Prof Hasbi Ash-Shiddieqy, Ulama Nusantara dan Penulis Produktif

Share

Hasbi Ash-Shiddieqy dikenal ulama yang sangat produktif. Sepanjang hidupnya, menulis lebih dari 100 judul buku dalam berbagai disiplin ilmu Islam

“Tengku Hasbi Ash-Shiddiegy juga jelas sangat besar jasanya, karena di tangannyalah terjadi kepesatan sebuah disiplin ilmiah baru di lingkungan ilmu-ilmu keagamaan Islam, yaitu ilmu perbandingan mazhab dalam lingkup Ilmu Fiqh. Ini dapat disaksikan dalam karya-karyanya di bidang itu, hasil memberikan kuliah di Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta. Jasa ini besar dalam pengembangan ilmu-ilmu keagamaan Islam, yang boleh dikata mengalami kemacetan di bidang-bidang lain.” (Gus Dur, Mukadimah buku “Hamka di Mata Hati Umat” 1996: 33)

Hidayatullah.com | Prof. Dr. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, seorang ulama besar Indonesia, telah meninggalkan jejak yang mendalam dalam dunia keilmuan Islam. Kepergiannya pada 9 Desember 1975 saat proses perjalanan ibadah haji di Jakarta, menyisakan duka mendalam bagi banyak kalangan. Namun, dedikasi dan karya-karyanya tetap hidup dan memberikan inspirasi bagi banyak orang.

Dalam majalah Panjimas No. 190 (XVII/1976: 15-16) diungkap hal menarik terkait beliau sebagai kenangan terhadap ulama asal Aceh ini dengan tajuk “In Memoriam Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy” sebuah wawancara majalah Panjimas dengan bapak Amelz (Penerbit Bulan Bintang) dan keluarga Hasbi  Ash-Shiddieqy.

Produktivitas yang Sulit Tertandingi

Hasbi Ash-Shiddieqy dikenal sebagai ulama yang sangat produktif. Sepanjang hidupnya, beliau telah menulis lebih dari 100 judul buku dalam berbagai disiplin ilmu Islam.

Di antara karya-karyanya, terdapat 9 kitab tafsir, 8 buku hadis, 9 buku ushul fiqih, 29 buku fiqih, 4 buku tauhid, serta 17 risalah untuk para mutawasithin. Bahkan dalam kondisi karantina pun, Hasbi tetap produktif dengan menulis buku “Manasik Haji”.

Salah satu karyanya yang paling menonjol adalah “Tafsir An-Nur” yang terdiri dari 30 juz. Karya ini diakui sebagai salah satu tafsir pertama di Indonesia yang mencerminkan pemikiran modernis yang dikembangkan oleh Al-Imam Muhammad Abduh, serta diperkaya dengan perspektif dari Syekh Musthofa al-Maraghi dan Jamaluddin al-Qasimi.

Pendekatan Keagamaan yang Terbuka

Hasbi memiliki pandangan yang unik dan terbuka dalam memahami ajaran Islam. Menurutnya, kebenaran tidak terkumpul dalam satu mazhab saja, melainkan tersebar di berbagai mazhab. Atas dasar inilah, Hasbi sering kali berani meninggalkan mazhab Syafi’i jika menemukan dalil yang lebih kuat di mazhab lain. Pendekatan ini menunjukkan fleksibilitas dan keterbukaan Hasbi dalam berijtihad.

Dedikasi Seumur Hidup

Hasbi menjalani kehidupan yang sangat disiplin dan didedikasikan untuk ilmu pengetahuan. Setiap pagi setelah shalat subuh, beliau langsung menuju meja tulis untuk menulis hingga pukul tujuh pagi.

Setelah sarapan dan membaca koran, jika tidak ada pekerjaan lain, beliau kembali menulis hingga siang. Bahkan setelah makan siang dan shalat Dzuhur, beliau masih meluangkan waktu untuk membaca atau menulis hingga waktu Ashar, dan melanjutkannya hingga malam hari.

Terkait hal ini, Djamil Latif memberi catatan menarik, “Hasbi lebih banyak jaga dari pada tidur. Ini sejak mudanya. Sejak pagi setelah sholat subuh langsung ke meja tulis, mengarang. Ditulis sendiri atau didikte yang langsung diketik. Sampai jam 7.00. Lalu berkemas kerja dengan sarapan sedikit dan baca koran. Kalau tidak kerja, ngarang terus sampai siang. Sebelum 1955 Hasbi perokok dan pengopi. Bergelas-gelas kopi dan berbungkus rokok penyerta diri bila mengarang. Tahun 1955 dilarang dokter lalu Hasbi menulis tanpa kopi dan rokok. Bahkan lebih produktif. Sesudah makan siang dan shalat dhuhur, Hasbi istirahat sambil baca koran atau majalah, buku atau bahkan menulis juga. Sesudah Ashar, Hasbi menulis sampai Maghrib. Dan menulis lagi sampai jam. 22.00 atau 24.00.”

Kehidupan pribadinya sangat didukung oleh istri tercinta, Tengku Nya Asiyah binti Tengku Haji Anom, yang selalu setia mendampingi. Sebelumnya, Hasbi menikah dengan Khadijah Almahbubah, namun Khadijah meninggal saat melahirkan puteri pertama mereka, Nur Djauharah.

Latar Belakang dan Pendidikan

Lahir pada 10 Maret 1904 di Lhokseumawe, Aceh Utara, Hasbi mendapatkan pendidikan agama pertama kali dari ayahnya, Tengku Al Haj Husen bin Mas’ud, seorang ulama dan qadli.

Beliau kemudian melanjutkan pendidikan di berbagai pesantren dan belajar bahasa Arab dari Syekh Muhammad Ibnu Salim Al Kalali. Pendidikan ini memperkaya pemahaman Hasbi dan membentuk dasar keilmuan yang kokoh.

Karir pendidikan Hasbi juga sangat gemilang. Beliau memimpin berbagai madrasah dan sekolah Islam di Aceh, serta mengajar di Perguruan Tinggi Islam seperti IAIN Yogyakarta.

Dedikasi dan kontribusinya di dunia pendidikan Islam diakui luas, hingga beliau dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa dari IAIN Yogyakarta.

Terkait jasa-jasanya yang begitu luar biasa, Gus Dur pernah memberi testimony;  

“Tengku Hasbi Ash-Shiddiegy juga jelas sangat besar jasanya, karena di tangannyalah terjadi kepesatan sebuah disiplin ilmiah baru di lingkungan ilmu-ilmu keagamaan Islam, yaitu ilmu perbandingan mazhab dalam lingkup Ilmu Fiqh. Ini dapat disaksikan dalam karya-karyanya di bidang itu, hasil memberikan kuliah di Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta. Jasa ini besar dalam pengembangan ilmu-ilmu keagamaan Islam, yang boleh dikata mengalami kemacetan di bidang-bidang lain.” (Dalam pengantar buku “Hamka di Mata Hati Umat” 1996: 33).

Prof. Dr. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy adalah contoh ulama yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk membaca dan menulis. Karya-karyanya terus memberikan pencerahan dan menjadi referensi penting dalam studi Islam di Indonesia dan dunia.

Dunia ilmu pengetahuan telah kehilangan salah satu pionirnya, namun warisan intelektualnya akan terus hidup dan menginspirasi generasi berikutnya.*/Mahmud Budi Setiawan

Baca juga: Abbas Hassan: Duka Ria Dai Zaman Kolonial Belanda dan Jepang

Sumber Klik disini

Read more

Local News