Tag:
Ramadhan
Hidayatullah.com
Puasa Syawal, Syarat dan Ketentuan menurut Fikih
Umat Islam dianjurkan puasa Syawal selama enam hari setelah Ramadhan, apa sarat dan ketentuannya dan kapan boleh dilakukan?
HIdayatullah.com | KETIKA bulan Ramadhan selesai, kita diperintahkan untuk melakukan puasa enam hari pada bulan Syawal. Ini berdasarkan Hadist Abu Ayyub radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال كان كصيام الدهر
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka seakan berpuasa seumur hidup.” (HR. Muslim)
Hadits di atas menunjukkan beberapa pelajaran, sebagai berikut :
Pertama, puasa enam hari bulan Syawal hukumnya sunnah
Kedua, satu kebaikan di dalam Islam akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Oleh karena itu, puasa Ramadhan satu bulan dihitung sepuluh bulan, dan puasa enam hari bulan Syawal dihitung enam puluh hari atau setara dengan dua bulan. Sehingga sepuluh bulan ditambah dua bulan sama dengan satu tahun.
Itulah makna puasa seumur hidup atau puasa satu tahun, sebagaimana tersebut dalam hadits di atas. Adapun dalilnya adalah firman Allah :
مَن جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا ۖ وَمَن جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰ إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
“Barangsiapa berbuat kebaikan, dia akan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan Barangsiapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (didzalimi).” (QS: Al-An’am : 160).
Tiga, disunahkan untuk segera melakukan puasa enam hari bulan Syawal setelah selesai hari raya Idul Fitri.
Karena bersegera kepada kebaikan adalah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana di dalam firman-Nya :
وَسَارِعُوْۤا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ
عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَا لْاَرْضُ ۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ ۙ
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS: Ali ‘Imran: 133)
Dan juga firman-Nya,
فَاسْتَجَبْنَا لَهٗ ۖ وَوَهَبْنَا لَهٗ يَحْيٰى وَاَصْلَحْنَا لَهٗ زَوْجَهٗ ۗ اِنَّهُمْ كَا نُوْا يُسٰرِعُوْنَ فِيْ الْخَيْـرٰتِ
وَ يَدْعُوْنَـنَا رَغَبًا وَّرَهَبًا ۗ وَكَا نُوْا لَنَا خٰشِعِيْنَ
“Maka Kami kabulkan (doa)nya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan kami jadikan istrinya (dapat mengandung). Sungguh mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdoa kepada kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang – orang yang khusyuk kepada kami.” (QS: Al – Anbiya : 90).
Empat, kapan puasa Syawal sebaiknya dimulai?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:
Pendapat Pertama: puasa Syawal dimulai hari kedua setelah Idul Fitri. Mereka berdalil dengan empat hal:
Hal ini sesuai dengan lafadh hadist: “Barangsiapa yang berpuasa bulan Ramadhan kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal.” Makna diikuti yaitu langsung, tidak ada jeda kecuali hari pertama Idul Fitri.
Hal itu juga karena yang diharamkan berpuasa hanyalah hari pertama, dengan demikian dibolehkan berpuasa pada hari keduanya.
Selain itu, puasa hari kedua belum banyak gangguannya dan masih terasa suasana bulan Ramadhan, sehingga membuat semangat untuk berpuasa. Berbeda jika puasanya diundur, dikhawatirkan semangatnya sudah mulai berkurang karena terpengaruh dengan gegap gempita suasana lebaran.
Sebagian ulama memposisikan puasa Syawal seperti sholat rawatib yang dikerjakan langsung setelah selesai sholat lima waktu dan dzikir. Jika diundur pelaksanaannya, menjadi tidak baik.
Pendapat Kedua: Puasa Syawal dimulai pada hari keempat.
Alasan pendapat ini :
Pertama, walaupun Idul Fitri hanya satu hari, tetapi makna lebaran berlangsung sampai tiga hari untuk makan dan minum serta silaturahim.
Kedua, ini seperti hari raya Idul Adha dimana penyembelihan hewan dan hari Tasyriq berlaku sampai tiga hari setelah hari Raya Idul Adha. Tujuannya adalah memberikan kesempatan kaum muslimin untuk makan dan minum setelah melaksanakan ibadah haji atau setelah puasa Arafah.
Lima, puasa Syawal boleh dilakukan secara berturut-turut, dan boleh juga dilakukan secara terpisah.
Berkata Imam An-Nawawi di dalam Al-Majmu’: “Jika seseorang memisahkannya (puasa enam Syawal) atau menunda pelaksanaannya hingga akhir Syawal, ini juga diperbolehkan, karena masih berada pada keumuman dari hadits tersebut Kami (dalam Madzhab Syafi’i) tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini. Dan ini juga pendapat Imam Ahmad dan Abu Daud.”
Enam, sebelum melaksanakan puasa enam hari bulan Syawal, hendaknya dia menyempurnakan puasa Ramadhan terlebih dahulu.
Bagi yang mempunyai hutang puasa pada bulan Ramadhan, hendaknya meng-qadha’nya terlebih dahulu sebelum dia melaksanakan puasa enam hari bulan Syawal.
Di dalam lafadh hadits di atas sangat jelas, yaitu, “Barangsiapa puasa bulan Ramadhan ” artinya telah menyelesaikannya dengan sempurna.
Tujuh, bolehkah berpuasa Syawal terlebih dahulu, sebelum meng-qadha’ puasa Ramadhan?
Para ulama berbeda pendapat apakah boleh berniat mengqadha’ puasa Ramadhan, sekaligus berniat puasa Syawal?
Sebagian ulama menjelaskan bahwa puasa Syawal syaratnya harus menyelesaikan puasa Ramadhan terlebih dahulu, dan itu tidak terpenuhi jika diniatkan meng-qadha’ puasa Ramadhan dan puasa Syawal secara bersamaan. Dengan demikian, tidak dibolehkan untuk menggabung keduanya dalam satu puasa.
Adapun menggabungkan niat meng-qadha’ puasa Ramadhan dengan puasa sunnah lainnya (selain puasa Syawal), seperti puasa Senin Kamis, puasa Daud, Puasa ‘Asyura dan Puasa Arafah, maka hal itu dibolehkan, karena tidak ada syarat sebagaimana di dalam puasa Syawal.
Delapan, perbedaan ulama tentang hukum mendahulukan puasa Syawal sebelum meng-qadha’ hutang puasa Ramadhan:
Pendapat Pertama:
Tidak dianjurkan, bahkan dianggap pahala puasa Syawal tidak sampai. Mereka berdalil dengan hadist Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال كان كصيام الدهر
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan enam hari pada Syawal, maka seakan berpuasa seumur hidup.” (HR. Muslim)
Hadist di atas menjelaskan bahwa untuk mendapatkan pahala puasa Syawal harus terpenuhi tiga syarat;
Pertama: Harus menyelesaikan puasa bulan Ramadhan secara penuh. Orang yang masih punya hutang bulan Ramadhan dan belum meng-qada’nya dianggap belum menyelesaikan puasa Ramadhan nya secara penuh, maka tidak akan mendapatkan pahala seperti yang tersebut di dalam hadist.
Kedua: Harus dilaksanakan pada bulan Syawal.
Ketiga: Puasanya harus enam hari.
Berkata al-Haitami di dalam kitab Tuhfatu al-Muhtaj (3/457): “Karena dia harus menyempurnakan puasa Ramadhan (secara keseluruhan), jika tidak maka dianggap tidak mendapatkan keutamaan puasa Syawal, walaupun dia berbukanya pada bulan Ramadhan karena udzur.”
Pendapat Kedua:
Dibolehkan puasa enam hari bulan Syawal, walaupun belum meng-qadha’ hutang puasa bulan Ramadhan dan pahalanya tetap sampai. Mereka berdalil sebagai berikut:
Kewajiban mengqadha’ hutang puasa Ramadhan tidak harus dilakukan pada bulan Syawal, tetapi boleh diundur pada bulan-bulan berikutnya sebagaimana di dalam firman Allah,
اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ
“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka Barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.” (QS: Al-Baqarah: 184)
Ayat di atas tidak membatasi waktu qadha’ puasa Ramadhan, boleh pada bulan Syawal, juga boleh pada bulan-bulan lainnya. Juga berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,Dakwah Media BCA - Green.notice-box-green {
border: 2px solid #28a745; /* Green border color */
background-color: #d4edda; /* Light green background color */
padding: 15px;
margin: 20px;
border-radius: 8px;
font-family: inherit; /* Use the theme font from WordPress */
text-align: center; /* Center the text */
}Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/حديث عائشة رضي الله عنها تقول: كان يكون عليَّ الصوم من رمضان فما أستطيع أن أقضيه إلا في شعبان. الشغل من رسول الله صلى الله عليه وسلم، أو برسول الله صلى الله عليه وسلم.
Aisyah radhiyallahu ‘ anha berkata: ” Saya pernah punya hutang puasa Ramadhan dan saya tidak bisa meng-qadha’ nya kecuali pada bulan Sya’ban karena disibukkan mengurusi Rasulullah ﷺ.” (HR. Muslim)
Hadits di atas menunjukkan bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha meng-qadha’ puasa Ramadhan pada bulan Sya’ban. Ini menunjukkan ada kemungkinan beliau puasa enam hari di bulan Syawal sebelum meng-qadha’ puasa Ramadhan.
Orang yang telah menyelesaikan puasa Ramadhan walaupun ada beberapa hari yang ditinggalkannya karena udzur dianggap telah berpuasa Ramadhan secara maknawi.
Mewajibkan untuk meng-qadha’ puasa Ramadhan terlebih dahulu sebelum melaksanakan puasa Syawal akan sangat memberatkan, terutama bagi kaum wanita yang haidnya sampai delapan hari atau lebih, khususnya jika ada udzur lainnya seperti sakit dan safar, bahkan kadang hutang puasa Ramadhan bisa sampai 15 hari lebih. Jika digabung dengan 6 hari puasa Syawal, maka menjadi 21 hari.
Pendapat yang membolehkan untuk mengundur qadha’ puasa Ramadhan hingga satu tahun, dan membolehkan mendahulukan puasa Syawal akan meringankan beban mereka. Allah berfirman,
ۡ یُرِیدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡیُسۡرَ وَلَا یُرِیدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
“Allah menginginkan kalian mendapatkan kemudahan dan tidak menginginkan kalian mendapatkan kesusahan.” (QS: Al-Baqarah: 185)
Berkata al-Bujairmi dalam Hasyiayah nya atas al-Khatib (2/352) dengan menukil perkataan ulama: “Mengikuti dengan puasa Syawal secara (taqdiriyah), yaitu menyempurnakan (puasa Ramadhan) sesudahnya, tetapi dianggap terlaksana sebelumnya. Atau mengikutinya dengan puasa Syawal secara (Mutaakhirah), yaitu dilaksanakan puasa Syawal sesudah puasa Ramadhan sebagaimana pelaksanaan shalat nafilah sesudah shalat fardhu.”
TARJIH
Dari dua pendapat di atas, maka pendapat yang kita pilih dilihat dari dua sisi:Untuk sifat kehati-hatian dan agar tidak mengundur-undurkan amal shalih, maka pendapat pertama lebih tepat.
Untuk kemudahan bagi kalangan tertentu seperti wanita yang banyak meninggalkan puasa Ramadhan (banyak hutang puasanya), sedang mereka ingin mendapatkan pahala puasa Syawal, maka yang lebih tepat adalah pendapat kedua. Wallahu A’lam.*/Dr. Ahmad Zain An-Najah. MA, PUSKAFI (Pusat Kajian Fiqih Indonesia)
Hidayatullah.com
Hikmah Puasa Sunnah 6 Hari di Bulan Syawal
AMALAN yang identik dengan bulan Syawal salah satunya adalah puasa sunnah 6 hari. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa berpuasa (di bulan) Ramadhan kemudian diiringi dengan puasa 6 (enam) hari bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti puasa satu tahun penuh.” (HR. Muslim)
Penyariatan puasa Syawal ini memiliki banyak hikmah. Setidaknya ada lima hikmah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab dalam buku “Lathaa`ifu al-Ma’aarif fiima li al-Mawaasim min Lathaa`if” (1999 : 393):
Pertama, puasa 6 hari di bulan Syawal pasca Ramadhan bisa menyempurnakan pahala puasa menjadi setahun penuh. Ini sesuai dengan hadits yang disebut di awal.
Kedua, puasa di bulan Syawal dan Sya’ban laksana sunnah Rawatib dalam shalat wajib yang berfungsi menyempurnakan kekurangan dan kekeliruan yang terjadi dalam shalat wajib. Tidak berlebihan jika Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah pernah berkata, “Barangsiapa yang tidak bisa mengeluarkan zakat fitrah di akhir Ramadhan, maka hendaknya ia puasa (sunnah setelahnya)!” Karena puasa -dalam hal menebus kejelekan – menempati posisi memberi makan (zakat fitrah).
Baca: Enam Hari Puasa Syawal seperti Puasa Setahun
Ketiga, membiasakan puasa setelah Ramadhan adalah tanda diterimanya puasa Ramadhan. Jika Allah Subhanahu Wata’ala hendak menerima amalah seorang hamba, maka dia diberi taufik untuk melakukan amal saleh setelahnya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama, “Pahala kebaikan adalah kebaikan (yang dilakukan) setelahnya.” Maka kalau ada yang berbuat kebaikan lalu berkesinambungan, maka itu sebagai tanda diterimanya kebaikan yang pertama. Demikian juga sebaliknya jika melakukan keburukan (itu sebagai tanda bahwa amalan pertama tidak diterima).
Keempat, membiasakan puasa setelah Ramadhan sebagai wujud rasa syukur kepada Allah yang menganugerahkan ampunan di bulan Ramadhan; karena tidak ada nikmat yang lebih besar daripada ampunan-Nya. Suatu saat nabi shalat malam hingga kakinya bengkak. Ketika ditanya, beliau menjawab bahwa itu sebagai rasa syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Ini salah satu contoh rasa syukur yang dicontohkan nabi.
Ketika Ibnu Al-Warad ditanya orang mengenai pahala beberapa amal seperti thawaf dan semacamnya, beliau menjawab, “Jangan bertanya tentang pahalanya, tapi tanyalah kepada dirimu sudahkan kamu bersyukur kepada Allah yang telah memberi taufik dan pertolongan untuk melakukan kebaikan tersebut!”
Kelima, amalan yang dilakukan seseorang di bulan Ramadhan sejatinya tidak berhenti hanya di bulan Ramadhan;tapi terus berlangsung selama dia masih hidup. Ada riwayat, “Orang yang berpuasa setelah Ramadhan itu seperti orang baru selesai dari gelanggang pertempuran di jalan Allah kemudian kembali lagi bertempur.”
Dalam hadits disebutkan, “Amalan yang paling dicintai Allah adalah adalah yang ‘al-Haal al-Murtahil’ (tiap kali singgah, dia berangkat lagi) sebagaimana orang yang mengkatamkan al-Qur`an dari awal sampai akhir, kemudian dilanjut bacaannya secara berkesinambungan sampai khatam lagi.” (HR. Tirmidzi). Dengan demikian, amalnya terus berkesinambungan tidak tergantung pada mood dan moment tertentu.
Bisyr -salah seorang salaf- saat ditanya mengenai kaum yang hanya beribadah dan bersungguh-sungguh di bulan Ramadhan, beliau menjawab, “sejelek-jelek kaum adalah yang tidak mengenal hak-hak allah melainkan pada bulan ramadhan saja. Orang saleh adalah yang beribadah dan bersungguh-sungguh sepanjang tahun.”
Baca: Akankan Syawal Menjadi Bulan Kekalahan?
Ketika Asy-Syibli Rahimahullah ditanya, “Manakah yang lebih utama antara Sya’ban dan Ramadhan?” Beliau menjawab, “Jadilah hamba rabbani dan jangan jadi hamba sya’bani.” Jadi, di dalam maupun luar Ramadhan tidak dibeda-bedakan karena yang menjadi acuan adalah Allah Subhanahu wata’ala. Selama itu diperintahkan Allah, maka akan dijaga secara kontinu.Dakwah Media BCA - Green.notice-box-green {
border: 2px solid #28a745; /* Green border color */
background-color: #d4edda; /* Light green background color */
padding: 15px;
margin: 20px;
border-radius: 8px;
font-family: inherit; /* Use the theme font from WordPress */
text-align: center; /* Center the text */
}Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/Nabi sendiri amalannya selalu istikamah dan kontinu. Ketika Aisyah ditanya apakah nabi mengkhususkan hari tertentu untuk beramal, beliau menjawab, “Amalan beliau itu berkesinambungan (kontinu)” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan ketika nabi pernah dalam satu Ramadhan tak bisa menjalankan iktikaf di sepuluh hari terakhir, maka beliau ganti di bulan Syawal.
Lebih dari itu, Hasan Bashri berkata, “Sesungguhnya Allah tidak membuat ajal untuk amalan mukmin, melainkan kematian.” Artinya, kapanpun dan dimanapun selama masih hidup, maka amalan harus tetap kontinu.
Jadi, hikmah disyariatkannya puasa Syawwal –wallahu a’lam- adalah: untuk menyempurnakan pahala puasa, menyempurnakan kekurangan puasa, sebagai tanda diterimanya puasa, sebagai rasa syukur, supaya terus berkesinambungan di bulan-bulan lainnya.
Sebagai penutup, pernyataan Ibnu Rajab Rahimahullah berikut patut untuk dijadikan bahan renungan, “Barangsiapa mengamalkan ketaatan kemudian selesai menjalankannya, maka tanda amalnya diterima adalah dengan menyambungnya dengan ketaatan yang lain, sedangkan tanda tertolaknya adalah ketika ketaatan disambung dengan kemaksiatan yang lain.” */Mahmud Budi Setiawan
Hidayatullah.com
Tim Pantauan Tayangan Ramadhan MUI Sayangkan 3 TV Tak Indahkan Evaluasi
Hidayatullah.com— Tim Pantauan Tayangan Ramadhan 1445/2024 Komisi Informasi dan Komunikasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyayangkan tiga stasiun televisi yang masih menayangkan konten program yang diduga banyak terdapat potensi pelanggaran.
Ketiga stasiun televisi tersebut yaitu ANTV dengan Programnya Pesbukers Ramadhan, TransTV melalui program Berkahnya Ramadhan, dan Trans7 Sahur Lebih Segerrr dan Pas Buka FM.
Wakil Ketua II Tim Pemantauan Ramadhan 1445 H, Dr Rida Hesti Ratnasari, menyampaikan hasil pantauan tim pada tahap kedua, yaitu kurun waktu 25 Maret-3 April 2024, mengungkapkan sejumlah dugaan pelanggaran dalam program-program tersebut.
Dugaan pelanggaran itu, kata dia, masih berputar pada bodyshaming, kekerasan, ketidakpatutan, dan potensi eksploitasi terhadap anak.
“Potensi pelanggaran seperti ini terulang dan seakan tidak mau belajar dari koreksi publik,” kata Rida saat menyampaikan hasil pantuan tayangan Ramadhan tahap II sebagaimana rilis MUI diterima hidayatullah.com, Selasa (9/4/2024) malam lebaran Idul Fitri 1445 H.
Rida menjelaskan, ketiga stasiun televisi ini belum sepenuhnya memenuhi catatan dan koreksi perbaikan temuan tim pada tahap I pantauan.
Kendati demikian, dia juga mengapresiasi sebagian program yang tak lagi memuat program terindikasikan adegan fisik laki suka sama laki (LSL) sebagaimana hasil pantauan pada tahap I.
Dia mengatakan, atas temuan ini, pihaknya meminta KPI bersikap tegas. Tidak hanya pada aspek pembinaan khusus, tetapi perlu memberikan sanksi bila memang terbukti, sesuai dengan level pelenggaran yang dilakukan ketiga stasiun televisi.
Rida juga merekomendasikan pembinaan secara umum, baik untuk program siaran terindikasi pelanggaran maupun program siaran terapresiasi, agar dapat berkelanjutan serta melibatkan MUI. Hal ini agar pembinaan berdampak terhadap kualitas program siaran secara terukur.
Sementara itu, Ketua komisi Infokom MUI, Mabroer Ms, mengatakan pantauan yang dilakukan 32 pemantau terhadap 16 lembaga penyiaran ini, merupakan bentuk partipasi publik mengawal hadirnya konten-konten yang berkualitas dan tentu senafas dengan semangat Ramadhan.
Dia mengapresiasi secara umum terjadi peningkatan kualitas produk siaran selama Ramadhan 2024 ini. Namun demikian, terdapat realitas siaran program yang diduga masih melakukan pelanggaran terutama dalam tiga hal yaitu adegan kekerasan fisik, tendensi sensualitas, problem kepatuhan, dan kelaikan syariat.Dakwah Media BCA - Green.notice-box-green {
border: 2px solid #28a745; /* Green border color */
background-color: #d4edda; /* Light green background color */
padding: 15px;
margin: 20px;
border-radius: 8px;
font-family: inherit; /* Use the theme font from WordPress */
text-align: center; /* Center the text */
}Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/Pihaknya menginginkan kesucian Ramadhan tidak dieksploitasi untuk kepentingan cuan semata, tetapi dimuliakan sebagaimana kaum Muslimin menghormatinya.
“Karena kita yakin, bahwa selain ada potensi uang, hal yang lebih besar dari bulan Ramadhan adalah berkahnya. Semoga Lembaga Penyiaran yang turut menghormatinya, bisa juga ketiban berkah Ramadhan,” tuturnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, selain rekomendasi pembinaan, terkhusus program-program yang terapresiasi agar mempertahankannya dengan peningkatan kualitas siaran.
“Ini yang penting, tayangan yang berada pada Ramadhan malah tidak ada nuansa religi Ramadhan, isinya cuma hura-hura tidak edukatif,” ujar dia.*
Arrahmah.id
MUI ungkap hukum mudik dari sudut pandang agama Islam
JAKARTA (Arrahmah.id) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) angkat bicara terkait hukum mudik atau pulang kampung yang biasa dilakukan oleh masyarakat Indonesia menjelang hari raya Idul Fitri. Wakil Dewan Pertimbangan (Wantim) MUI Zainut Tauhid Sa’adi mempaparkan hukum mudik dilihat dari sudut pandang agama Islam. Zainut mengatakan bahwa mudik lebaran memang tidak masuk kategori ibadah yang sudah […]
Suaraislam.id
Ramadhan akan Pergi, Akankah Berjumpa Lagi?
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah naik ke atas mimbar. Lalu beliau mengucapkan Amiin sebanyak tiga kali. Sebagian sahabat bertanya, “Engkau mengaminkan apa?” Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberikan jawabannya, salah satunya:وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ“Amat merugi/hina seseorang yang Ramadhan masuk padanya kemudian Ramadhan pergi sebelum diampuni dosanya.” (HR. al-Tirmidzi, Ahmad, al-Baihaqi, al-Thabrani, dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih al-Jaami’, no. 3510)Ya, orang yang merugi adalah mereka yang dosanya belum terampuni setelah Ramadhan berlalu. Mereka itu yang boleh jadi berpuasa dan qiyamnya, namun di saat yang sama tak mampu meninggalkan berkata dusta, berbuat nista, menyia-nyiakan waktu dan kesempatan serta yang semisalnya.Ramadhan pergi, tapi bukan kepergiannya yang kutakuti. Tapi setiap kebiasaan yang ada akankah sama? Ibadah yang mungkin berkurang, bukan pada bilangannya tapi kekhusyuannya. Sedekah yang mungkin berkurang, bukan pada jumlahnya tapi keikhlasannya. Akankah Kita bisa melewatinya?Di bulan Ramadhan waktu subuh terasa ringan dikerjakan, karena hanya berbeda beberapa menit saja setelah makan sahur. Waktu isya yang beriringan sebelum tarawih dilakukan. Lantunan ayat Al-qur’an yang terasa ringan diucapkan. Akankah sama setelah ramadhan ini?Tapi inilah ironi pasca Ramadhan, Subuh yang kadang hampir kesiangan, Isya yang kadang malas karena kelelahan, membaca Al-Qur’an yang dilakukan kadang-kadang, jamaah masjid yang hanya terhitung dengan jari tangan, puasa sunnah yang terhitung jarang. Sungguh seberat inikah usai kepergiannya? Satu bulan bersama, belasan bulan terlena. Bukankah setelah sebulan iman ditempa, menjadikan pribadi yang lebih baik lagi?Ya Allah tetapkanlah nikmat iman dan islam dihati kami. Sehatkan badan kami, sampaikan kami pada ramadhan ditahun mendatang. Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nashir.Wallahu a’lamAbu MiqdamKomunitas Akhlaq Mulia
Suaraislam.id
Ramadhan Berlalu Akankah Berjumpa Lagi?
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah naik ke atas mimbar. Lalu beliau mengucapkan Amiin sebanyak tiga kali. Sebagian sahabat bertanya, “Engkau mengaminkan apa?” Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberikan jawabannya, salah satunya:وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ“Amat merugi/hina seseorang yang Ramadhan masuk padanya kemudian Ramadhan pergi sebelum diampuni dosanya.” (HR. al-Tirmidzi, Ahmad, al-Baihaqi, al-Thabrani, dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih al-Jaami’, no. 3510)Ya, orang yang merugi adalah mereka yang dosanya belum terampuni setelah Ramadhan berlalu. Mereka itu yang boleh jadi berpuasa dan qiyamnya, namun di saat yang sama tak mampu meninggalkan berkata dusta, berbuat nista, menyia-nyiakan waktu dan kesempatan serta yang semisalnya.Ramadhan pergi, tapi bukan kepergiannya yang kutakuti. Tapi setiap kebiasaan yang ada akankah sama? Ibadah yang mungkin berkurang, bukan pada bilangannya tapi kekhusyuannya. Sedekah yang mungkin berkurang, bukan pada jumlahnya tapi keikhlasannya. Akankah Kita bisa melewatinya?Di bulan Ramadhan waktu subuh terasa ringan dikerjakan, karena hanya berbeda beberapa menit saja setelah makan sahur. Waktu isya yang beriringan sebelum tarawih dilakukan. Lantunan ayat Al-qur’an yang terasa ringan diucapkan. Akankah sama setelah ramadhan ini?Tapi inilah ironi pasca Ramadhan, Subuh yang kadang hampir kesiangan, Isya yang kadang malas karena kelelahan, membaca Al-Qur’an yang dilakukan kadang-kadang, jamaah masjid yang hanya terhitung dengan jari tangan, puasa sunnah yang terhitung jarang. Sungguh seberat inikah usai kepergiannya? Satu bulan bersama, belasan bulan terlena. Bukankah setelah sebulan iman ditempa, menjadikan pribadi yang lebih baik lagi?Ya Allah tetapkanlah nikmat iman dan islam dihati kami. Sehatkan badan kami, sampaikan kami pada ramadhan ditahun mendatang. Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nashir.Wallahu a’lamAbu MiqdamKomunitas Akhlaq Mulia
Islampos.com
Hukum Ibu-ibu Mendirikan Shalat Ied Jamaah Sendiri dengan Imam Seorang Perempuan
APA hukum ibu-ibu mendirikan Shalat Ied jamaah sendiri dengan imam seorang perempuan juga?
Alhamdulillah.
Shalat Ied Jamaah Sendiri dengan Imam Seorang Perempuan yang Pertama:
Bahwa semua wanita disyari’atkan untuk keluar ke mushalla mendirikan shalat id bersama dengan kaum muslimin, dengan tidak memakai wangi-wangian, menampakkan perhiasannya.
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْها قَالَتْ : ط أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ ، قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِحْدَانَا لا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ ، قَالَ : ( لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا ). روى البخاري (324) ومسلم (890)
Dari Ummu Athiyah –radhiyallahu ‘anha- berkata: Rasulullah memerintahkan kepada kami agar semua budak wanita yang merdeka, para wanita yang sedang haid, dn juga para wanita yang sedang dipingit juga hadir dan mengikuti shalat idul fitri. Sedangkan bagi mereka yang sedang haid hendaknya mencari tempat tersendiri untuk menyaksikan kebaikan dan doa-doa umat Islam. Saya bertanya: Wahai Rasulullah, salah satu dari kami tidak memiliki baju kurung (mukenah). Rasulullah menjawab: “Hendaknya yang lain meminjaminya”. (HR. Bukhori 324, dan Muslim 890)
BACA JUGA: Waktu Zakat Fitrah, Harus Antara Shubuh dan Sebelum Shalat Ied 1 Syawal?
Al lajnah Daimah pernah ditanya: Apakah shalat ied itu diwajibkan bagi wanita?, jika wajib apakah cukup shalat di rumah atau harus keluar ke musholla?
Jawaban al Lajnah Daimah adalah: “Shalat ied tidak wajib bagi wanita akan tetapi sunnah, dan dikerjakan di mushalla bersama kaum muslimin; karena Rasulullah menyuruh mereka untuk mendatangi mushalla”. (Fatawa Lajnah Daimah: 8/284)
Untuk penjelasan tambahan silahkan lihat jawaban soal nomor: 49011
Shalat Ied Jamaah Sendiri dengan Imam Seorang Perempuan Kedua:
Tidak dibenarkan mereka mendirikan shalat ied di rumah mereka dengan imam salah satu dari mereka, padahal mereka mampu untuk mendatangi mushalla ied bersama kaum muslimin. Tidak dibenarkan juga menyediakan tempat khusus bagi mereka, dengan mendirikan jama’ah shalat ied khusus wanita, karena hal itu termasuk dalam kategori bid’ah.
Syeikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya:
Apakah diperbolehkan bagi wanita untuk mendirikan shalat ied di rumahnya?
Beliau menjawab: “Yang disyari’atkan bagi mereka adalah mendatangi mushalla ied bersama laki-laki, sebagaimana hadits Ummu ‘Atiyah –radhiyallahu ‘anha-. Adapun shalat iednya para wanita di rumah, saya belum mendapatkan satu hadits pun”. (Fatawa Nur ‘ala Darbi: 189/8, sesuai urutan Maktabah Syamilah)
Foto: Muslim Girl
Beliau juga pernah ditanya:
Seorang wanita pernah bertanya tentang shalat ied bagi wanita, karena kami tidak mendapatkan mushalla ied khusus bagi wanita. Maka saya mengumpulkan jama’ah wanita di rumah yang jauh dari pandangan laki-laki, bagaimanakah hukumnya?
BACA JUGA: 9 Anjuran kala Shalat Ied
Beliau menjawab: “Hukumnya masuk kategori bid’ah, shalat ied itu didirikan secara berjama’ah dengan laki-laki, para wanita diperintah untuk menghadiri mushalla ied dan shalat bersama laki-laki dengan posisi di belakang mereka yang jauh dari ikhtilath”.
Sedangkan bahwa shalat id didirikan di rumah maka ini merupakan kesalahan besar, belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah juga para sahabatnya”. (Fatawa Nur ‘ala Darbi: 189/8)
Wallahu a’lam. []
HABIS | SUMBER: ISLAMQA
Islampos.com
Petunjuk Nabi tentang Shalat Hari Raya Id (2-Habis)
Petunjuk Nabi tentang Shalat Hari Raya Id: Bertakbir
Telah diriwayatkan dari Tirmizi dari hadits Katsir bin Abdullah bin Amr bin ‘Auf dari ayahnya dari kakeknya sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam melakukan takbir dalam dua shalat hari raya. Pada rakaat pertama tujuh (takbir) sebelum membaca surat. Dan di rakaat lainnya (Kedua) lima (takbir) sebelum membaca surat. Tirmizi mengatakan, ‘Saya bertanya kepada Muhammad –yakni Bukhori- tentang hadits ini, beliau mengatakan, “Dalam bab ini tidak ada yang lebih shahih dari hadits ini. Dan dengannya saya berbendapat.”
Biasanya beliau sallallahu alaihi wa sallam ketika selesai shalat, berpaling dan berdiri menghadap jamaah. Sementara orang-orang duduk pada shafnya. Kemudian beliau memberi nasehat, wasiat, menyuruh dan melarang. Kalau ingin mengirim utusan, maka beliau utus seorang utusan. Kalau akan memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahkannya. Dahulu belum ada mimbar untuk naik, dan tidak juga mimbar Madinah dikeluarkan. Sehingga beliau khutbah dalam posisi berdiri di atas tanah.
BACA JUGA: Hukum Mengucapkan Selamat Sebelum Hari Raya
Jabir radhiallahu’anhu mengatakan, ‘Saya menyaksikan shalat pada hari raya bersama Rasulullah sallallahu alihi wa sallam. Beliau mengawali dengan shalat sebelum khutbah. Tanpa ada azan dan iqomah. Kemudian berdiri dan bersandar kepada Bilal, dan memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah, menganjurkan untuk taat kepada-Nya, menasehati dan mengingatkan orang-orang. Kemudian setelah itu beliau berjalan menuju ke (tempat) para wanita. Dan beliau memberi nasehat dan mengingatkan mereka. (Muttafaq alaih)
Abu Said Al-Khudru radhiallahu anhu berkata,
كان النبي يخرج يوم الفطر والأضحى إلى المصلى ، فأول ما يبدأ به الصلاة ، ثم ينصرف فيقوم مقابل الناس والناس جلوس على صفوفهم . . الحديث رواه مسلم
“Biasanya Nabi sallallahu alaihi wa sallam keluar pada hari raya Idul Firti dan Idul Adha ke tempat shalat (musholla). Yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat. Kemudian berpaling dan berdiri menghadap jamaah. Sementara jamaah tetap duduk dalam shafnya.” (HR. Muslim)
Foto: Freepik
Petunjuk Nabi tentang Shalat Hari Raya Id: dengan Hamdallah dalam Khutbah
Biasanya beliau sallallahu alaihi wa sallam memulai khutbahnya dengan hamdalah. Tidak terdapat riwayat dari dari beliau dalam satu hadits pun bahwa beliau membuka kedua khutabh di dua hari raya dengan takbir. Kecuali yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam sunannya, 1287 dari Sa’ad Al-Qoradhi Muazin Nabi sallallahu’alaihi wa sallam beliau berkata, ‘Biasanya Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bertakbir disela-sela khutbah bertakbir dalam khutbah dua hari raya.’ Riwayat ini dilemahkan oleh Al-Albany dalam kitab dhaif Ibnu Majah. Disamping haditsnya lemah, juga tidak menunjukkan bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam membuka khutbah Id dengan takbir.
Beliau (Syekh Al-Albany) mengatakan dalam kitab Tamamul Minnah, “Meskipun tidak menunjukkan dianjurkannya memulai khutbah Id dengan takbir, maka sanadnya juga lemah. Di dalamnya ada perawi lemah, sedangkan lainnya majhul (tidak diketahui kedudukannya). Maka riwayat ini tidak dapat dijadikan dalil sunahnya takbir di sela-sela khutbah.”
Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata,
“Orang-orang berbeda pendapat tentang permulaan khutbah dua hari raya dan istisqa. Ada yang berkata, ‘Keduanya dimulai dengan takbir.’ Ada juga yang mengatakan, ‘Khutbah istisqa dimulai dengan istigfar.’ Ada pula yang mengatakan, ‘Keduanya dimulai dengan hamdalah.’ Syaikhul Islam mengatakan, ‘Inlah yang benar. Biasanya Nabi sallallahu alaihi wa sallam memulai semua khutbahnya dengan hamdalah.”
Foto: Freepik
Petunjuk Nabi tentang Shalat Hari Raya Id: Ada Keringanan
Nabi sallallahu’alaihi wa sallam memberi keringanan bagi yang menyaksikan shalat Id dengan mempersilahkan mereka memilih antara duduk mendengarkan khutbah atau pergi.
BACA JUGA: Kapan Takbir Hari Raya Idul Fitri Dikumandakan dan Kapan Diakhiri?
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 1155 dari Abdullah bin As-Saib radhiallahu anhu, dia berkata,
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ ، فَلَمَّا قَضَى الصَّلاةَ قَالَ : إِنَّا نَخْطُبُ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ. صححه الألباني في صحيح أبي داود
“Aku ikut hadir shalat Id bersama Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam Id. Ketika selesai shalat, beliau mengatakan, ‘Kami akan berkhutbah, barangsiapa yang ingin duduk (untuk mendengarkan) khutbah, maka duduklah. Dan siapa yang ingin pergi, silahkan pergi.” (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih Abu Daud)
Biasanya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam berbeda jalan di hari raya. Pergi di suatu jalan dan pulang di jalan lain.
Diriwayatkan oleh Bukhori (986) dari Jabir bin Abdullah radhiallahu anhuma, dia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
“Biasanya Nabi sallallahu alaihi wa sallam menempuh jalan yang berbeda hari raya pada hari Id.” []
HABIS | SUMBER: ISLAMQA