Penggunaan teknologi lebih canggih untuk memantau data dan distribusi kuota diperlukan, termasuk rekrutmen petugas jujur, agar tidak ada celah praktik manipulasi haji
Oleh: Kholid Harras
Hidayatullah.com | BERANGKAT haji ke Makkah merupakan impian bagi banyak umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Untuk mewujudkan hal tersebut, mereka rela menyisihkan penghasilannya, bahkan ada pula yang Ikhlas menjual asset yang dimilikinya, kemudian menyetorkanya ke bank-bank yang ditunjuk untuk mendapatkan nomor urut porsi haji.
Selanjutnya, selama berbelas, bahkan ada yang yang berpuluh tahun, mereka harus sabar menunggu giliran untuk dapat diberangkatkan oleh pemerintah.
Memang ada “jalur cepat” bagi mereka yang sudah kebelet dan memiliki banyak fulus bisa melaksanakan ibadah haji. Jalur-jalur ini namanya ONH Plus, Haji Khusus, dan Haji Furoda.
ONH Plus (Ongkos Naik Haji Plus) diperkenalkan pada era 1990-an. Jalur ini menawarkan waktu tunggu yang lebih cepat dan fasilitas yang lebih baik dibandingkan haji reguler, seperti akomodasi lebih nyaman dan penginapan yang dekat Masjidil Haram.
Biayanya tentu lebih mahal dibangkinkan ONH haji regular. Kini, ONH Plus telah digantikan oleh Haji Khusus.
Haji Khusus menyediakan layanan premium serupa, dengan waktu tunggu 5 hingga 7 tahun bergantung kuota yang diberikan pemerintah. Fasilitas meliputi penginapan nyaman, makanan yang disesuaikan, dan transportasi yang lebih baik selama di Tanah Suci.
Haji Khusus diatur langsung oleh Kementerian Agama dan dikelola oleh penyelenggara resmi yang terdaftar. Sedangkan Haji Furoda visanya diperoleh langsung dari pemerintah Arab Saudi di luar kuota Indonesia.
Meskipun memungkinkan keberangkatan lebih cepat tanpa antrian, Haji Furoda berisiko karena visa bisa saja tidak disetujui, meskipun biaya yang dibayarkan cukup besar.
Seperti sudah menjadi informasi masyarakat, pelaksanaan ibadah haji 2024 di Indonesia mengalami sejumlah kekisruhan yang memicu ketidakpuasan di kalangan jamaah dan masyarakat luas.
Kekisruhan ini muncul karena berbagai masalah yang melibatkan ketidakadilan, penyalahgunaan wewenang, dan kurangnya transparansi.
Pertama, kisruh terjadi akibat penyalahgunaan kuota haji. Pada tahun 2024, pemerintah Arab Saudi memberikan penambahan kuota haji sebesar 8.000 jamaah kepada Indonesia.
Penambahan ini seharusnya mempercepat pemberangkatan jamaah yang telah lama menunggu. Namun, penambahan ini justru memicu kekisruhan karena pengelolaannya yang tidak transparan dan diduga telah disalahgunakan oleh oknum-oknum Ordal di lingkungan Dirjen PHU (Penyelengaraan haji dan Umroh) Depag.
Sekira 3.500 jamaah haji khusus dilaporkan bisa berangkat tanpa harus menunggu dalam antrean panjang. Akibat kezaliman oknum ordal ini mereka yang memiliki koneksi pribadi mendapatkan keistimewaan untuk berangkat lebih cepat, sedangkan Jamaah calon haji yang seharusnya berangkat terlebih dahulu tertunda lebih lama.
Kedua, akibat dugaan manipulasi Data Siskohat (Sistem Komputerisasi Haji Terpadu) yang mengelola data jamaah termasuk penentuan jadwal keberangkatan.
Dugaan manipulasi data Siskohat juga diduga dilakukan oleh oknum-oknum Ordal di lingkungan Dirjen PHU Depag. Akibat prilaku dzalim mereka sejumlah jamaah calon haji dilaporkan mendapat jadwal yang tidak sesuai dengan aturan, sehingga ada yang harus menunggu lebih lama daripada yang seharusnya.
Ketiga, kenaikan ONH
Seperti diketahui, pada tahun 2023, biaya ONH ditetapkan sebesar Rp49,8 juta per jamaah. Sedangkan tahun 2024, besaranya berkisar Rp49,9 juta hingga Rp60,5 juta, bergantung embarkasi. Untuk ONH embarkasi yang terendah, selisihnya kecil, yaitu sekitar Rp100 ribu.
Namun, untuk embarkasi dengan biaya tertinggi, misalnya embarkasi Surabaya, Banjarmasin dan Makasar, selisihnya mencapai sekitar Rp10,7 juta. Namun kenaikan ONH tersebut tidak diiringi peningkatan kualitas layanan.
Keempat, kualitas layanan yang buruk
Selain biaya yang meningkat, kualitas layanan yang diberikan kepada jamaah, seperti fasilitas tenda dan MCK (Mandi, Cuci, Kakus), dilaporkan jauh dari standar yang layak.
Banyak jamaah mengeluhkan fasilitas yang sempit, makanan yang tidak memadai, dan manajemen logistik yang buruk. Kondisi-kondisi tersebut tentulah mengganggu kenyamanan jamaah selama menjalankan ibadah haji.
Kelima, rekrutmen petugas haji yang tidak transparan
Kekisruhan juga muncul dalam proses rekrutmen petugas haji, yang dinilai tidak transparan. Beberapa petugas dipilih bukan berdasarkan kualifikasi atau kompetensi, melainkan karena hubungan pribadi atau koneksi.
Hal ini menyebabkan beberapa petugas tidak mampu menjalankan tugas mereka dengan baik, yang berakibat pada penurunan kualitas layanan kepada jamaah.
Sebagai catatan, dugaan terjadinya kongkalingkong dalam rekrutmen petugas haji ini sesungguhnya sudah bukan rahasia umum. Konon lazim terjadi setiap tahun. Akan tetapi untuk tahun ini kuantitasnya sangat luar biasa.
Tanpa harus mengikuti mekanisme tes, seseorang bisa menjadi petugas haji, baik sebagai PPIH Arab Saudi, PPIH Embarkasi/Debarkasi, Petugas Kloter dan Non-Kloter maupun Petugas Perlindungan Jamaah.
Menanggapi kekisruhan yang terjadi, sejumlah langkah diambil oleh pemerintah dan DPR untuk menyelesaikan masalah ini. Yang paling mencuat yakni dengan adanya pembentukan Pansus (Panitia Khusus) Haji DPR.
Walaupun sempat diwarnai tarik-ulur antar-fraksi karena dianggap kental aroma politiknya, namun melihat semakin banyaknya laporan dan keluhan yang muncul, suka tidak suka DPR RI membentuk Panitia Khusus (Pansus) Haji untuk melakukan investigasi mendalam terhadap dugaan penyalahgunaan kuota, manipulasi data, serta ketidaktransparanan dalam rekrutmen petugas.
Temuan awal Pansus mengungkap bahwa oknum-oknum ordal memiliki peran besar dalam menciptakan kekisruhan, terutama terkait dengan penambahan kuota haji yang tidak dikelola secara transparan dan adil.
Mengingat bagi umat Islam haji merupakan kewajiban peribadatan dan setakat ini pemerintah merupakan pemegang penuh dalam hal penyelenggaraanya, maka untuk mencegah terulangnya kekisruhan seperti yang terjadi pada 2024, berbagai solusi telah diusulkan.
Antara lain pemerintah yang akan datang harus melakukan reformasi dalam sistem manajemen haji. Proses pengelolaan kuota harus dilakukan secara transparan dengan mekanisme pengawasan yang ketat.
Penggunaan teknologi yang lebih canggih untuk memantau data dan distribusi kuota juga diperlukan agar tidak ada celah untuk praktik manipulasi.
Selanjutnya, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan dan akuntabilitas dalam seluruh proses penyelenggaraan haji, mulai dari pendaftaran hingga pemberangkatan jamaah.
Pengawasan yang ketat terhadap sistem Siskohat dan distribusi kuota dapat mencegah terjadinya kecurangan di masa depan. Begitu pula ihwal rekrutmen petugas haji harus dilakukan secara terbuka dan berdasarkan meritokrasi.
Kualifikasi dan kompetensi petugas harus menjadi kriteria utama dalam seleksi, bukan koneksi pribadi atau nepotisme. Pihak ketiga yang independen dapat dilibatkan dalam proses rekrutmen untuk memastikan transparansi.
Terkait dengan besarnya kompleksitas penyelenggaraan haji dan pentingnya pelayanan yang berkualitas, muncul wacana untuk membentuk kementerian khusus yang mengelola urusan haji.
Kementerian ini nantinya diharapkan akan fokus sepenuhnya pada perencanaan, manajemen, dan pelaksanaan ibadah haji, sehingga masalah-masalah seperti kekisruhan yang terjadi pada 2024 dapat diminimalkan.
Pembentukan kementerian khusus haji diharapkan dapat meningkatkan koordinasi, efisiensi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan ibadah haji. Karena insya Allah akan lebih membawa maslahat, penulis sangat menyetujui diwujudkanya wacana ini, khususnya jika mereka yang akan terlibat pada kementrian ini orang-orang yang memiliki integritas, kapabilitas serta beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.*
Penulis dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung
Sumber Klik disini