Hakikat Puasa dan ‘Madrasah’ Fikiran

Share

Oleh: Kholili Hasib

Hidayatullah.com – Sering disebut-sebut, puasa Ramadhan merupakan “madrasah”. Sebenarnya lebih tepatnya “madrasah hati” dan “madrasah fikiran”. Sebab, hakikat puasa bukan hanya menahan anggota badan. Dari perkara yang membatalkan. Tetapi, sebenarnya juga menahan hati dan pikiran. Sebab, syahwat tidak hanya mengendalikan mulut, telinga dan alat kelamin. Namun, hati dan fikiran memiliki syahwat, yang jika tidak ditahan berubah menjadi hawa nafsu.

Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa puasa yang sampai pada tingkat menahan hati dari keinginan-keinginan hina dan pemikiran duniawi merupakan puasanya para Nabi, shiddiqun dan muqarrabun. Mereka tidak berfikir dari perkara-perkara selain Allah Swt secara totalitas. (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, 109). Peringkat puasa paling tinggi. Puasa hakiki pada tingkat ini.

Fikiran jika tidak dikendalikan, akan menjadi fikiran yang liar. Pemikiran liar yang paling mendasar adalah memikiran sesuatu dengan melepaskan dari Allah Swt. Faham sekularisme merupakan keyakinan yang sangat nyata tentang pemikiran yang liar pada zaman modern. Sekularisme merupakan faham yang memisahkan antara kehidupan duniawi dengan agama, dan hal-hal yang terakait dengan agama. Termasuk konsep Tuhan.

Dalam konsep ilmiah Barat sekular, yang dimaksud realitas hanya pada dunia yang terindera saja. Realitas yang tidak terindera diyakini tidak ada. Berbeda dengan pandangan Islam, aspek dunia harus dikaitkan dengan aspek akhirat. Segala sesuatu didasarkan fokusnya pada aspek akhirat (Syed M Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 1).

Imam al-Ghazali mengatakan bahwa memikirkan sesuatu selain Allah Swt dalam hati dan fikiran termasuk tidak berpuasa. Boleh jadi berfikir dunia, namun dunia yang dipandang dalam agama sebagai bekal akhirat. Maka berfikir dengan cara demikian bukan termasuk duniawi (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, 110).

Fikiran yang meyakini bahwa perkara-perkara dunia tidak ada kaitan dengan agama. Ilmu pengetahuan tidak ada relasinya dengan keimanan kepada Allah Swt, dan lain-lain merupakan contoh fikiran yang liar di zaman modern.

Di zaman Nabi Muhammad Saw, reduksi konsep Allah SWT dilakukan kaum musyrik dengan cara menvisualisasi Allah Swt melalui bentuk patung. Nabi Saw meluruskan bahwa Allah Swt tidak boleh dan tidak bisa direduksi dengan digambarkan dengan bentuk berhala. Di zaman modern reduksi kekuasaan Allah Swt dengan berbagai bentuk. Misalnya, menyamakan Allah dengan Tuhan agama-agama lain yang sejatinya bukan Tuhan melalu paham kesatuan Transenden Unity of Religion. Mereduksi kuasa Allah dalam sains melalui hukum positivisme.

Misi Nabi Saw adalah mencegah pemikiran-pemikiran liar tentang Allah Swt. Meletakkan konsep Allah Swt sebagai konsep paling tinggi dalam keyakinan manusia. Oleh sebab itu, tarbiyah Nabi Muhammad Saw tentang konsep Tuhan melalui dua tahap.

Pertama, membersihkan hati dan fikiran dari i’tiqad yang mencampur (asyraka) antara kekuasaan Tuhan dengan kekuasaan benda-benda. Agar mereka menjadi Muslim, bukan Musyrik. Kedua, mencegah masuknya perkara dunia, selain Allah Swt, ke dalam hati dan fikiran. Sehingga isi hati dan fikiran hanya Allah Swt. Tidak melihat dan memikirkan sesuatu kecuali dihubungkan dengan Allah Swt. Agar mereka menjadi Muslim yang hakiki.

Dalam pandangan Islam, Allah Swt harus “hadir” dalam setiap perkara hidup manusia. “Hadirnya” Allah Swt bukan saja di saat shalat atau ibadah-ibadah lain. Namun, dalam setiap aktifitas. Termasuk aktifitas berfikir.

Oleh sebab itu, tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa) dapat disebut juga proses tazkiyatu al-fikr (pembersihan pemikiran) sekaligus pembersihan iman. Dengan demikian, langkah mengislamkan pemikiran yang pertama-tama perlu dilakukan adalah dengan mengikuti petunjuk riyadlah al-nafs (melatih jiwa melawan hawa nafsu) seperti yang dijelaskan oleh imam al-Ghazali dalam kita Ihya’ Ulumuddin. Keyakinan-keyakinan materialistik dalam hati harus dibersihkan. Sebab, hati dan pikiran itu mengontrol dan membentuk perilaku. Beradab atau bi-adabnya perilaku dipengaruhi oleh bersih dan kotornya jiwa.

Ramadlan adalah ‘madrasah’ untuk mengislamkan jiwa dan pikiran. Jiwa dan pikiran yang Islami, yaitu yang bersih, selalu patuh dan tunduk kepada Allah, beradab, bermoral dan terbebas dari kekuasaan nafsu untuk anti agama. Jiwa dan pikiran yang patuh kepada-Nya terisi nilai-nilai suci, tiada nilai lain kecuali nilai ketuhanan.

Ramadan sengaja menjadi tempat untuk mencetak jiwa-jiwa Islami, bukan jiwa yang sekular. Perbanyaklah ibadah, sering-seringlah mematikan hawa nafsu. Sekali-kali jangan beri kesempatan nafsu untuk menguasai jiwa selama bulan puasa. Jika seusai Ramadlan jiwa kita tetap sekular, maka kita gagal beribadah puasa Ramadlan. Maka, siapkanlah diri sejak sekarang. Puasa tetapi masih sekular, berarti hati dan fikirannya tidak berpuasa.

.notice-box-green {
border: 2px solid #28a745; /* Green border color */
background-color: #d4edda; /* Light green background color */
padding: 15px;
margin: 20px;
border-radius: 8px;
font-family: inherit; /* Use the theme font from WordPress */
text-align: center; /* Center the text */
}

Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/

Jika hati dan fikiran berpuasa, maka itulah hakikat puasa yang sebenarnya. Totalitas mencegarh potensi-potensi negatif. Hati dipagari agar tidak memikirkan duniawi atau memikirkan sesuatu yang tercela. Hatinya secara total berisi Allah. Puasa ini merupakan tingkatan para wali muqarrabīn. Memikirkan perkara makruh saja, dianggap telah membatalkan puasa. Apalagi memikirkan perkara yang haram.

Memikirkan perkara duniawi dianggap batal kecuali perkara tersebut mendorong ke arah pemahaman agama, karena dunia yang demikian merupakan bekal akhirat dan tidak termasuk bagian duniawi. Puasa tingkat ketiga ini merupakan puasa total, seluruh bagian tubuh dan jiwa lahir dan batin ikut berpuasa.

Cara puasa demikianlah yang mendatangkan takwa. Banyak orang yang menjalankan puasa, tapi kata Nabi hanya memperoleh lapar dan dahaga saja. Sebabnya, karena dia hanya puasa tidak makan dan tidak minum saja. Sedangkan hati dan fikiran tetap liar, tidak dicegah dan dikendalikan.

Penulis adalah dosen pascasarjana UII Dalwa

Baca juga: Cara Mengingat Kematian Menurut Imam Al-Ghazali

Sumber Klik disini

Table of contents

Read more

Local News