Tag:
Ibrah
Islampos.com
Cara Imam Hanafi Berdagang
ABU Hanifah yang dikenal sebagai Imam Hanafi adalah seorang pedagang pakaian. Setiap pagi, sebelum tokonya dibuka, beliau senantiasa menyortir barang dagangannya. Dipisahkan mana pakaian yang baik dengan pakaian yang buruk, pakaian yang cacat dan mana pakaian yang tidak cacat.Semua pakaian itu dipisah-pisahkan tempatnya. Selanjunya pakaian yang cacat diberi potongan harga 50% dari harga normal dan di tempatkan terpisah dari pakaian yang masih baik.BACA JUGA: Sikap Imam Hanafi terhadap Para PendengkinyaSuatu hari Imam Hanafi pergi untuk berdakwah. Tokonya dititipkan pada pedagang di toko sebelahnya dengan memberikan pesan agar tidak ada pembeli yang tertipu.Ketika kembali dari dakwahnya, rupanya barang yang cacat dijual dengan harga yang normal. Akibatnya Imam Hanafi menjadi gundah.“Bukankah sudah kukatakan, barang-barang yang dipisahkan itu cacat dan dihargai 50% dari harga normal? tanya Imam Hanafi.“Benar, kau telah menyatakan, tetapi aku lupa,” jawab orang yang dititipinya.Maka Imam Hanafi menanyakan alamat orang yang membeli pakaian yang cacat itu untuk dikembalikan lebihnya. Tapi rupanya pedagang yang dititipi tidak menanyakan alamat orang yang membeli. Maka ditanyakanlah ciri-cirinya.BACA JUGA: Imam Hanafi atau Imam Maliki, Siapa yang Lebih Berilmu? Ini Jawaban Imam Syafi’iSelanjutnya sang Imam mencari orang itu di sekeliling kota, namun tidak ditemukan. Maka uang penjualan pakaian yang cacat itu diinfakkannya semua.Sejak peristiwa itu Imam Hanafi tidak lagi mau menitipkan barang dagangannya kepada orang lain karena khawatir kejadian yang sama akan terulang kembali. []Sumber: Moralitas Islam Dalam Ekonomi dan Bisnis/ Penerbit: Dr. Yan Orgianus / Penerbit: Akbarmedia,2012
Islampos.com
Ketika Harun al-Rasyid Menangkap Seorang yang Rusak Akidahnya
DIRIWAYATKAN oleh Imam Ibnu Asakir dari Ibnu Aliyah, ia berkata, “Harun al-Rasyid menangkap seorang zindiq (yang rusak akidahnya). Ia memerintah agar si zindiq ini dipenggal. Si zindiq ini berkata kepada Harun, “Engkau tidak akan memenggal kepalaku.” “Aku akan membuat orang-orang terhenti dari ulah burukmu”, jawab Harun.Si Zindiq ini berkata lagi:فأين أنت من ألف حديث وضعتها على رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم كلها ما فيها حرف نطقب“Apa yang bisa kau lakukan terhadap 1000 hadits yang telah kupalsukan atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Semua hurufnya telah terucapkan.”BACA JUGA: Ibadahnya Harun Al-RasyidIa menakuti Harun, kalau dia mati siapa yang bakal menunjukkan hadits-hadits palsu yang telah beredar itu. Karena dia yang membuat, dia pulalah yang tahu mana ucapan-ucapannya.Tapi Harun al-Rasyid tidak menggubris tawarannya. Dengan percaya diri ia menjawab,فأين أنت يا عدو الله من أبى إسحاق الفزارى وعبد الله بن المبارك ينخلانها فيخرجانها حرفا حرف“Apakah kau tidak tahu wahai musuh Allah tentang keahlian Abu Ishaq al-Fazari dan Abdullah bin al-Mubarak? Mereka akan menelitinya dan menilainya huruf per huruf.”Atas sikapnya tersebut, para ulama memuji Khalifah Harun al-Rasyid atas keadilannya dan keshalehannya.Salah satunya, Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata,ما من نفس تموت أشد علي موتا من أمير المؤمنين هارون ولوددت أن الله زاد من عمري في عمرهBACA JUGA: Siapa Khalifah Harun al-Rasyid?“Tak ada seorang pun yang kematiannya lebih kutangisi dibanding kematian Amirul Mukminin Harun. Aku berandai kalau Allah mengambil jatah usiaku untuk ditambahkan pada usianya.”Murid-murid Fudhail bin Iyadh berkata, “Kami menganggap bahwa ucapan beliau hanya sanjungan berlebihan terhadap Harun al-Rasyid. Ketika Harun wafat. Kemudian muncullah fitnah. Khalifah al-Makmun menyebarkan pemahaman khalqul quran di tengah masyarakat. Kami pun berkata, ‘Guru kita sangat paham terhadap apa yang ia ucapkan’.” []
Islampos.com
Habib Ahmad al-Bahr dan Ayamnya
DI kawasan Pethek, Semarang Utara, dahulu dikenal ada seorang bernama Habib Ahmad al-Bahr. Ia dikenal sebagai ahli ibadah yang zuhud (tidak cinta dunia) dan wira’i (sangat hati-hati).
Dalam mencari harta, Habib Ahmad amat selektif. Ia benar-benar mesti memastikan harta tersebut—terutama yang hendak ia makan—berasal dari sumber yang halal seratus persen.
BACA JUGA: Siapa Habib Umar bin Hafidz, Ulama dari Yaman?
Tiap makanan yang masuk ke dalam perut harus betul-betul bisa dipertanggungjawabkan kehalalannya.
Dalam al-Qur’an, Allah subhânahu wa ta’alâ berfirman:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh.” (QS Al-Mu’minun: 51)
KH Muhammad Shofi Al-Mubarok Baedlowie, pengasuh Pesantren Sirojuth Tholibin, Brabo, Grobogan, Jawa Tengah menyatakan, dalam ayat ini para utusan Allah disuruh untuk mengonsumsi makanan yang baik-baik, kemudian kalimat setelah itu dikatakan, mereka disuruh beramal baik.
Kenapa dua jenis kegiatan ini diperintah secara beruntun? Ya, karena orang yang makannya baik, otomatis akan ringan mengerjakan kebaikan. Sebaliknya, apabila yang dimakan harta haram, ia akan berat melaksanakan amal kebaikan.
Habib Amin bin Abdurrahman al-Athas yang didampingi Habib Salim bin Ahmad al-Bahr (putra kandung Habib Ahmad al-Bahr) mengisahkan sebagian sikap hati-hati Habib Ahmad al-Bahr itu.
Riwayatnya, Habib Ahmad tidak pernah berkenan makan dari harta yang tidak jelas. Ia lebih memilih, terutama harta yang dibuat makan adalah hasil keringat yang jelas asal-usulnya, yaitu dari penjualan telur ayam yang ia pelihara.
Suatu ketika, secara tidak sengaja, ayam yang ia pelihara di dalam kandang tersebut ada yang lepas dan kemudian memakan gabah padi milik tetangga yang sedang dijemur.
Mengetahui demikian, Habib Ahmad lalu segera mendatangi pemiliknya kemudian meminta agar gabah yang dimakan ayamnya tadi dihalalkan. “Mohon maaf, tadi ayam saya memakan gabah milik anda, saya minta halal ya…”
Foto: Aldi/Islampos
Begitu kira-kira kata Habib Ahmad. Habib Ahmad berpedoman, uang dari hasil penjualan telur harus halal. Apabila ayam yang bertelur ini mengonsumsi makanan yang tidak halal, tentu akan berimbas terhadap kehalalan telur yang dihasilkan dari ayam tersebut.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda Ka’b ibn ‘Ujzah sebagai berikut:
إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari harta haram. Neraka lebih layak baginya.” (Musnad Ahmad: 13919)
BACA JUGA: Perbedaan Habib dan Syekh
Dengan demikian, kita dapat mengambil pelajaran bahwa mencari harta memang butuh kesungguhan. Jangan terkecoh dengan jargon “Mencari harta yang haram saja sulit, apalagi yang halal.”
Rezeki yang halal haruslah dicari dengan berpegang prinsip hati-hati.
Sesungguhnya tidak ada makhluk melata mana pun yang masih ditakdirkan hidup oleh Allah, akan mati kelaparan. Karena rezeki mereka di bawah tanggung jawab-Nya. Wallahu a’lam. []
SUMBER: NU ONLINE
Islampos.com
Orang-orang Shaleh dan Makanan Haram
ABU Bakar dan Makanan Haram
Seperti biasanya, Abu Bakar As Shiddiq Radhiyallahu ’Anhu menyuruh budak laki-lakinya, mengambil uang upah untuk beliau. Saat itu, Si Budak usai mengambil upah dan Abu Bakar menggunakannya untuk membeli makanan.
Setelah semuanya dihabiskan, tak lama kemudian, Si Budak mengakan, ”Anda tahu, apa yang telah Anda makan?”
Abu Bakar menjawab,”Apa?”
Si Budak mengatakan, ”Di masa jahiliyah saya telah melakukan ramalan untuk seseorang, akan tetapi saya menipunya, dan ia mendatangiku dengan memberi sesuatu, yakni barang yang telah Anda makan itu.”
Mendengar ucapan Si Budak, Abu Bakar segera memasukkan jarinya ke kerongkongan, hingga beliau memuntahkan seluruh isi perutnya.
BACA JUGA: Pengaruh Makanan Haram pada Doa
Sebagaimana disebutkan Al Bukhari dalam Bab Al Manaqib, Abu Bakar mengatakan, ”Celakalah engkau! Hampir saja engkau mencelakakanku! Aku takut kalau dagingku tumbuh karena harta haram ini. Bagaimana bisa aku melakukan hal itu, sedangkan aku telah mendengarkan Rasulullah ﷺ bersabda,”Sesungguhnya daging tidak akan tumbuh dari harta haram, kecuali Neraka lebih utama untuknya.”
Riwayat lain yang dibawakan Abu Nuaim disebutkan, bahwa Abu Bakar mengatakan, ”Kalau seandainya tidak keluar (makanan haram itu), kecuali bersama nyawaku, niscaya akan aku tetap mengeluarkannya.”
Umar bin Khattab Bakar dan Makanan Haram
Diriwayatkan juga, bahwa Umar bin Al Khathab melakukan hal serupa dengan apa yang telah dilakukan Abu Bakar. Sebagaimana disebutkan Al Baihaqi dalam Syu’ab Al Iman, bahwa beliau meminum segelas susu, hingga beliau merasa takjub dengan rasanya, hingga beliau bertanya kepada si pemberi, dari mana ia memperoleh susu itu. Ia menjawab bahwa susu itu diambil dari onta sedekah.
Setelah mengetahui demikian, Umar segera memasukkan jarinya ke dalam kerungkongan, supaya apa yang telah ditelannya termuntahkan.
Fudhail bin Iyadh dan Makanan Haram
Di masa tabi’in , ada salah seorang yang selalu menjaga dirinya dari makanan haram, beliau tidak lain adalah Fudhail bin Iyadh. Karena sangat takutnya memakan barang haram, Bishr Al Hafi, seorang syeikh zuhud menyebutnya, bahwa bagi tabi’in ini makan tanah lebih baik daripada memasukkan barang haram dalam perutnya, sebagaimana disebut Ibnu Hajar dalam Tahdzib At Tahdzib (8/296).
Foto: Unsplash
Ibrahim bin Adham dan Makanan Haram
Tidak hanya menghindari barang haram, terhadap barang yang subhat pun para salaf menjaga diri. Al Qasthalani dalam Irsyad As Sari (1/191) menyebutkan bahwa tabi’in Ibrahim bin Adham memilih hidup dalam kelaparan, dengan mengembalikan upah yang telah beliau peroleh, karena beliau ragu apakah telah menunaikan amanah (pekerjaan) yang dipikulkan kepadanya atau tidak.
Istri Para Tabiin dan Makanan Haram
Para istri yang hidup di tiga zaman (sahabat, tabi’in dan atba’ tabi’in ) mempunyai tradisi tersendiri. Jika para suami mereka hendak keluar mencari rezeki, mereka terbiasa mengucapkan,”Takutlah kepada Allah terhadap kami dan janganlah memberi makan kami dari barang haram, sesungguhnya kami masih bisa sabar terhadap kelaparan, akan tetapi kami tidak akan tahan terhadap siksa neraka.” (Sebagaimana disebutkan Al Ghazali dalam Al Ihya, di akhir Bab Nikah).
Ibnu Sirin, seorang tabi’in senior, jika melepas kepergian seseorang dia mengatakan, “Takutlah kepada Allah, dan carilah rezeki halal yang telah ditetapkan kepadamu. Jika engkau mengambilnya dari sesuatu yang haram, maka itu tidak akan menambah jumlah rezeki yang telah ditetapkan Allah kepadamu.” [Disebutkan dalam At Thabaqat Al Kubra (7/201)].
Al Muhasibi dan Makanan Haram
Adalah Al Muhasibi, ulama zuhud yang wafat pada tahun 243 H, yang sejak kecil sudah menjaga agar jangan sampai makanan haram atau subhat masuk ke dalam perutnya.
Disebutkan dalam Al Anba Nujaba’ Al Abna (hal.148) ulama yang memiliki nama panjang Abu Abdullah Al Harits bin Asad Al Muhasibi Al Bashri ini, pada waktu masih berusia kanak-kanak pernah berjalan melalaui sekelompok anak-anak yang sedang bermain di depan pintu penjual kurma, ia perhatikan anak-anak itu bermain.
Tidak lama kemudian, pemilik rumah keluar dengan membawa beberapa butir kurma, dangan mengatakan kepada Harits, ”Makanlah kurma ini.”
Harits tidak langsung mengiyakan, akan tetapi ia malah bertanya, ”Dari mana asal kurma ini?”.
Si Penjual kurma menjawab, ”Aku baru saja menjualnya kepada seseorang, lalu berjatuhanlah kurma yang telah ia beli.”
Harits kembali bertanya, ”Apakah engkau mengetahuinya?”
Si penjual itu kembali menjawab, ”Iya.”
Setelah mendengar jawaban itu, Harits segera pergi menuju sekumpulan anak-anak yang sedang bermain, dan bertanya, ”Apakah orang ini Muslim?”
Mereka menjawab, ”Iya.”
Memperoleh jawaban demikian, Harits pergi menjauh meninggalkan Si Pembeli itu.
Si Penjual kurma mengikutinya, sampai akhirnya ia menahan Harits. ”Jangan pergi, sebelum engkau menjelaskan, kenapa engkau berbuat demikian?”
BACA JUGA: Makanan Haram yang Menghalangi Qiyaamulail
Harits menjawab, “Wahai Syeikh, carilah pembeli kurma tadi, dan serahkan barang yang telah ia beli, sebagaimana engkau membutuhkan air, di saat engkau menderita kehausan yang amat sangat. Wahai Syeikh, Anda telah memberi makan kepada anak-anak Muslim dengan barang haram, padahal engkau Muslim?”
Si Penjual akhirnya mengatakan, ”Demi Allah, aku tidak akan berdagang hanya untuk mencari dunia selamanya.”
Ibnu Hamid Al Waraq dan Makanan Haram
Seorang ulama Madzhab Hambali bernama Ibnu Hamid Al Waraq melakukan perjalanan haji tahun 402 hijriah. Saat itu beliau kehabisan perbekalan di tengah perjalanan.
Tidak ada makanan dan minuman yang tersisa, hingga beliau tak mampu melakukan perjalanan dan terjatuh. Seorang laki-laki mendatangi beliau dengan membawa sedikit air, dan beliau saat itu hanya bisa bersandar pada sebuah batu dalam keadaan hampir “sekarat”.
Ibnu Hamid, dalam keadaan yang amat payah bertanya kepada Si Pembawa air. “Dari mana air itu diperoleh? Dan bagaimana cara mendapatkannya?”
Si Pembawa air terkejut, dan menjawab, “Dalam keadaan seperti ini engkau masih bertanya masalah itu?”
Akhirnya ulama yang sudah sepuh itu mengatakan, ”Justru inilah waktunya, saat bertemu kepada Allah, saya memerlukan jawaban, dimana ia berasal?”
Akhirnya, Ibnu Hamid Al Warraq wafat saat beliau pulang dari haji tahun 403 hijriah, satu tahun setelah peristiwa tersebut. Kisah ini disebutkan dalam Thabaqat Al Hanabilah (2/177), oleh Qadhi Ibnu Abi Ya’la.
Sayidah Badi’ah Al Ijiyah dan Makanan Haram
Al Qasthalani, Irsyad As Sari (1/191) juga menyebutkan kisah mengenai Sayidah Badi’ah Al Ijiyah, yang hidup di masa beliau (abad ke 10 hijriah) yang tinggal di Makkah. Saat itu, sudah 30 tahun beliau menghindari makan buah-buahan dan daging yang berasal dari wilayah Bajilah, karena mendengar kabar bahwa penduduk wilayah itu tidak memberikan warisan kepada anak-anak perempuan.
Beliau takut, jangan-jangan hewan dan buah-buahan itu termasuk hak para anak perempuan, yang tidak diberikan. Dikabarkan juga, bahwa ayah beliau Nuruddin tidak memakan buah-buahan yang dihasilkan oleh kebun-kebun di Madinah, setelah mendapat kabar bahwa para pemiliknya enggan mengeluarkan zakat bagi kebun-kebun mereka.
Muhammad bin Said dan Makanan Haram
Disebutkan dalam Tarikh Baghdad (5/15) bahwa saat itu, Muhammad bin Sa’id, seorang ulama zuhud yang memiliki julukan Uqdah. Saat itu beberapa dinar jatuh dari ulama ini persis di gerbang rumah Abu Dar Al Khazzar.
Untuk mencarinya, beliau mengajak seoarang pengayak tepung. Akhirnya, beliau menemukannya, akan tetapi saat itu hatinya berkata, ”Apakah di dunia ini hanya ada dinarmu saja?”. Hingga akhirnya Uqdah meninggalkannya dan berkata kepada si pengayak,”Itu adalah tanggunganmu.”
Foto: Freepikmak
Imam An Nawawi menyebutkan dalam Tahdzib Al Asma wa Al Lughat (2/173) mengenai kahati-hatian Imam As Syairazi, yang hidup miskin dan papa. Suatu saat beliau singgah di sebuah masjid untuk memakan sesuatu.
Akan tetapi setelah meninggalkan masjid, beliau teringat bahwa uang satu dinar miliknya tertinggal. Akhirnya beliau kembali dan mendapati uang dinar itu berada di tempatnya, uang itu dibiarkan saja dan beliau meninggalkannya sambil berkata, ”Mungkin uang dinar ini jatuh dari orang lain, dan bukan dinarku.”
Abu Hanifah dan Makanan Haram
Imam Abu Hanifah, sebagaimana disebutkan Ar Quraifish dalam Ar Raudh Al Faiq (hal. 215) bahwa Abu Hanifah menahan diri tidak memakan daging kambing, setelah mendengar bahwa bahwa ada seekor kambing dicuri. Hal itu dilakukan beliau beberapa tahun, sesuai dengan usia kehidupan kambing pada umumnya.
BACA JUGA: Kenali Semua Jenis Makanan Haram dalam Islam, Agar Terhindar darinya
Imam An Nawawi, sebagaimana disebutkan dalam biografi beliau yang berjudul Al Minhaj As Saw’i, oleh Imam Suyuthi, adalah ulama yang ama berhati-hati terhadap makanan. Saat itu beliau enggan mengkonsumsi buah-buahan dari Damaskus, dengan alasan bahwa banyak tanah waqaf dan tanah yang dihajr (ditahan oleh hakim guna kemaslahatan). Dan dari ribuan bidang tanah hanya, hanya satu saja yang boleh digunakan secara syar’i. “Bagaimana hati saya bisa tenang (memakan buah-buahan)?” Jawab beliau, setelah menjelaskan alasan, mengapa beliau menghindari memakan buah dari Damaskus.
Demikian, usaha para salaf dan ulama agar terhindar dari makanan dan harta haram serta subhat, karena jika hal-hal yang diharamkan Allah sampai masuk ke dalam tubuh dan tumbuh menjadi daging, maka bisa berakibat amat fatal. Oleh sebab itu, kesengsaraan bahkan kematian lebih mereka cintai daripada harus mengkonsumsi makanan haram. []
SUMBER: HIDAYATULLAH
Islampos.com
Nasihat Ulama: Kunci Kebahagiaan menurut Syekh Ali At-Thanthawi
BAHAGIA identik dengan keadaan atau perasaan senang dan tenteram, bebas dari segala yang menyusahkan. Setiap manusia ingin mencapai sebuah kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Syekh Ali At-Thanthawi memberikan pandangannya terhadap hal itu.
Sebagai umat muslim, kebahagiaan bisa diraih dengan cara memohon kepada Allah swt. Selagi masih diberikan kesempatan hidup di dunia, manusia senantiasa melakukan kebaikan-kebaikan sebagai bekal nanti. Hidup yang bahagia ditentukan oleh ‘cara hidup’ kita sebagai manusia.
BACA JUGA: Nasihat Menggetarkan Jiwa dari Syekh Ali Thanthawi Rahimahullah
Syekh Ali At-Thanthawi rahimahullah dalam Fushul Ijtima’iyyah menerangkan, sumber bahagia itu berasal dari dalam diri seseorang itu sendiri, bukan datang dari luar dirinya.
فما هي السعادة؟السعادة اي سادة تأ تي من داخل النفس، ال تأ تي من خارج، آقول لكم ما السعادة في كلمة واحدة؟السعادة هي الرضا، فإاذا آردتم آن تكونوا سعداء فارضوا، إاذارضيت فأ نت سعيد، وكلما زادت طلباتك نقصت سعادتك
Artinya: Apa itu bahagia? Sumber bahagia itu ada dalam diri seseorang itu sendiri, bukan dari luar dirinya. Kukatakan kepada kalian apa kata kunci kebahagiaan? Kata kunci kebahagiaan adalah ridho [baca: puas, merasa cukup dan mencintai pemberian Allah]. Jika anda ingin bahagia ridholah dengan pemberian Allah. Jika anda ridha anda adalah orang yang berbahagia. Semakin anda banyak menuntut ingin ini dan itu kebahagiaan anda semakin berkurang.Dalam uraian di atas bisa diambil beberapa kata kunci kebahagian dapat kita ambil dan pelajari:
1. Bedakan dua hal, kunci kebahagian dan faktor pendukung hidup bahagia
2. Rumah nyaman, makanan enak, kasur empuk dan lain-lain adalah sekedar faktor pendukung kebahagian bukan kuncinya.
BACA JUGA: Nasihat Terindah yang Pernah Didengar oleh Syaikh Ali Musthafa Thanthawi
3. Kunci bahagia itu terletak dalam diri kita masing-masing, ridha dengan pemberian Allah dan tidak memaksakan diri untuk meraih sesuatu yang tidak Allah takdirkan untuknya.
4. Cintailah apa yang kita miliki niscaya kita mudah untuk bahagia
5. Mencintai apa yang dimiliki oleh lain adalah kiat efektif untuk sulit bahagia []
Islampos.com
Pembaca Quran yang Husnul Khatimah
ADA seorang pembaca Quran yang shalih dan membiasakan diri membaca Alquran al-Karim sebanyak sepuluh juz setiap hari. Pada suatu hari dia sedang membaca surat Yasin. Sehingga, ketika dia sampai pada ayat:
“Sesungguhnya aku kalau begitu pasti berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Yasin: 24)
Maka, ruh pembaca Quran ini melayang ke langit. Sahabat-sahabatnya yang ada di sekitarnya pun heran dan berkata, “Laki-laki ini adalah orang shalih, bagaimana mungkin hidupnya diakhiri dengan ayat ini:
BACA JUGA: Syafaat Quran bagi Pembacanya
“Sesungguhnya aku kalau begitu pasti berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Yasin: 24)
Setelah dia dimakamkan, seseorang yang shalih lainnya memimpikannya di dalam tidur. Dia berkata kepadanya, “Wahai Fulan! Hidupmu diakhiri dengan ayat:
“Sesungguhnya aku kalau begitu pasti berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Yasin: 24)
Bagaimana kondisimu sekarang di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala?” Lantas pembaca Quran menjawab, “Ketika kalian telah menguburkanku dan meninggalkanku, datanglah dua malaikat. Keduanya bertanya kepadaku dengan mengatakan, ‘Siapa Rabbmu?’ Lantas saya menyempurnakan bacaan surat tersebut. Saya pun menjawab:
“Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; maka dengarkanlah (pengakuan keimanan) ku.” (QS. Yasin: 25)
BACA JUGA: Inilah Pembaca Al-Quran Terbaik di Kalangan Umat Muhammad
Dikatakan:
“Masuklah ke surga.”
Pembaca Quran itu berkata:
“Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui. Apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan“. (QS. Yasin: 26-27) []
SUMBER: PUSAT STUDI ISLAM
Islampos.com
Rif’i bin Hirasy bin Jahsy Al-Ghathfani, Baru Tersenyum Setelah Meninggal Dunia
Rif’i bin Hirasy bin Jahsy Al-Ghathfani adalah salah seorang ahli ibadah dari kufah. Ibnu Jauzi menyebutkan bahwa ini dikenal sebagai orang yang jujur dan berazam untuk tidak pernah tertawa sepanjang hidupnya
Tentang kejujuran Rif’i bin Hirasy bin Jahsy Al-Ghathfani, Abdullah Al-Ijli berkata, “Ayah pernah bercerita kepadaku, ‘Sungguh, Rif’i bin Hirasy bin Jahsy Al-Ghathfani tidak pernah berdusta, sama sekali.’
BACA JUGA: Zirr bin Hubaisy Al-Asadi, Nasihatnya Membuat Khalifah Menangis
“Kebetulan dia memiliki dua putra yang membangkang dari Hajaj lalu Hajaj diberi laporan bahwa ayah keduanya tidak pernah berdusta, sekalipun.”
“Seandainya,” lanjut pelapor tersebut, “Anda mendatangi Rif’i bin Hirasy bin Jahsy Al-Ghathfani, lalu bertanya kepadanya tentang keduanya ia akan menjawab jujur.”
Di rumah Rif’i bin Hirasy bin Jahsy Al-Ghathfani, Hajaj bertanya, “Di mana kedua putranya?”
“Keduanya ada di rumah, ” jawab Rif’i bin Hirasy bin Jahsy Al-Ghathfani.
Hajaj kemudian berkata, “Aku telah memaafkan kedua putramu, berkat kejujuranmu.”
BACA JUGA: Mansyur bin Dzadzan, Kata-katanya Membuat Seorang Syekh Menangis
Adapun tentang azam untuk tidak tertawa Harist Al-Ghonawi mengisahkan, “Rif’i bin Hirasy bin Jahsy Al-Ghathfani berjanji untuk tidak pernah tertawa sampai dia tahu di manakah tempat tinggalnya: di Jannah ataukah di neraka.”
Mungkin karena kedua hal di atas, dan juga amal-amalan yang dimilikinya, jenazahnya tersenyum bahagia ketika dimandikan. Harist Al-Ghonawi kembali menuturkan, “Orang yang memandikan jenazah Rif’i bin Hirasy bin Jahsy Al-Ghathfani ini mengabarkan bahwa Rif’i bin Hirasy bin Jahsy Al-Ghathfani terus saja tersenyum di atas ranjangnya ketika sedang dimandikan. Ia tetap tersenyum hingga selesai pemandian.”
Semoga Allah merahmati Rif’i bin Hirasy bin Jahsy Al-Ghathfani dan juga kita. []
SUMBER: PUSAT STUDI ISLAM
Islampos.com
Mansyur bin Dzadzan, Kata-katanya Membuat Seorang Syekh Menangis
Berdasarkan beberapa kisah yang disebutkan oleh Ibnul jauzi, Mansyur bin Dzadzan adalah seorang budak (maula) yang menjadi ahli Alquran. Dalam sehari ya khatam Alquran sebanyak dua kali, satu kali pada waktu siang dan satu kali pada waktu malam.
Solihin Umar berkata: “Ketika Al Hasan bermajelis bersama para sahabatnya, ia tidak berdiri hingga Mansyur bin Dzadzan menghatamkan Alquran.”
Kebiasaan hidupnya pun hanya diisi dengan ibadah dan zikir.
BACA JUGA: Ketidaksahihan Kisah Imam Ahmad bin Hanbal, Ibn Ma’in, dan Si Tukang Cerita
Bahkan, Hasyim pernah memberikan kesaksian: “Selama 20 tahun, Mansyur bin Dzadzan shalat fajar (shubuh) dengan wudhu salat Isya.” Masya Allah!
Mansyur bin Dzadzan juga dikenal sebagai orang yang gemar menangis. Dalam tangisnya itu, usapkan air matanya dengan sorban hingga basah seluruhnya.
Seorang Syekh dari penduduk Wasith jadi tetangga Mansyur bin Dzadzan dan bercerita, “Suatu hari aku pernah melihat Mansyur bin Dzadzan berwudhu. Selesai berwudhu, ia menitikan air mata, lalu menangis hingga sesenggukan, aku pun bertanya: “Semoga Allah merahmatimu. Ada apa gerangan?”
Foto: Freepik
“Adakah orang yang urusannya lebih besar daripada urusanku? Sesaat lagi aku akan berdiri di hadapan Dzat yang tak pernah mengantuk dan juga tidak pernah tidur, padahal Dia tidak pernah berpaling dariku?” jawaban Mansyur bin Dzadzan.
BACA JUGA: Zirr bin Hubaisy Al-Asadi, Nasihatnya Membuat Khalifah Menangis
Aku pun menjawab, “Demi Allah, kata-katamu membuatku menangis. ”
Semoga Allah merahmati Mansyur bin Dzadzan, mantan budak Abdullah bin Uqail ini. Hingga kematiannya pun ditangisi oleh langit dan bumi serta penduduk bumi. Pada hari kematiannya, jenazahnya disaksikan oleh kaum wanita dan juga lelaki, orang Yahudi dan juga Nasrani. []
SUMBER: PUSAT STUDI ISLAM