Hidayatullah.com – Awal pekan lalu, Perdana Menteri India, Narendra Modi, berkampanye di negara bagian asalnya, Gujarat. Sebagaimana tabiatnya selama ini, tema anti-Muslim menjadi isu utamanya.
“(Aliansi oposisi) meminta umat Islam untuk melakukan ‘jihad memilih’. Ini merupakan hal baru setelah sebelumnya ada ‘jihad cinta’ dan ‘jihad darat’. Ini berbahaya bagi demokrasi negara,” ujarnya sebagaimana dilansir Al Jazeera (3/5/2024).
Sebelumnya, pemimpin lokal dari oposisi Partai Samajwadi, Maria Alam, berpidato di negara bagian Uttar Pradesh. Ia meminta umat Islam agar melakukan “jihad suara” untuk menyingkirkan Modi dari kekuasaan.
Sontak Partai Bharatiya Janata (BJP) pimpinan Modi menyerang penggunaan kata “jihad” itu. Alam kemudian mengklarifikasi bahwa “jihad” dalam bahasa Arab artinya perjuangan, yakni mendorong partisipasi pemilih Muslim.
Tahapan pemilu India terus bergulir dan makin menegangkan. Para analis mengkhawatirkan retorika Modi yang anti-Muslim berisiko akan meningkatkan kekerasan fisik terhadap umat Islam, termasuk bagi orang Islam yang menjadi pendukung partai Modi sendiri.
Pemilu India melibatkan 960 juta pemilih terdaftar. Sekitar 200 juta di antaranya adalah warga Muslim.
Penyusup, Penjajah, Penjarah
Dalam kampanyenya, Modi menyebut komunitas Muslim sebagai “penyusup” dan terlalu memiliki banyak anak untuk melampaui jumlah umat Hindu. Padahal kenyataannya, jumlah umat Islam kurang dari 15% dari populasi nasional. Data pemerintah juga menunjukkan tingkat kesuburan komunitas Muslim terus turun dibandingkan dengan umat Hindu dan kelompok agama besar lainnya.
Komentar tersebut memicu pertikaian politik dan mengundang banyak kritik tajam dari pihak oposisi dan kelompok masyarakat sipil. Sekitar 20.000 warga menulis surat kepada Komisi Pemilu India untuk menentang ujaran kebencian Modi.
Pada tanggal 23 April, Modi juga menuduh adanya konspirasi oleh Kongres – partai oposisi utama di negara tersebut – dan umat Islam untuk mencuri kekayaan umat Hindu.
“Kongres melakukan konspirasi untuk merampas properti Anda dan mendistribusikannya kepada kelompok mereka,” katanya, mengacu pada umat Islam.
Pada tanggal 30 April, BJP menerbitkan video kampanye animasi di Instagram. Digambarkan ada perampok laki-laki Muslim yang kejam dan serakah yang menyerang India pada abad pertengahan dan menjarah kekayaannya, kemudian Modi datang untuk menyelamatkan negara tersebut.
Modi secara terbuka juga kerap menyebut adanya “jihad cinta”, yakni laki-laki Muslim menikahi perempuan dari agama lain agar mereka masuk Islam. Juga “jihad darat”, yaitu umat Islam menimbun tanah untuk mendapatkan keuntungan dan menguasai wilayah India.
Menurut Nilanjan Mukhopadhyay, penulis biografi Modi, polarisasi agama memang telah menjadi kebiasaan Modi.
“Demokrasi India telah dianiaya dengan parah oleh BJP dan Modi. Ini mungkin saat terburuk bagi seorang Muslim di India. Muslim selalu merasa menjadi tahanan atas identitas mereka,” katanya kepada Al Jazeera.
Instagram kemudian menghapus video tersebut setelah banyak pengguna melaporkannya karena ujaran kebencian. Namun Komisi Pemilu India sejauh ini belum bertindak.
“Modi telah mempermalukan martabat jabatan PM. Kata-katanya tidak layak keluar dari mulut seorang Perdana Menteri India,” kata anggota Kongres Pramod Tiwari, pemimpin oposisi di majelis tinggi parlemen, kepada Al Jazeera.
“Demokrasi dipertaruhkan dalam pemilu ini dan Komisi Pemilu India sedang tertidur. Partai Kongres menyerukan diskualifikasi pencalonan Modi dan dia harus dilarang berkampanye,” lanjutnya.
Memicu Lebih Banyak Kebencian
Para analis mengatakan bahwa ujaran kebencian Modi membuat umat Islam lebih rentan terhadap kekerasan.
“Pernyataan ini kemungkinan besar akan membuat para pekerja Hindutva merasa dibenarkan karena merasa didukung oleh kantor tertinggi negara. Saya harap pernyataan ini tidak memicu lebih banyak kebencian dan kekerasan, tapi itu hanyalah harapan,” kata Irfan Engineer, Direktur Pusat Studi Masyarakat dan Sekularisme yang berbasis di Mumbai.
Hindutva mengacu pada ideologi mayoritas Hindu dari BJP dan mentor ideologisnya, Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS). Kelompok ini dikenal sebagai Hindu radikal.
Engineer dan tim pencari fakta terus memantau kekerasan komunal selama beberapa dekade dan mengunjungi daerah-daerah yang terkena dampak. Katanya, pidato dan demonstrasi semacam itu telah memicu kekerasan di daerah yang terkenal dengan keharmonisan antaragama.
Amnesty International juga khawatir dengan konsekuensi pernyataan Modi.
“Lembaga-lembaga yang dibentuk untuk memantau ucapan-ucapan seperti itu harus berupaya untuk meminta pertanggungjawaban. Namun sejauh ini, sayangnya, Komisi Pemilihan Umum India membiarkan hasutan dan permusuhan semacam itu,” kata Aakar Patel, Ketua dewan Amnesty International di India, dalam pernyataannya kepada Al Jazeera.
Modi pernah menggambarkan dirinya sebagai korban serangan oposisi. Misalnya mengaku masa kecilnya hidup dalam kemiskinan, dibandingkan dengan hak istimewa yang dimiliki banyak pemimpin oposisi saat tumbuh dewasa.
“Kali ini, ia telah melupakan dirinya sendiri dan menanamkan sifat korban dalam dirinya pada seluruh komunitas Hindu,” kata Engineer.
Baca juga: Ujaran Kebencian Anti-Muslim di India Semakin Menjadi-Jadi
Menuju Kultus Individu
Penelitian menunjukkan bahwa di beberapa wilayah, dukungan Muslim terhadap BJP, meskipun kecil, perlahan-lahan meningkat. Tahun 2021 dukungannya di bawah 5%, lalu meningkat jadi lebih dari 9% pada 2022. Uttar Pradesh menjadi negara bagian terbesar dan paling signifikan secara politik di India.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Namun Mukhopadhyay mengatakan bahkan Muslim India yang mendukung Modi pun rentan. “Modi akan tetap datang dan menyerang umat Islam,” katanya.
Contohnya dialami oleh Usman Ghani, seorang pemimpin politik muda dari negara bagian Rajasthan. Ghani bergabung dengan sayap mahasiswa BJP semasa kuliah dan menjadi presiden sayap minoritas di distriknya. Beberapa bulan lalu, dia menyambut Modi saat kampanye pemilu negara bagian.
Ghani mengaku dipaksa oleh para pemilih agar menanggapi pernyataan Modi. Ia mengatakan, “omong kosong!” Ghani lantas dikeluarkan dari partai dan ditahan oleh polisi di negara bagian yang dikuasai BJP tersebut.
“Modi adalah aliran sesat yang lebih besar dibandingkan siapapun yang pernah ada (dalam gerakan Hindutva). Ini pemilu atau upaya kultus individu?” kata Mukhopadhyay.
“Gerakan Hindutva telah dimasuki oleh individu. Dan ini merupakan paradoks besar karena, bagi keluarga Sangh [RSS], tidak ada individu yang berada di atas organisasi,” tambahnya.
Seorang komentator politik di New Delhi yang meminta untuk tidak disebut namanya –khawatir masalah keamanan– mengatakan fokus Modi pada ketakutan anti-Muslim bisa jadi merupakan reaksi terhadap jumlah pemilih yang lebih rendah dari biasanya pada dua tahap pertama pemilu nasional.
“Tidak ada lagi yang percaya dengan usulan pembangunan ekonomi Modi. Jadi dia, tentu saja, mempolarisasi para pemilih,” jelasnya.
Saat ini tingkat pengangguran mencapai rekor tinggi, kesenjangan pendapatan dan kekayaan semakin melebar, dan indeks demokrasi mengalami kemunduran. Meskipun demikian, jajak pendapat menempatkan Modi sebagai kandidat yang difavoritkan kembali berkuasa untuk ketiga kalinya.
“Mandat tahun 2014 adalah untuk apa yang disebut pembangunan, tahun 2019 untuk nasionalisme, dan sekarang, tahun 2024, Modi akan merasa lebih yakin bahwa ia memenangkan suara untuk polarisasi. Kebencian anti-Muslim kini menjadi inti kampanye BJP,” kata Engineer.*
Baca juga: (VIDEO) Kelompok Ekstremis Hindu India Berpawai Saat Idul Fitri
Sumber Klik disini