TERJADINYA pertarungan antara kebenaran dan kebatilan, keadilan dan kezaliman, kebaikan dan keburukan adalah sunatullah di muka bumi ini.
Karena itu aktivitas mulia yang diperintahkan oleh Allah SWT, yakni amar ma’ruf nahi munkar, terkadang akan berakibat membawa para penyerunya kepada penjara bila mereka berhadapan dengan penguasa yang zalim.
Sejarah mencatat, tidak sedikit para ulama besar yang dimasukkan ke dalam penjara karena keberanian mereka dalam menyeru kabaikan dan mencegah kemunkaran. Mereka pun tidak takut menghadapi semua ujian itu, sebab yang mereka takutkan hanyalah Allah SWT.
“Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama.” (QS. Fathir: 28)
Bagi para ulama, seperti ditulis Syekh Abdul Aziz Al Badri dalam kitabnya “Al Islam Bainal Ulama wal Hukkam”, penjara-penjara itu bagaikan kawah candradimuka, sehingga setelah keluar darinya, mereka menjadi seperti besi panas memerah.
Pembesar ulama, Al-‘Iz bin Abdussalam, yang ditahan di rumahnya sendiri oleh penguasa karena laporan menterinya, lalu dilarang untuk berfatwa dan berkumpul dengan siapapun, beliau berkata:
“Wahai Gharaz, syarat-syarat yang kamu ajukan kepadaku itu, merupakan nikmat Allah yang besar kepadaku, yang harus saya syukuri selamanya. Mengenai berfatwa, demi Allah sebenarnya saya membencinya dan saya yakin bahwa seorang mufti (ahli fatwa) itu berada di tepi neraka Jahannam. Seandainya saya tidak yakin bahwa Allah mewajibkanku untuk berfatwa pada saat ini, saya tidak akan menyentuhnya. Sekarang kewajibanku telah gugur dan saya bebas dari tanggung jawab, segala puji bagi Allah. Sedangkan larangan untuk berkumpul dengan manusia dan keharusan saya tinggal di rumah, sebenarnya sekarang saya tidak tinggal di rumah, tetapi tinggal di surga dan saya sangat senang tinggal di rumahku sendiri, menyendiri untuk beribadah kepada Tuhanku. Orang bahagia adalah orang yang tinggal di rumahnya sendiri, menangisi kesalahannya dan sibuk dalam ketaatan kepada Allah. Inilah jalan yang ditunjukkan dan dihadiahkan Allah kepadaku, melalui tangan raja yang marah, sedangkan saya menerima semua itu dengan senang hati. Wahai Gharaz, seandainya saya mempunyai baju serep untuk membungkus surat yang penuh dengan kabar gembira ini, saya akan melepasnya untukmu. Kami selalu terbuka, ambillah sajadah ini dan shalatlah di atasnya, peluk dan ciumlah dia.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika dipenjara di Damaskus, setelah memperlihatkan kebahagiannya, beliau mengatakan, “Sesungguhnya saya telah menunggu-nunggu kesempatan ini, karena di dalamnya banyak kebaikan. Apa yang dilakukan musuh-musuhku terhadapku adalah surgaku. Surgaku berada di dalam dadaku, dia selalu bersamaku dan tidak akan pergi ke mana-mana. Bagiku penjara adalah khalwat, hukuman mati adalah mati syahid, dan pembuangan adalah tamasya.”
Ketika masuk wilayah penahanan menuju penjara khusus baginya dan melihat pagar-pagarnya, beliau membuat perumpamaan seraya membaca firman Allah, “….Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.” (QS. Al Hadid: 13)
Para ulama yang mulia itu, jika mereka dipenjarakan di dalam sel atau ditahan di dalam rumah, maka mereka menghabiskan hari-harinya untuk beribadah dan menulis. Karena kebanyakan para penguasa hanya menahan fisik mereka saja, sementara hati dan pikirannya tetap bebas berkelana, membaca dan menulis.
Sumber Klik disini