Redistribusi Aset dalam Perspektif Negara: Merujuk Fiqh Umar

Share

Khalifah Umar bin Khaththab memberikan contoh konkret tentang bagaimana redistribusi aset dapat dilakukan secara adil dan efektif

Oleh: Asih Subagyo

Hidayatullah.com | REDISRIBUSI aset merupakan konsep penting dalam kebijakan ekonomi dan sosial yang bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.

Dalam sejarah Islam, Khalifah Umar bin Khaththab memberikan contoh konkret tentang bagaimana redistribusi aset dapat dilakukan secara adil dan efektif. Kebijakan Umar dalam redistribusi tanah memberikan inspirasi bagi berbagai kebijakan modern, termasuk land reform.

Tulisan ringkas ini akan menguraikan kebijakan redistribusi tanah oleh Umar bin Khaththab, membandingkannya dengan konsep land reform kaum kiri, dan mengaitkannya dengan PP 25 Tahun 2024 di Indonesia yang memberikan kesempatan kepada ormas keagamaan untuk mengelola tambang, sesuai dengan amanat UUD 1945.

Selain itu, artikel ini juga akan meneliusik apakah kebijakan tersebut ada kaitannya dengan upaya pemerintah untuk membungkam kekritisan ormas Islam terhadap negara.

Redistribusi Aset dalam Fiqh Umar bin Khaththab

Umar bin Khaththab adalah seorang pemimpin (khalifah ke-2) yang adil dan bijaksana, yang melakukan terobosan fiqh (hukum) dan menerapkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

Salah satu kebijakan utamanya adalah redistribusi tanah setelah penaklukan wilayah-wilayah baru. Alih-alih membagi tanah rampasan perang kepada para penakluk, Umar memilih untuk mempertahankan tanah-tanah tersebut sebagai milik negara dan mengelolanya demi kemaslahatan umat.

Kebijakan Umar bertujuan untuk memastikan bahwa tanah-tanah tersebut tetap produktif dan memberikan manfaat ekonomi yang berkelanjutan bagi rakyat. Tanah dibagi kepada rakyat dengan tujuan untuk menghindari penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang dan untuk mencegah ketimpangan ekonomi. Umar memastikan bahwa tanah didistribusikan secara adil, dan setiap penerima tanah memiliki tanggung jawab untuk mengelolanya dengan baik, dan jika tidak dikelola dengan baik, maka akan diambil alih lagi oleh negara.

Sebuah konsep kenegaraan yang melampaui jamannya, dan banyak dirujuk oleh negara dalam perpektif pemerintahan modern dan kontemnporer.

Perbedaan dengan Konsep Land Reform Kaum Kiri

Konsep land reform yang diusung oleh kaum kiri, terutama dalam konteks sosialisme dan komunisme, menekankan pada pengambilalihan tanah dari pemilik besar dan mendistribusikannya kepada petani kecil atau mereka yang tidak memiliki tanah.

Tujuannya adalah untuk menghapus ketimpangan sosial-ekonomi yang ekstrem dan menciptakan masyarakat yang lebih egaliter. Pendekatan ini sering kali melibatkan tindakan revolusioner dan pengambilalihan paksa, yang bisa menimbulkan konflik agrarian dan ketidakstabilan sosial.

Berbeda dengan pendekatan kaum kiri, kebijakan Umar didasarkan pada prinsip keadilan sosial dalam Islam. Tanah dianggap sebagai amanah dari Allah ta’ala yang harus digunakan untuk kemaslahatan umat.

Redistribusi tanah dilakukan dengan cara yang bijaksana dan mempertimbangkan kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh rakyat tanpa mengambil secara paksa. Tanah tetap menjadi milik negara, dan rakyat yang mengelolanya memiliki kewajiban untuk menjaga produktivitasnya.

Kebijakan Redistribusi Aset di Indonesia: PP 25 Tahun 2024

Tanpa menjustifikasi bahwa ada kesamaan dengan kebijakan Khalifah Umar bin Khaththab di atas, upaya, pemerintah Indonesia, melalui PP 25 Tahun 2024, telah memberikan kesempatan kepada ormas keagamaan, terutama ormas Islam, untuk mengelola tambang dan sumber daya alam lainnya.

Kebijakan ini merupakan langkah maju dalam upaya redistribusi aset yang berkeadilan, sekaligus memberdayakan ormas keagamaan dalam pembangunan ekonomi.

Kesempatan bagi ormas Islam untuk mengelola tambang merupakan bentuk implementasi prinsip redistribusi aset bisa jadi diilhami atau setidaknya merujuk pada fiqh Umar.

Kebijakan ini bertujuan untuk melibatkan lebih banyak aktor dalam pengelolaan sumber daya alam, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat luas dan tidak hanya dikelola oleh pengusaha besar dan oligarkhi tertentu.

Dengan demikian, pendapatan dari pengelolaan tambang dapat digunakan untuk membiayai program-progran ormas keagamaan meliputi kegiatan sosial, pendidikan, dakwah dan pemberdayaan ekonomi umat lainnya.

Amanat UUD 1945 Ayat 3

Kebijakan redistribusi aset yang diilhami oleh fiqh Umar r.a dengan sangat terbatas diimplementasikan melalui PP 25 Tahun 2024 sesuai dengan amanat UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat 3 yang menyatakan; “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Kebijakan ini mencerminkan upaya pemerintah untuk menjalankan amanat UUD 1945 dengan memberdayakan ormas keagamaan dalam pengelolaan sumber daya alam.

Ini bukan hanya soal pemerataan ekonomi tetapi juga soal pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan yang adil dan berkelanjutan.

Upaya Membungkam Kekritisan Ormas Islam?

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan ini juga dapat memiliki dimensi politis. Memberikan kesempatan kepada ormas Islam untuk mengelola tambang bisa dilihat sebagai upaya pemerintah untuk mengurangi sikap kritis dan berbagai suara ketidakpuasan dari kelompok-kelompok ini.

Dengan memberikan akses ekonomi dan peluang pengelolaan sumber daya alam, pemerintah berharap dapat meredam potensi konflik dan menjaga stabilitas politik.

Namun, penting untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya menjadi alat politik tetapi benar-benar bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menjalankan prinsip keadilan sosial.

Transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan yang ketat harus diterapkan dalam pelaksanaan kebijakan ini untuk memastikan bahwa tujuan mulia dari redistribusi aset benar-benar tercapai.

Hal ini juga berpulang dari sikap Ormas Islam untuk berpegang teguh pada khiththah dan jati diri masing-masing Organisasi, sehingga tetap menjaga sikap kritis ketika ada kebijakan pemerintah yang memang jelas merugikan umat Islam.

Kesimpulan

Redistribusi aset dalam perspektif fiqh Umar bin Khaththab dan kebijakan modern seperti PP 25 Tahun 2024 di Indonesia mencerminkan prinsip-prinsip keadilan sosial dan pemerataan ekonomi yang berkelanjutan dalam perspektif Islam itu relevan sepanjang masa.

Kebijakan Umar menunjukkan bagaimana redistribusi aset dapat dilakukan dengan cara yang bijaksana dan adil, tanpa menggunakan pendekatan revolusioner yang sering kali diusung oleh kaum kiri.

Kebijakan pemerintah Indonesia untuk melibatkan ormas keagamaan dalam pengelolaan sumber daya alam sejalan dengan amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat 3. Ini menunjukkan komitmen negara untuk menggunakan kekayaan alam demi kemakmuran rakyat.

Namun, kebijakan ini juga memiliki implikasi politik, di mana pemerintah mungkin berupaya meredam kekritisan ormas Islam dengan memberikan tanggung jawab dan manfaat ekonomi kepada mereka, dan hal ini menjadi warning bagi ormas Islam yang mendapatkan kesempatan untuk mengelola tambang ini tidak mengurangi sikap kekritisan jika kebijakan pemerintah menciderai dan merugikan kepentingan rakyat.

Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip keadilan sosial dalam Islam dan kebijakan modern, diharapkan redistribusi aset dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera, menjaga stabilitas sosial dan ekonomi, serta memastikan bahwa kekayaan alam digunakan untuk kemakmuran seluruh rakyat.*

Ketua Bidanh Pembinaan dan Pengembangan Organisasi Hidayatullah

Sumber Klik disini

Table of contents

Read more

Local News