Di penghujung abad ketiga Hijrah, Ibnu Mujahid mencetuskan istilah qira’ah sab’ah, tujuh jenis qira’ah yang mempunyai sanad bersambung pada Sahabat
Hidayatullah.com | SEBAGIAN orientalis seperti Arthur Jeffery beranggapan Al-Quran memiliki banyak versi. Adanya ragam bacaan menurut orientalis dari Inggris ini merupakan bukti mengenai hal tersebut.
Tentu saja pendapat ini salah. Adanya perbedaan bacaan bukan berarti Al-Quran memiliki banyak versi. Bacaan-bacaan tersebut sudah dimaklumi di kalangan ulama Al-Quran berdasar sabda Rasulullah ﷺ yang artinya; “Sesungguhnya Al-Quran ini diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah kamu mana yang mudah daripadanya.”(Riwayat Bukhari dan Muslim).
Dalam kitab al-Burhan, Imam al-Zarkasi menjelaskan, al-Qira’ah (bacaan) berbeda dengan Al-Quran (yang dibaca). Keduanya merupakan dua fakta yang berlainan. Al-Quran wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, sedang qira’ah adalah perbedaan cara membaca lafaz-lafaz wahyu tersebut dalam bentuk tulisan huruf-huruf.
Ilmu qira’ah merupakan bagian dari ulum Al-Quran atau ilmu-ilmu tentang Al-Quran yang membicarakan kaidah membacanya. Ia merupakan cara membaca ayat-ayat Al-Quran yang dipilih seorang imam ahli qira’ah yang berbeda dengan ulama lainnya, berdasar riwayat-riwayat mutawatir.
Bacaan tersebut juga selaras dengan kaidah-kaidah bahasa Arab serta cocok dengan bacaan tulisan Al-Quran dalam salah satu mushaf Ustman.
Cara pengambilannya dengan talaqi, yaitu memperhatikan bentuk mulut, lidah dan bibir guru ketika melafazkan ayat-ayat tersebut.
Perbedaan qira’ah itu berkisar pada lajnah (dialek), tafkhim (penyahduan bacaan), tarqiq (pelembutan), imla (pengejaan), madd (panjang nada), qasr (pendek nada), tasydid (penebalan nada), dan takhfif (penipisan nada).
Contoh perbedaan qira’ah yang paling sering kita jumpai adalah imaalah. Pada beberapa lafal, sebagian orang Arab mengucapkan vocal ‘e’ sebagai ganti ‘a’. Misalnya, ucapan ‘wadl-dluhee wallaili idza sajee. Maa wadda’aka rabuka wa maa qolee’.
Meski masing-masing imam punya beberapa lafal bacaan yang berbeda, namun tanda bacaan tersebut tidak terdapat dalam tulisan mushaf sekarang ini. Perbedaan itu hanya ada dalam kitab-kitab tafsir klasik. Dalam kitab tersebut ada penjelasan tentang perbedaan para imam dalam membaca masing-masing lafal itu.
Ibnu Taimiah mengatakan, mengetahui qira’ah dan menghafalnya termasuk sunnah yang turun-temurun. Maka dari itu, mengetahui bacaan sebagaimana Rasulullah ﷺ membaca, atau bacaan yang diakui kebenarannya oleh Rasulullah ﷺ, atau bacaan yang diizinkan oleh beliau dan diakuinya adalah sunah.
Dan orang yang memiliki pengetahuan dalam qira’ah dan hafal, dia mempunyai keistimewaan di atas orang yang tidak memiliki pengetahuan tentangnya atau hanya mengetahui satu qiraat saja.
Mengumpulkannya dalam shalat atau dalam membaca Al-Quran adalah bid’ah yang makruh. Sedangkan mengumpulkannya dengan tujuan untuk dihafal dan dipelajari, hal ini merupakan ijtihad yang dilakukan oleh beberapa kelompok dalam bidang qira’ah.
Kendati ilmu qira’ah berhubungan dengan pelafalan ayat-ayat Al-Quran, tapi tidak memiliki kaitan dengan melagukan bacaan al-Quran. Masalah melagukan al-Qur
an dijelaskan dalam nazam, yaitu seni membaca Al-Quran.
Keberadaan ilmu ini diterangkan secara jelas dalam firman Allah SWT dalam surat Al Muzzammil ayat 4, ”Bacalah al-Qur`an itu secara tartil.”
Di berbagai wilayah negeri Islam, berkembang aneka ragam seni membaca al-Quran. Dalam pelajaran nazam, dikenal berbagai jenis seni membaca al-Qur
an, seperti Nahawan, Bayati, Hijaz, Shaba, Ras, Jiharkah, Syika, dan lainnya.
Semua jenis lagu atau irama itu tidak ada kaitannya dengan ilmu qira’ah sab’ah. Semata-mata hanya seni membaca secara tartil (indah) dan tak ada kaitannya dengan bagaimana melafalkan ayat Al-Quran. Ia termasuk seni membaca Al-Quran yang sering kali diperlombakan dalam acara musabaqah tilawatil quran (MTQ).
Sejarah Timbulnya Qira’ah
Menurut ahli sejarah, munculnya perbedaan qira’ah terjadi pada masa Khalifah Usman bin Affan. Ketika itu mushaf-mushaf Al-Quran tidak bertitik dan berbaris, dan bentuk kalimat di dalamnya mempunyai beberapa kemungkinan berbagai bacaan. Kalau tidak, kalimat itu harus ditulis dengan satu wajah yang lain.
Kalangan Sahabat sendiri berbeda-beda dalam pengambilannya dari Nabi Muhammad ﷺ. Tiap-tiap golongan mempunyai lahjah (bunyi suara atau sebutan) yang berlainan satu sama lainnya.
Manakala mereka menyebut pembacaan atau membunyikan dengan lahjah yang tidak mereka biasakan, itu satu hal yang menyukarkan. Maka untuk mewujudkan kemudahan, Allah SWT yang Maha Bijaksana menurunkan Al-Quran dengan lahjah-lahjah yang biasa dipakai oleh golongan Quraish dan oleh golongan-golongan lain di tanah Arab.
Karena itu, jadilah Al-Quran beberapa macam bunyi lahjah. Di antara para Sahabat yang terkenal mengajarkan qira’ah ialah Ubai, Ali, Zaid bin Sabit, Ibn Mas’ud, Abu Musa al-Ash’ari dan lain-lain.
Segolongan Sahabat mempelajari qiraat dari Ubai, di antarnya Abu Hurairah, Ibn Abbas, dan Abdullah bin Sa’ib. Ibnu Abbas juga belajar pada Zaid. Dari mereka itulah sebagian besar Sahabat dan tabi’in di berbagai negara belajar qira’ah.
Ketika Khalifah Usman mengirim Al-Quran ke seluruh penjuru kota, disertai juga dengan para tokoh qira’ah tersebut. Para sahabat tersebut kemudian mengajarkan kepada umat dengan bacaan masing-masing.
Dengan demikian, maka timbullah beraneka ragam bacaan yang kemudian diterima oleh pata tabi’in. Demikian seterusnya sampai munculnya imam qurra’.
Begitu banyaknya jenis qira’ah sehingga seorang imam, Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam, tergerak untuk menjadi orang pertama yang mengumpulkan berbagai qira’ah dan menyusunnya dalam satu kitab.
Menyusul kemudian ulama lainnya seperti Abu Khatim As-Sajistani, Abu Ja’afar menyusun berbagai kitab qira’ah dengan masing-masing metode penulisan dan kategorisasinya.
Melalui pembukuan tersebut, para ilmuwan kemudian mulai membuat kajian dan meringkas pembukuan ilmu qira’ah untuk lebih diminati orang banyak. Di antara mereka ada yang menyusunnya dalam bentuk prosa dan ada pula yang berbentuk syair agar mudah dihafal.
Orang yang termasuk dalam kriteria tersebut di antaranya ialah Imam Ad-Dani dan Al-Syatibi. Pada peringkat ini, mereka hanya mengangkat sejumlah qiraat yang banyak ke dalam karangan mereka.
Pada penghujung abad ketiga Hijrah, Ibnu Mujahid mencetuskan istilah qira’ah sab’ah. Ia mengumpulkan tujuh jenis qira’ah yang mempunyai sanad bersambung kepada Sahabat terkemuka.
Jenis qira’ah sab’ah ini sebetulnya sudah akrab dikalangan ulama pada abad 2 H. Namun, ia belum dikenal secara luas di kalangan umat Islam. Ini karena kecenderungan ulama-ulama saat itu hanya memasyarakatkan satu jenis qira’ah dengan mengabaikan qira’ah lainnya, baik yang tidak benar maupun dianggap benar.
Usaha Ibnu Mujahid ini awalnya banyak yang mengecam karena dianggap mengakibatkan kerancuan pemahaman terhadap pengertian ‘tujuh kata’ yang dengannya Al-Quran diturunkan. Namun pada akhirnya diakui sebagai usaha yang brilian karena yang dikumpulkan itu benar-benar dari Rasulullah ﷺ.*/Bahrul Ulum, Suara Hidayatullah
Sumber Klik disini