Tag:

Puasa Sunnah

Para Ulama dan Ikhtilaf Puasa Bulan Rajab

Semua madzhab empat sepakat mengenai dibolehkannya puasa bulan Rajab secara tidak penuh. Karenanya berlaku kaidah yang menyatakan bahwasannya masalah ikhfilaf tidak boleh diinkariHidayatullah.com |   BULAN Rajab merupakan bulan ketujuh dalam tahun Hijrah. Bulan ini juga disebut bulan Mi’raj  karena pada bulan tersebut terdapat peristiwa Israk dan Mi’raj. Bulan Rajab merupakan salah satu bulan yang dimuliakan oleh Islam dengan amalan sebagai persiapan menyambut datangnya bulan Ramadhan. Persiapan menyambut bulan Ramadhan dengan memperbanyak amalan di bulan Rajab sangat membantu pembentukan taqwa seorang mukmin. Bulan Rajab dalam Islam memiliki keistimewaan yaitu Bulan Haram, Bulan Allah SWT, keistimewaan Bulan Rajab pada hari dan malam pertama bulan Rajab, hari kesepuluh dan malam bulan tersebut, dan tiga hari dan malam terakhir bulan ini. Rajab merupakan bagian dari Bulan Haram. Salah satu keistimewaan bulan Rajab adalah bahwa bulan ini merupakan salah satu Bulan Haram dalam Islam. Bulan Haram berarti bulan Zulkaedah, Zulhijah, Muharram, dan Rajab (Al-Nawawi, 1972: 1/182). Dari Abu Bakrah, Nabi ﷺ bersabda; الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ “Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR: Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679). Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab. Baca juga: Inilah Nama-nama Lain Bulan Rajab Pendapat Ulama Puasa Rajab Di bulan Rajab  biasa bermunculan berbagai tulisan pembahasan mengenai hukum mengerjakan puasa Rajab. Tidak jarang hal ini memunculkan polemik. Para fuqaha di madzhab empat sudah membahas persoalan ini. Marilah kita lihat, bagaimana duduk permasalahannya sebenarnya menurut mereka. Madzhab Maliki Al Lakhmi menyatakan bahwa bulan-bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadhan adalah tiga, yakni Al Muharram, Rajab dan Sya’ban. (dalam Al Mawahib Al Jalil, hal. 319). Ad Dardir menyatatakan bahwasannya disunnahkan puasa bulan Al Muharram, Rajab dan Sya’ban, demikian juga di empat bulan haram yang dimana paling utama adalah Al Muharram kemudian Rajab lalu Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. ( dalam Syarh Ad Dardir ‘ala Khalil, 1/513). Madzhab Al Maliki berndapat mengenai kesunnahan puasa di bulan Rajab secara mutlak, meski dengan sebulan penuh. Madzhab Hanafi Yang disukai dari puasa-puasa ada beberapa macam, yang pertama adalah puasa Al Muharram, kedua puasa Rajab dan ke tiga adalah puasa Sya’ban dan puasa Asyura’ (dalam Al Fatawa Al Hindiyah, 1/202). Posisi Madzhab Hanafi cukup jelas, bahwasannya mereka menyatakan bahwa puasa di bulan Rajab secara mutlak adalah perkara yang disukai. Sebagaimana jika seorang bernadzar untuk berpuasa penuh di bulan Rajab, maka ia wajib berpuasa sebulan penuh dengan berpatokan pada hilalnya. (dalam Syarh Fath Al Qadir, 2/391). Madzhab Hanbali Al Buhuti menyatakan bahwa mengkhususkan puasa di bulan Rajab hukumya makruh. Namun Al Buhuti melanjutkan, ”Dan hilang kemakruhan dengan berbuka meskipun hanya sehari, atau berpuasa pada bulan lain di tahun itu.” (dalam Kasyf Al Qina’, hal. 1003). Hal yang sama disampaikan Ibnu Rajab Al Hanbali, bahwa kemakruhan puasa di bulan Rajab hilang dengan tidak berpuasa penuh di bulan Rajab atau berpuasa penuh dengan menambah puasa sebulan di bulan lainnya di tahun itu. Sedangkan Imam Ahmad menyatakan tidak berpuasa Rajab secara penuh kecuali bagi yang berpuasa terus-menerus. (dalam Lathaif Al Ma’arif, hal. 230). Dengan demikian, Madzhab Hanbali hanya memandang makruh bagi yang mengkhususkan Rajab untuk berpuasa sebulan penuh, namun ketika hal itu dilakukan tidak penuh di bulan itu, atau berpuasa penuh namun dengan berpuasa sebulan di bulan lain maka hilanglah unsur kemakruhan. Madzhab Syafi`i Ulama Madzhab Asy Syafi’i mensunnahkan puasa di bulan Rajab, dimana Imam An Nawawi berkata,”Telah berkata ashabuna: Dari puasa yang disunnahkan adalah puasa di bulan-bulan haram, yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Al Muharram dan Rajab.” ( dalam Al Majmu’, 6/438).  Hal serupa disampaikan di Imam An Nawawi dalam kitab yang lain (lihat, Raudhah Ath Thalibin, 2/254). Ibnu Hajar Al Haitami juga menyatakan, ”Dan disunnahkan (puasa) di bulan-bulan haram, bahkan ia adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa setelah Ramadhan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Al Muharram dan Rajab.” ( dalam Minhaj Al Qawim dengan Hasyiyah At Tarmasi, 5/804,805). Dengan demikian, bisa dismpulkan bahwa Madzhab Asy Syafi’i mensunnahkan puasa Rajab secara mutlak, tanpa memandang bahwa amalan itu dilakukan di sebagian bulan Rajab atau di seluruh hari-harinya. Imam Asy Syafi’i dalam pendapat qadim menyatakan makruh menyempurnakan puasa satu bulan di selain bulan Ramadhan, agar tidak ada orang jahil yang meniru dan mengira bahwa puasa itu diwajibkan, karena yang diwajibkan hanyalah puasa Ramadhan. Namun ketika unsur itu hilang, Imam Asy Asyafi’i menyatakan, ”jika ia mengerjakan maka hal itu baik.” (Fadhail Al Auqat, 28). Bisa disimpulkan bahwa semua madzhab di atas sepakat mengenai dibolehkannya puasa bulan Rajab secara tidak penuh. Khilaf yang terjadi adalah berpuasa penuh di bulan Rajab tanpa disertai dengan puasa lainnya. Dan khilaf yang terjadi berkisar antara hukum sunnah dengan makruh, bukan haram. Setelah posisi para ulama madzhab empat jelas bagi kita, bahwa hal ini adalah masalah khilafiyah yang mu’tabar, dimana berlaku kaidah yang menyatakan bahwasannya masalah ikhfilaf tidak boleh diinkari. Dengan demikian, hubungan baik antara umat Islam akan terjaga. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.* Baca juga: Hukum Puasa Rajab Menurut Empat Madzhab

Hukum Suami Melakukan Jima saat Istri sedang Puasa Sunnah

APA hukum suami yang menggauli atau melakukan jima pada isterinya saat sang isterinya berpuasa sunah, sedangkan suaminya tidak puasa?Orang yang berpuasa sunah dapat mengatur dirinya sendiri, dia boleh menyempurnakan puasanya, boleh juga membatalkannya, hanya saja menyempurnakannya lebih utama.Imam Ahmad meriwayatkan (no. 26353) dari Ummu Hani radhiallahu anha, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendatanginya, lalu dia minta diambilkan minuman, lalu beliau minum, kemudian dia berikan kepadanya (Ummu Hani) dan diapun meminumnya. Kemudia dia berkata, “Wahai Rasulullah, saya sebenarnya sedang berpuasa.”BACA JUGA:  Agar Jima Suami Istri Datangkan PahalaMaka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,الصَّائِمُ الْمُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ ، إِنْ شَاءَ صَامَ ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ) . صححه الألباني في صحيح الجامع (3854“Orang yang berpuasa sunah berkuasa atas dirinya, jika suka dia berpuasa, jika suka dia berbuka.” (Dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Shahih Al-Jami, no. 3854)Siapa yang berpuasa salah satu hari dari enam hari bulan Syawal lalu dia ingin berbuka, maka dia boleh berbuka, apakah berbukanya dengan makan, berjimak atau lainnya. Dan jika sang isteri berpuasa atas izin suami, mestinya sang suami tidak membatalkan puasa isterinya, akan tetapi, jika sang suami berhasrat, maka lebih utama bagi isteri untuk memenuhinya.Foto: PexelsSyekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Jika seorang isteri berpuasa sunah dengan izinnya (suami), maka tidak halal bagi suami untuk merusak puasa isterinya. Karena dia telah mengizinkannya.BACA JUGA: Hukum Suami Istri Jima Telanjang BulatAkan tetapi dalam kondisi demikian, saat isteri berpuasa sunah atas izinnya, seandainya sang suami meminta darinya hubungan intim, apakah lebih baik bagi isteri untuk terus berpuasa dan menghalangi keinginan suaminya atau menyambut keinginan sang suami? Yang kedua lebih utama; Memenuhi keinginan suami. Karena memenuhi keinginan suami dalam hal ini termasuk dalam perkara yang diwajibkan pada asalnya. Sedangkan puasa sunah termasuk dalam perkara sunah, karena kalau dia menolak keinginan suami sedangkan suami sangat berhasrat, boleh jadi dalam hatinya muncul kebencian terhadapnya sehingga hubungan suami isteri akan memburuk dengan sebab itu.” (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 21/174)Wallahu a’lam. []SUMBER: ISLAMQA