Tag:
Puasa
Islampos.com
Apa Bedanya Puasa Umat Islam dengan Umat Lain?
ISLAM mewajibkan umatnya untuk melaksakan puasa sebulan penuh di Bulan Ramadhan. Selain itu, ada puasa sunnah yang bisa dilakukan di hari-hari selain di bulan Ramadhan. Namun sebelum umat Rasulullah SAW mensyariatkan puasa, umat Yahudi telah lebih dulu melakukannya. Namun ingat, puasa antara keduanya memiliki perbedaan makna dan ritualnya.Di dalam Islam puasa dikenal menjadi dua, yakni puasa yang bersifat wajib dan sunnah. Puasa juga dilakukan dalam rangka menahan diri dari makan, minum, emosi, dan nafsu. Dimulai dari waktu sebelum datangnya fajar hingga terbenamnya matahari.BACA JUGA: Puasa di Hari Senin Kelahiran Nabi, Apa Hukumnya?Dalam buku Sejarah Puasa karya Ustaz Ahmad Sarwat dijelaskan, Puasa umat Muslim memiliki rujukan waktu, teknis, aturan, hingga segala detailnya. Puasa umat Islam sangat spesifik, unik, dan khusus.Perbedaan lainnya antara puasa umat Islam dengan umat dari agama-agama terdahulu adalah segi keringanannya. Bahkan di dalam rangkaian ayat tentant kewajiban puasa di bulan Ramadhan, Allah SWT telah menegaskan bahwa Dia menginginkan kemudahan bagi segenap hamba-Nya.Allah berfirman dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 185, “Yuridullahu bikumul-yusra wa laa yuridu bikumul-usra.” Yang artinya, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”Sedangkan, puasa untuk umat Yahudi bermakna menahankan diri keseluruhannya dari makanan dan minuman. Menggosok gigi bahkan diharamkan pada puasa hari besar seperti Yom Kippur dan Tisha B’av, tapi hal ini tak berlaku di puasa hari kecil.BACA JUGA: Inilah Pembuktian Manfaat-manfaat Puasa yang Diungkap Berbagai Ahli MedisDalam teknisnya, puasa orang Yahudi juga tidak dibenarkan memakan obat, kecuali ada rekomendasi dari dokter. Dan umumnya, umat Yahudi mengamalkan ritual ibadah tersebut sampai enam hari dalam setahun.Tentunya, maksud dan tata cara berpuasa antara orang Yahudi dengan umat Islam sangatlah berbeda. []SUMBER: REPUBLIKA
Islampos.com
Puasa yang Diwajibkan, Dilarang dan Disunnahkan
PUASA WAJIB
1. Puasa Ramadhan (sudah diuraikan di materi sebelumnya)
2. Puasa qadha Ramadhan (pengganti)
Allah Ta’ala berfirman: “(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”(TQS. Al-Baqarah: 184)
“Dan barangsiapa yang (mengalami) sakit atau sedang melakukan perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib bagi dirinya berpuasa) sebanyak hari yang ia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”(TQS. Al-Baqarah: 185)
3. Puasa nazar
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa bernazar (untuk) menaati Allah, hendaklah melakukannya. Dan barangsiapa yang bernadzar mengerjakan maksiat kepada Allah, maka janganlah dilakukannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
4. Puasa kafarat
Kafarat secara bahasa berarti mengganti, menutupi, membayar, dan memperbaiki.
Di antaranya kafarat sumpah: 3 hari. Kafarat orang yang menzihar istrinya/ kafarat berhubungan saat puasa Ramadhan: 2 bulan berturut-turut-dibahas pada materi memenuhi janji)
BACA JUGA: Salah Satunya, 6 Hari di Bulan Syawal, Inilah Macam-macam Puasa Sunnah
PUASA YANG DILARANG
1. Diharamkan Puasa Pada hari raya Idul Fitri dan Adul Adha
Disebutkan oleh Abu Syuja’ rahimahullah:
وَيَحْرُمُ صِيَامُ خَمْسَةِ أَيَّامٍ : العِيْدَانِ وَأيَاَّمُ التَّشْرِيْقِ الثَّلاَثَةُ
وَيُكْرَهُ صَوْمُ يَوْمِ الشَّكِّ إِلاَّ أَنْ يُوَافِقَ عَادَةً لَهُ أَوْ يَصِلَهُ بِمَا قَبْلَهُ
Diharamkan berpuasa pada 5 hari: (1, 2) dua hari raya (Idul Fithri dan Idul Adha); (3, 4, 5) hari tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah).
Foto: Pinterest
Larangan berpuasa pada hari tersebut berdasarkan hadits berikut.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الأَضْحَى وَيَوْمِ الْفِطْرِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari puasa pada dua hari: Idul Fithri dan Idul ‘Adha. (HR. Muslim no. 1138).
Jika dikatakan dilarang, berarti tidak sah berpuasa pada hari Idul Fithri dan Idul Adha, bahkan inilah yang disepakati (adanya ijmak) dari para ulama. Jadi diharamkan berpuasa pada kedua hari tersebut dan yang melakukannya dinilai berdosa. Karena ibadahnya sendiri termasuk maksiat. Contohnya yang menjalani puasa sunnah, atau puasa wajib seperti puasa nadzar, maka tidak teranggap puasanya atau nadzarnya. Lihat Kifayah Al-Akhyar, hlm. 253.
2. Diharamkan puasa pada hari Tasyrik
Berpuasa pada tiga hari tersebut karena ada larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan hal ini,
عَنْ نُبَيْشَةَ الْهُذَلِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ»
“Dari Nubaisyah Al-Hudzaliy, ia bersabda bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hari tasyrik adalah hari makan dan minum.” (HR. Muslim, no. 1141)
3. Diharamkan puasa wishol (puasa sepanjang hari tanpa berbuka dan sahur)
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian berpuasa wishol.” Para sahabat pun mengatakan, “Lalu engkau sendiri melakukan wishol, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Kalian tidaklah seperti aku dalam hal ini. Aku selalu diberi kenikmatan makan dan minum oleh Rabbku. Lakukanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian.”(HR Muslim)
4. Dimaruhkan berpuasa pada hari meragukan (yaumusy syakk) kecuali jika berpapasan dengan kebiasaan puasanya atau bersambung dengan hari sebelumnya.
Yang dimaksud hari meragukan adalah tanggal 30 Sya’ban. Abu Syuja’ lebih memilih pendapat makruh bagi yang berpuasa di hari meragukan. Namun yang jadi pegangan dalam madzhab Syafi’i, larangan dari berpuasa pada hari syakk adalah larangan haram. ‘Ammar bin Yasir pernah berkata,
مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
“Barangsiapa yang berpuasa pada hari meragukan, maka ia telah mendurhakai Abul Qosim shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Tirmidzi, no. 686; Ibnu Hibban, no. 3596. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits ini shahih).Kecuali orang yang punya kebiasaan berpuasa, yaitu bertepatan dengan hari puasa Daudnya (sehari puasa, sehari tidak) atau puasa Senin Kamis, maka ia masih boleh melakukan sunnah tersebut. Lihat Al-Iqna’, 1:413.
5. Dimakruhkan puasa mengkhususkan hari Jum’at
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jum’at kecuali jika ia berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya.”(HR Bukhari dan Muslim)
An Nawawi rahimahullah membawakan hadits ini di Shahih Muslim dalam Bab “Terlarang berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian.”
Foto: Pixabay
6. Dimakruhkan puasa Dahr (puasa setiap hari)
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada puasa bagi yang berpuasa setiap hari tanpa henti. Tidak ada puasa bagi yang berpuasa setiap hari tanpa henti. Tidak ada puasa bagi yang berpuasa setiap hari tanpa henti.” (HR Muslim)
PUASA TATHAWWU’ (PUASA SUNNAH )
Puasa sunnah ada tiga macam
1. Tahunan.
Yakni:– Puasa Arafah 9 Dzulhijjah,– Puasa Asyura 10 Muharam dan tasu’a 9 Muharam– Puasa pada bulan haram lainnya– Puasa pada bulan Sya’ban– Puasa 6 hari pada bulan Syawal(Sudah dijelaskan sebelumnya)
BACA JUGA: Inilah 9 Jenis Puasa Sunnah dan Keutamaannya Masing-masing
2. Bulanan
– Puasa Ayyaumul bidh (3 hari setiap bulan)
3. Pekanan
– Puasa Senin dan Kamis– Puasa Daud
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda, “Puasa yang paling disukai di sisi Allah adalah puasa Daud, dan shalat yang paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur di pertengahan malam dan bangun pada sepertiga malam terakhir dan beliau tidur lagi pada seperenam malam terakhir. Sedangkan beliau biasa berpuasa sehari dan buka sehari.” (HR Bukhari dan Muslim)
Wallahu a’lam bi showab. []
Sumber: Fikih Imam 4 Mazhab, Matan Abu Syuja’, Fikih Syafi’i
Hidayatullah.com
Hikmah Puasa Sunnah 6 Hari di Bulan Syawal
AMALAN yang identik dengan bulan Syawal salah satunya adalah puasa sunnah 6 hari. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa berpuasa (di bulan) Ramadhan kemudian diiringi dengan puasa 6 (enam) hari bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti puasa satu tahun penuh.” (HR. Muslim)
Penyariatan puasa Syawal ini memiliki banyak hikmah. Setidaknya ada lima hikmah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab dalam buku “Lathaa`ifu al-Ma’aarif fiima li al-Mawaasim min Lathaa`if” (1999 : 393):
Pertama, puasa 6 hari di bulan Syawal pasca Ramadhan bisa menyempurnakan pahala puasa menjadi setahun penuh. Ini sesuai dengan hadits yang disebut di awal.
Kedua, puasa di bulan Syawal dan Sya’ban laksana sunnah Rawatib dalam shalat wajib yang berfungsi menyempurnakan kekurangan dan kekeliruan yang terjadi dalam shalat wajib. Tidak berlebihan jika Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah pernah berkata, “Barangsiapa yang tidak bisa mengeluarkan zakat fitrah di akhir Ramadhan, maka hendaknya ia puasa (sunnah setelahnya)!” Karena puasa -dalam hal menebus kejelekan – menempati posisi memberi makan (zakat fitrah).
Baca: Enam Hari Puasa Syawal seperti Puasa Setahun
Ketiga, membiasakan puasa setelah Ramadhan adalah tanda diterimanya puasa Ramadhan. Jika Allah Subhanahu Wata’ala hendak menerima amalah seorang hamba, maka dia diberi taufik untuk melakukan amal saleh setelahnya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama, “Pahala kebaikan adalah kebaikan (yang dilakukan) setelahnya.” Maka kalau ada yang berbuat kebaikan lalu berkesinambungan, maka itu sebagai tanda diterimanya kebaikan yang pertama. Demikian juga sebaliknya jika melakukan keburukan (itu sebagai tanda bahwa amalan pertama tidak diterima).
Keempat, membiasakan puasa setelah Ramadhan sebagai wujud rasa syukur kepada Allah yang menganugerahkan ampunan di bulan Ramadhan; karena tidak ada nikmat yang lebih besar daripada ampunan-Nya. Suatu saat nabi shalat malam hingga kakinya bengkak. Ketika ditanya, beliau menjawab bahwa itu sebagai rasa syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Ini salah satu contoh rasa syukur yang dicontohkan nabi.
Ketika Ibnu Al-Warad ditanya orang mengenai pahala beberapa amal seperti thawaf dan semacamnya, beliau menjawab, “Jangan bertanya tentang pahalanya, tapi tanyalah kepada dirimu sudahkan kamu bersyukur kepada Allah yang telah memberi taufik dan pertolongan untuk melakukan kebaikan tersebut!”
Kelima, amalan yang dilakukan seseorang di bulan Ramadhan sejatinya tidak berhenti hanya di bulan Ramadhan;tapi terus berlangsung selama dia masih hidup. Ada riwayat, “Orang yang berpuasa setelah Ramadhan itu seperti orang baru selesai dari gelanggang pertempuran di jalan Allah kemudian kembali lagi bertempur.”
Dalam hadits disebutkan, “Amalan yang paling dicintai Allah adalah adalah yang ‘al-Haal al-Murtahil’ (tiap kali singgah, dia berangkat lagi) sebagaimana orang yang mengkatamkan al-Qur`an dari awal sampai akhir, kemudian dilanjut bacaannya secara berkesinambungan sampai khatam lagi.” (HR. Tirmidzi). Dengan demikian, amalnya terus berkesinambungan tidak tergantung pada mood dan moment tertentu.
Bisyr -salah seorang salaf- saat ditanya mengenai kaum yang hanya beribadah dan bersungguh-sungguh di bulan Ramadhan, beliau menjawab, “sejelek-jelek kaum adalah yang tidak mengenal hak-hak allah melainkan pada bulan ramadhan saja. Orang saleh adalah yang beribadah dan bersungguh-sungguh sepanjang tahun.”
Baca: Akankan Syawal Menjadi Bulan Kekalahan?
Ketika Asy-Syibli Rahimahullah ditanya, “Manakah yang lebih utama antara Sya’ban dan Ramadhan?” Beliau menjawab, “Jadilah hamba rabbani dan jangan jadi hamba sya’bani.” Jadi, di dalam maupun luar Ramadhan tidak dibeda-bedakan karena yang menjadi acuan adalah Allah Subhanahu wata’ala. Selama itu diperintahkan Allah, maka akan dijaga secara kontinu.Dakwah Media BCA - Green.notice-box-green {
border: 2px solid #28a745; /* Green border color */
background-color: #d4edda; /* Light green background color */
padding: 15px;
margin: 20px;
border-radius: 8px;
font-family: inherit; /* Use the theme font from WordPress */
text-align: center; /* Center the text */
}Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/Nabi sendiri amalannya selalu istikamah dan kontinu. Ketika Aisyah ditanya apakah nabi mengkhususkan hari tertentu untuk beramal, beliau menjawab, “Amalan beliau itu berkesinambungan (kontinu)” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan ketika nabi pernah dalam satu Ramadhan tak bisa menjalankan iktikaf di sepuluh hari terakhir, maka beliau ganti di bulan Syawal.
Lebih dari itu, Hasan Bashri berkata, “Sesungguhnya Allah tidak membuat ajal untuk amalan mukmin, melainkan kematian.” Artinya, kapanpun dan dimanapun selama masih hidup, maka amalan harus tetap kontinu.
Jadi, hikmah disyariatkannya puasa Syawwal –wallahu a’lam- adalah: untuk menyempurnakan pahala puasa, menyempurnakan kekurangan puasa, sebagai tanda diterimanya puasa, sebagai rasa syukur, supaya terus berkesinambungan di bulan-bulan lainnya.
Sebagai penutup, pernyataan Ibnu Rajab Rahimahullah berikut patut untuk dijadikan bahan renungan, “Barangsiapa mengamalkan ketaatan kemudian selesai menjalankannya, maka tanda amalnya diterima adalah dengan menyambungnya dengan ketaatan yang lain, sedangkan tanda tertolaknya adalah ketika ketaatan disambung dengan kemaksiatan yang lain.” */Mahmud Budi Setiawan
Islampos.com
Bayi, Filosofi Buah Penempaan Puasa Ramadhan
KEMBALI kepada fitrah itu seperti bayi yang baru dilahirkan. Itulah buah puasa Ramadhan. Bayi itu menentramkan dan menyenangkan bagi yang melihatnya. Muncul kasih sayang bagi yang memandangnya. Sudah seperti itukah kita berinteraksi dan bermasyarakat? Hadir untuk menentramkan, menyejukkan dan menebar kasih sayang.
Bayi itu pasrah dan ridha kepada ibunya. Apapun yang diperbuat ibunya pasti yang terbaik. Sudah sepasrah dan seridha itukah kita kepada Allah? Masihkah ada kekhawatiran akan takdir-Nya? Masihkah merasa ada yang lebih baik dari kehendak-Nya?
Tanda ridha adalah taat kepada Allah. Semua syariat-Nya terbaik bagi manusia. Semua perintah-Nya tak ada yang menandingi kebaikan-Nya. Tak ada pilihan yang terbaik kecuali pilihan-Nya. Sang bayi tak pernah menolah yang diberikan sang ibu. Apakahnkita masih ada penolakan terhadap syariat-Nya?
Sang bayi di tengah malam justru sering terbangun. Sang bayi sering terjaga dari tidurnya untuk berinteraksi dengan sang ibu. Malam menjadi seperti siang. Sudahkah kita menjaga malam untuk berkhalwat bersama Allah? Berbincang berdua bersama Allah, saat yang lain masih mendengkur.
Sang bayi tak pernah putus asa. Tak pernah kenal lelah untuk bangkit dan belajar. Energi belajarnya sangat luar biasa. Saat yang dewasa kelelahan, sang bayi sang energik melakukan hal yang baru.
Bagaimana karakter pembelajar kita? Kalahkan dengan kemalasan belajar? Bagaimana daya juang menghadapi pernak pernik kehidupan? Putusasakah dengan persoalan? Bayi yang lemah tetapi memiliki energi tinggi, namun mengapa yang dewasa mudah lunglai?
BACA JUGA: Mengapa Intelejen Quraisy Tidak Mampu Mengendus Darul Arqam?
Puasa, walaupun tubuh lemah karena tidak makan dan minum, namun harus menyelesaikan tujuan akhir hingga waktu berbuka puasa. Itulah latihan ketegaran dan kedisiplinan jiwa yang berpuasa. Itulah tanda mereka yang kembali pada fitrahnya. Era bayi sudah dilalui, dengan puasa mengulangi era keemasan itu. []
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: [email protected], dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.
Arrahmah.id
Puasa dan Anak (part 2)
(Arrahmah.id) – Imam Ghazali menulis buku nasihat buat anak berjudul Ayyuhal Walad(Wahai Anak), membawakan kisah menarik diskusi antara seorang guru bernama Syaqiq Al-Balkhi (wafat tahun 194 H/810 M) dengan muridnya bernama Hatim Al-Asham (wafat tahun 237 H/851M). Sang guru bertanya kepada muridnya: Kamu sudah belajar denganku selama 30 tahun. Apa yang sudah kamu dapatkan? Sang […]
Islampos.com
Apakah Sendawa Batalkan Puasa?
TANYA: Apakah bersendawa membatalkan puasa?Bersendawa adalah keluarnya angin disertai suara dari perut melalui mulut ketika dalam kondisi kenyang.Jika hanya sekadar bersendawa saja maka hal itu tidak membatalkan puasa, tetapi jika sendawa disertai dengan makanan yang keluar saat bersendawa, maka hendaknya ia segera memuntahkannya, jika ia menelannya dengan sukarela dan sengaja, maka puasanya batal. Dan jika ia menelannya tanpa sengaja atau tidak kuasa mengeluarkannya, maka puasanya sah.BACA JUGA: Hukum Orang yang Batal Puasa karena Bekerja di Panas TerikAr-Ramly dalam “nihayah al-muhtaj” (3/171), berkata:Seseorang yang terbiasa makan dan minum banyak pada waktu malam hari, dan sudah menjadi kebiasaanya ia tahu bahwa ia selalu bersendawa pagi harinya, dan apa yang ada di dalam perutnya akan keluar karena sendawa, apakah menjadi larangan baginya untuk makan dan minum terlalu banyak? Dan jika ia melanggarnya dan terjadi sesuatu saat sendawa apakah ia membatalkan puasanya atau tidak?BACA JUGA: 3 Perkara Pembatal PuasaDalam hal ini perlu pendalaman lebih lanjut, dan jawabannya adalah bahwa kebiasan makan dan minum banyak pada waktu malam tidak dilarang, dan jika pada waktu pagi ia bersendawa sebagaimana dimaksud, maka hendaknya ia segera memuntahkannya dan segera mencuci mulut dan tidak membatalkan puasanya, demikian seharusnya meskipun hal itu terjadi berulang-ulang seperti orang yang mengalami muntah-muntah.Wallahu a’lam. []SUMBER: ISLAMQA
Arrahmah.id
Puasa dan Anak (Part 1)
(Arrahmah.id) – Anak adalah amanah yang dititipkan Allah kepada kedua orang tuanya. Tanggung jawab ini berat dan harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya, sekaligus itu ujian, tapi juga merupakan perhiasan, وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala […]
Islampos.com
Hukum Perempuan Puasa Sebelum Mandi Besar dari Haidhnya
TANYA: Bagaimana hukum puasa bagi perempuan yang selesai haid namun belum mandi wajib?Saya suci dari haidh sebelum subuh, lalu saya tertidur sampai jam sepuluh menjelang siang dan belum mandi besar. Saya lupa bahkan saya sampai mengantar anak perempuan saya yang sedang sakit ke rumah sakit sampai masuk waktu ashar. Baru teringat kalau saya belum mandi besar. Kemudian saya mandi dan mengqodho’ (mengganti) shalat yang terlewat. Dan Allah Maha Mengetahui bahwa hal ini kali pertama saya alami semenjak saya baligh. Dan siklus masa haidh saya biasanya selama sembilan hari, namun kali ini selama delapan hari. BACA JUGA: Hadist Dha’;if tentang Ramadhan Dibagi 3Lalu saya mengendusnya untuk mengecek kebenarannya, akan tetapi saya berpuasa, apa yang harus saya perbuat? Apakah saya harus mengqodho’ (mengganti) puasa di hari lain?Jawab: Apabila anda sudah yakin sudah suci dari haid, dan anda berniat puasa meskipun satu menit sebelum subuh, maka puasa anda sah. Meskipun mandi besarnya setelah subuh.Dan lihatlah jawaban soal nomor: 7310Namun apabila anda ragu akan masa suci anda, dan anda juga berniat puasa, maka puasa anda tidak sah karena didasari atas keragu-raguan sudah suci dari haid atau belum.Suatu ketika Syeikh Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya tentang seorang perempuan yang berpuasa, akan tetapi dia masih ragu apakah sudah suci dari haid apa belum, dan pada pagi harinya ternyata benar-benar suci, apakah puasanya sah padahal dia belum meyakini kesuciannya dari haid?Maka beliau menjawab: “puasanya tidak sah, dan wajib baginya untuk mengganti di hari lain. Karena hukum asalnya dia sedang haid, sedangkan dia berpuasa dalam keadaan tidak yakin bahwa ia telah suci, artinya dia beribadah (puasa) disertai dengan keragu-raguan akan syarat sahnya ibadah puasa. Inilah yang menghalangi puasanya dianggap sah. (Majmu’ Fatawa Syeikh Ibnu Utsaimin 19/107)Foto: UnsplashDan apabila seorang perempuan mengetahui bahwa dirinya telah suci dari haid, maka diwajibkan baginya mandi besar untuk mendirikan shalat, dan tidak boleh ditunda sampai masa waktu shalat habis. Apabila dia mengerjakan hal yang demikian, maka dia harus bertaubat, dan mengganti ibadah yang terlewat.BACA JUGA: Perempuan Haid Tidak Boleh Puasa Itu Bukan Diskriminasi!Namun apabila dia lupa bahwa ia telah suci dari haid –sebagaimana yang anda sebutkan dalam pertanyaan- maka anda tidak berdosa insya Allah. Dan wajib bagi dia ketika sudah ingat, maka dia harus mandi besar, dan mengganti shalat yang terlewat, sebagaimana yang anda lakukan.Kami mamohon kepada Allah –subhanahu wa ta’ala- agar senantiasa mengampuni kita semua.Wallahu A’lam. []SUMBER: ISLAMQA