bahasa yang muncul dalam keseharian. Hal ini disampaikan menanggapi berbagai kosakata baru yang muncul, seperti mewing, rizz, sigma, dan skibidi, muncul yang banyak digunakan Gen Alpha saat berkomunikasi.Prof Wayan menyebut, perkembangan masyarakat yang kian kompleks juga menjadi pemicu dari perubahan model komunikasi ini.“Gen Alpha cenderung terhubung satu sama lain karena pengaruh interaksi dalam berbagai platform. Mereka yang sedang mencari jati diri, punya cara berkomunikasi khas lewat kata-kata baru, emoji, emoticon, sebagai kemudahan-kemudahan pengucapan dari bahasa aslinya sehingga itu mempercepat komunikasi,” ujarnya.Tak hanya itu, Prof Wayan juga menyoroti penggunaan istilah populer, seperti mewing yang merujuk pada teknik memperbaiki bentuk wajah dan rizz yang merupakan kependekan dari karisma. Kosakata tersebut baginya menunjukkan sisi kreativitas Gen Alpha.Ia menyebut bahwa fenomena ini adalah bagian dari inovasi bahasa yang lahir dari komunitas tersebut.Prof Wayan juga menyebut bahwa bahasa Gen Alpha hanya bersifat temporer. “Sah-sah saja ketika Gen Alpha menggunakan bahasa itu dalam komunikasi mereka sesuai dengan usianya.Namun, seperti bahasa gaul sebelumnya, bahasa Gen Alpha kemungkinan akan hilang seiring mereka beranjak dewasa kemudian menghadapi konteks kehidupan berbeda ataupun semakin sedikit penuturnya,” tambahnya.Dalam keterangannya, Prof Wayan menjelaskan bahwa bahasa dan budaya selalu berjalan seiring dan sesuai konteks zamannya.“Bahasa Gen Alpha adalah identitas sosial mereka. Tidak ada pengaruh negatif terhadap budaya, selama penggunaan bahasa ini masih dalam ranah informal,” ujarnya.Terakhir, Prof Wayan juga mengingatkan bahwa penggunaan bahasa harus sesuai dengan konteks, baik formal maupun informal.“Tidak akan merusak bahasa Indonesia selagi penggunaan itu hanya dalam konteks komunikasi mereka. Tapi jangan sampai merembes ke dalam ranah formal. Maka perlu penyesuaian kepada siapa dan kapan kita berbicara,” pungkasnya.*
Hidayatullah.com
Brain Rot, Pembusukan Otak akibat Penggunaan Layar Gawai Berlebihan
Hidayatullah.com—‘Pembusukan otak’ atau ‘brain rot’ menjadi Kata Tahun Ini untuk tahun 2024, demikian diumumkan Oxford University Press. Menurut psikolog berbagi, pandangan tentang istilah tersebut yang berisiko memiliki dampak terhadap penurunan kesehatan mental karena berkaitan dengan penggunaan media sosial yang tergolong dangkal.Para ahli Oxford mengamati bahwa istilah brain rot mendapat perhatian signifikan di tahun ini. Hal tersebut tercermin dari kekhawatiran tentang dampak mengonsumsi konten daring berkualitas rendah dalam jumlah berlebihan di media sosial, seperti dikutip dari siaran India Today, Sabtu (7/12) waktu New Delhi, India.Bahkan, frekuensi penggunaan istilah tersebut melonjak 230 persen dari tahun 2023 ke tahun 2024. Psikolog Klinis dari Rumah Sakit Holy Family di Mumbai, India memaparkan penyebab dari ‘brain rot’.“‘Brain rot’ mencerminkan penurunan kemampuan mental secara perlahan, yang sering kali dikaitkan dengan penggunaan layar yang berlebihan, kurangnya stimulasi, atau pilihan gaya hidup yang tidak sehat,” kata Dr. Narendra Kinger.Dia melanjutkan, “(brain rot merupakan) kemunduran yang diduga terjadi pada kondisi mental atau intelektual seseorang, terutama jika dilihat sebagai akibat dari konsumsi berlebihan terhadap materi (terutama konten daring) yang dianggap remeh atau tidak menantang”.Istilah brain rot menyoroti meningkatnya kekhawatiran tentang dampak mengonsumsi konten media sosial yang dangkal terhadap kesehatan mental. Paparan informasi yang dangkal dari internet atau media sosial tersebut dapat menurunkan kesehatan kognitif dan menyebabkan kelelahan mental.Penurunan tersebut tidak terbatas pada kelompok usia tertentu. Kerusakan otak akibat penggunaan media sosial dapat mempengaruhi anak-anak dan orang dewasa, meskipun penyebab dan gejalanya dapat berbeda.Pada anak-anak, kerusakan otak sering kali terlihat dari berkurangnya rentang perhatian, kesulitan berkonsentrasi pada tugas, dan prestasi akademis yang buruk.Sebaliknya, kerusakan otak pada orang dewasa dapat ditandai dengan mudah lupa, motivasi rendah, mudah tersinggung, dan terlalu bergantung pada perangkat gawai untuk hiburan.Penyebabnya beragam, tetapi sering kali berasal dari masalah inti yang sama. Mulai dari terlalu bergantung pada layar gawai atau perangkat komputer, kurangnya rangsangan mental, dan kebiasaan tidak sehat.Kinger menjelaskan bahwa waktu menonton layar yang berlebihan adalah salah satu penyebab terbesar dari kerusakan otak.“Konsumsi berlebihan terhadap materi yang remeh mengurangi rentang perhatian dan membatasi pemikiran kritis,” kata Kinger.Media sosial dan pengguliran (scrolling) internet tanpa akhir dapat membanjiri otak dengan konten yang dangkal, sehingga hanya menyisakan sedikit ruang untuk keterlibatan kognitif yang lebih dalam.Faktor lain yang menyebabkan kerusakan otak meliputi kurangnya aktivitas fisik, kurang tidur, dan gizi buruk.Tanpa istirahat yang cukup dan diet seimbang yang kaya akan nutrisi penambah fungsi otak (seperti asam lemak omega-3 dan antioksidan), fungsi kognitif dapat menurun seiring berjalannya waktu.Tidak hanya itu, gaya hidup yang tidak aktif semakin memperburuk masalah karena aktivitas fisik sangat penting untuk menjaga kesehatan otak dan kesehatan mental.Oleh sebab itu, Kinger menyarankan agar orang tua menetapkan batasan waktu layar yang jelas dan mendorong permainan di luar ruangan untuk merangsang kreativitas dan mengurangi stres pada anak-anak mereka.Dia juga menyoroti pentingnya hobi lain seperti membaca, musik, dan seni. Aktivitas tersebut dapat membantu anak-anak mengembangkan fokus dan keterampilan berpikir kritis.Bagi orang dewasa, memerangi kerusakan otak berarti menemukan keseimbangan antara konsumsi digital dan aktivitas yang menantang pikiran. Menurutnya, seseorang perlu melakukan permainan yang dapat merangsang pikiran, seperti memecahkan teka-teki, atau melakukan percakapan yang mendalam dan bermakna.“Memahami kerusakan otak adalah langkah pertama untuk mencegahnya,” kata Kinger.“Otak Anda adalah aset Anda yang paling berharga. Lindungilah dengan saksama, karena kesehatannya menentukan kualitas hidup Anda,” katanya.* ant
Suaraislam.id
Waspada, Internet dan Medsos Jadi Gerbang Anak-Anak Terpapar Pornografi
Jakarta (SI Online) – Salah satu wujud kemajuan teknologi adalah kemudahan mengakses internet untuk siapapun, tak terkecuali anak-anak.Penggunaan internet ini memiliki dua dampak, positif dan negatif sekaligus. Salah satu dampak buruknya adalah terpaparnya anak dengan konten pornografi.Terkait dampak negatif penggunaan internet dan media sosial, Psikolog Ratih Ibrahim menyarankan agar orangtua lebih rajin menjaga anaknya. Bahkan ia menyarankan agar ortu benar-benar tidak memberikan anaknya akses internet secara bebas.“Anaknya didietin di sosial media. Terus jangan malas, harus rajin jagain anak, mungkin kita agak repot,” ujar Ratih, Selasa (03/12/2024), seperti dilansir Kompas.com.Ratih mengatakan, internet dan sosial media bisa menjadi gerbang akses pornografi oleh anak-anak, baik secara sengaja maupun tidak disengaja.ADS: Untuk mendapatkan informasi seputar dunia medis, Anda dapat mengunjungi idiindramayu.orgIa bercerita, salah satu kliennya terpapar pornografi pada usia delapan tahun. Hal tersebut diawali dengan anak yang selalu ingin tahu. Sang ayah yang berusaha mendukung kemandirian anak, kemudian mengajarkan cara penggunaan internet untuk mencari informasi.Namun, kurangnya pengawasan menyebabkan anak tersebut menemukan situs yang tidak pantas. Merasa penasaran, anak tersebut mengaksesnya berkali-kali yang membawa ke berbagai konten dewasa.“Anak ini anak pintar dan pembaca. Jadi dilihat banyaknya situs yang dia buka, linknya itu ada tiga lebar folio,” ungkap Ratih.Dampak Negatif Paparan Konten PornografiTak bisa diabaikan, paparan konten pornografi pada anak bisa menyebabkan berbagai dampak buruk pada anak. Beberapa dampak yang mungkin terjadi meliputi:Trauma EmosionalAnak-anak yang terpapar konten yang tidak sesuai dapat merasa terganggu, karena mereka belum memiliki pemahaman yang matang tentang apa yang mereka lihat.“Kalau saya bilang trauma ya mungkin ada. Tapi artinya dia terekspos dengan pornografi yang tidak sesuai sama umurnya,” ungkap Ratih.Kecanduan PornografiAnak kecil memiliki rasa penasaran yang tinggi. Paparan pornografi dapat membuatnya makin penasaran dan memiliki kemungkinan untuk terus menonton, sehingga mengalami keecanduan.1 2Laman berikutnya
Suaraislam.id
Ketua PWNU DIY Usulkan Larangan Anak di Bawah 16 Tahun Gunakan Medsos
Yogyakarta (SI Online) – Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta KH Ahmad Zuhdi Muhdlor mengusulkan pemerintah membuat aturan yang melarang anak-anak dan remaja di bawah 16 tahun menggunakan media sosial.Zuhdi meyakini larangan tersebut bakal membantu pemerintah meredam pengaruh negatif medsos pada anak sejak dini, khususnya dari paparan judi online.“Ini harus dengan peraturan. Tidak cukup dengan imbauan. Kalau sudah jadi peraturan negara, itu kan bisa dikenakan sanksi bagi yang melanggar,” ujar Zuhdi, Selasa (03/12) seperti dilansir ANTARA.Menurut dia, usulan tersebut sebagaimana beleid yang bakal berlaku di Australia.Undang-Undang (UU) yang disahkan oleh Senat Australia pada Kamis (28/11) itu akan melarang siapapun yang berusia kurang dari 16 tahun menggunakan media sosial seperti TikTok, Instagram, Snapchat, Facebook, Reddit, dan X.“Ini mungkin bisa dicoba atau dikaji oleh pemerintah untuk diterapkan di Indonesia. Saya kira bagus, di mana justru negara lain sekarang juga merasakan dampaknya,” kata dia.Bagi Zuhdi penerapan aturan itu tak sekadar mengekor Negara Kanguru, sebab dampak buruknya terhadap kesehatan mental atau psikologis anak juga telah dialami anak-anak di Indonesia.Meski dia tidak menampik banyak pula manfaat yang bisa didapatkan dari media sosial seiring perkembangan teknologi informasi (TI), akan tetapi khusus bagi anak-anak di bawah umur mudaratnya lebih besar karena umumnya belum mampu menggunakan secara bijak.Selain itu, kampanye atau iklan judi online yang bertebaran di media sosial juga berpotensi memengaruhi mereka.“Kalau sudah masuk ke otak anak itu kan, susah sekali untuk meluruskan kembali. Saya kadang-kadang juga terpikir, banyaknya pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh berbagai pihak ini, tidak lepas, kalau enggak miras ya judi online itu. Ini nyata sekali,” ucap dia.Zuhdi menilai pemerintah baru saat ini memiliki perangkat yang cukup banyak lewat berbagai kementerian terkait untuk mengkaji mudarat penggunaan medsos bagi anak.“Apalagi sekarang kan kementerian yang menangani pendidikan sudah dipecah dengan wakil-wakil kementerian cukup banyak ya. Artinya ini bisa juga bagian-bagian dari kementerian pendidikan secara khusus mengkaji masalah-masalah itu. Saya berharap seperti itu,” kata dia.Selain melalui aturan, dia menegaskan keluarga tetap memiliki peran krusial dalam mengontrol penggunaan gawai di kalangan anak atau remaja sehingga mereka terhindar dari paparan konten negatif, termasuk kampanye judi online.PWNU DIY, kata Zuhdi, telah getol mengingatkan masyarakat ihwal bahaya serius judi online di berbagai kesempatan, baik lewat pengajian maupun kegiatan atau pertemuan warga NU di provinsi ini.“Dampak merugikannya sudah sangat nyata, baik ekonomi, kemudian yang paling rusak ini kan mental ya, mental warga, mental masyarakat, akhlak hilang, dan banyak hal-hal negatif lain, termasuk rumah tangga juga banyak yang hancur,” ujar dia.[]sumber: ANTARA
Hidayatullah.com
Pakar: Media Sosial jadi Ajang Predator Seks Anak
Hidayatullah.com—Kurangnya kontrol ketat dari operator media sosial (medsos) membuat platform tersebut menjadi sarang kegiatan pedofilia yang menyasar anak-anak dan remaja yang naif terhadap keselamatan dirinya sendiri sebagai korban.Dengan kemudahan komunikasi dan aksesibilitas yang tinggi, para penjahat ini mampu menyamar sebagai individu yang dapat dipercaya dalam membangun hubungan dan memanipulasi korban dengan mudah.Analis kejahatan asal Malaysia, Kamal Afandi Hashim mengatakan, selain media sosial, game online juga menjadi titik terpenting para pelaku kejahatan untuk pemuas nafsu para predator seks.“Awalnya pelaku ini sedang bermain game online dengan korban, lalu memintanya untuk mengirimkan beberapa gambar sebagai awal dari ‘persahabatan’.Seiring berjalannya waktu, tersangka mulai ‘membunyikan klakson’ dengan meminta foto PAP (Post a Picture) telanjang korban dan mengancam akan memberi tahu orang tuanya bahwa dia telah membagikan foto jelek tersebut kepada orang lain,” ujarnya saat dihubungi Utusan Malaysia (UM).Selain itu, para pedofil rela mengubah tangkapan layar foto anak-anak menjadi ‘benda’ telanjang dengan menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) hanya untuk memuaskan hasrat jahatnya.Pakar keamanan siber dari Universitas Kuala Lumpur (UniKL), Dr. Syafiza Mohd. Shariff mengatakan dalam hal ini, pengembang media sosial harus menetapkan aturan untuk tidak mengizinkan tangkapan layar gambar pengguna mana pun.“Kami khawatir ketika gambar anak-anak kami digunakan untuk memuaskan nafsunya dan beberapa tahun kemudian menjadi jejak digital yang dapat diregenerasi oleh pengguna lain.“Hal ini akan berdampak sangat besar bagi para korban, terutama anak-anak, dan akan mengganggu kesehatan mental mereka ketika foto aslinya diubah menjadi foto bugil yang ‘segar’ di ingatan orang yang melihatnya,” ujarnya.Dia menambahkan bahwa sebelum memposting foto apa pun di media sosial, pengguna harus memastikan bahwa mereka tidak mengunggah apa pun yang dapat mengungkapkan detail pribadi dan keluarga.“Misalnya foto anak berseragam sekolah yang memperlihatkan logo sekolah atau plat nomor kendaraan. Pastikan diburamkan terlebih dahulu sebelum diposting.Sebab, para pedofil akan melakukan segala pencarian terkait anak yang menjadi korbannya, termasuk mencari nama-nama profil media sosial individu tersebut, ujarnya.Senada, Wakil Ketua Kelompok Kerja Keamanan, Kepercayaan dan Privasi, Forum Standar Teknis Malaysia Berhad (MTFSB), Prof. Dr. Shahrulniza Musa mengatakan orang tua harus mendidik anak-anaknya sebelum mulai menggunakan media sosial.“Sebagian permasalahannya mungkin disebabkan oleh kurangnya pengawasan orang tua, namun itu bukan satu-satunya faktor. Pendidikan dan kesadaran akan keamanan siber juga memerlukan peran sekolah dan masyarakat.“Selain itu, platform media sosial juga perlu bertanggung jawab dengan menyediakan alat dan panduan keselamatan yang efektif bagi pengguna muda,” ujarnya.Menurutnya, semua pihak termasuk pemerintah, perusahaan teknologi, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menjadikan internet sebagai tempat yang lebih aman.Sementara itu di Kuala Lumpur, Menteri Komunikasi Fahmi Fadzil mengatakan pemerintah tidak akan berkompromi lagi dengan Meta, apalagi melibatkan penipu dan pedofilia yang merajalela di media sosial.Menurut dia, dari hasil diskusi dengan Meta kemarin sore, kejahatan yang melibatkan pedofilia masih belum bisa ditindak oleh pihak dan pemerintah tidak bisa lagi memberikan waktu kepada Meta.“Meta sudah meminta pemerintah memberinya waktu lebih, tapi kami tidak bisa menunggu, dan kami tidak bisa berkompromi lagi.“Kami sudah bertemu Meta sejak awal tahun dan klaim bahwa kami belum pernah bertemu Meta dalam hal ini adalah tidak benar,” ujarnya dalam jumpa pers bersamaan dengan Open House Deepavali Madani di Depo Sentul di sini, kemarin.Fahmi menambahkan, Meta kerap memberikan berbagai alasan dan tidak menindak pelaku kejahatan.“Dia sudah tahu saya ke Singapura untuk berdiskusi dengan mereka. Meta akan memberikan segala macam alasan tapi bagi saya, keselamatan warga Malaysia, terutama anak-anak dan keluarga, tidak bisa dikompromikan,” tegasnya.Kemarin, dalam pertemuannya dengan Meta, Fahmi mengaku sempat menegur partai tersebut karena masih gagal menangani tindak pidana pedofilia dan pelecehan seksual, khususnya di platform Facebook.“Meta harus jauh lebih proaktif dalam melawan kelompok-kelompok di akun media sosial Meta media sosial, termasuk penipuan (scamming), perjudian online, cyberbullying, dan kejahatan seksual terhadap anak-anak.“Namun, saya berkomitmen untuk mendengarkan pandangan semua platform media sosial, karena lisensi yang akan dikenakan adalah lisensi kelas,” katanya.Selain itu, lisensi tersebut berlaku untuk semua platform yang memenuhi persyaratan, termasuk yang memiliki setidaknya delapan juta pengguna di Malaysia.Dia mengatakan Meta telah setuju untuk memberikan umpan balik tentang draf Kode Etik yang diterbitkan pada 22 Oktober dan akan mengadakan diskusi lebih lanjut dengan Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia (MCMC) awal minggu depan untuk memeriksa beberapa aspek secara lebih rinci.Pedofilia merupakan gangguan mental, tepatnya kelainan seksual. Pedofilia adalah ketertarikan seksual pada anak prapubertas.*
Hidayatullah.com
Habiskan Waktu di Medsos, Menyebabkan Seseorang Cenderung Anti-Sosial
Semakin banyak waktu dihabiskan di platform media sosial, menyebabkan orang kurang terisolasi dan kurang bersosialisasi di kehidupan nyataHidayatullah.com | BERAPA lama waktu dibutuhkan orang ‘bercengkrama’ dengan media social (medsos)?. Laporan “Digital 2024: Indonesia” yang dirilis oleh We Are Social, warganet Indonesia menghabiskan waktu hingga 7 jam 38 menit per hari untuk internetan.
Durasi ini tercatat berkurang 1% atau 4 menit dari tahun sebelumnya. Dari banyaknya waktu yang dihabiskan untuk menggunakan internet, media sosial adalah layanan yang paling sering dibuka setiap harinya.
Pada tahun 2024, orang Indonesia menghabiskan rata-rata 3 jam 11 menit di media sosial setiap harinya. Durasi ini bisa terbilang cukup tinggi mengingat waktu rata-rata global untuk menggunakan media sosial hanya 2 jam 31 menit.
Alasan utama orang Indonesia banyak menghabiskan waktu untuk bermain media sosial adalah untuk mengisi waktu luang. Orang Indonesia juga merasa membutuhkan media sosial agar tetap terhubung dengan teman dan keluarga serta untuk melihat apa yang sedang dibicarakan.
Jika rata-rata orang di seluruh dunia menghabiskan hampir dua setengah jam per hari di media sosial, bagaimana hal itu memengaruhi mereka?
Forbes menyebut Generasi Z (mereka yang lahir antara tahun 1997 dan 2012) sebagai “generasi pertama Digital Natives sejati,” yang berarti mereka tidak mengenal dunia tanpa teknologi internet.
Gen Z tumbuh dengan memiliki atau berada di sekitar komputer, ponsel pintar, akses internet, dan media sosial. Sekitar 98% Gen Z memiliki telepon pintar, menurut Forbes.
Medsos dan perilaku anti-sosial
Menurut berbagai laporan, baik Gen Z atau Generasi Milenial menghindari panggilan telepon dan lebih memilih obrolan media sosial atau email.
Survei tahun 2022 menemukan bahwa 57% Gen Z lebih suka dihubungi oleh merek melalui email. Media sosial adalah metode penjangkauan kedua yang disukai, yaitu sebesar 44%. (Statista)
Banyak hasil survei menunjukkan Generasi Milenial dan Gen Z menghabiskan lebih banyak waktu di platform media sosial, menyebabkan mereka kurang bersosialisasi di kehidupan nyata.
Studi yang dilakukan oleh Flashgap, dengan aplikasi berbagi foto dengan lebih dari 150.000 pengguna, menemukan bahwa 87 persen Generasi Milenial mengaku kehilangan percakapan (tatap muka) karena mereka teralihkan oleh ponsel mereka.
Sementara itu, 54 persen mengatakan mereka mengalami rasa takut kehilangan jika tidak mengecek jejaring sosial.
Hampir 3.000 peserta ditanyai tentang perasaan mereka terhadap media sosial dalam lingkungan sosial, dan menemukan bahwa pelaku yang paling bersalah sering kali adalah perempuan.
Studi tersebut menemukan 76 persen perempuan mengecek platform media sosial sedikitnya 10 kali saat keluar bersama teman, dibandingkan dengan 54 persen laki-laki.
Aplikasi yang paling sering digunakan di lingkungan sosial di kalangan Generasi Milenial dan Gen Z adalah Snapchat, Tinder, Facebook, Messenger dan Instagram.
Julian Kabab, salah satu pendiri FlashGap mengatakan terlalu berlebihan dan hanya fokus melihat media sosial dapat merugikan mereka dalam hal interaksi social (kehidupan nyata).
“Orang-orang tidak menghadiri pesta karena mereka ingin melihat apa yang sedang terjadi di jejaring sosial, mengambil foto selfie yang indah, dan menambahkan filter pada foto mereka,” katanya kepada CNBC.
Temuan FlashGap tahun 2014 menunjukkan bahwa ponsel semakin merusak interaksi pribadi.Laporan Virginia Tech University mengatakan bahwa “kehadiran teknologi seluler berpotensi mengalihkan individu dari interaksi tatap muka, sehingga merusak karakter dan kedalaman hubungan ini.”
Penelitian juga menunjukkan bahwa banyak orang yang menghabiskan banyak waktu di media sosial setidaknya dua kali lebih mungkin merasa terisolasi secara sosial.
Masalahnya, penggunaan medsos berlebihan menyebabkan semakin sedikitnya waktu untuk berinteraksi di dunia nyata.
“Ketika seseorang menghabiskan semakin banyak waktu di media sosial, mereka terputus dari kehidupan nyata dan merasa kurang terhubung dengan diri mereka sendiri,” kata Shannon Poppito, PhD, psikolog klinis dan staf medis di Baylor University Medical Center di Dallas.
Departemen Komunikasi Massa di Lahore College for Women University (LCWU), Lahore, Pakistan, melakukan studi yang menyelidiki peran media sosial dalam menciptakan perilaku antisosial di antara pengguna medsos yang aktif.
Para peneliti melakukan survei untuk memahami perbedaan antara kepribadian nyata dan virtual para pengguna medsos dengan melibatkan 256 mahasiswa — berusia 17 hingga 25 tahun — yang terdaftar di berbagai universitas di Lahore.
Dengan melakukan uji chi-square, penelitian berjudul: “Identitas Nyata vs. Identitas Virtual: Analisis Kontemporer tentang Perpindahan Sosial yang Mempercepat Perilaku Antisosial di Kalangan Pemuda” ini menyimpulkan bahwa penggunaan media sosial yang lebih tinggi membuka jalan bagi para pengguna untuk terisolasi dari dunia nyata — menunjuk pada keterasingan dari pertemuan sosial.
Hasil kajian ini menunjukkan bahwa seorang individu haruslah menjaga keseimbangan antara identitas nyata dan virtual (termasuk penggunaan medsos).*
Hidayatullah.com
Pengamat: Sumber Maraknya Judi Online Dipengaruhi Influencer
Hidayatullah.com— Iklan-iklan judi online (judol) hingga saat ini masih marak di berbagai platform medsos di Indonesia. Iklan judol itu paling banyak dipublikasikan oleh akun-akun influencer di medsos dengan jumlah pengikut yang banyak.Pernyataan tegas itu, diungkapkan oleh Pengamat Medsos Enda Nasution. Peningkatan iklan judol kini melalui endorsement memanfaatkan pihak ketiga untuk mempromosikannya.
“Iklan judi online sering muncul melalui endorsement akun-akun dengan banyak pengikut. Meski ada aturan ketat, sejumlah akun non-selebriti atau influencer tetap mempromosikan judi online, yang sering disamarkan sebagai games,” ucap Enda dalam wawancara bersma PRO3 RRI, Rabu (23/10/2024)
Ia menekankan, tanggung jawab besar berada pada si pengguna medsos. Meski, platform sudah menyediakan fitur untuk memblokir atau melaporkan iklan-iklan ilegal.
“Yang paling gampang jangan kemudian lihat iklan terus ikut melakukan video online-nya. Pentingnya kesadaran masyarakat, menyatakan bahwa tanggung jawab pribadi,” ujarnya.
Endorse atau endorsement adalah istilah yang sudah tidak asing saat ini dalam dunia pemasaran atau promosi. Endorse sudah jadi bagian dari promosi suatu produk/jasa, sering dikaitkan dengan kelompok selebgram atau influencer di media sosial.*
Hidayatullah.com
Banyaknya Gangguan Mental Remaja Singapura Dikaitkan Penggunaan Medsos Berlebihan
Hidayatullah.com—Penggunaan media sosial yang berlebihan merupakan salah satu dari tiga faktor yang terkait dengan gejala kesehatan mental di kalangan remaja, menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Institute of Mental Health (IMH).Kaum muda yang menghabiskan lebih dari tiga jam sehari di media sosial lebih mungkin mengalami gejala depresi, kecemasan dan/atau stres, menurut IMH dan National Healthcare Group (NHG) dalam rilis media belum lama ini.
Dua faktor lain yang terkait dengan gejala ini adalah pengalaman cyberbullying dan kekhawatiran sedang hingga berat terhadap bentuk tubuh.
Kecemasan terhadap bentuk tubuh didefinisikan dalam penelitian ini sebagai memiliki citra tubuh negatif dan kekhawatiran berlebihan terhadap bentuk tubuh yang umumnya dikaitkan dengan gangguan makan.
“Sekitar 1 dari 3 anak muda berusia antara 15 dan 35 tahun di Singapura melaporkan gejala depresi, kecemasan, dan/atau stres yang parah atau sangat parah,” kata IMH dan NHG.
“Penting untuk dicatat bahwa gejala kesehatan mental yang parah atau sangat parah yang dilaporkan dalam penelitian ini belum tentu mengindikasikan adanya gangguan mental,” tambah IMH dan NHG.
Hasil penelitian yang dilaporkan tersebut berasal dari temuan kelompok pertama Survei Kesehatan Mental Remaja Nasional yang dimulai pada tahun 2022 untuk menilai kesehatan mental warga Singapura berusia 15 hingga 35 tahun.
Studi tersebut melibatkan wawancara terhadap 2.600 anak muda antara Oktober 2022 dan Juni 2023 dan hasilnya mencerminkan populasi anak muda Singapura, kata IMH dan NHG.
Hal ini dilakukan bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan (MOH), Centre of Excellence for Youth Mental Health dan Saw Swee Hock School of Public Health di National University of Singapore (NUS).
Menurut hasil penelitian, kecemasan adalah masalah kesehatan mental yang paling umum terjadi di kalangan anak muda Singapura, dengan sekitar 27 persen remaja melaporkan gejala yang parah atau sangat parah pada minggu sebelum survei dilakukan.
Gejala kecemasan meliputi perasaan khawatir, gelisah, dan gelisah hampir sepanjang waktu.
Sekitar 1 dari 7 remaja melaporkan mengalami gejala depresi berat atau sangat parah, termasuk perasaan sedih, kesepian, dan kurang minat serta kenikmatan dalam beraktivitas sepanjang waktu.
Tingkat stres yang parah hingga sangat parah dilaporkan oleh 12,9 persen remaja di Singapura. Gejala-gejala ini termasuk tidak bisa rileks atau merasa kesal atau mudah tersinggung sepanjang waktu.
Sekitar 27 persen remaja juga ditemukan menggunakan media sosial secara berlebihan.
Mereka yang melakukan hal tersebut memiliki kemungkinan 1,5, 1,3, dan 1,6 kali lebih besar untuk mengalami gejala depresi, kecemasan, dan stres yang parah atau sangat parah, kata IMH dan NHG.
Orang-orang muda dengan masalah citra tubuh sedang hingga berat memiliki kemungkinan 4,9, 4,3, dan 4,5 kali lebih besar untuk mengalami gejala depresi, kecemasan, dan stres yang parah atau sangat parah.
Korban cyberbullying dua kali lebih mungkin mengalami gejala masalah kesehatan mental ini.
Associate Professor Swapna Verma, ketua dewan medis IMH, menyatakan bahwa meskipun tidak semua orang yang mengalami gejala depresi atau kecemasan memiliki kondisi klinis, namun berada dalam kondisi seperti itu dalam jangka waktu yang lama dapat berdampak buruk pada kesejahteraan mereka. .
“Anak muda saat ini sedang bergelut dengan permasalahan unik yang tidak dialami oleh generasi sebelumnya,” ujarnya.
“Media sosial memaparkan mereka pada perbandingan terus-menerus, sehingga meningkatkan kekhawatiran mengenai citra tubuh,” katanya.
Dunia siber juga telah menciptakan perundungan siber, yang menambah dimensi baru terhadap pelecehan yang bersifat terus-menerus dan meluas.
Associate Professor Mythily Subramaniam, asisten ketua dewan medis (penelitian) IMH, mengatakan tiga faktor terkait dapat dikaitkan satu sama lain.
“Jumlah waktu yang dihabiskan anak muda di media sosial juga dapat dikaitkan dengan cyberbullying dan keduanya dapat menyebabkan masalah citra tubuh,” katanya.
“Penelitian kami, seperti penelitian lainnya, menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan merupakan masalah kesehatan masyarakat dan berdampak signifikan terhadap kesehatan mental remaja.”
Karenanya, penting bagi generasi muda, orang tua, dan pendidik untuk memperhatikan masalah ini, mengenali tanda-tanda awal stres dan mengembangkan batasan yang sehat, ujarnya.* (CNA)