oleh: Alwi Alatas
Agama telah muncul di tengah masyarakat sejak awal sejarah umat manusia. Rasanya sulit bagi kita untuk menemukan masyarakat di masa lalu yang tidak mengenal agama. Seorang penulis, misalnya menyimpulkan bahwa “Tidak ada satu pun kebudayaan yang tercatat dalam sejarah manusia yang tidak menganut suatu bentuk agama tertentu” (Mark, 2018).
Walaupun manusia sejak era kuno telah mempraktikan agama, seolah pada awalnya mereka hanya mempercayai tuhan yang banyak (politeisme). Jejak-jejak politeisme ini dapat dilihat secara jelas dengan adanya peninggalan berupa patung dan relief yang dianggap mewakili tuhan-tuhan oleh peradaban-peradaban kuno.
Masyarakat Mesopotamia kuno, Mesir kuno, dan yang lainnya mengasosiasikan tuhan-tuhan mereka dengan benda-benda alam seperti bulan, matahari, dan badai atau dengan hewan-hewan tertentu seperti lembu jantan dan kucing atau dengan konsep-konsep tertentu seperti kebijaksanaan. Mereka memberi nama kepada tuhan-tuhan itu dan membayangkan tuhan-tuhan itu memiliki wujud seperti manusia juga. Tentu saja ini adalah imajinasi yang jauh dari kebenaran, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qur’an:
Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka …. (QS 53: 23)
Sebagian pemikir Barat cenderung melihat perkembangan agama secara linear. Auguste Comte, misalnya, menyarankan perkembangan agama dari festishisme, kepada politeisme, dan kemudian monoteisme. Perkembangan agama sejak politeisme, dan terutama monoteisme, telah membuka jalan bagi ilmu pengetahuan, tetapi pada perkembangan berikutnya sains menjadikan manusia tak lagi bergantung kepada agama, walaupun yang terakhir ini masih tetap eksis di era modern (Hamilton, 2001, h. 26).
Di tempat lainnya, saat menjelaskan tentang masyarakat Timur Tengah pra-Islam, Ira Lapidus (1988) menulis bahwa agama dan tuhan pada awalnya bersifat lokal dan berkenaan dengan komunitas. Namun, seiring dengan meluasnya jejaring masyarakat, tuhan yang lebih universal mulai dikenal, dan tuhan-tuhan lainnya menempati stratanya masing-masing di dalam hirarki ketuhanan.
Pada perkembangan berikutnya, Lapidus (1988, h. 6) menyatakan bahwa, “Dari supremasi universal dewa-dewa besar, hal ini hanyalah sebuah langkah, sebuah lompatan yang terilhami, menuju wahyu bahwa hanya ada satu Tuhan.” Maka dimulailah sejak saat itu monoteisme, diawali oleh nabi-nabi Bani Israil serta pendiri agama Zoroaster (Majusi) di Persia, dan kemudian diteruskan oleh Kristen dan juga Islam.
Perkembangan agama telah dilihat secara linear, berkembang dari banyak tuhan ke satu tuhan. Cara pandang ini mungkin akan menggoda sebagian orang untuk membayangkan “lompatan” berikutnya, yaitu keadaan tanpa tuhan dalam masyarakat manusia. Hal semacam ini tampaknya telah diaminkan oleh sebagian masyarakat modern.
Sebagian pemikir Barat terlalu obsesif dengan ide perkembangan yang bersifat linear dan progresif. Gagasan ini mewarnai banyak corak pemikiran mereka, termasuk di antaranya gagasan dialektika dan evolusi. Walaupun gagasan-gagasan ini mungkin memuaskan bagi sebagian orang, ada banyak persoalan di dalamnya.
Dalam konteks perkembangan agama dan ketuhanan, cara pandang ini juga tidak sejalan dengan Islam. Memang tidak dipungkiri bahwa masyarakat di sepanjang sejarah telah mengalami perkembangan dan kehidupan keagamaan juga memiliki taraf perkembangan tertentu. Namun, Islam tidak melihat kemunculan monoteisme atau tauhid di dalam sejarah dalam pola perkembangan yang linear seperti di atas.
Islam memahami bahwa asal kepercayaan keagamaan adalah tauhid, karena ia hadir bersama dengan eksistensi manusia yang pertama. Namun, pada generasi-generasi berikutnya mulai terjadi penyimpangan dan masyarakat mulai terjatuh ke dalam politeisme. Penyimpangan dari tauhid kepada penyembahan terhadap gambar atau patung telah berlaku antara era Nabi Adam as dan Nabi Nuh as (al-Qurthubi, 2006, h. 295-296). Lantas Tuhan mengutus seorang nabi, dalam hal ini Nabi Nuh as, ke tengah masyarakat untuk mengembalikan mereka kepada tauhid.
Keadaan seperti ini, yaitu penyimpangan dan pelurusan, terus berulang di sepanjang sejarah. Mengacu pada penjelasan ini, pola perkembangan agama dan tauhid di dalam sejarah bukanlah linear tetapi fluktuatif.
Kalaupun kita hendak menggunakan kata “perkembangan” untuk menjelaskan fenomena ini, maka makna development di sini adalah kembali kepada nilai-nilai tauhid yang asal. Ini kurang lebih sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas (1993) saat menggambarkan arti development dan progress bagi kaum Muslimin yang hidup pada hari ini. Beliau menulis:
“Perubahan (change), perkembangan (development) dan kemajuan (progress), menurut sudut pandang Islam, mengacu pada kembalinya Islam sejati yang diucapkan dan diamalkan oleh Nabi Suci (semoga Tuhan memberkati dan memberinya kedamaian!) dan para sahabatnya yang mulia serta para pengikutnya (berkah dan salam bagi mereka semuanya!) dan keimanan serta amalan umat Islam sejati setelah mereka; dan mereka juga merujuk pada diri dan berarti kembalinya kepada keadaan dan agamanya semula (Islam).” (h. 86-87).
Salah satu “problem” dari sudut pandang ini adalah kesulitan dalam pembuktiannya secara empiris. Pandangan perkembangan agama yang linier lebih mudah dijelaskan secara empiris. Masyarakat monoteis paling awal yang tercatat di dalam sejarah adalah komunitas Yahudi. Sebelum itu, bukti-bukti sejarah hanya menemukan praktek politeisme.
Bukti-bukti sejarah politeisme dan paganisme memang lebih mudah didapatkan, karena banyaknya peninggalan-peninggalan fisik berupa patung dan relief dewa-dewa kuno yang antropomorfik. Tidak demikian halnya dengan ajaran tauhid yang merujuk kepada Tuhan yang esa dan tak dapat diindrakan.
Mungkin ini juga yang menjadi sebab mengapa Allah mengangkat nabi-nabi dalam jumlah yang cukup banyak dalam komunitas Yahudi. Ini merupakan keutamaan yang Allah berikan kepada mereka di bandingkan umat-umat lainnya di masa lalu. Keutamaan ini membuat garis keagamaan tauhid menjadi sangat tebal di tengah komunitas ini. Hal ini membuatnya dapat terlihat dengan jelas di dalam lembaran sejarah, di tengah keberadaan mayoritas masyarakat kuno yang politeistik.
Jika wujud sejarah masyarakat tauhid di era kuno terlalu samar dan banyak terputus, wujudnya di dalam komunitas Bani Israil tergariskan secara repetitif dan berkesinambungan untuk kurun historis yang panjang. Ia menjadi satu bukti yang melekat kuat di dalam sejarah.
Namun, jika pemikir modern menerimanya sebagai keberadaan yang awal dari monoteisme, dan karenanya dimaknai sebagai sebuah transformasi dari bentuk ketuhanan politeisme yang lebih awal, Islam melihatnya sebagai sebuah contoh saja dari ajaran tauhid yang memang sudah ada sejak era yang lebih awal.
Garis monoteisme itu menjadi jauh lebih tebal lagi di dalam sketsa sejarah dengan munculnya agama Islam yang dibawa oleh Nabi (saw) yang universal di Jazirah Arab. Sejak saat itu, agama tauhid tidak lagi menjadi agama komunitas yang terbatas, tetapi menjadi pemahaman yang diterima luas oleh banyak bangsa di dunia.
Kini monoteisme menjadi nilai keagamaan yang diterima oleh masyarakat dunia secara lebih luas dan telah menjadi lebih menonjol dibandingkan politeisme.
Kalaupun hendak dikatakan agama berkembang secara linear di dalam sejarah, maka gerak lurus itu bukan dari politeisme kepada monoteisme, tetapi dari eksistensi monoteisme yang bersifat terbatas dan kesukuan, kemudian berkembang menjadi dominan dan universal. Wallahu a’lam.
Kuala Lumpur,
14 Dzul Hijjah 1445/21 Juni 2024
* Penulis adalah staf pengajar bidang Sejarah dan Peradaban di International Islamic University Malaysia (IIUM)
Referensi
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. (1993). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).
Hamilton, Malcolm. (2001). The Sociology of Religion: Theoretical and Comparative Perspectives. London: Routledge.
Lapidus, Ira M. A. (1988). History of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge University Press.
Mark, Joshua J. (2018), 23 Maret. Religion in the Ancient Word. World History Encyclopedia. https://www.worldhistory.org/religion/
Al-Qurṭubī, Abū Abd Allāh Muḥammad ibn Aḥmad Abī Bakr. (2006). Al-Jāmiꜥ al-Aḥkām al-Qur’ān, Vol. 19. Beirut: Al-Resalah.
Sumber Klik disini