Peneliti BRIN Ungkap Jejak Tuki Utsmani dalam Seni Rupa Nusantara

Share

Hidayatullah.com—Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra), Herry Jogaswara menyampaikan pentingnya mengungkap pengaruh nusantara terhadap peradaban global, tak terkecuali bagi Turki Usmani.

Hal itu diperkuat dengan adanya keterlibatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam IRCICA (Research Center for Islamic History, Art and Culture) yang berlokasi di Istanbul, Turki.

“Maka harus dibuat program yang mampu memperlihatkan pengaruh Nusantara terhadap globalisasi. Termasuk, riset yang dikembangkan selama ini untuk menunjukkan pengaruh nusantara di berbagai wilayah, khususnya Timur Tengah,” ujarnya. Hal tersebut disampaikannya dalam Webinar ‘’Khazanah Keagamaan di Turki dan Nusantara: Diaspora dan Perjumpaan”, Selasa (15/10/2024).

Dikutip laman BRIN, Nurman Kholis, Peneliti Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban (PR KKP) BRIN, memaparkan tentang universalisme islam model Jalaluddin Rumi dari tinjauan atas Tari Sema dan temuan koin kuno Turki di Nusantara.

Ia memulai cerita tentang Maulana Jalaluddin Rumi, pada mulanya bersama para simpatisannya di majelis sima’ (sema), membuat halaqah dzikir hingga menari dan berputar-putar. Seni tari ini kemudian tersebar ke Timur dan Barat.

Nurman lalu menyoroti universalisme pemikiran tokoh tersebut dalam perspektif.

Ia juga menjelaskan analogi kemuliaan wali-wali sebagaimana tergambar dalam uang dari logam mulia dinar (uang emas) dan dirham (uang perak), dan sebagainya. Ia menjelaskan, ada beberapa temuan koin kuno turki di Indonesia.

Hal ini disampaikan dalam akun Facebook Asosiasi Numismatik Nusantara (ANN). Informasi tersebut berdasarkan informasi Saparudin Barus dari Museum Uang Sumatera tentang koin kuno Turki masa Maulana Jalaludin Rumi pada kolektor di Jakarta.

Akun tersebut juga menginformasikan temuan koin-koin kuno Turki lainnya di Banjarmasin (Kalimantan Selatan), juga Baturaja (Sumatera Selatan). Juga temuan koin-koin kuno Turki abad 10-11 di Sumatera Utara dan Jambi, koin Turki abad 16 di Kalimantan.

Selanjutnya, informasi pada “Buku Jejak Sejarah Hubungan Turki-Aceh, Mapesa 2019” (sampel), dan Etalase Museum Sonobudoyo Yogyakarta.

Alfan Firmanto, Peneliti PR KKP BRIN lainnya, dalam paparannya “Islam dan Kristen dalam Keagungan Cinta Maulana Jalaluddin Rumi”, bercerita tentang kajiannya terhadap ajaran Rumi terkait aspek mistisisme atau sufistiknya. Selain itu juga aspek sastrawi dari puisi-puisinya.

Ia mengungkapkan, kajian tentang ajaran Rumi terkait model moderasi beragama belum banyak yang melakukan. Menurutnya, jika hal itu dilakukan berlandaskan tidak saling membenci dan damai, maka moderasi dapat terangkat dengan baik.

Secara faktual, pengagum Rumi sangat beragam, tidak hanya dari umat muslim, juga dari umat agama lain, terutama Kristiani.

Ali Akbar, Peneliti PR KKP BRIN juga, memaparkan kajiannya tentang jejak-jejak Turki Usmani dalam seni rupa dan arsitektur di Nusantara. Ia menceritakan Al-Quran yang beredar di Nusantara memang asli ditulis di Turki.

Contohnya Mushaf cetakan Palembang tahun 1848, merupakan cetakan kitab keagamaan tertua di Nusantara yang diketahui hingga kini dicetak oleh Haji Muhammad Azhari bin Kemas Haji Abdullah. Layout penulisan ayatnya merupakan tradisi Turki Usmani.’

AlI Akbar menambahkan,banyak yang dalam membuat perbandingan kalau di Turki itu ada tradisi guru -murid yang sangat keras dan disiplin. Sementara, meskipun di nusantara banyak pesantren, tidak ada tradisi guru – murid dalam hal pengajaran kaligrafi.

Kemudian untuk kaidah tulisan, jika di Timur Tengah ada di Turki tulisannya baku, sementara di nusantara kaligrafinya tidak ada pembakuan.

Savran Billahi, dari FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, memaparkan judul “Perjumpaan Islam dan Sekularisme: Politik Pendidikan Imam-Hatip dan Pesantren”.

Ia mengungkapkan adanya modernisasi pendidikan Islam di Indonesia, juga ide-ide tentang modernisasi pesantren muncul dan madrasah-madrasah didirikan yang dilakukan oleh kyai dan pemuka agama.

Sedang Modernisasi pendidikan Islam di Turki didirikan Imam-Hatip untuk mendukung identitas turki baru. Ini dilakukan oleh negara melalui Undang-Undang Penyatuan Pendidikan.

Savran menambahkan, pesantren muncul dari masyarakat. Negara berupaya mengakomodasi meskipun sempat dilarang pada masa kolonial. Akses ke pendidikan tinggi sudah dimulai sejak era pendudukan Jepang.

Akses ke pendidikan tinggi tidak terbatas, tetapi tidak progresif hingga masa Reformasi.
Maka, pendidikan tinggi Islam semakin variatif, UII, STAIN, IAIN, UIN, UIII, Ma’had Aly, dan sebagainya, yang juga memiliki fakultas-fakultas non-agama. Sedang Imam-Hatip lahir dari rezim Kemalis.

Mendukung pembentukan identitas baru Republik Turki, pendidikan tinggi Islam tidak variatif, dan berfokus pada fakultas ilahiyat.

Wuri Handoko, Kepala PR KKP BRIN menutup webinar dengan mengungkapkan bahwa pengalaman penting tersebut bermanfaat untuk bertukar informasi. Hal ini untuk mengetahui proses atau pengaruhnya diaspora orang Indonesia ke Turki.

“Melalui perjumpaan ini akan jadi ladang pengetahuan yang penting untuk kita, untuk kita suburkan itu sebagai sebuah amalan kita sebagai seorang ilmuwan ilmiah, juga seorang akademisi,” tutupnya.*

Sumber Klik disini

Table of contents

Read more

Local News