Mantan Pemimpin Fatah ‘Binaan AS dan Uni Emirat” Muncul ke Publik

Share

Hidayatullah.com—Mantan pemimpin kelompok sekuler Fatah yang kini jadi penasihat Presiden Uni Emirat Arab (UEA), Mohammed Dahlan, yang pernah dituduh korupsi dan melarikan diri ke luar Palestina tiba-tiba muncul ke publik di saat jutaan warga Gaza sedang menderita.

Dalam wawancara dengan surat kabar Amerika, The New York Times, Dahlan mengusulkan solusi dimana penjajah ‘Israel’ dan Hamas menyerahkan wewenang kepada pemimpin Palestina independen yang mampu membangun kembali Gaza di bawah perlindungan pasukan penjaga perdamaian Arab.

Surat kabar tersebut mencatat bahwa Dahlan mengusulkan agar para pemimpin Arab selama diskusi pribadi mereka mengenai rencana pasca perang Gaza.

“Meskipun rencana tersebut menghadapi tantangan berat, para pemimpin Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA) terbuka untuk mendukung proses yang merupakan bagian dari upaya menuju negara Palestina,” kata Dahlan.

Baca: Mohammad Dahlan: Agen Uni Emirat Arab, Pengkhianat Rakyat.

Menariknya, Dahlan erat rezim militer Mesir Abdul Fattah Al-Sisi dan pihak ‘Israel; menegaskan kesiapan tersebut.

Seorang pemimpin Palestina yang baru akan mengambil alih Gaza dan bagian Tepi Barat yang diduduki ‘Israel’ yang saat ini berada di bawah pemerintahan Otoritas Palestina (PA), usul Dahlan.

Pemimpin baru ini akan menggantikan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, presiden Otoritas Palestina yang berusia 88 tahun, yang akan mempertahankan jabatan seremonial, tambahnya.

Menolak Hamas

Dahlan berasal dari Gaza selatan,  dibesarkan di kota yang sama dengan Yahya Sinwar, pemimpin Hamas saat ini.

Dahlan adalah penasihat keamanan nasional Mahmoud Abbas ketika Hamas mengambil alih Gaza pada tahun 2007. Dia ditunjuk sebagai kepala dewan keamanan nasional yang baru oleh Mahmoud Abbas, dan memiliki reputasi kebrutalan yang membuatnya tidak populer di kalangan banyak warga Palestina.

Sebagai kepala keamanan, ia mengorganisir unit-unit yang dilatih dengan bantuan AS di negara-negara Arab dan melobi agar unit-unit Fatah menerima senjata untuk memerangi kelompok pejuang Islam.

Dahlan dilaporkan memainkan peran penting dalam kudeta yang didukung CIA terhadap pemerintahan pimpinan Hamas di Gaza pada bulan Juni 2007, yang menjadi bumerang dan menyebabkan kekalahan Fatah dan perpecahan fatal dengan PLO.

Dahlan banyak mendapat kritik karena dinilai menggunakan taktik keras di Gaza, dan ia memiliki kecenderungan untuk mempromosikan diri sendiri.  Dahlan pindah ke Tepi Barat di mana ia masih dipandang sebagai aset – meskipun tidak dapat diandalkan lagi – oleh Israel.

Namun hubungannya dengan Mahmoud Abbas memburuk di tengah isu ia berusaha menggantikannya. Dahlan sempat divonis penjara karena kasus korupsi secara in-absentia, atas tuduhan yang ia bantah, tahun 2016.

Baca: Siapa Mohammad Dahlan yang Diburu Pemerintah Turki?

Tahun 2011 Muhammad Dahlan dia dilaporkan dan diskors dari Komite Pusat Fatah atas dugaan berencana membentuk milisinya untuk menggulingkan Mahmoud Abbas dan mendalangi pemberontakan.

Keretakannya dengan Abbas terjadi empat tahun kemudian, yang berujung pada pengusirannya dari Fatah. Setelah rumahnya di Ramallah digerebek oleh pasukan keamanan Palestina, Dahlan melarikan diri ke pengasingan.

Ia terpaksa untuk melarikan diri ke Yordania, selanjutnya ke Mesir dan ke Uni Emirat Arab (UEA). Dalam sebuah wawancara dengan al-Arabiya, Dahlan menolak tuduhan terhadap dirinya dan mengatakan ia belum pernah menghasut untuk menentang Abbas atau semua afiliasinya.

Ia kemudia melaraikan diri di Uni Emirat Arab (UEA), dan membangun hubungan dekat dengan anggota keluarga kerajaan. Awalnya berhubungan dekat dengan Syekh Hazza bin Zayed, mantan rekannya di lembaga keamanan UEA.

Dia juga terhubung dengan saudara laki-laki Sheikh Hazza, Sheikh Mohammed bin Zayed, yang menjadi presiden pada tahun 2022. Dahlan bahkan menjadi salah satu penasihat utamanya.

Dekat CIA dan Shin Bet

Dahlan dianggap terlalu dekat dengan Mesir dan dekat dengan ‘Israel’. Dahlan tidak lagi disukai di Tepi Barat pada awal tahun 2000-an dan terpaksa mengundurkan diri sebagai kepala keamanan tahun 2007 setelah Hamas berkuasa di Gaza.

Dia mengasingkan diri pada tahun 2011, awalnya pindah ke Kairo dan kemudian menetap di Abu Dhabi bersama istrinya Jalila Dahlan dan keempat anak mereka.

Sambil terus mengawasi politik Palestina, ia mengambil peran baru sebagai penasihat khusus Putra Mahkota Mohammed bin Zayed Al Nahyan, yang saat itu adalah seorang pilot pesawat tempur di Angkatan Udara UEA.

.notice-box-green {
border: 2px solid #28a745; /* Green border color */
background-color: #d4edda; /* Light green background color */
padding: 15px;
margin: 20px;
border-radius: 8px;
font-family: inherit; /* Use the theme font from WordPress */
text-align: center; /* Center the text */
}

Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/

Dahlan kemudian menjadi perwakilan kepentingan UEA di luar negeri, terutama di Serbia, tempat ia membantu bisnis UEA, dan di Yaman tempat ia mengawasi perekrutan perusahaan militer swasta (Intelligence Online, 24/10/18).

Baca: Turki Minta Interpol Tangkap Mohammad Dahlan

Ia tetap terdepan dalam hubungan UEA-Israel pasca normalisasi diplomasi kedua negara pada tahun lalu.

The Guardian tahun 2021 menulis, bahwa Dahlan memiliki kontak dekat dengan CIA dan Dinas Keamanan Israel, Shin Bet, dan terus mengumpulkan kekayaan pribadi. Dia dituduh memasukkan pendapatan pajak ke rekening banknya dan dianggap korup.

Dokumen WikiLeaks mengungkapkan komentar-komentar tidak menyenangkan mengenai sosok yang mudah berubah secara emosional dan mengintimidasi. Seorang pejabat senior pertahanan ‘Israelo yang mengunjunginya setelah dia jatuh sakit pada tahun 2005 mengatakan kepada diplomat AS: “Dia kejam, yang berarti dia telah pulih,” kata Yuval Diskin, Kepala Shin Bet.

“Jika dia melihat keuntungan pribadi dalam membantu Presiden [Mahmoud] Abbas, dia akan melakukannya, karena ketika dia menginginkannya, dia tahu bagaimana mengendalikan Gaza,” katanya lagi.

Dia melarikan diri ke Mesir tetapi membantah menerima uang atau dukungan AS. Dia membayar “tidak hanya atas kegagalan militernya, tetapi juga atas apa yang dia simbolkan: kesombongan dan rasa percaya diri yang berlebihan, sikap agresif, dan mempunyai terlalu banyak musuh”, tulis seorang pakar Israel.*

Sumber Klik disini

Table of contents

Read more

Local News