Tag:

ujian

Penganiayaan Fisik, Ujian Dakwah Rasulullah Saw

Jalan dakwah tak selamanya indah. Rasulullah pun saat menyeru kaum Qurays kepada Islam justru mendapatkan siksaan dan penganiayaan bertubi-tubi. ABU THALIB adalah pribadi yang tiada duanya. Dia mampu menyatukan Bani Hasyim dan Bani Muththalib, mengajak mereka menjadi tanggul yang kokoh guna melindungi Rasulullah Saw dari derasnya siksaan dan penganiayaan kaum musyrikin. Akan tetapi, setelah meninggalnya Abu Thalib, maka benteng kokoh yang sengaja dibuat untuk melindungi Rasulullah Saw itu pun hancur. Dengan hancurnya tembok penghalang itu, maka Rasulullah Saw menjadi vis a vis dengan kaum kafir Quraisy. Dengan demikian, kaum kafir Quraisy, bahkan termasuk kerabat Rasulullah sendiri, dapat melakukan berbagai bentuk penganiayaan terhadap Beliau. Semua itu ditujukan agar Rasulullah menghentikan aktivitas dakwahnya. Dianiaya Abu Lahab dan Istrinya Abu Lahab (paman Rasulullah Saw) dan istrinya Ummu Jamil binti Umayyah adalah di antara orang-orang yang paling keras penganiayaannya terhadap Rasulullah Saw. Ummu Jamil senantiasa membawa duri yang disebar di jalan yang biasa dilewati Rasulullah Saw. Bahkan dia rela menjual kalungnya yang sangat berharga untuk biaya penganiayaan terhadap Beliau. Kemudian turunlah firman Allah SWT sehubungan dengan dia dan suaminya: “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar, yang di lehernya ada tali dari sabut.” (QS. Al-Lahab [111]: 1-5) Setelah Ummu Jamil mendengar ayat Al-Qur’an yang turun tentang dirinya dan suaminya, maka dia mendatangi Rasulullah Saw yang saat itu sedang duduk di masjid, tepatnya di sisi Ka’bah. Beliau ditemani Abu Bakar ash-Shiddiq. Ummu Jamil membawa batu sebesar genggaman tangan. Setelah Ummu Jamil berada di hadapan keduanya, maka Allah SWT menutupi pandangannya terhadap Rasulullah Saw, sehingga dia tidak melihat siapa-siapa selain Abu Bakar. Dia berkata, “Wahai Abu Bakar, mana temanmu? Telah sampai kepadaku bahwa temanmu itu telah mengejekku dengan syairnya! Demi Allah, kalau aku menemukannya, pasti aku pukul mulutnya dengan batu ini.” Kemudian dia pergi. Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau tidak terlihat olehnya, padahal aku melihatmu?” Rasulullah Saw berkata, “Sebab dia tidak melihatku adalah karena Allah menutup pandangannya terhadapku.” Dianiaya Abu Jahal Abu Jahal bin Hisyam bertemu dengan Rasulullah Saw. Kepada Rasulullah Saw, Abu Jahal berkata, “Demi Allah, wahai Muhammad, berhentilah dari mencaci-maki tuhan-tuhan kami, jika tidak, maka kami pun akan mencaci-maki Tuhanmu yang kamu sembah!. Sehubungan dengan hal ini Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al An’am [6] : 108) Sejak saat itu Rasulullah Saw berhenti dari memaki sembahan-sembahan mereka, dan beliau mulai menyeru mereka kepada Allah SWT. Ketika turun firman Allah SWT: “Kemudian Sesungguhnya kamu Hai orang-orang yang sesat lagi mendustakan, benar-benar akan memakan pohon zaqqum.” (QS. Al Waqi’ah [56] : 51-52) Abu Jahal berkata, ”Wahai orang-orang Quraisy, apakah kalian tahu pohon zaqqum, yang dengan pohon zaqum ini Muhammad menakut-nakuti kalian?” “Tidak!” jawab mereka. Abu Jahal berkata, “(pohon zaqqum itu adalah) Ajwah Yastrib yang diolesi keju. Demi Allah, jika kami kelak benar-benar menyentuhnya, maka sungguh kami akan menelannya.” Maka turunlah firman Allah: “Sesungguhnya pohon zaqqum itu, makanan orang yang banyak berdosa. (Ia) sebagai kotoran minyak yang mendidih di dalam perut, seperti mendidihnya air yang Amat panas.” (QS. Ad-Dukhan [44]: 43-46). Artinya pohon zaqqum itu tidak seperti yang dikatakan oleh orang durjana itu, tetapi ia merupakan sesuatu yang lain. More pages: 1 2

Gejolak Jiwa Nabi Ayyub saat Diuji

BUYA Hamka, di Tafsir Al-Azharnya, mengatakan bahwa lamanya cobaan yang dialami oleh Nabi Ayyub berlangsung selama 14 hingga 18 tahun. Ini sebuah periode yang cukup lama. Cobaannya, perpaduan antara sakit yang tak kunjung sembuh dan kemiskinan yang luar biasa. Bukankah sangat berat? Bila hanya sakit, namun masih ada sedikit harta, masih ada harapan untuk sembuh dengan berobat. Bila miskin, namun masih sehat, masih ada harapan untuk kaya kembali dengan berusaha. Namun, bila keduanya berpadu, apakah ada jalan keluar dari cobaan ini? Ujian yang rentang waktunya cukup lama tersebut, apa gejolak di dada Nabi Ayyub? Apa ungkapan pembicaraan yang tercatat dari lisan Nabi Ayyub? Ternyata Nabi Ayyub sangat sedikit berbicara. Ini tanda, jiwanya sangat tentram. Ini tanda keridhaanya terhadap takdir-Nya. Bukankah, takdir-Nya merupakan rahmat-Nya? Ibnu Arabi menyimpulkan hanya ada dua ucapan yang direkam dalam sejarah. Pertama, di surat Al-Anbiyaa ayat 83, “Sesungguhnya aku telah disentuh kemelaratan, padahal Engkau adalah maha penyayang diantara sekalian yang Penyayang.” Nabi Ayyub hanya mengungkapkan fakta saja, setelah itu mengagungkan asmaulhusna-Nya Allah. Ucapan Nabi Ayyub yang kedua dicatat dalam surat Shaad ayat 41, “Sesungguhnya aku telah diganggu syetan dengan kepayahan dan siksaan.” Ujian Nabi Ayyub bukan saja sakit yang berat dan kemiskinan yang pekat saja, tetapi juga godaan syetan yang luar biasa, sehingga jiwanya kepayahan dan tersiksa untuk menetralisir godaan dari syetan. Dari dua ucapannya, ada ungkapan yang memuat fakta ujian yang dialaminya. Yaitu, kemelaratan dan gangguan syetan. Tak ada ungkapan keluh kesah atau pun segera diakhiri ujiannya. Ujian yang terberat justru gangguan syetan bukan kemelaratannya. BACA JUGA: Shalat Pembuka Kemenangan Ungkapan dari ucapan yang luar biasa dari Nabi Ayyub, “Engkau adalah yang maha penyayang di antara sekalian yang penyayang.” Nabi Ayyub tetap memuji Allah, padahal tengah menghadapi ujian yang tidak diketahui solusinya. Nabi Ayyub telah menjadi model terbaik dalam bersabar. [] Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: [email protected], dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.

Serial Dakwah (3), Ujian Kebaikan dan Keburukan

(Arrahmah.id) – Hari ke tiga Ramadhan 1445 H. Menjalankan ibadah puasa di bawah kepungan brutal Zionis “Israel”, pastilah ujian keimanan yang berat. Rakyat Muslim Palestina yang telah dijajah “Israel” sejak 1948, memang sudah terbiasa dengan ‘puasa’. Mereka akrab dengan kelaparan dan kesengsaraan. Penyambung hidup mereka hanya bergantung pada bantuan kemanusiaan. Kata orang bijak, ujian adalah […]

Ketika Musibah menjadi Berkah

Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh), bahkan bisa menjadi berkah Hidayatullah.com | DIRIWARAYATKAN dari Anas bin Malik RA yang telah menceritakan bahwa anak Abu Thalhah RA menderita sakit keras. Ketika Abu Thalhah keluar rumah, anaknya itu meninggal dunia. Ketika Abu Thalhah pulang, ia bertanya kepada istrinya, Ummu Sulaim, “Bagaimana keadaan anakku?” Ummu Sulaim, ibu si anak tersebut menjawab, “Keadaannya sekarang sangat tenang.” Selanjutnya, Ummu Sulaim menyajikan makan malam kepada suaminya, dan suaminya menyantapnya. Sesudah itu, ia melakukan hubungan suami istri dengannya. Setelah segalanya usai, Ummu Sulaim berkata kepada suaminya, “Anak kita sudah dikebumikan.” Singkatnya, pada pagi harinya, Abu Thalhah datang kepada Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal itu kepadanya, maka Rasulullah bertanya, “Apakah tadi malam kalian bersetubuh?” Abu Thalhah menjawab, “Ya.” Rasulullah berdoa, “Ya Allah, berkatilah keduanya.” Beberapa waktu kemudian, Ummu Sulaim melahirkan seorang anak laki-laki dan Abu Thalhah berkata kepadanya, “Aku akan membawanya kepada Nabi ﷺ.” Dan Abu Thalhah membawa beberapa buah biji kurma. Nabi ﷺ bertanya, “Adakah dibawakan sesuatu untuknya?” Abu Thalhah menjawab, “Ya, beberapa butir kurma.” Nabi ﷺ pun mengambil kurma itu dan mengunyahnya. Sesudah itu, Nabi ﷺ mengeluarkan lagi kurma tersebut dari mulutnya dan memasukkannya ke dalam mulut bayi untuk mentahniahnya dan memberinya nama Abdullah.” (H.r. Bukhari dan Muslim). Kisah di atas memberikan pelajaran (ibrah) kepada kita kaum Muslimin. Musibah yang menimpa apabila disikapi dengan bijaksana dan ikhlas maka mendatangkan keberkahan dan kebahagiaan hidup di dunia, dan di akhirat masuk surga. Karena ridha Allah kepada kita yang senantiasa ridha dan ikhlas menerima setiap ujian yang ditimpakan kepada kita. إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ Nabi ﷺ bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahala bergantung besarnya ujian. Jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Barangsiapa yang ridha maka mereka akan mendapatkan keridhaan Allah. Dan siapa yang murka (tidak ridha) maka akan mendapatkan murka Allah.” (HR: Ibnu Majah). Selain diberikan keberkahan hidup, bagi yang ridha dan ikhlas menerima ujian maka akan ditinggikan derajatnya, serta dihapuskan dosa-dosanya. مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ شَوْكَةٍ فَمَا فَوْقَهَا إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً أَوْ حَطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةً “Tidak ada satu pun musibah (cobaan) yang menimpa seorang muslim berupa duri atau yang semisalnya, melainkan dengannya Allah akan mengangkat derajatnya atau menghapus kesalahannya.” (HR: Muslim). مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ إِلَّا حَطَّ اللَّهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan daun-daunnya.” (HR: Bukhari dan Muslim). Kita harus rela menerima segala ketentuan Allah dan menyadari bahwa apapun yang terjadi sudah ditetapkan Allah dalam Lauhul Mahfuzh. Kita wajib menerima segala ketentuan Allah dengan penuh keikhlasan. مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٞ  “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS: Al-Hadid [57]: 22). Semoga Allah memberikan kesabaran kepada kita menerima musibah yang terjadi, diberikan solusi dan jalan keluar. Sehingga, dibalik musibah itu ada keberkahan dalam hidup. Amin.*/ Imam Nur Suharno, Pembina Majelis Taklim Ibu-Ibu di Kuningan, Jawa Barat