Tag:

Uighur

UHRP: Diperkirakan 1 dari 26 Warga Uyghur Dipenjara

Hidayatullah.com – Diperkirakan 1 dari 26 warga Uyghur di wilayah Turkistan Timur (Xinjiang), Cina, berada di balik jeruji besi. Angka itu merupakan tingkat penahanan tertinggi di dunia. Demikian laporan Uyghur Human Rights Project (UHRP) yang dilansir akhir bulan lalu. Warga Uyghur dan berbagai etnis Turkistan yang dipenjara diperkirakan berjumlah 3.814 per 100.000 orang. Artinya, 47 kali lebih tinggi daripada angka keseluruhan di Cina yang berjumlah 80 per 100.000 orang. Jumlah tersebut bahkan tiga kali lipat dibandingkan di El Salvador, yang disebut memiliki tingkat penahanan tertinggi di dunia, yaitu 1.086 per 100.000 orang. Diperkirakan jumlah warga Uyghur dan etnis lainnya yang berada di penjara pada tahun 2022 sebanyak 578.500 orang. Jumlah tersebut sama dengan 1/3 dari total populasi penjara, meskipun jumlah etnis tersebut hanya 1% dari keseluruhan populasi di China. Tertinggi Kematian di Penjara Banyak di antara warga Uyghur yang dipenjara merupakan tokoh masyarakat. Misalnya Rahile Dawut, seorang ahli cerita rakyat dan etnografer. Ia divonis bersalah pada Desember 2018 karena dianggap terlibat “separatisme” dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Ada pula Gulshan Abbas, seorang pensiunan dokter. Gulshan dijatuhi hukuman penjara yang lama atas tuduhan “terorisme”. Dia menghilang bersama kerabat lainnya pada September 2018. Saudara perempuannya, Rushan Abbas, mantan karyawan Radio Free Asia, saat ini menjadi direktur eksekutif Campaign for Uyghurs. Situasi sebenarnya di Turkistan Timur mungkin lebih buruk lagi, kata peneliti senior UHRP, Ben Carrdus, yang menulis laporan tersebut. “Mereka hanyalah orang-orang yang dipenjara. Itu belum termasuk orang-orang yang mungkin masih berada di kamp-kamp konsentrasi,” katanya kepada Radio Free Asia (2/5/2024). Diperkirakan ada 1,8 juta warga Uyghur dan etnis lainnya yang ditahan secara sewenang-wenang di kamp yang disebut oleh pemerintah Cina sebagai pusat pelatihan kejuruan. Faktanya, kamp-kamp tersebut menjadi tempat indoktrinasi warga Uyghur agar berubah menjadi sosok Cina, serta menjadi tempat pelanggaran HAM yang parah, termasuk penyiksaan, sterilisasi paksa terhadap perempuan, dan kerja paksa. Baca juga: China Paling Banyak Penjarakan Wartawan, Mayoritas Warga Uighur Rezim komunis Cina mengklaim bahwa kamp-kamp tersebut telah ditutup. Cina juga mengatakan bahwa mereka diatur oleh hukum. Namun menurut Carrdus, hukum yang dimaksud adalah yang sesuai dengan keinginan Partai Komunis Cina. “Menggunakan hukum tidak berarti mereka menggunakan keadilan. Apa yang mereka lakukan adalah menggunakan instrumen tersebut untuk menindas orang-orang Uyghur,” katanya. “Ribuan orang telah dijatuhi hukuman penjara, sebagian besar melalui pengadilan yang sangat tidak adil.” Laporan UHRP juga menunjukkan bahwa etnis Uyghur memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi di penjara dibandingkan kelompok etnis lainnya. Meskipun angka hukuman mati tidak diketahui oleh umum karena dianggap sebagai rahasia negara.Dakwah Media BCA - GreenYuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/UHRP menemukan data tentang banyaknya warga Uyghur yang menerima hukuman berat, setidaknya 10 tahun penjara, hanya karena tindakan kecil seperti mempelajari al-Quran atau mengajarkannya kepada anak-anak. Bahkan ada yang sampai tingkat hukuman mati. UHRP mendesak komunitas internasional untuk tidak melupakan warga Uyghur. Meskipun pihak berwenang di Tukistan Timur mengaku telah menutup kamp-kamp konsentrasi, namun mereka malah mengirim warga Uyghur ke penjara. “Saya dapat mengatakan dengan keyakinan 100%, keadaan tidak menjadi lebih baik,” kata Carrdus.* Baca juga: Tiongkok Mendorong ‘Chinaisasi Islam’ di Xinjiang saat Ramadhan  

Ada Tangan Tersembunyi Upaya Gagalkan Bedah Buku Genosida Uighur

Jakarta (Mediaislam.id) – Bedah buku “Kolonisasi China terhadap Dunia Islam dan Genosida Uyghur” terancam batal. Karena secara tiba-tiba pihak Universitas Islam As Syafiiyah (UIA) keberatan kegiatan berlangsung di kampus tersebut. “Pemberitahuan ini sangat tiba-tiba sehingga saya dan seluruh panitia kelabakan,” tutur penanggungjawab kegiatan yang juga Ketua Umum Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI), Ismail Lutan, Jumat malam (15/3/2024). Padahal, lanjut Ismail Lutan, panitia pada saat itu sedang melakukan Gladi Resik (GR) dan mengecek semua kesiapan. Terutama masalah teknis. Karena acara akan dilaksanakan secara hybrid dan peserta serta pembicaranya, tidak saja dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri. “Tentu kami kaget karena persiapan sudah hampir matang. Namun apa boleh buat. Saya memahami alasan pihak kampus yang secara tiba-tiba menganulir,” lanjut Ismail. Dikatakan Ismail, pihaknya panitia kemudian berusaha mencari tempat pengganti. Namun karena begitu mendadak semua relasi dan kenalan tidak ada yang siap. “Tetapi Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah,ada satu tempat yang open. Jadi kegiatan tetap berlansung sesuai jadual, sementara lokasinya diganti,” terang Ismail Sebenarnya, menurut Ismail Lutan, sejak awal ia sudah menduga ada ‘tangan tersembunyi’ yang berusaha untuk menggagalkan bedah buku ini. Dimulai ketika ia mencari buku di toko buku online. Penjual di toko online mengatakan bahwa buku sudah ditarik oleh penerbit. Dia kemudian menghubungi penerbit (al-Kautsar –red). Pihak penerbit mengatakan hak jual buku sudah diberikan kepada penulis. Jadi mereka tidak berhak lagi menjualnya dan stock di gudangnya habis. “Saya kemudian menghubungi penulisnya Abdulhakim Idris yang berpaspor Jerman tapi tinggal di Amerika Serikat. Dari Beliau berhasil mendapatkan buku sebanyak 3 eksampalar,” tambah Ismail Lutan. Nah, dari penulisnya ini pula, pihaknya mendapat beberapa informasi bahwa ada tangan-tangan tersembunyi yang berusaha untuk menggagalkan setiap publikasi dan bedah buku ini. Seperti yang terjadi di Bandung, Desember tahun lalu. Ketika itu, saat acara akan dilaksanakan, ada orang mengataskan ormas tertentu menyatakan keberatan. Kemudian di menulis surat kepada pihak berwajib agar pihak berwajib melarangnya. Kalau acara tetap dilakukan mereka akan mendemo. Pihak kepolisian kemudian meminta panitia untuk membatalkan acara tersebut. Tetapi setelah berdiskusi panjang lebar, akhir polisi memberi izin, bahkan mereka ikut menjaga kelancaran acara. Begitu juga acara serupa di tempat lain, seperti di Jogya, Medan, Makasar. Hampir semuanya mendapat gangguan. Yang di UIN Bandung betul-betul dibatalkan karena pihak kampus tidak mau menanggung resiko. Sementara yang di Jakarta (Benhil) sekelompok massa tak diundang masuk ke lokasi kegiatan bikin gaduh. Namun menurut Ismail Lutan PJMI tetap berkomitmen untuk tetap menggelar acara bedah buku ini. Karena dari buku, yang ditulis oleh orang asli Uyghur ini, umat Islam bisa mendapat gambaran yang jelas mengenai kondisi Islam di sana. “Dalam bedah buku ini kita mencari kebenaran. Bukan untuk mendiskreditkan pihak-pihak tertentu. Makanya kami juga mengundang tokoh Muslim Indonesia yang pernah mengunjungi Uyghur yang melihat dari dekat kondisi di sana,” tutup Ismail Lutan. [ ]

Pejabat Partai Komunis Xinjiang: Islam Harus Disinifikasi!

BEIJING (Arrahmah.id) — Pejabat tinggi Partai Komunis Xinjiang mengatakan bahwa sinifikasi Islam di wilayah mayoritas Muslim di barat laut Cina, harus dilakukan. Menurut Wikipedia, sinifikasi/sinofikasi/sinoisasi/sinisisasi/Cinaisasi/Hanisasi adalah suatu proses di mana masyarakat non-Cina berada di bawah pengaruh budaya Cina, khususnya budaya dan norma-norma kemasyarakatan Cina Han “Semua orang tahu bahwa Islam di Xinjiang perlu disinifikasi, ini […]

Tiongkok Mendorong ‘Chinaisasi Islam’ di Xinjiang saat Ramadhan  

Partai Komunis China di bawah pemerintahan Xi Jinping beralih pendekatan baru mendukung integrasi dan asimilasi, atau sebuah proses ‘sinisisasi’ atau juga disebut Chinaisasi Oleh: Turghunjan Alawidin Hidayatullah.com—Sementara para pemimpin global mulai dari Presiden AS Joe Biden, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, hingga Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan menyampaikan ucapan selamat kepada lebih dari 1,8 miliar Muslim di seluruh dunia pada awal Ramadhan minggu ini, presiden Tiongkok tetap diam. Xi Jinping gagal mengakui bulan Ramadhan, salah satu waktu paling suci bagi umat Islam, meskipun terdapat 11 juta orang yang sebagian besar adalah Muslim Uighur dan masyarakat Turki lainnya yang tinggal di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, serta sekitar 7 juta Muslim lainnya di Tiongkok. Pihak berwenang Tiongkok telah menindak warga Uighur di Xinjiang selama beberapa dekade, mengklaim bahwa mereka rentan terhadap ekstremisme agama dan separatisme. Pemerintah Tiongkok mengatakan mereka ingin menjadikan Islam “sesuai” dengan budaya Tiongkok dengan memastikan Islam selaras dengan nilai-nilai tradisional Tiongkok yang ditetapkan oleh Beijing. Ramandan dimulai kurang dari seminggu setelah Ma Xingrui, Sekretaris Partai Komunis Tiongkok di Xinjiang, membahas “keniscayaan” Sinisasi Islam atau “Chinaisasi Islam” dengan organisasi hak asasi manusia Uighur menyatakan keprihatinan tentang kemungkinan tindakan keras terhadap umat Islam selama Ramadhan, yang berlangsung mulai malam tanggal 10 Maret hingga 9 April. “Semua orang tahu perlunya Sinisasi Islam di Xinjiang,” katanya di Kongres Rakyat Nasional di Beijing pada tanggal 7 Maret, menurut laporan VOA. “Ini adalah tren yang tidak bisa dihindari.” Sejak tahun 2017, Tiongkok telah membatasi atau melarang ibadah keagamaan di kalangan warga Muslim Uighur dalam upaya menghilangkan “ekstremisme agama” di tengah tindakan keras yang lebih besar terhadap umat Islam yang mengakibatkan penahanan massal terhadap hampir 2 juta dari mereka. Pihak berwenang China juga telah menghancurkan masjid-masjid dan melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang parah di Xinjiang, yang merupakan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, menurut pemerintah AS dan pihak lainnya. Pada tahun 2023, pihak berwenang melarang warga Uighur di banyak wilayah di wilayah tersebut untuk salat di masjid dan rumah mereka selama Idul Fitri, hari libur yang menandai akhir Ramadhan. Hanya warga lanjut usia yang diperbolehkan salat di masjid di bawah pengawasan ketat polisi. Pada Ramadhan sebelumnya, pihak berwenang di Kashgar membayar pria Muslim Uighur untuk menari di luar masjid paling terkenal di Xinjiang untuk merayakan akhir bulan suci. Pertunjukan tersebut difilmkan dan dirilis oleh media pemerintah menjelang kunjungan kepala hak asasi manusia PBB. “Bagi masyarakat Uighur yang mengalami genosida yang sedang berlangsung, Ramadhan identik dengan penderitaan ekstrem, pengawasan yang meluas, dan penindasan yang tiada henti,” kata Rushan Abbas, Direktur Eksekutif Kampanye untuk Uighur, kepada Radio Free Asia (RFA). “Tahun ini, situasi ini semakin diperburuk oleh pernyataan berani Ma Xingrui tentang Sinisasi Islam di Turkistan Timur yang tidak dapat dihindari,” katanya, menggunakan nama yang disukai orang Uighur untuk Xinjiang. Agama Dipaksa Beradaptasi Konsep “Sinisasi Islam” atau atau juga disebut “Chinaisasi Islam” pertama kali diperkenalkan oleh Xi Jinping pada Konferensi Karya Keagamaan Nasional pada bulan April 2016. Saat itu ia menekankan perlunya agama beradaptasi dengan masyarakat sosialis dan menganjurkan integrasi keyakinan agama dengan budaya Tiongkok, lapor Xinhua News. Pada tahun 2017, pemerintah Tiongkok mulai menahan warga Uighur dan Muslim lainnya secara massal di kamp-kamp “pendidikan ulang” (Kamp Cuci Otak) dan penjara-penjara besar, sebagian untuk memberantas “ekstremisme agama.” Selama Konferensi Nasional Karya Keagamaan pada tahun 2021, Xi menjadikan “mengikuti Sinisasi agama” sebagai tujuan utamanya. Dia menekankan perlunya melatih lebih banyak personel dengan pandangan Marxis mengenai agama dan mengumpulkan orang-orang beriman di sekitar Partai Komunis Tiongkok, menurut Kantor Berita Xinhua. Analis politik Amerika Anders Corr mengatakan komentar Ma Xingrui menunjukkan sedikit perubahan dalam tujuan Beijing untuk membawa Islam dan agama lain di bawah kendali Partai Komunis Tiongkok, atau PKT.Dakwah Media BCA - Green.notice-box-green { border: 2px solid #28a745; /* Green border color */ background-color: #d4edda; /* Light green background color */ padding: 15px; margin: 20px; border-radius: 8px; font-family: inherit; /* Use the theme font from WordPress */ text-align: center; /* Center the text */ }Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/Selama kunjungannya pada Agustus 2023 ke Xinjiang, Xi Jinping mendesak pejabat pemerintah untuk meningkatkan “Sinisasi Islam” di Xinjiang dan menekan aktivitas keagamaan ilegal. Ia juga menekankan pentingnya menjaga stabilitas melalui upaya yang diarahkan melawan terorisme dan separatisme, menurut laporan media. “Sinisisasi” adalah proses tindakan untuk membuat sesuatu lebih berkarakter China, atau menjadikannya berada di bawah pengaruh Komunis China. Menurut surat kabar Hong Kong Sing Tao Daily, proyek ‘Sinisisasi’ berdampak renovasi besar-besaran yang berakhir pada bulan April lalu, kubah asli masjid yang bergaya Arab diganti dengan lima menara bundar berwarna putih bergaya China. Dua menara yang diterangi cahaya bulan di sebelah utara dan selatan aula ibadah juga dihancurkan. Berbagai slogan sekarang dapat dilihat di seluruh masjid itu, termasuk slogan “Nilai-Nilai Inti Sosialis,” dan “Pelajari dan Terapkan Semangat Kongres Nasional ke-20 Partai Komunis China.” Slogan lain memberikan indikasi terkuat tentang pemikiran di balik perubahan arsitektur itu yaitu: “Patuhi Arah Sinisisasi Agama di China.” Anggota Persatuan Cendekiawan Turkistan Timur, mengatakan Sinisasi Islam akan mengubah agama Islam secara sepenuhnya. Artikel dimuat di laman RFA

Turki Ringkus 6 Intel China yang Memata-Matai Uighur

Hidayatullah.com – Aparat keamanan Turki menangkap enam orang yang diduga berkaitan dengan kegiatan intelijen China terhadap orang-orang dan kelompok-kelompok etnis Uighur di Turki. Melansir TRT World (20/02), operasi penangkapan di Istanbul tersebut adalah bagian dari penyelidikan yang sedang berlangsung terhadap terorisme dan kejahatan terorganisir. Aparat tujuh tersangka mengumpulkan informasi tentang individu dan organisasi dari Daerah Otonomi Uighur Xinjiang. Surat perintah penangkapan dikeluarkan untuk para tersangka yang diidentifikasi oleh Organisasi Intelijen Nasional Turki (MIT) karena membagikan informasi yang dikumpulkan kepada intelijen China. Polisi Istanbul telah menahan enam tersangka, dan upaya-upaya sedang dilakukan untuk satu orang yang tersisa. Baca juga: Jaringan Spionase Internasional, Turki Tangkap 15 Agen Mossad Operasi Cage-44 Sementara itu, Turki berhasil menangkap 42 anggota jaringan Urfi Cetinkaya “Eskobar Turki” dalam operasi berjuluk Cage-44 pada Selasa. Operasi yang dilakukan di sembilan provinsi di Turki, termasuk Istanbul, menyita sejumlah pistol dan senjata otomatis tanpa izin, serta sejumlah besar mata uang asing dan lira Turki. Para tersangka dinyatakan bertanggung jawab atas sekitar 37 ton narkotika, termasuk 13 ton yang disita di Jerman, Bulgaria, Spanyol, Mauritania, Portugal, dan Yunani, serta 24 ton di Turki.Dakwah Media BCA - Green.notice-box-green { border: 2px solid #28a745; /* Green border color */ background-color: #d4edda; /* Light green background color */ padding: 15px; margin: 20px; border-radius: 8px; font-family: inherit; /* Use the theme font from WordPress */ text-align: center; /* Center the text */ }Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/Yerlikaya menekankan bahwa para tersangka, bersama dengan rekan-rekan mereka, terlibat dalam pengiriman narkotika internasional dengan menggunakan kapal, kontainer komersial, dan kapal nelayan.* Baca juga: Turki Tangkap 7 Orang Diduga Memberikan Informasi Intelijen ke Mossad

China Paling Banyak Penjarakan Wartawan, Mayoritas Warga Uighur

Hidayatullah.com—China adalah negara yang paling banyak memenjarakan wartawan. Dan hampir setengah dari wartawan tersebut adalah warga Uighur yang melaporkan penindasan terhadap Muslim di wilayah Turkistan Timur (Xinjiang). Demikian laporan the Committee to Protect Journalists (CPJ) yang berbasis di New York, Amerika Serikat. Dalam data yang dikumpulkan CPJ pada Desember 2023 lalu, sepanjang tahun 2023 terjadi lonjakan jumlah wartawan yang ditangkap. Di berbagai negara di dunia, tercatat ada 320 orang yang berada di balik jeruji besi, mendekati rekor tertinggi selama ini. China menjadi yang tertinggi dengan memenjara 44 wartawan, atau mencapai 32% dari total di seluruh dunia. Disusul kemudian oleh Myanmar, Iran, Vietnam, dan Rusia. “China telah lama menjadi salah satu negara yang paling banyak memenjarakan wartawan. Ketatnya sensor membuat jumlah pasti wartawan yang dipenjara di sana sulit ditentukan, namun tindakan keras terhadap media telah meluas dalam beberapa tahun terakhir. Tahun 2021 menandai pertama kalinya wartawan dari Hong Kong dipenjara,” laporan CPJ. Selain Hong Kong, Turkistan Timur menjadi wilayah yang menjadi sorotan. Menurut laporan tersebut, dari 44 wartawan yang dipenjara di China, 19 di antaranya adalah warga Uighur. Salah satu aktivis sekaligus wartawan yang dipenjara adalah Ilham Tohti, seorang profesor yang juga pendiri situs berita Uighurbiz. Tohti ditangkap sekitar 10 tahun lalu, kemudian dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atas tuduhan separatisme. Wartawan lainnya adalah Qurban Mamut, mantan pemimpin redaksi jurnal populer Xinjiang Civilization. Mamut hilang pada November 2017. Radio Free Asia (RFA) melaporkan bahwa pada tahun 2022 dia dijatuhi hukuman 15 tahun penjara karena “kejahatan politik.” “Pihak berwenang China juga meningkatkan penggunaan tuduhan anti-pemerintah untuk menahan wartawan. Tiga dari lima kasus baru dalam database CPJ tahun 2023 terdiri atas wartawan yang dituduh melakukan spionase, menghasut separatisme, atau melawan negara,” jelas laporan itu. “Banyak wartawan yang dipenjara adalah etnis Uighur dari Xinjiang. Di tempat tersebut, Beijing dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan karena penahanan massal dan penindasan kejam terhadap kelompok etnis yang sebagian besar Muslim.” Membungkam Suara Banyaknya wartawan Uighur yang dipenjara merupakan cerminan situasi di Turkistan Timur. Demikian kata Beh Lih Yi, koordinator program CPJ Asia kepada RFA. “Hampir separuh wartawan yang dipenjara di China pada tahun 2023 adalah Uighur. Mereka menjadi sasaran dengan tuduhan yang tidak jelas seperti menghasut separatisme atau ‘bermuka dua’, sebuah istilah tidak jelas yang sering digunakan pihak berwenang untuk menghukum mereka yang secara terbuka mendukung kebijakan pemerintah namun secara diam-diam menentangnya,” kata Yi. “Penindasan terhadap media adalah upaya pemerintah China untuk membungkam suara minoritas dan pemberitaan independen, padahal Beijing berulangkali menolak klaim pelanggaran hak asasi manusia yang meluas di Xinjiang,” katanya.Dakwah Media BCA - Green.notice-box-green { border: 2px solid #28a745; /* Green border color */ background-color: #d4edda; /* Light green background color */ padding: 15px; margin: 20px; border-radius: 8px; font-family: inherit; /* Use the theme font from WordPress */ text-align: center; /* Center the text */ }Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/Dia menjelaskan bahwa hukuman lama bagi wartawan Uighur amat “keterlaluan dan kejam.” CPJ pun mendesak pemerintah China untuk membebaskan semua wartawan yang dipenjara dan mengizinkan semua wartawan untuk bebas melaporkan situasi yang terjadi di Turkistan Timur. “Dari pemenjaraan wartawan Uighur, terlihat jelas bahwa China tidak ingin komunitas internasional mengetahui apapun tentang Uighur,” kata Zubayra Shamseden, aktivis Uighur Human Rights Project (UHRP) yang berbasis di Washington. “Wartawan Uighur memberitakan isu-isu Uighur. Merekalah suara masyarakat Uighur di dunia. Dengan memenjarakan wartawan Uighur, China berupaya untuk menghancurkan suara-suara warga Uighur,” ujarnya kepada RFA. Laporan CPJ juga mencatat bahwa “‘Israel’” mengalami lonjakan besar dalam memenjarakan wartawan. Semua wartawan yang diketahui berada di balik jeruji besi pada saat penelitian dilakukan, ditangkap di wilayah Tepi Barat.*

Kolonisasi China terhadap Dunia Islam dan Genosida Uighur

China memang kini menjadi negara adidaya setelah Amerika. Pengaruhnya dalam bidang militer, ekonomi, politik dan lain-lain tidak bisa diremehkan. Bila dulu AS kedodoran melawan pesaingnya Rusia, kini AS kebingungan melawan hegemoni politik China. China bukan hanya memainkan banyak peran dalam ekonomi dunia, tapi ia juga memainkan peran politik yang tidak bisa diremehkan. Bantuan ekonominya ke Kenya, Angola, dan negara-negara Afrika lainnya, menjadikan negara-negara itu ‘tunduk’ pada kemauan China. Begitu juga langkah hegemoninya yang kini merembet ke Timur Tengah. Inilah yang menyebabkan Amerika dan PBB kedodoran melawan operasi opini China tentang nasib Uighur. Jutaan kaum Muslim di Uighur yang digenosida oleh pemerintah China, tidak diakui oleh China. Dengan bantuan lobi dan media, China berhasil menutup masalah Uighur ini berdampak luas ke seluruh dunia. Di Indonesia misalnya, mahasiswa-mahasiswa yang dibiayai pemerintah China terus menerus meredam kezaliman China ini lewat youtube atau media massa lainnya. Lewat kedutaan besarnya di berbagai negara China juga menolak adanya genosida ini. Negara komunis ini berhasil kampanye tentang kerukunan umat beragama di negerinya. Meski berbagai upaya dilakukan pemerintah China untuk menutupi kezalimannya, bau busuknya akhirnya tercium juga oleh dunia. Aktivis-aktivis UIghur di luar negeri terus melakukan kampanye melawan pemerintah China. Salah satunya dilakukan Abdulhakim Idris, salah satu diaspora Uighur yang kini tinggal di Amerika. Lewat bukunya China’s Colonisation of the Islamic World and Uyghur Genoside (Kolonisasi China terhadap Dunia Islam dan Genosida Uighur), Idris berhasil menngungkap politik kotor China terhadap minoritas Islam di sana. Buku yang diterjemahkan Pustaka al Kautsar ini, sebelumnya laris penjualannya di toko Amazon.com. Idris memulai bukunya dengan mengutip tragedi Baghdad yang diserang Mongol di abas ke-13. “Mereka menghancurkan kebudayaan dan peradaban Islam. Mereka mengubah masjid menjadi kendang kuda. Hewan-hewan dibiarkan menginjak-injak mushaf Al-Qur’an. Hasil-hasil peradaban yang sangat berharga dalam kebudayaan Islam semuanya dibakar atau dihanyutkan ke sungai. Jutaan orang dibantai.” Kini menurutnya tak jauh beda yang dilakukan pemerintah China.”Masjid-masjid diijadikan kendang babi. Al-Qur’an dibakar. 10.500 masjid diirusak, 8.500 diantaranya dihancurkan dan kubah masjid juga dirusak. Jutaan manusia terancam genosida,” terang Idris. Buku ini ditujukan untuk merekam ancaman Partai Komunis China terhadap komunitas global sekaligus sebagai peringatan atas kolonialisme China. Dunia, khususnya Dunia Muskim, sedang berada dalam bahaya yang datang dari Timur. Dunia Islam juga sedang dihadapkan pada krisis kemanusiaan di Kashmir, Palestina, Suriah, Rohingya dan Yaman. Demi kepentingan ekonomi para negara adidaya, warga tak berdosa dikorbankan dan jutaan lainnya terpaksa mengungsi. Ada berbagai publikasi yang telah membahas isu ini baik di dunia Islam maupun Barat. Buku tentang Uighur ini tentu saja tidak menafikan pentingnya krisis di berbagai dunia lainnya. “Kami hanya bertujuan untuk memberikan perhatian lebih pada bahaya baru yang sedang dihadapi dunia Islam, khususnya apa yang sedang dialami warga Muslim di Turkistan Timur (Uighur),”terang penulisnya. Di bawah kepemimpinan Xi Jinping sejak 2013, mentalitas Sino-kolonial mendorong China untuk melakukan invasi ekonomi dengan berusaha menguasai ekonomi negara-negara lain. Xi Jinping bukanlah orang sembarangan. Dia adalah putra dari Xi Zhongxun, yang memegang wilayah Barat Laut pada masa rezim Mao. Xi sangat memahami wilayah Turkistan Timur. Dia lebih Mao dibandingkan Mao sendiri. Dia menganggap dirinya sebagai pemimpin China terbesar ketiga dan bermimpi untuk mewujudkan mimpi ayahnya yang belum tercapai: “memerahkan’ wilayah Turkistan Timur. Xi Jinping juga berperan dibalik gerakan ekstrimis nasionalisme China yang sebelumnya dimulai oleh Pasukan Merah. Namun Xi tidak ingin mengikuti cara-cara ayahnya. Xi ingin agar etnis China Han -yang pernah ditindas oleh negara-negara colonial dan mengalami kemiskinan juga kelaparan- menguasai dunia. Untuk mencapai keinginannya ini, dia tidak memperdulikan aturan internasional. Pemimpin Amerika, seperti Kissinger, Nixon dan Clinton, yang telah memberikan jalan mulus bagi kekebalan China di PBB, misalnya, bertanggungjawab atas kondisi ini. More pages: 1 2