Hidayatullah.com—Seorang ibu dan anak perempuan asal ‘Israel’ yang dibebaskan Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) dari Gaza memiliki kesan positif dengan para pejuang pembebasan Palestina dan Masjidil Aqsha.
Chen Goldstein-Almog (48), dan putrinya yang berusia 17 tahun, Agam Goldstein-Almog dalam sebuah wawancara dengan statisun TV Israel, Channel 12, mengatakan, bagaimana wanita diperlakukan penuh hormat di Gaza, termasuk para tawanan.
Para pejuang yang menjaga mereka selama menjadi tawanan, tidak segan-segan menjaganya secara total, meski harus mengorbankan nyawa mereka sendiri.
Chen menggambarkan kehidupan mereka selama 51 hari di tangan para pejuang Gaza, mencakup bom-bom mengerikan dari pesawat udara Israel.
Chen menjadi tawanan pada tanggal 7 Oktober 2023, selama awal “Operasi Taufan Al-Aqsha”, bersama Agam (17), dan dua anak laki-lakinya; Gal (11), dan Tal (9). Mereka dibawah dari Kibbutz Kfar Aza dan dibebaskan akhir November berdasarkan kesepakatan gencatan senjata sementara.
Berbicara kepada berita Channel 12 pada hari Jumat, sekitar tiga minggu setelah mereka dibebaskan, Chen dan Agam mengatakan mereka melakukan apa yang mereka bisa untuk bertahan hidup.
Kisah mereka tentang kehidupan mereka selama menjadi tawanan adalah salah satu yang paling rinci dan bernuansa yang pernah ada.
Ia mengisahkan, keluarga beranggotakan enam orang itu berada di rumah pada pagi hari tanggal 7 Oktober, ketika para pejuang Hamas melancarkan serangan balasan terhadap komunitas Israel selatan Sabtu pagi, hari itu, di bawah naungan lebih dari 5000 roket.
Chen mengatakan, mereka semua berada di ruang aman dan bersembunyi dalam ketakutan, ketika pejuang mulai masuk ke perumahan.
Chen, Agam dan anak-anak dibawa keluar rumah Kibbutz Kfar Aza menuju Gaza, di antara sekitar 240 orang yang disandera hari itu dan ditahan di wilayah Palestina.
Chen menggambarkan perjalanan mobil dari rumahnya ke Gaza memakan waktu selama tujuh menit. “Saya ingat raut wajah anak-anak saya. Memikirkan apa yang terjadi di sana, di rumah, dan ke mana saya pergi, sungguh gila.”
Selama perjalanan, para pejuang membawa mayat ke dalam kendaraan. Tidak jelas siapa mereka, namun Chen menduga kemungkinan besar mereka adalah mayat seorang pejuang yang gugur dalam serangan tersebut.
Agam, yang mendampingi Chen saat wawancara mengatakan kepada ibunya saat di perjalanan menuju Gaza, ia sangat takut jika diperkosa atau dilecehkan. Pemerkosaan, katanya, adalah “hal yang saya takuti” dalam perjalanan menuju Gaza, meski hal itu tidak terbukti.
Karena rasa khawatir ini, Agam meminta agar pejuang mengumpulkan dirinya dengan keluarganya secara bersama-sama. “Jagalah kami agar tetap bersama-sama karena kalian menangkap kami secara bersama-sama,” ujar Agam.
“Tentu saja, “ kata seorang pejuang Palestina, dikutip kepada Channel 12.
Dan yang mengejutkan, Agam mengira akan diborgol di sel penjara dan seolah hidup mereka akan berakhir, ternyata juga tidak terjadi.
Dijaga 24 Jam
Keluarga tersebut mengaku menghabiskan minggu pertama mereka di terowongan bersama tawanan lainnya tetapi kemudian dipindahkan ke sebuah apartemen. Mereka memiliki dua penjaga yang menjaga mereka 24 jam.
Selama bulan pertama, ketika teroris “Israel” melancarkan agresinya terhadap Gaza, keluarga tersebut dipindahkan beberapa kali pada tengah malam. “Ada hari-hari ketika kami tidur dengan hijab, karena setiap kami bergerak, kami harus berpakaian,” katanya.
Agam bahkan meminta agar mereka dipindahkan begitu serangan udara ‘Israel’ semakin dekat dan menakutkan. “Ada pemboman hebat dan seluruh tubuh saya mulai gemetar dan saya berkata kepada pejuang: ‘Kita harus pindah dari sini,’” katanya.
“Ini ledakan yang gila, itu bersifat fisik,” kata Chen. “Ini adalah kepanikan, ketakutan, ini adalah sesuatu yang bersifat fisik yang membutuhkan waktu untuk menenangkan diri. Ini adalah sesuatu yang tidak dapat kami kendalikan, dan kami tinggal di pinggiran Gaza, kami tahu seperti apa rasanya.”
Ia mengatakan, para penjaga melindunginya dari tembakan dan bom ‘Israel’, seolah dirinya begitu penting. “Kami biasanya bertanya kepada penjaga, apakah mereka akan membunuh kami, dan jawaban mereka adalah “Kami (para pejuang, red) akan mati sebelum kamu mati.”
Mereka juga menggambarkan hari-hari di “tahanan”. Banyak anak-anak yang ditawan menyibukkan diri dengan menggambar, menulis, bermain, “kecuali kadang-kadang terjadi ledakan dan perkelahian di antara mereka,” yang kadang-kadang menyebabkan para penjaga meneriaki anak-anak laki-laki tersebut.
Para pejuang terkadang berbicara dengan para tawanan. Mereka berbicara tentang “Gilad Shalit”, seorang tentara IDF yang ditawan pihak pejuang selama bertahun-tahun dan dibebaskan Hamas dengan pertukaran 1000 tahanan Palestina.
Dalam diskusi itu para pejuang mengatakan butuh waktu 5 tahun sampai mereka melepaskan “Gilad Shalit’. “Anda tidak penting bagi negara (‘Israel’), yang penting (bagi mereka) adalah perang,” demikian kata penjaga, menyindir sikap pihak militer Zionis yang tak memedulikan nasib tawanan.
“Dan saya harus mengatakan bahwa saya mempunyai ketakutan bahwa kami akan tinggal di sini selama beberapa tahun, mereka membicarakannya dengan mengatakan bahwa negara (“Israel”) tidak peduli dengan kami, “ ujar Chen.
Kadang-kadang Chen masuk ke dalam rumah untuk menggerakkan tubuh. Melihat ini, para penjaga menawarinya, “Jika kami ingin pergi ke salon, beri tahu kami,” kata penjaga.
Adu Panco
Agam dan Chen bercerita terkadang para penjaga duduk dan memperhatikannya dari jauh, dan dirinya tidak pernah sendirian setiap saat. “Mereka akan tidur tidak jauh dengan kami. Saya takut tentara (Israel) akan datang kapan saja untuk mencoba menyelamatkan kami. Saya takut karena penjaga selalu dekat dengan kami,” katanya.
Dalam wawancara itu, reporter Channel 12 bertanya, apakah ada kesempatan baginya berolah raga? Bahkan pernah para penjaga menantangnya bermain, namun tangan mereka dilapisi kain handuk.
“Kenapa harus menggunakan handuk?, “ kata reporter Channel 12.
“Karena mereka (pejuang) tidak boleh menyentuh kita, wanita bagi mereka, mahluk suci. Seorang wanita ibarat seorang ratu,” ujar Agam.
Chen juga membahas dengan para penjaha tentang Agam dan bagaimana menjaganya. Chen menjelaskan kepada bahwa terkadang ada persahabatan agar Agam bisa punya dan memiliki teman sebelum menikah.
Bagi para pejuang, pernikahan adalah yang utama. Dalam obrolan itu, sempat para penjaga meledek Agam. “Iya, mereka pernah memberitahuku bahwa kami akan menikahkanku di Gaza. Kamu akan menikah di sini, kami akan mencarikanmu suami di Gaza,” katanya.
Agam juga bercerita para penjaga memberinya nama yang indah saat di Gaza dalam sebuah nama Arab yang sangat indah. “Salsabil, ini artinya air, sebagaimana disebutkan dalam Al Quran, seperti air manis,” kata Agam.
“Aku bilang padanya, kebetulan sekali namaku di Israel adalah “Ag” dan artinya danau.”
Untuk mengatasi rasa bosan selama dalam tawanan, keluarga ini; Chen, Agam dan kedua anak laki-laki Chen, Jal (11 tahun) dan Tal (9 tahun) melakukan aktivitas menggambar dan menulis, bahkan bermain kartu.*
Sumber Klik disini