Hawa Nafsu dan Hasrat Ingin Berkuasa

Share

Hawa Nafsu dan Hasrat Ingin Berkuasa 1 Hawa NafsuOleh: Enzen Okta Rifai, Lc
Alumni perguruan tinggi International University of Africa, Republik Sudan
[email protected]

JIKA kita tergoda oleh hawa nafsu, maka target pencapaian selalu kita kejar sampai di mana pun dan kapan pun. Misalnya, kita ingin meraih kemenangan dalam lomba tertentu, maka kita berlatih mati-matian untuk mencapai target hingga kita berhasil mencapai kesuksesan. Dengan demikian, boleh jadi harta dan popularitas akan mampu kita raih. Kadangkala, untuk mencapai sasaran yang dituju, manusia menggunakan cara-cara culas dan curang yang dilakukan sekehandak hatinya, sehingga ia dapat berhasil melalui jalan yang tidak fair, dan dengan demikian tidak diridhoi oleh Tuhan.

Bagi seorang yang bijak dan beradab, menang atau kalah akan dipasrahkan kepada ketentuan juri, setelah ia berusaha secara optimal. Secara moril, ia sudah siap menerima kemenangan, juga sudah siap menghadapi kekalahan dengan hati lapang dan terbuka. Demikian yang diajarkan Islam mengenai konsep sabar dan syukur. Jika hati sudah dekat dengan Allah, niscaya manusia akan dibekali kesabaran dan kelapangan untuk menerima kekalahan, bahkan hinaan dan caci-maki sekalipun. Maka, dalam hal kesuksesan pun ia akan memikulnya dengan kelapangan dan rasa syukur, serta tidak terperangkap dalam keangkuhan dan kesombongan.

Hawa nafsu, terutama nafsul ammarah, seringkali menjebak manusia ke dalam sifat hasad dan dendam kesumat. Boleh jadi karena dulunya ia pernah merasa tersakiti. Meskipun, bisa jadi pihak yang menyakiti itu sudah lupa karena berjalannya sang waktu, atau karena kesalahan yang dilakukannya atas dasar ketidaksengajaan atau ketidakpahaman akan suatu nilai tertentu. Melalui perjalanan waktu, sesuatu yang dulu kita anggap besar, boleh jadi ternyata hanya masalah sepele yang sudah tak mengandung arti apa-apa di mata banyak orang. Namun, yang sepele akan tetap menjadi besar, bahkan akan dianggap semakin besar oleh seseorang yang suka memelihara sifat hasad, sehingga hati dan jiwanya tetap picik dan sempit.

BACA JUGA:  Nietzsche dan Filsafat Nabi

Godaan hawa nafsu kadang membuat manusia sibuk mengejar target dan sasarannya untuk membalas perlakuan pada si Z, sementara dia sudah mengorbankan ABCD dan seterusnya di tengah perjalanan. Pokoknya, dia bersikeras menaklukkan si Z, padahal nasib hidup Z sepenuhnya berada di tangan Allah. Ambisi dan keserakahan untuk menaklukkan si Z menjadi agenda utama baginya. Padahal, ketentuan untuk mencapai target bukan mutlak di tangannya, tetapi imajinasinya tergoda oleh suatu keyakinan, seolah-olah hasil akhir pasti berada di tangannya.

Restoran Padang, pintu setan, Adab Bertakziah, Miqdad bin Amr, Hawa Nafsu
Foto: Pinterest

Di sisi lain, justru target yang dicapai Iblis (setan) sebagai sang penggoda sudah mencapai sasarannya, manakala orang yang digodanya bersifat pemarah, tamak dan serakah, terlepas apakah yang menjadi korban adalah si Z atau bukan. Bagi Iblis, tak ada urusan, apakah orang itu berhasil atau tidak dalam rangka menaklukkan si Z. Yang pasti si ABCD dan seterusnya telah menjadi korban dari sifat amarah dan kedengkiannya.

Rumus itulah setidaknya, yang membuat Imam Ali bin Abi Thalib pernah berfatwa: “Tidak sama orang yang mencari-cari kesalahan walaupun sudah berhasil diraihnya, ketimbang orang yang mencari kebenaran walaupun belum berhasil diperolehnya.”

Kadangkala ada jalan mulus yang diraih seseorang, meskipun menyimpang dari agama dan jalan Tuhan. Ia akan tetap dibiarkan untuk mencapai titik keberhasilannya, sampai akhirnya ia akan dipaksa oleh keadaan, bahwa sesuatu yang diraih secara tidak baik (halal) pasti akan mengundang kehinaan dan malapetaka. Tak peduli apakah yang diperjuangkannya itu berlabel religius atau bukan, karena hakikat yang diperjuangkan tergantung kepada niatnya. Untuk itu, para ulama sufi menyatakan, bahwa amalan bersifat duniawi yang ditujukan untuk akhirat, jauh lebih mulia ketimbang amalan bersifat ukhrawi (agama) namun hanya diperuntukkan bagi kepentingan duniawi belaka.

Karena kehidupan dunia ini hanya sepintas dan sekejap mata, maka dalam penilaian Allah, tak penting Anda menang atau kalah dalam perlombaan untuk mencapai kursi jabatan dan kedudukan politik. Yang terpenting Anda bersikap jujur dan fair atau tidak, dalam rangka menjalani perlombaan tersebut. Ketika Anda menang maka Anda bersikap legawa dan rendah-hati, dan ketika Anda kalah, Anda akan menerima dengan sabar dan lapang-hati, itulah yang terbaik dalam pandangan Tuhan. Untuk apa kesuksesan yang hanya sekejap itu Anda kejar mati-matian, sementara Anda merelakan diri sebagai “manusia terhina” di mata Allah?

Tak jadi soal Anda terhinakan di mata manusia, namun hakikatnya mulia di mata Allah. Ketimbang Anda memaksakan diri agar terlihat mulia di mata manusia namun hakikatnya hina dan kotor di mata Allah. Untuk apa mengejar kemuliaan (popularitas) di mata manusia, yang sifatnya semata-mata fana dan semu belaka? Alangkah bodohnya orang yang mengorbankan kenikmatan yang abadi, hanya untuk mendapatkan kenikmatan semu dan sekejap mata saja. Alangkah hinanya orang yang mengorbankan kemenangan sejati, hanya untuk meraih kemenangan yang instan dan sesaat belaka.

Konon, untuk mencapai tingkat popularitas, kekayaan dan kekuasaan, manusia sampai nekat menggadaikan jiwanya kepada Raja Iblis (Jin Ifrit). Setidaknya itulah kisah yang pernah dialami Nabi Sulaiman dalam Alquran maupun kitab-kitab terdahulu. Kisah itu pun diadaptasi oleh sastrawan Jerman, Wolfgang Goethe, mengenai seorang ilmuwan yang menggadaikan jiwanya pada sang Raja Iblis, yang kemudian ilmuwan tersebut menjadi takluk dan tunduk untuk menjalani hidup dalam bimbingan sang Raja Iblis.

Ibrahim bin Adam, Hawa Nafsu
Foto: Aldi/Islampos

Dalam cerpen yang ditulis Hafis Azhari, “Kunjungan Iblis Mefisto” (radarntt.co), memberikan gambaran jelas, agar manusia terhindar dari godaan hawa nafsu, yang dipersonifikasi melalui godaan Iblis Mefisto yang hendak merenggut kembali talenta atau bakat yang dimiliki sang penulis. Maka, terjadilah dialog intensif, bahwa bakat yang dimiliki manusia hakikatnya adalah anugerah Allah yang patut disyukuri. Namun kemudian, Iblis Mefisto mengklaim bahwa keahlian itu berkat pemberian bos dan atasannya.

BACA JUGA:  Karakteristik Setan

Ditunggu, ditunggu, akhirnya sang penulis melepas bakat yang dimilikinya, serta memasukkannya ke dalam kotak yang disodorkan si Mefisto. Namun, karena di dalam kotak itu terkandung karya-karya penulis yang mengagungkan kebesaran dan keadilan Tuhan, maka tersungkurlah Mefisto lantaran ia tak sanggup lagi memikul beban berat di pundaknya. Akhirnya, bakat itu pun diserahkan kembali kepada sang penulis, dan Iblis Mefisto lari tunggang langgang dengan kotak kosong yang terpikul di pundaknya.

Dengan demikian, hawa nafsu dapat ditaklukkan dan dikendalikan oleh kekuatan iman dan ilmu yang mumpuni. Sebab pada prinsipnya, iman tanpa ilmu dapat menjerumuskan manusia ke lembah kesesatan, sedangkan ilmu tanpa iman akan membuat manusia menjadi angkuh dan sombong. Padahal sejatinya, apa yang dimiliki oleh setiap manusia, hanyalah setetes air di lautan samudera yang maha luas. []

Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: [email protected], dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.

Sumber Klik disini

Table of contents

Read more

Local News