Muslim Terbanyak, Tapi Industri Halal Indonesia masih Peringkat 10 Dunia

Share

Hidayatullah.com—JFT Pembina Industri Ahli Muda, Siti Chasanah menuturkan bahwa industri halal Indonesia masih dalam peringkat sepuluh tingkat dunia. Padahal, Indonesia merupakan negara dengan populasi muslim terbanyak.

“Tentu ini menjadi suatu tantangan tersendiri, sebab potensi pengembangan industri halal itu ada di Indonesia. Melihat populasi muslim, konsumsi produk halal, serta indeks literasi halal terdapat di Indonesia,” tutur Chasanah dalam Konferensi Nasional dengan tema “Peran dan Kontribusi Masyarakat dalam Menyongsong Wajib Halal 2024 Guna Mewujudkan Indonesia sebagai Global Halal Hub” yang diselenggarakan Pusat Halal Universitas Airlangga (UNAIR) belum lama ini.

Tantangan atas potensi tersebut, sambung Chasanah, di antaranya kewajiban bersertifikat halal yang meliputi kesiapan industri, juga kesiapan secara infrastruktur halal, dan MRA (Mutual Recognition Agreement).

“Paham halal, ketahui bahwa dalam halal ada peluang ekonomi. Di luar sana terkait sertifikat halal ini sedang menjadi primadona,” terang Chasanah sebagaimana dikutip laman unair.ac.id.

Chasanah menegaskan bahwa terdapat 17 balai infrastruktur halal yang saat ini telah tersedia. Ia juga menjelaskan bahwa ada kerjasama PPIH Kemenperin dengan stakeholder terkait antara lain, KNEKS, BPJPH- Kementerian Agama, DEKS- Bank Indonesia, dan Ditjen Bina Pembangunan Daerah-Kemendagri.

Industri halal kini telah menjelma menjadi raksasa ekonomi dengan potensi yang luar biasa. Bukan hanya di Indonesia, geliat industri ini mewarnai pangsa global sehingga membuka peluang bisnis bagi berbagai negara, termasuk keikutsertaan. Pusat Halal Universitas Airlangga (Pushal UNAIR).

Hadir dalam acara daring ini adalah Kepala BPJPH Kemenag RI Dr H Muh Aqil Irham MSi; Ketua Pusat Halal UNAIR, Dr Apt Abdul Rahem MKes; Pakar Ekonomi dan Keuangan Syariah UNAIR, Prof Dr Muhammad Nafik Hadi Ryandono SE M Si; Analis Kebijakan Badan Penyelenggara Pusat Halal, Sukbandriah.

Konferensi ini diikuti oleh akademisi, pelaku industri halal, dan UMKM binaan Pushal UNAIR.

Peluang Industri Halal Global

Dr H Muh Aqil Irham MSi dalam sambutannya menerangkan tentang keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Badan ini, katanya, telah berjalan cukup lama, puluhan tahun, tetapi masih berada di tangan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun, saat ini BPJPH telah berpindah tangan di bawah Kemenag RI.

“BPJPH kini dibawahi oleh Kemenag Pemerintahan Indonesia sejak 2017 dalam UU No 33 Tahun 2014,” jelasnya.

Pembagian sertifikasi halal di Indonesia yang terbagi menjadi dua skema, yaitu reguler dan self declare. Sertifikasi reguler diperuntukkan pada perusahaan besar, menengah, dan kecil yang produknya memiliki basis critical yang cukup tinggi.

Karenanya perlu adanya pemberlakuan sertifikasi halal tersebut. “Dalam hal ini ada tiga pihak yang terlibat, yaitu BPJPH, LPH, serta MUI Komisi Fatwa,” ucap Kepala BPJPH Kemenag RI Dr H Muh Aqil Irham MSi.

Sedangkan self declare, membentuk lembaga pendamping berupa LP3H yang mendampingi usaha mikro dan kecil agar mendapatkan sertifikat halal secara gratis. Fasilitas self declare, bukan hanya melalui BPJPH, tetapi juga dapat melalui stakeholder serta kolaborasi dengan berbagai kementerian pusat maupun daerah, ujarnya.

Pemerintah daerah juga telah menyiapkan APBD untuk sertifikat halal tersebut. “Kita memiliki kuota satu juta sertifikat halal gratis di tahun 2023, juga tahun 2024 ini ada satu juta kuota,” ujar Kepala BPJPH.

Sementara Prof Dr Muhammad Nafik Hadi Ryandono SE M Si menyampaikan, saat ini semakin banyak negara dengan penduduk muslim minoritas yang menyadari peluang industri halal. Di masa mendatang, diperkirakan populasi umat muslim akan terus bertambah. Di sisi lain, Indonesia pada tahun 2030-2040 akan menjadi penduduk muslim terbesar di dunia.

Menurut Nafik, halal tidak sebatas simbol religi. Melainkan, higienitas, kesehatan, kemanusiaan, hingga peluang bisnis. Dari segi ekonomi, negara dengan penduduk minoritas muslim mulai mengembangkan industri halal untuk menarik investor sekaligus mendatangkan para turis muslim.

“Karakteristik orang Islam yang paling menonjol adalah mereka cenderung royal menghabiskan uangnya. Perilaku ini tercermin pada perayaan hari raya,” ungkap Nafik.

Memanfaatkan karakteristik tersebut, tak heran banyak negara yang membuka kawasan halal bagi turis muslim. Misalnya, Jepang. Jepang menjadi tujuan wisata yang semakin populer bagi wisatawan muslim dari seluruh dunia.

Sehingga, mereka mulai mengembangkan industri halal di sektor makanan, akomodasi, bahkan menciptakan wisata ramah muslim.

Sayangnya, di Indonesia sendiri, peningkatan industri halal belum berjalan optimal. Nafik menyebut, industri di Indonesia paling besar berada pada sektor UMKM. Jika seluruh UMKM memperoleh sertifikasi halal, maka akan berkontribusi sebesar 56 persen dari PDB negara ini.

Dalam rangkaian acara tersebut, secara resmi telah terjadi penandatangan kontrak penelitian unggulan halal 2024 antara para akademisi dengan Pushal UNAIR. Konferensi Halal Nasional merupakan salah satu komitmen UNAIR dalam mendukung kemajuan industri halal di Indonesia.

Diketahui, Pushal UNAIR pernah mengadakan festival halal yang melibatkan 200 UMKM. Selain itu,  lembaga memiliki 14 auditor halal, 1128 pendamping PPH se-Indonesia, 3 SDM asesor bidang halal, dan 10 kerjasama baik dalam ataupun luar negeri.

“UNAIR secara konsisten mengembangkan berbagai proyek penelitian dan inovasi di bidang halal. Sejak 2014-2019, sukses menyelenggarakan 26 proyek penelitian unggulan halal. Adanya penandatanganan pada konferensi ini, akan semakin beragam penelitian di bidang halal,” papar Dr Abdul Rahem M Kes Apt, salah satu pemateri Konferensi Halal.

Sedangkan, dari segi pengabdian masyarakat, UNAIR telah memfasilitasi sertifikat halal kepada 6104 produk UMKM se-Indonesia secara gratis. Selain itu, terdapat 7 desa binaan sebagai branding produk halal UMKM.*

Sumber Klik disini

Table of contents

Read more

Local News