Umat Islam dianjurkan puasa Syawal selama enam hari setelah Ramadhan, apa sarat dan ketentuannya dan kapan boleh dilakukan?
HIdayatullah.com | KETIKA bulan Ramadhan selesai, kita diperintahkan untuk melakukan puasa enam hari pada bulan Syawal. Ini berdasarkan Hadist Abu Ayyub radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال كان كصيام الدهر
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka seakan berpuasa seumur hidup.” (HR. Muslim)
Hadits di atas menunjukkan beberapa pelajaran, sebagai berikut :
Pertama, puasa enam hari bulan Syawal hukumnya sunnah
Kedua, satu kebaikan di dalam Islam akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Oleh karena itu, puasa Ramadhan satu bulan dihitung sepuluh bulan, dan puasa enam hari bulan Syawal dihitung enam puluh hari atau setara dengan dua bulan. Sehingga sepuluh bulan ditambah dua bulan sama dengan satu tahun.
Itulah makna puasa seumur hidup atau puasa satu tahun, sebagaimana tersebut dalam hadits di atas. Adapun dalilnya adalah firman Allah :
مَن جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا ۖ وَمَن جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰ إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
“Barangsiapa berbuat kebaikan, dia akan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan Barangsiapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (didzalimi).” (QS: Al-An’am : 160).
Tiga, disunahkan untuk segera melakukan puasa enam hari bulan Syawal setelah selesai hari raya Idul Fitri.
Karena bersegera kepada kebaikan adalah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana di dalam firman-Nya :
وَسَارِعُوْۤا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ
عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَا لْاَرْضُ ۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ ۙ
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS: Ali ‘Imran: 133)
Dan juga firman-Nya,
فَاسْتَجَبْنَا لَهٗ ۖ وَوَهَبْنَا لَهٗ يَحْيٰى وَاَصْلَحْنَا لَهٗ زَوْجَهٗ ۗ اِنَّهُمْ كَا نُوْا يُسٰرِعُوْنَ فِيْ الْخَيْـرٰتِ
وَ يَدْعُوْنَـنَا رَغَبًا وَّرَهَبًا ۗ وَكَا نُوْا لَنَا خٰشِعِيْنَ
“Maka Kami kabulkan (doa)nya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan kami jadikan istrinya (dapat mengandung). Sungguh mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdoa kepada kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang – orang yang khusyuk kepada kami.” (QS: Al – Anbiya : 90).
Empat, kapan puasa Syawal sebaiknya dimulai?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:
Pendapat Pertama: puasa Syawal dimulai hari kedua setelah Idul Fitri. Mereka berdalil dengan empat hal:
Hal ini sesuai dengan lafadh hadist: “Barangsiapa yang berpuasa bulan Ramadhan kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal.” Makna diikuti yaitu langsung, tidak ada jeda kecuali hari pertama Idul Fitri.
Hal itu juga karena yang diharamkan berpuasa hanyalah hari pertama, dengan demikian dibolehkan berpuasa pada hari keduanya.
Selain itu, puasa hari kedua belum banyak gangguannya dan masih terasa suasana bulan Ramadhan, sehingga membuat semangat untuk berpuasa. Berbeda jika puasanya diundur, dikhawatirkan semangatnya sudah mulai berkurang karena terpengaruh dengan gegap gempita suasana lebaran.
Sebagian ulama memposisikan puasa Syawal seperti sholat rawatib yang dikerjakan langsung setelah selesai sholat lima waktu dan dzikir. Jika diundur pelaksanaannya, menjadi tidak baik.
Pendapat Kedua: Puasa Syawal dimulai pada hari keempat.
Alasan pendapat ini :
Pertama, walaupun Idul Fitri hanya satu hari, tetapi makna lebaran berlangsung sampai tiga hari untuk makan dan minum serta silaturahim.
Kedua, ini seperti hari raya Idul Adha dimana penyembelihan hewan dan hari Tasyriq berlaku sampai tiga hari setelah hari Raya Idul Adha. Tujuannya adalah memberikan kesempatan kaum muslimin untuk makan dan minum setelah melaksanakan ibadah haji atau setelah puasa Arafah.
Lima, puasa Syawal boleh dilakukan secara berturut-turut, dan boleh juga dilakukan secara terpisah.
Berkata Imam An-Nawawi di dalam Al-Majmu’: “Jika seseorang memisahkannya (puasa enam Syawal) atau menunda pelaksanaannya hingga akhir Syawal, ini juga diperbolehkan, karena masih berada pada keumuman dari hadits tersebut Kami (dalam Madzhab Syafi’i) tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini. Dan ini juga pendapat Imam Ahmad dan Abu Daud.”
Enam, sebelum melaksanakan puasa enam hari bulan Syawal, hendaknya dia menyempurnakan puasa Ramadhan terlebih dahulu.
Bagi yang mempunyai hutang puasa pada bulan Ramadhan, hendaknya meng-qadha’nya terlebih dahulu sebelum dia melaksanakan puasa enam hari bulan Syawal.
Di dalam lafadh hadits di atas sangat jelas, yaitu, “Barangsiapa puasa bulan Ramadhan ” artinya telah menyelesaikannya dengan sempurna.
Tujuh, bolehkah berpuasa Syawal terlebih dahulu, sebelum meng-qadha’ puasa Ramadhan?
Para ulama berbeda pendapat apakah boleh berniat mengqadha’ puasa Ramadhan, sekaligus berniat puasa Syawal?
Sebagian ulama menjelaskan bahwa puasa Syawal syaratnya harus menyelesaikan puasa Ramadhan terlebih dahulu, dan itu tidak terpenuhi jika diniatkan meng-qadha’ puasa Ramadhan dan puasa Syawal secara bersamaan. Dengan demikian, tidak dibolehkan untuk menggabung keduanya dalam satu puasa.
Adapun menggabungkan niat meng-qadha’ puasa Ramadhan dengan puasa sunnah lainnya (selain puasa Syawal), seperti puasa Senin Kamis, puasa Daud, Puasa ‘Asyura dan Puasa Arafah, maka hal itu dibolehkan, karena tidak ada syarat sebagaimana di dalam puasa Syawal.
Delapan, perbedaan ulama tentang hukum mendahulukan puasa Syawal sebelum meng-qadha’ hutang puasa Ramadhan:
Pendapat Pertama:
Tidak dianjurkan, bahkan dianggap pahala puasa Syawal tidak sampai. Mereka berdalil dengan hadist Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال كان كصيام الدهر
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan enam hari pada Syawal, maka seakan berpuasa seumur hidup.” (HR. Muslim)
Hadist di atas menjelaskan bahwa untuk mendapatkan pahala puasa Syawal harus terpenuhi tiga syarat;
Pertama: Harus menyelesaikan puasa bulan Ramadhan secara penuh. Orang yang masih punya hutang bulan Ramadhan dan belum meng-qada’nya dianggap belum menyelesaikan puasa Ramadhan nya secara penuh, maka tidak akan mendapatkan pahala seperti yang tersebut di dalam hadist.
Kedua: Harus dilaksanakan pada bulan Syawal.
Ketiga: Puasanya harus enam hari.
Berkata al-Haitami di dalam kitab Tuhfatu al-Muhtaj (3/457): “Karena dia harus menyempurnakan puasa Ramadhan (secara keseluruhan), jika tidak maka dianggap tidak mendapatkan keutamaan puasa Syawal, walaupun dia berbukanya pada bulan Ramadhan karena udzur.”
Pendapat Kedua:
Dibolehkan puasa enam hari bulan Syawal, walaupun belum meng-qadha’ hutang puasa bulan Ramadhan dan pahalanya tetap sampai. Mereka berdalil sebagai berikut:
Kewajiban mengqadha’ hutang puasa Ramadhan tidak harus dilakukan pada bulan Syawal, tetapi boleh diundur pada bulan-bulan berikutnya sebagaimana di dalam firman Allah,
اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ
“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka Barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.” (QS: Al-Baqarah: 184)
Ayat di atas tidak membatasi waktu qadha’ puasa Ramadhan, boleh pada bulan Syawal, juga boleh pada bulan-bulan lainnya. Juga berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,
.notice-box-green {
border: 2px solid #28a745; /* Green border color */
background-color: #d4edda; /* Light green background color */
padding: 15px;
margin: 20px;
border-radius: 8px;
font-family: inherit; /* Use the theme font from WordPress */
text-align: center; /* Center the text */
}
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
حديث عائشة رضي الله عنها تقول: كان يكون عليَّ الصوم من رمضان فما أستطيع أن أقضيه إلا في شعبان. الشغل من رسول الله صلى الله عليه وسلم، أو برسول الله صلى الله عليه وسلم.
Aisyah radhiyallahu ‘ anha berkata: ” Saya pernah punya hutang puasa Ramadhan dan saya tidak bisa meng-qadha’ nya kecuali pada bulan Sya’ban karena disibukkan mengurusi Rasulullah ﷺ.” (HR. Muslim)
Hadits di atas menunjukkan bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha meng-qadha’ puasa Ramadhan pada bulan Sya’ban. Ini menunjukkan ada kemungkinan beliau puasa enam hari di bulan Syawal sebelum meng-qadha’ puasa Ramadhan.
Orang yang telah menyelesaikan puasa Ramadhan walaupun ada beberapa hari yang ditinggalkannya karena udzur dianggap telah berpuasa Ramadhan secara maknawi.
Mewajibkan untuk meng-qadha’ puasa Ramadhan terlebih dahulu sebelum melaksanakan puasa Syawal akan sangat memberatkan, terutama bagi kaum wanita yang haidnya sampai delapan hari atau lebih, khususnya jika ada udzur lainnya seperti sakit dan safar, bahkan kadang hutang puasa Ramadhan bisa sampai 15 hari lebih. Jika digabung dengan 6 hari puasa Syawal, maka menjadi 21 hari.
Pendapat yang membolehkan untuk mengundur qadha’ puasa Ramadhan hingga satu tahun, dan membolehkan mendahulukan puasa Syawal akan meringankan beban mereka. Allah berfirman,
ۡ یُرِیدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡیُسۡرَ وَلَا یُرِیدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
“Allah menginginkan kalian mendapatkan kemudahan dan tidak menginginkan kalian mendapatkan kesusahan.” (QS: Al-Baqarah: 185)
Berkata al-Bujairmi dalam Hasyiayah nya atas al-Khatib (2/352) dengan menukil perkataan ulama: “Mengikuti dengan puasa Syawal secara (taqdiriyah), yaitu menyempurnakan (puasa Ramadhan) sesudahnya, tetapi dianggap terlaksana sebelumnya. Atau mengikutinya dengan puasa Syawal secara (Mutaakhirah), yaitu dilaksanakan puasa Syawal sesudah puasa Ramadhan sebagaimana pelaksanaan shalat nafilah sesudah shalat fardhu.”
TARJIH
Dari dua pendapat di atas, maka pendapat yang kita pilih dilihat dari dua sisi:
- Untuk sifat kehati-hatian dan agar tidak mengundur-undurkan amal shalih, maka pendapat pertama lebih tepat.
- Untuk kemudahan bagi kalangan tertentu seperti wanita yang banyak meninggalkan puasa Ramadhan (banyak hutang puasanya), sedang mereka ingin mendapatkan pahala puasa Syawal, maka yang lebih tepat adalah pendapat kedua. Wallahu A’lam.*/Dr. Ahmad Zain An-Najah. MA, PUSKAFI (Pusat Kajian Fiqih Indonesia)
Sumber Klik disini