Hay’at Tahrir al-Syam (HTS) di Suriah mencerminkan perubahan penting dalam politik negara tersebut, ia berhasil mengubah strategi mengandalkan donor asing, mengelola keuangan melalui perpajakan daerah
Hidayatullah.com | JATUHNYA rezim Bashar al-Assad telah membuka babak baru dalam politik dan pemerintahan Suriah. Di tengah perubahan tersebut, kelompok pejuang oposisi Hay’at Tahrir al-Syam (HTS) yang dipimpin oleh Ahmed Hussein al-Sharaa, lebih dikenal sebagai Abu Mohammad al-Jaulani, muncul sebagai pemain kunci dalam upaya merestrukturisasi lanskap politik negara tersebut.
HTS kini mengkonsolidasikan posisinya di Idlib, namun pertanyaan utamanya adalah apakah keberhasilan mereka di wilayah tersebut dapat diperluas ke seluruh Suriah.
Pengaruh dan strategi kelompok ini akan menjadi penentu utama arah politik Suriah pasca-Assad.
Sejak tahun 2017, HTS telah menguasai provinsi Idlib dan berhasil menciptakan stabilitas relatif di wilayah tersebut.
Melalui Syria Salvation Army yang dibentuk, HTS memerintah wilayah tersebut dengan pendekatan pragmatis, namun tetap mempertahankan identitas mereka.
“HTS menunjukkan kemampuan luar biasa dalam mengelola ekonomi konflik,” kata Chief Research Officer di perusahaan analisis Kharon, Mark Nakhla.
Menurutnya, HTS berhasil mengubah strateginya dari mengandalkan donor asing menjadi mengelola keuangan melalui perpajakan daerah dan pengendalian ekonomi.
Salah satu contoh penting adalah pajak minyak zaitun yang diberlakukan pada tahun 2019, ketika petani diwajibkan menyerahkan 5 persen hasil minyak zaitun mereka kepada pemerintah daerah.
Tindakan tersebut menuai kritik keras dari warganya. “Pajak ini memberatkan kami, apalagi saat musim panen buruk,” kata seorang petani asal Idlib.
Namun, HTS tetap berpegang pada kebijakan tersebut untuk memastikan aliran pendapatan yang berkelanjutan.
Selain itu, HTS juga menguasai perbatasan utama seperti Bab al-Hawa yang merupakan jalur penting perdagangan dan bantuan kemanusiaan dari Turki.
Perkiraan menunjukkan HTS menghasilkan hingga US15 juta per bulan hanya dari pengumpulan pajak perbatasan.
HTS sebelumnya menggunakan Jabhah al-Nusra dan masih bergabung dengan Al-Qaeda pada 2011. Namun pada 2016, Al-Jaulani memutuskan untuk membubarkan Jahbah al-Nusra karena perbedaan pandangan, dan memilih lebih moderat.
Strateginya melibatkan restrukturisasi militer dan pemerintahan yang lebih sistematis. Menurut peneliti Malmo University, Dr Orwa Ajjoub, perubahan tersebut membuat HTS lebih pragmatis.
“Mereka masih kelompok Islam, namun kini lebih mau berinteraksi dengan masyarakat setempat dan meninggalkan pendekatan keras seperti kelompok ekstremis lainnya,” ujarnya.
Misalnya, HTS tidak menerapkan aturan moral yang ketat seperti kelompok ISIS.
Faktanya, pusat perbelanjaan dan kegiatan sosial yang memungkinkan percampuran laki-laki dan perempuan tetap dibuka meski mendapat tentangan dari elemen garis keras.
“Mereka lebih fleksibel dalam administrasi. Ini adalah kunci stabilitas yang mereka ciptakan di Idlib,” tambah Orwa.
Di medan pertempuran, HTS berhasil membangun kekuatan militer yang lebih terorganisir.
Pada tahun 2021, mereka mendirikan Perguruan Tinggi Militer, yang merupakan wadah bagi mantan perwira tentara Suriah yang membelot untuk melatih para pejuang HTS dalam doktrin militer modern.
“Mereka bukan lagi sekedar kelompok milisi. Mereka kini lebih seperti tentara profesional dengan rantai komando yang jelas,” kata analis konflik dari International Crisis Group, Jerome Drevon.
Salah satu keberhasilan terbesar HTS adalah dalam penyerangan ke Damaskus, ketika kerja sama antar unit pejuang oposisi memungkinkan mereka merebut kota tersebut dalam waktu singkat.
“Keberhasilan ini bukan sebuah kebetulan.
“Serangan itu direncanakan dengan hati-hati dan dibantu oleh dukungan dari kelompok sekutu lainnya,” kata pakar dari Institut Timur Tengah, Charles Lister.
Lebih jauh lagi, kekuatan HTS tidak hanya bergantung pada senjata rampasan perang tetapi juga kemampuannya dalam memproduksi kendaraan lapis baja dan membangun unit drone yang memberikan mereka keunggulan taktis di medan perang.
Meskipun HTS berhasil memerintah Idlib secara efektif, muncul pertanyaan apakah mereka mampu mempertahankan pendekatan tersebut di tingkat nasional.
Suriah adalah negara yang kompleks dengan keragaman etnis dan agama, termasuk Sunni, Syiah, Kristen, Druze, dan Alawi.
Bagi sebagian kalangan, HTS masih dipandang curiga karena sejarahnya sebagai gerakan militan.
Selain itu, pengakuan internasional menjadi tantangan besar karena HTS masih terdaftar sebagai kelompok teroris oleh Amerika Serikat, Turki, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Namun, beberapa ahli percaya bahwa pendekatan pragmatis HTS bisa menjadi kunci keberhasilan mereka. “Mereka telah menunjukkan kemampuan untuk beradaptasi dengan realitas politik dan ekonomi,” kata Aaron Y. Zelin dari Washington Institute.
Bagi masyarakat Suriah, keberhasilan HTS membuka pintu negara baru setelah lebih dari satu dekade hidup dalam perang saudara.
“Kami menginginkan pemerintahan yang adil dan dapat dipercaya, bukan sekadar rezim yang menindas,” kata seorang warga Idlib yang menolak disebutkan namanya.
Pengusaha lokal, Hussam Twilo, yang menjalankan perusahaan telekomunikasi, Syriaa LTE, mengatakan HTS mendukung pengembangan sektor swasta.
“Mereka memberi kami izin untuk beroperasi dan bersaing secara sehat,” katanya.
Namun Encik Hussam memperkirakan akan ada peningkatan perpajakan setelah HTS mulai memerintah di tingkat nasional. “Mereka mungkin akan lebih ketat setelah ini,” tambahnya.
Dalam konteks ini, kebangkitan HTS di Suriah mencerminkan perubahan penting dalam politik inegara tersebut.
Meski masih banyak tantangan ke depan, namun keberhasilan mereka di Idlib menunjukkan bahwa kelompok tersebut tidak hanya mampu bertahan tetapi juga membangun kembali stabilitas dalam situasi konflik.
“Perjuangan ini bukan hanya untuk menggulingkan rezim Bashar al-Assad, tapi untuk membangun Suriah yang baru, lebih stabil dan adil,” kata pimpinan HTS, Al-Sharaa.
Bagi warga Suriah yang bosan dengan perang berkepanjangan, harapan kini bertumpu pada kepemimpinan baru. Namun, waktu akan membuktikan apakah HTS benar-benar mampu mengubah Suriah atau hanya mengulangi sejarah yang sama.*
Sumber Klik disini