Hidayatullah.com—Mulai tanggal 28-31 Mei 2024 nanti, Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan menggelar Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia VIII. Kegiatan yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Islamic Center, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung (Babel) akan membahas masalah kemaslahatan umat dan bangsa.
“Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia VIII membahas mengenai masalah-masalah strategis kebangsaan. Kegiatan mengusung tema ‘Fatwa: Panduan Keagamaan untuk Kemaslahatan Bangsa’,” kata Ketua SC Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia VIII Asrorun Niam Sholeh dalam keterangan persnya dilansir MUIDigital, Selasa (28/5/2024).
Asrorun mengatakan, kegiatan itu akan dibuka langsung oleh Wakil Presiden RI Maruf Amin. Dalam kegiatan nasional itu, terdapat tiga tema besar yang akan menjadi pembahasan.
“Ketiga tema itu terkait dengan masalah-masalah kenegaraan (masail asasiyah wathaniyah). Masalah fikih dan hukum Islam tematik kontekstual (masail waqi’iyah mu’ashirah) dan masalah hukum dan perundang-undangan (masail qanuniyyah),” ucapnya.
Terkait masalah-masalah kenegaraan, Asrorun mengungkapkan, pihaknya akan ada pembahasan mengenai fiqih hubungan antarnegara. Hal itu, nantinya membahas mengenai status dan kedaulatan hukum antarbangsa.
Bahas Palestina
Selain itu, para ulama juga akan menyoroti persoalan krisis kemanusiaan. Salah satunya penjajahan yang terjadi di Palestina.
“Dukungan terhadap usaha mewujudkan kemerdekaan setiap bangsa dan keberpihakkan dalam memerangi penjajahan. Termasuk kasus yang terjadi di Palestina yang sedang mengalami penjajahan,” ujarnya.
Para ulama MUI akan membahas detail, mengenai sikap yang harus diambil oleh seorang muslim. Khususnya terhadap saudara sesama muslim di negara yang sedang mengalami krisis kemanusiaan.
“Dukungan terhadap usaha mewujudkan kemerdekaan setiap bangsa dan keberpihakkan dalam memerangi penjajahan. Termasuk kasus yang terjadi di Palestina yang sedang mengalami penjajahan,” kata dia.
Asrorun menambahkan, ijtima ini juga akan membahas mengenai fikih antarumat beragama. Salah satu persoalan mengenai fikih antarumat beragama ini adalah bagaimana memaknai toleransi dan moderasi beragama konteks hubungan antaragama.
“Menentukan mana wilayah yang bersifat ekslusif keagamaan tanpa harus mencampuradukkan, dan wilayah yang bersifat muamalah dan inklusif. Bukan menjadi alasan untuk tidak bekerja sama dalam urusan sosial kemasyarakatan,” ucapnya.
Pembahasan tema para ulama juga terkait etika penyelenggaraan bernegara. Persoalan yang dibahas di antaranya mengenai masalah persoalan perzakatan kontemporer dan perhajian kontemporer.
“Misalnya terkait isu tasrih dalam penyelenggaraan mabit di Muzdalifah. Isu terkait penyelenggaraan lempar jamrah di hari tasyrik yang belum masuk waktu shubuh,” ujarnya.*
Sumber Klik disini