Tag:
Pengungsi Rohingya
Hidayatullah.com
Soal Penyerbuan Pengungi Rohingya, Muhammadiyah: Mahasiswa Tak Merasakan Derita Saat Tsunami
Hidayatullah.com—Pimpinan Muhammadiyah Aceh mengaku sejak awal organisasainya tidak memberikan peluang kepada warga dan para mahasiswanya melakukan aksi dan ikut-ikutan menggeruduk pengungsi Rohingnya yang berstatus korban konflik di Banda Aceh.
Menurut Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh M. Yamin, SE, M. Si, sampai hari ini masih terjadi simpang siur terkait aksi mahasiswa menggeruduk pengungungsi Rohingya di Banda Aceh, yang terjadi hari Rabu lalu.
Yamin, yang juga Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Aceh (Unmuha), mengatakan, mahasiswamua memang mendapat undangan dari kelompok mahasiswa yang mengatasnamakan BEM Nusantara untuk melakukan aksi ini.
“Mahasiswa Unmuha juga sudah dipanggil oleh pihak rektorat untuk melakukan klarifikasi, bahwa ini tidak ada kaitannya dengan Unmuha secara kelembagaan. Mereka tidak berkoordinasi sama sekali,” ujar pria yang juga Koordinator MDMC dan LAZISMU ini.
Demikian juga, kata Yamin, Rektor Unmuha Dr Aslam Nur menyampaikan, bahwa Unmuha sejak tidak memberikan izin atau rekomendasi untuk demonstrasi tersebut.
Yamin menjelaskan, sejak pendaratan pertama pengungsi Rohingya di Aceh tahun 2015, telah melakukan banyak kegiatan di kamp pengungsian, di antaranya kegiatan psikososial dan pembinaan keagamaan dengan mendirikan balai pengajian dan tempat shalat, yang diberi nama Balai Ahmad Dahlan.
Program ini sudah dikerjakan oleh Muhammadiyah, sebab ormas Islam ini memiliki lembaga kemanusiaan yang disebut dengan Muhammad Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), yang selama ini menjadi leading sektor dalam peristiwa-peristiwa kebencanaan dan kemanusiaan. Juga ditopang oleh LAZISMU sebagai leading sektor dalam bidang fundraising.
Yamin menambahkan, Aceh pernah merasakan situasi yang hamper sama dengan pengungsi ketika konflik melanda Aceh bertahun-tahun. Konflik ini menyisakan banyak trauma, baik orang tua maupun anak-anak.
“Setelah konflik pun, kita masih dihadapkan dengan bencana yang cukup dahsyat berupa gempa dan gelombang tsunami tahun 2004,” ungkapnya.
Dalam hal ini, kata Yamin, rakyat Aceh dan warga Muhammadiyah menyaksikan seluruh dunia berempati kepada Aceh, berbondong-bondong mereka datang ke Aceh untuk memberikan semangat dan bantuan agar kita kembali bangkit.
Sekarang ketika orang Aceh terlihat gagah perkasa, mestinya tidak lupa dengan keadaan itu, katanya.
“Saya rasa mahasiswa yang demontrasi itu tidak pernah tahu bagaimana buruknya situasi psikologi masyarakat kita sejak konflik hingga tsunami, sehingga mereka tidak memiliki empati dan literasi yang memadai tentang kemanusiaan,” ujarnya.
Untuk itu, kata Yamin, dosen-dosen di kampus perlu memberikan edukasi yang baik kepada mahasiswa diantaranya menyajikan informasi di kelas di sela-sela kuliah, terkait dengan situasi Aceh saat konflik dan tsunami.
“Bahkan, jika perlu mengundang beberapa orang kunci yang benar-benar merasakan dahsyatnya tsunami, kemudian dibawa ke kelas biar dia bercerita. Karena, bisa jadi mahasiswa-mahasiswa saat ini adalah anak-anak yang orang tuanya dulu juga korban konflik dan tsunami,” ujarnya.
Yamin menegaskan, di Muhammadiyah tidak ada prokontra terhadap berbagai peristiwa kemanusiaan. Sikap Muhammadiyah terhadap bencana dan peristiwa kemanusiaan cukup jelas.
Itu pula sebabnya Muhammadiyah memiliki majelis khusus yang menangani masalah-masalah kemanusiaan dan kebencanaan yaitu LRB/ MDMC.*/Sayed M. Husen (Aceh)
Hidayatullah.com
Soal Penyerbuan Pengungsi Rohingya, Muhammadiyah: Mahasiswa Tak Merasakan Derita Saat Tsunami
Hidayatullah.com—Pimpinan Muhammadiyah Aceh mengaku sejak awal organisasainya tidak memberikan peluang kepada warga dan para mahasiswanya melakukan aksi dan ikut-ikutan menggeruduk pengungsi Rohingnya yang berstatus korban konflik di Banda Aceh.
Menurut Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh M. Yamin, SE, M. Si, sampai hari ini masih terjadi simpang siur terkait aksi mahasiswa menggeruduk pengungungsi Rohingya di Banda Aceh, yang terjadi hari Rabu lalu.
Yamin, yang juga Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Aceh (Unmuha), mengatakan, mahasiswamua memang mendapat undangan dari kelompok mahasiswa yang mengatasnamakan BEM Nusantara untuk melakukan aksi ini.
“Mahasiswa Unmuha juga sudah dipanggil oleh pihak rektorat untuk melakukan klarifikasi, bahwa ini tidak ada kaitannya dengan Unmuha secara kelembagaan. Mereka tidak berkoordinasi sama sekali,” ujar pria yang juga Koordinator MDMC dan LAZISMU ini.
Demikian juga, kata Yamin, Rektor Unmuha Dr Aslam Nur menyampaikan, bahwa Unmuha sejak tidak memberikan izin atau rekomendasi untuk demonstrasi tersebut.
Yamin menjelaskan, sejak pendaratan pertama pengungsi Rohingya di Aceh tahun 2015, telah melakukan banyak kegiatan di kamp pengungsian, di antaranya kegiatan psikososial dan pembinaan keagamaan dengan mendirikan balai pengajian dan tempat shalat, yang diberi nama Balai Ahmad Dahlan.
Program ini sudah dikerjakan oleh Muhammadiyah, sebab ormas Islam ini memiliki lembaga kemanusiaan yang disebut dengan Muhammad Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), yang selama ini menjadi leading sektor dalam peristiwa-peristiwa kebencanaan dan kemanusiaan. Juga ditopang oleh LAZISMU sebagai leading sektor dalam bidang fundraising.
Yamin menambahkan, Aceh pernah merasakan situasi yang hamper sama dengan pengungsi ketika konflik melanda Aceh bertahun-tahun. Konflik ini menyisakan banyak trauma, baik orang tua maupun anak-anak.
“Setelah konflik pun, kita masih dihadapkan dengan bencana yang cukup dahsyat berupa gempa dan gelombang tsunami tahun 2004,” ungkapnya.
Dalam hal ini, kata Yamin, rakyat Aceh dan warga Muhammadiyah menyaksikan seluruh dunia berempati kepada Aceh, berbondong-bondong mereka datang ke Aceh untuk memberikan semangat dan bantuan agar kita kembali bangkit.
Sekarang ketika orang Aceh terlihat gagah perkasa, mestinya tidak lupa dengan keadaan itu, katanya.
“Saya rasa mahasiswa yang demontrasi itu tidak pernah tahu bagaimana buruknya situasi psikologi masyarakat kita sejak konflik hingga tsunami, sehingga mereka tidak memiliki empati dan literasi yang memadai tentang kemanusiaan,” ujarnya.
Untuk itu, kata Yamin, dosen-dosen di kampus perlu memberikan edukasi yang baik kepada mahasiswa diantaranya menyajikan informasi di kelas di sela-sela kuliah, terkait dengan situasi Aceh saat konflik dan tsunami.
“Bahkan, jika perlu mengundang beberapa orang kunci yang benar-benar merasakan dahsyatnya tsunami, kemudian dibawa ke kelas biar dia bercerita. Karena, bisa jadi mahasiswa-mahasiswa saat ini adalah anak-anak yang orang tuanya dulu juga korban konflik dan tsunami,” ujarnya.
Yamin menegaskan, di Muhammadiyah tidak ada prokontra terhadap berbagai peristiwa kemanusiaan. Sikap Muhammadiyah terhadap bencana dan peristiwa kemanusiaan cukup jelas.
Itu pula sebabnya Muhammadiyah memiliki majelis khusus yang menangani masalah-masalah kemanusiaan dan kebencanaan yaitu LRB/ MDMC.*/Sayed M. Husen (Aceh)
Hidayatullah.com
Komnas HAM Desak Pemerintah Pastikan Lokasi Penampungan Pengungsi Rohingya
Hidayatullah.com—Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menyarankan pemerintah untuk memastikan tersedianya lokasi penampungan bagi para pengungsi Rohingya di Provinsi Aceh.
“Pemerintah perlu memastikan tersedianya lokasi penampungan tersentral pengungsi Rohingya yang saat ini ada di Aceh,” kata Koordinator Sub-Komisi Penegakan Hak Asasi Manusia Komnas HAM RI Uli Parulian Sihombing dalam keterangannya di Banda Aceh, Jumat lalu.
Pernyataan tersebut disampaikan Komnas HAM setelah melakukan pemantauan keberadaan pengungsi Rohingya di wilayah Aceh sejak November sampai Desember 2023.
Pemantauan Komnas HAM menitikberatkan pada aspek penanganan pengungsi serta dinamika sosial yang muncul berupa aksi penolakan dari masyarakat terhadap Rohingya dan dilakukan sesuai dengan mandat UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Uli Parulian menyampaikan lokasi penampungan Rohingya juga harus memenuhi kriteria, seperti tidak terlalu dekat dengan permukiman masyarakat, terjangkau aksesibilitas terkait penyediaan kebutuhan dasar, serta jaminan keamanan.
“Terutama memastikan pemerintah daerah melalui Kementerian Dalam Negeri agar sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat dalam hal penanganan pengungsi dimaksud sesuai dengan ketentuan Perpres Nomor 125 Tahun 2016,” ujarnya dikutip laman Antara.
Dengan alasan kemanusiaan, kata Uli, pemerintah bersama UNHCR dan IOM tetap perlu mengedepankan penanganan etnis Rohingya sesuai ketentuan Perpres Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri yang menjadi landasan normatif dan koordinatif bagi pemerintah dalam mengambil langkah serta kebijakan penanganan pengungsi luar negeri.
Komnas HAM juga merekomendasikan pemerintah agar memberikan bantuan kepada pengungsi Rohingya yang bersumber dari APBN dengan mempertimbangkan kesanggupan pemerintah dan sesuai ketentuan perundang-undangan serta mempertimbangkan kepentingan masyarakat lokal.
Kemudian, lanjut Uli, juga meminta kepolisian memastikan keamanan pengungsi Rohingya, terutama dalam rangka memberikan perlindungan, mencegah terjadinya benturan dengan masyarakat serta mencegah upaya melarikan diri atau praktik penyelundupan lebih lanjut terhadap pengungsi sesuai Perpres Nomor 125 Tahun 2016, dan fungsi kamtibmas Polri.
“Memberikan arahan kepada Polri agar memperkuat penegakan hukum dan bekerjasama dengan otoritas keamanan di ASEAN serta interpol untuk memberantas sindikat dan memutus mata rantai penyelundupan manusia terutama terhadap pengungsi Rohingya,” kata Uli.
Tak hanya itu, Komnas HAM juga meminta Kemenkumham melaksanakan fungsi keimigrasian dalam penanganan pengungsi secara maksimal sesuai mandat dan kewenangan yang telah diatur dalam ketentuan Perpres 125 tahun 2016 tersebut.
Selanjutnya, Komnas HAM mendorong pemerintah daerah dan aparat keamanan proaktif memberikan pemahaman kepada masyarakat, bahwa pemerintah akan bertanggung jawab terhadap pengungsi serta menjamin keamanan dan ketertiban di tengah masyarakat.
Lalu, mendorong Kemenlu mengambil langkah diplomasi dan intervensi lebih maksimal melalui forum-forum bilateral, regional maupun multilateral terkhusus forum PBB dalam rangka penuntasan konflik di Myanmar, terutama terkait pengakuan kewarganegaraan dan pemulihan status nasional etnis Rohingya.
“Kami juga mendorong Kemenlu mengambil langkah diplomatis melalui Komisariat Tinggi PBB untuk pengungsi (UNHCR) dalam rangka memastikan negara pihak Konvensi Pengungsi 1951 berperan aktif mengambil tanggung jawab dan komitmen secara lebih untuk menerima dan menampung pengungsi internasional terutama etnis Rohingya,” ujarnya.
Uli menambahkan perlu juga adanya opsi terbaik selama penampungan pengungsi Rohingya di Indonesia. Mengingat pilihan mengembalikan Rohingya ke negara asal tidak dapat dilakukan karena berpotensi berada dalam ancaman persekusi, penyiksaan, perlakuan dan hukuman yang tidak manusiawi serta merendahkan martabat kemanusiaan.
Hal itu sesuai dengan prinsip non-refoulement yang tercantum dalam konvensi anti penyiksaan yang sudah diratifikasi Indonesia.
Terakhir, tambah Uli, perlu adanya upaya pencegahan melalui Kemendagri dan Polri guna menghindari keterlibatan (pemanfaatan) warga negara Indonesia (terutama warga lokal di Aceh) sebagai perpanjangan tangan jaringan penyelundupan manusia maupun perdagangan orang.
“Komnas HAM juga mengapresiasi upaya kepolisian dalam penegakan hukum terhadap adanya dugaan perdagangan manusia dan penyelundupan manusia pengungsi Rohingya di Aceh,” unar Uli Parulian Sihombing.*
Hidayatullah.com
Aktivis: Pengusiran Etnis Rohingya Akibat Banyaknya Berita Hoaks dan Akun Bodong Memprovokasi
Hidayatullah.com—Aksi ratusan mahasiswa menyerbu Balai Meuseuraya Aceh (BMA) di Banda Aceh yang menjadi tempat penampungan sementara untuk ratusan pengungsi Rohingya hari Rabu (27/12/2023), telah menjadi perhatian dunia.
Menurut Kepala Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Pusat, Akmal Sjafril, ekskalasi isu seputar Rohingya berlangsung cepat dan dilatari oleh banyaknya berita hoaks di dunia mana. Karena itu, ia mengajak warganet mempertimbangkan adanya rekayasa penggiringan opini publik di belakang layar dalam kasus ini.
“Orang-orang Rohingya sudah mengungsi ke Indonesia beberapa tahun sebelum pandemi. Tiba-tiba saja, di sekitar bulan November kemarin, isunya mencuat lagi. Orang-orang Rohingya digambarkan sebagai troublemaker, seolah semuanya rusak dan tak ada yang baik,” ujarnya.
Akmar –yang juga dikenal aktivis media sosial– menilai, isu Rohingnya di media sosial, juga dipenuhi banyaknya akun anonim alias akun bodong yang ikut memanaskan suasana, langsung memprovokasi bangsa Indonesia untuk segera mengusir mereka. “Ini terlalu aneh dan tidak wajar,” ungkap Akmal menyatakan keprihatinannya.
Jika dikatakan bahwa ada orang Rohingya yang bertingkah laku kurang baik, maka menurut Akmal itu masih wajar. Akan tetapi, Akmal menyayangkan banyaknya hoaks yang beredar sehingga membuat sebagian netizen memandang Rohingya dengan logika yang rasis.
“Misalnya dimunculkan isu bahwa orang Rohingya memperkosa anak perempuan Aceh. Ada pula isu soal kerusuhan di Sidoarjo. Keduanya terbukti hoaks, tapi toh kisah itu masih terus diulang-ulang,” ujar aktivis #IndonesiaTanpaJIL (ITJ) ini lebih lanjut.
Ia mengatakan, dalam rilisan seruan resminya yang dirilis pada 15 Desember 2023 dan dipublikasikan melalui akun-akun media sosialnya, SPI telah memperingatkan semua pihak untuk berhati-hati dalam menyikapi isu Rohingya yang berkembang belakangan ini.
Melalui seruannya, SPI mengingatkan bahaya fitnah yang begitu dahsyat sehingga pernah menimpa orang seperti ‘Aisyah ra.
SPI juga mengingatkan agar netizen tidak menganggap enteng provokasi untuk mengusir orang-orang Rohingya, sebab pengusiran tersebut bisa membahayakan nyawa mereka.
“Bagaimana nasib orang-orang Rohingya jika kita suruh pergi; tenggelam di Samudera Hindia, dipersekusi di Myanmar, atau hidup melarat di negeri lain? Bagaimana dengan anak-anak mereka, yang sama tak bersalahnya dengan anak-anak Gaza?” Demikianlah retorika yang disampaikan dalam seruan tersebut.
Dalam konten terbaru di akun Instagram-nya, Akmal kembali berkomentar pedas dan memperbandingkan mereka yang mengusir orang-orang Rohingya dengan kaum Zionis.
“Tanpa sadar, banyak yang telah memenuhi empat kriteria untuk menjadi zionis. Menyebar hoaks, menteror yang lemah, membiarkan mereka pergi ke tempat-tempat yang membahayakan nyawa mereka, lantas menyakiti mereka dengan tangan-tangannya sendiri. Gayanya pun persis sama, dimulai dengan mengepung mereka ketika shalat, kemudian menghajar mereka sesudahnya,” tulisnya dalam konten tersebut.
Menurut Akmal, yang paling bertanggung jawab atas provokasi ini adalah para influencer yang tidak bertanggung jawab dan tidak melakukan cek dan ricek terlebih dahulu, bahkan membebek saja pada isu-isu yang beredar.
“Sebagai contoh, mereka bilang orang-orang Rohingya itu bukan asli Myanmar, tapi orang Bangladesh yang menyusup ke Myanmar. Itu seratus persen sama persis dengan propaganda junta militer Myanmar yang mempersekusi mereka. Kalau para influencer ini mau berusaha sedikit mempelajari sejarah, pasti mereka akan tahu bahwa tuduhan itu tidak benar,” tandas sejarawan yang sebelum pandemi sudah cukup sering menjadi pembicara dalam forum-forum kajian tentang Rohingya.
“Masalahnya kita tahu sendiri bahwa para influencer ini bukan intelektual. Mereka sudah terbiasa mengendarai isu-isu yang viral. Tapi sikap mereka bisa memberikan konsekuensi yang serius dalam masalah Rohingya. Orang-orang Rohingya ini tidak diakui oleh negaranya sendiri, mengalami persekusi yang sangat kejam, dan menjadi target kejahatan seperti perdagangan manusia dan sebagainya. Kalau hal terburuk yang terjadi, siapa yang mau bertanggung jawab?” ujar Akmal lagi.
Akmal berharap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengaku mahasiswa beberapa hari silam ditindak dengan tegas dan tidak perlu terjadi lagi.
Akmal juga berharap para netizen dan influencer yang sudah ikut-ikutan menebar provokasi untuk mengoreksi tindakannya.*
Hidayatullah.com
Yayasan KITA Kunjungi Pengungsi Rohingya, Jajaki Pendirian Madrasah Al-Quran
Hidayatullah.com—Yayasan Khidmat Indonesia untuk Tanah Amanah (KITA), yang dikelola relawan muda organisasi Sahabat Al-Aqsha, melakukan kunjungan di dua lokasi penampungan pengungsi (muhajirin) Rohingya di Kabupaten Pidie dan Kota Lhokseumawe, 23-26 Desember 2023.
Menurut anggota Tim Media Yayasan KITA, Kholish Chered, kedua lokasi yang relatif layak ditempati para muhajirin Rohingya, yaitu bangunan di Pidie merupakan bekas panti asuhan (Mina Raya), sedangkan di Lhokseumawe bekas kantor imigrasi.
“Staff UNHCR yang kami temui, yang merupakan warga Aceh, mengatakan, aktivitas di kamp Lhokseumawe dan Pidie sudah relatif berjalan baik dan stabil. Pemerintah dan warga sekitar menyambut baik para muhajirin,” ujar Kholish di Banda Aceh, Kamis, (27/12/2023).
Pada sisi lain, ujarnya, ribuan muhajirin Rohingya lainnya masih berada di tempat-tempat yang belum tetap dan rawan dipindahkan, termasuk di kawasan pesisir Aceh.
Kholish mengatakan, penelusuran di lapangan, kelas Al-Quran di pengungsian sudah dilakukan swadaya oleh beberapa muhajirin penghafal Al-Quran di kamp Pidie, namun belum terkoordinir. Sedangkan di Lhokseumawe, baru dilakukan kelas tahsin Surah Al-Fatihah oleh guru dari luar kamp.
“Informasi yang kami himpun di Mina Raya terdapat 141 warga yang sudah bertahan sejak 2022, bahkan terdapat lebih dari 20 hafizh Al-Quran. Di Lhokseumawe dengan 473 warga terdapat empat hafizh Al-Quran. Ini merupakan potensi yang sangat baik,” ujarnya.
Yayasan KITA berharap adanya Madrasah Al-Quran di dua kamp pengungsian tersebut, yang nantinya bisa mendidik anak-anak muhajirin Rohingya, sekaligus terbuka untuk anak-anak warga Aceh sekitar.
Kholish menjelaskan, sebelumnya organisasi Sahabat Al-Aqsha telah mendirikan madrasah Al-Quran di kamp pengungsian Cox’s Bazar di Bangladesh, yang kini dikelola oleh Yayasan KITA. Sudah puluhan orang lulus program tahfizh 30 juz Al-Quran.
“Kami mempertimbangkan langkah-langkah pendirian Madrasah Al-Quran di kamp Pidie dan Lhokseumawe dan sangat terbuka berkolaborasi dengan pihak-pihak yang mendukung. Tentu dukungan masyarakat Aceh dan pemerintah yang paling utama kami butuhkan,” ujar Kholish.
Sementara terkait kebutuhan riil di kamp, pihak UNHCR mengatakan, saat ini para muhajirin membutuhkan perlengkapan shalat (mukena dan sarung). Juga diperlukan tambahan mushaf Al-Quran, karena kondisi mushaf di kamp hanya sedikit dan sebagian tidak layak.*/Sayed M. Husen (Aceh)
Arrahmah.id
Angkatan Laut tidak membiarkan perahu pengungsi Rohingya mendarat di Aceh
ACEH (Arrahmah.id) – Angkatan Laut Indonesia telah mendorong kembali sebuah kapal yang membawa pengungsi Rohingya ketika kapal tersebut mendekati pantai Aceh. Pihak militer mengatakan bahwa penjaga pantai pertama kali mendeteksi kapal kayu tersebut memasuki perairan Indonesia pada Rabu, sebelum kapal angkatan laut KRI Bontang-907 menemukan kapal tersebut sekitar 63 mil laut (117 km) di lepas […]
Hidayatullah.com
Sosiolog Aceh: Serangan Mahasiswa terhadap Pengungsi Rohingnya Tindakan Tak Beradab
Hidayatullah.com—Sosiolog Universitas Syiah Kuala, Profesor Dr Humam Hamid, mengutuk penyerbuan pengungsi Rohingya. Dia menyebut tindakan itu tidak beradab.
Ia mengutuk penyerbuan mahasiswa yang disebutnya sebagai tindakan barbar dan bodoh, dengan cara mengangkut paksa pengungsi – yang kebanyakan dari mereka perempuan dan anak-anak– yang berada di penampungan sementara di Gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA), hari Rabu (27/12/2023).
“Itu adalah perbuatan biadab,” Humam Hamid, Rabu (27/12/2023) dikutip laman AJNN, menyebut penyerbuan para imigran yang menderita.
Tak hanya itu, mahasiswa menarik paksa dan melakukan tindakan kekerasan lainnya seperti melempar dengan botol air mineral ke arah wanita dan anak-anak hingga menendang barang-barang di sekitar.
Mereka, kata Humam Hamid, berdemonstrasi menuntut pertanggungjawaban Pemerintah Indonesia agar menangani persoalan pengungsian ini secara serius. Karena selama ini, pemerintah pusat melepaskan tanggung jawab untuk mengurusi para pengungsi.
Humam Hamid mengatakan kedatangan para pengungsi Rohingya ini diurus oleh komunitas-komunitas masyarakat di pesisir pantai Aceh. Sejak awal, para pengungsi mendapatkan perhatian masyarakat Aceh yang membantu dengan kemampuan seadanya.
Namun saat terjadi gelombang masuk pengungsian ke daratan Aceh, situasi berubah drastis. Komunitas masyarakat Aceh tidak mampu lagi menampung mereka karena kemampuan terbatas.
Sayang, gelombang pengungsian ini tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat. Humam juga mempertanyakan keseriusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahduf MD.
Dia mengatakan sesibuk apapun Mahfud MD saat ini, itu tidak dapat dijadikan alasan untuk membiarkan penanganan pengungsi Rohingya menjadi beban masyarakat Aceh.
Humam Hamid juga menyarankan agar mahasiswa yang menyerang para pengungsi itu mendemo penjabat Gubernur Aceh, Achmad Marzuki. Mahasiswa harus mempertanyakan upaya orang nomor satu di Aceh itu dalam mengatasi gelombang pengungsi dari Bangladesh.*
Hidayatullah.com
Rohingya Diusir Mahasiswa, Mahfud Ingatkan Bantuan Dunia Saat Tsunami Aceh
Hidayatullah.com—Menkopolhukam RI Mahfud MD mengingatkan bahwa masyarakat Aceh banyak dibantu dunia saat bencana tsunami terjadi tahun 2004 silam. Pernyataan ini disampaikan guna merespons aksi mahasiswa Aceh yang mengusir paksa pengungsi Rohingya, pada hari Rabu (27/12/2023).
Menurut Mahfud, ketika Aceh dilanda bencana tsunami banyak negara berbondong-bondong memberikan bantuan dan solidaritas. Maka kini masyarakat setempat seharusnya bersedia untuk membantu pengungsi Rohingya dengan memberikan penampungan sementara.
“Aceh dulu terserang Tsunami berbagai dunia, manusia dari berbagai penjuru dunia datang menolong, masak sekarang tidak mau nolong, kan begitu, ya kita tolong,” kata Mahfud di Buduran, Sidoarjo, Kamis (28/12/2023).
Mahfud mengakui Indonesia sebenarnya tak terikat dengan konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang pengungsi. Namun, menurutnya, negara ini termasuk masyarakatnya harus punya keterikatan dengan kemanusiaan.
“Kita sendiri tidak terikat dengan konferensi PBB tentang pengungsi yang kemudian membentuk UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) komisi tinggi PBB tentang pengungsi, kita tidak terikat dengan itu. Tapi kita punya ikatan lain yaitu kemanusiaan,” ucapnya dikutip CNNIndonesia.
Negara, kata Mahfud, juga tidak mungkin membiarkan orang yang diusir dari negerinya hingga terkatung-katung. Jadi Indonesia harus memberikan tempat pengungsian sementara.
“Orang kalau diusir tidak bisa pulang ke negerinya daripada terkatung-katung, lalu kita tampung dulu sementara. Nanti dikembalikan melalui PBB, karena yang punya aturan PBB,” ucapnya.
Kini, usai aksi pengusiran mahasiswa itu, Kemenkopolhukam pun sudah mencarikan tempat aman agar pengungsi Rohingya itu bisa dievakuasi.
“Hari ini saya sudah mengambil keputusan dan tindakan agar pengungsi-pengungsi Rohingya itu ditempatkan di satu tempat yang aman. Satu ditempatkan di Gedung PMI (Palang Merah Indonesia), sebagian lagi ditempatkan di gedung yayasan Aceh,” pungkasnya.
Mahfud mengaku sudah berkoordinasi dengan Ketua PMI Pusat Jusuf Kalla. Ia juga sudah berpesan agar aparat keamanan menjaga lokasi pengungsian, karena ini soal kemanusiaan.*