Hidayatullah.com–Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir mengatakan sejumlah kejadian atau kasus sebagai fakta sosial yang menunjukkan adanya krisis atau peluruhan moral dan etika luhur bangsa akhir-akhir ini.
Kasus paling menonjol diantaranya diberhentikannya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mewakili erosi moral dan etika para pejabat negara atau pejabat publik.
Kasus paling baru mundurnya unsur pejabat pemerintahan sekaligus tokoh agama karena menyentuh persoalan kepatutan etika dalam berinteraksi sosial dengan sesama.
“Pelanggaran moral dan etika oleh pejabat publik jangan dianggap ringan dan biasa karena menyangkut elite negeri yang semestinya menjadi teladan rakyat,” kata Haedar Nashir dalam “Orasi Penerimaan Anugerah Hamengku Buwono IX” dari Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 20024 yang berlangsung Kagungan Dalem Bangsal Srimanganti Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kamis (19/12/2024) malam.
Dalam orasinya yang berjudul “Transformasi Mentalitas dan Kebudayaan Indonesia’, Haedar menuturkan masalah moral dan etika dalam mentalitas bangsa sebenarnya masalah kebudayaan, yakni menyangkut sistem pengetahuan kolektif manusia dalam kehidupan bersama.
Masyarakat Indonesia menampilkan gaya hidup baru yang menunjukkan anomie atau anomali, yakni penyimpangan perilaku dalam masyarakat. Ketika korupsi, orientasi materi (materialisme), transaksi politik uang, memuja kesenangan duniawi (hedonisme), dan cara hidup menghalalkan apa saja (oportunisme) mulai meluas dalam kehidupan masyarakat maka yang terjadi ialah ketercerabutan.
“Kita masih dapat mendaftar persoalan bangsa yang bersifat struktural seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, politik uang, politik transaksional, dan persoalan-persoalan politik yang juga menyentuh ranah moral dan etika. Di ranah kehidupan sehari-hari sama gawatnya seperti judi online, kejahatan ITE, narkoba, kekerasan seksual, pembunuhan di internal keluarga dan lingkaran orang-orang terdekat, rendahnya “digility” (tingkat kesopanan) netizen Indonesia di dunia media sosial, serta persoalan-persoalan sosiopatik lainnya,” ujarnya.
Bagi Haedar, dimensi moral dan etika dalam kehidupan suatu masyarakat atau bangsa tidak dapat dipandang enteng karena keduanya menyangkut urusan nilai baik dan buruk yang sejatinya merupakan representasi dari martabat ruhani dan akal-budi manusia.
Persoalan moral dan etika tersebut tidak dapat dimarjinalisasikan sebagai urusan domestik dan privat, sebab dalam kehidupan bangsa yang dikenal maju dan sekuler-modern pun keduanya masih dijunjung tinggi. “
Betapa sejumlah kasus menunjukkan, seorang pejabat tinggi hingga Perdana Menteri mundur karena tersangkut persoalan etika jabatan dan etika publik. Apalagi dalam kehidupan bangsa Indonesia yang memiliki pijakan utama nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur bangsa,” imbuhnya.
Dalam menghadapi kelemahan mentalitas bangsa penting dilakukan pendekatan transformasi kebudayaan. Transformasi merupakan strategi perubahan jalan tengah menuju Indonesia yang lebih maju dan berkarakter keindonesiaan yang kuat secara individual maupun kolektif dalam sistem kebudayaan baru.
Dalam konteks ini sejatinya bangsa Indonesia secara relatif memiliki nilai-nilai keutamaan yang mengkristal menjadi modal sosial dan budaya penting. Di antara nilai-nilai itu adalah daya juang, tahan menderita, mengutamakan harmoni, dan gotong royong.
Nilai-nilai keutamaan tersebut masih relevan, namun memerlukan penyesuaian dan pengembangan sejalan dengan dinamika dan tantangan zaman. “Cukup mendesak untuk dilakukan transformasi karakter bangsa, yaitu dengan memelihara dan meningkatkan nilai-nilai keutamaan yang sudah terbangun sejak dahulu dan mengembangkan nilai-nilai keutamaan baru, termasuk membuka diri terhadap nilai-nilai keutamaan bangsa-bangsa lain yang lebih maju,” paparnya
Menurut Haedar, Indonesia emas tahun 2045 akan terwujud jika generasi mudanya saat ini religius, cerdas, berkepribadian Indonesia yang unggul seperti itu.
“Bukan generasi lemah, pembebek, serba instans, menjadi benalu, penjual populisme murah, serta tidak memiliki khazanah keilmuan, kepribadian, dan perilaku serba utama,” ungkapnya.
Menurut Sri Sultan Hamengku Buwono X, kepemimpinan Haedar di Muhammadiyah berhasil mengemban kepemimpinan yang berpijak pada kesederhanaan, keluasan ilmu, dan visi kemajuan umat bahkan membawa cita-cita Muhammadiyah Unggul-Berkemajuan atau Centre of Excellence.
“Role model “Centre of Excellence” bukanlah sebatas gagasan kosong, melainkan sebuah laku hidup Muhammadiyah di pentas nasional dan global,” katanya.
Berbagai gagasan Haedar Nashir dinilai Sri Sultan sebagai visi yang melampaui sekadar pembangunan institusi. Bahkan telah melahirkan tonggak-tonggak peradaban.
Sekelumit contoh seperti Markaz Dakwah Muhammadiyah di Kairo, Universiti Muhammadiyah Malaysia (UMAM), dan Muhammadiyah Australia College (MAC) di Melbourne.
“Pada hakikatnya, karya ini bukan semata soal pembangunan fisik atau perluasan jaringan, melainkan usaha mulia, untuk membangun peradaban yang kokoh berlandaskan, nilai-nilai Islam yang “wasathiyah” – moderat, inklusif, dan berkemajuan”, ungkapnya.
Diakui Sri Sultan, Haedar Nashir dalam kepemimpinannya, mencerminkan sejatinya filosofi Muhammadiyah yaitu berkemajuan, membangun umat, dan menebar manfaat bagi semesta.
“Dalam pemikirannya, ilmu bukan sekadar simbol pengetahuan, melainkan menjadi setitik cahaya pelita, yang sudah seharusnya menuntun umat di tengah tantangan zaman dengan berbagai dinamika dan fluktuasinya,” terangnya.
Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K), Ph.D., mengatakan Prof Haedar Nashir merupakan tokoh yang konsisten dan berkomitmen menjalankan setiap tugas pengabdiannya dalam bidang pendidikan, sosial, politik dan kemanusiaan.
“Selamat kepada Prof Haedar Nashir semoga terus berkarya dalam tugas pengabdian di masa depan, terus bertumbuh dan bermanfaat bagi kehidupan sosial masyarakat,” terangnya.*
Sumber Klik disini