Tag:

OASE

Bersabar Menghadapi Berbagai Masalah

Allah SWT akan menguji hambanya dengan berbagai masalah yang menghimpitnya. Baik kesulitan dalam masalah ekonomi, seperti sulitnya mendapatkan pekerjaan bagi para kepala keluarga (suami/ayah) karena terkena PHK, sehingga tidak mampu menafkahi anggota keluarganya, diuji dengan kesehatan yang tak kunjung membaik, atau retaknya rumah tangga yang berujung perceraian karena sudah tidak sejalan lagi mengarungi kehidupan, dan lain sebagainya.Memang, ujian yang Allah SWT berikan kepada setiap manusia akan berbeda-beda, sesuai dengan kadar kesanggupannya. Hal tersebut dijelaskan dalam firman Allah SWT, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya …. ” (QS al-Baqarah [2]:286).Oleh karenanya, manusia harus sabar menghadapi ujian sesulit apa pun. Karena bersabar dalam ujian merupakan salah satu bentuk keteguhan hati yang diperintah Allah SWT. Ketika dihadapkan pada tantangan atau kesulitan, kita harus menerima dengan ikhlas. Menerima bahwa ujian adalah bagian dari kehidupan. Segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah SWT Sang Pencipta manusia, karena di balik kesulitan itu tentunya ada hikmah di setiap kejadian yang harus ditafakuri oleh semua manusia.Salah satu hikmah sabar, ikhlas, dan tetap beriman kepada-Nya di tengah kesulitan hidup niscaya Allah akan mengangkat derajatnya ke tingkat yang lebih mulia. Sebagaimana yang dijelaskan dalam firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, maka lapangkanlah. Niscaya Allah SWT akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, berdirilah kamu, maka berdirilah. Niscaya Allah SWT akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Swt. Maha Teliti apa yang kamu kerjakan.” QS al-Mujadalah [58]: 11).Tak hanya itu, semakin berat kesulitan yang kita hadapi, ketika bersabar maka Allah akan memberikan pahala yang besar pula. Oleh karena itu, jalani dengan ikhlas agar mendapat ridha Allah SWT. Seperti yang dijelaskan dalam hadits riwayat Ibnu Majah, yang artinya, “Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barang siapa yang ridha, maka ia yang akan meraih ridha Allah. Barang siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.”Begitu juga, Allah SWT memberikan ujian untuk menghapus dosa-dosa kita. Karena Allah tidak menginginkan hambanya kembali kepada-Nya berlumurkan dosa dan membawa banyak kemaksiatan. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits, “Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus-menerus, kepayahan, penyakit dan juga kesedihan bahkan sampai kesusahan yang menusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengan dosa-dosanya. (HR Muslim)Tak hanya itu, kita juga harus senantiasa lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui doa, zikir, atau ibadah lainnya. Memohon dikuatkan diri ini untuk menghadapi ujian agar dapat memberi ketenangan jiwa. Sehingga setiap aktivitas yang kita jalani, sesulit apa pun akan dilalui dengan penuh semangat. Karena kita yakin, ada hikmah yang banyak di balik semua kesulitan hidup agar lebih bertakwa kepada Allah SWT.[]Siti Aisyah S.Sos., Ibu Rumah Tangga, Koordinator Kepenulisan Komunitas Muslimah Menulis  (KMM) Depok.

Apapun Hasilnya, Alhamdulillah!

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 telah dilaksanakan dengan lancar. Akhir dari pemilihan, ada pihak yang menang (terpilih) dan yang kalah (tidak terpilih). Hal ini sesuai ketentuan-Nya. Karenanya, para calon hendaknya dapat menyikapi hasil dengan bijak, siap menerima kemenangan dan siap menerima kekalahan.Kemenangan tidak datang dengan sendirinya. Ia memiliki hukum dan aturan main yang harus dipahami. Penentu kemenangan menjadi hak prerogratif Allah. Calon yang dimenangkan tidak akan dapat dikalahkan, meski seluruh penduduk bumi bersatu untuk mengalahkan. Sebaliknya, calon yang dikalahkan tidak akan menang meskipun ia memiliki pendukung yang militan, perlengkapan memadai, dan pendanaan melimpah.Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT, “Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.” (QS Ali Imran [3]: 160).Dengan pemahaman seperti itu akan mengantarkan kepada suasana syukur jika menang dan sabar jika kalah. Sebab, sebelum pemilihan sejatinya sudah tertulis, siapa yang akan terpilih (menang) dan yang akan kalah (tidak terpilih).Allah akan menolong dan memenangkan calon pemimpin yang mau menolong agama-Nya. Hal ini merupakan suatu hukum dalam bentuk syarat dan balasan. Siapapun yang mau menolong agama-Nya pasti akan ditolong untuk meraih kemenangan.“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS Muhammad [47]: 7).Jaminan kemenangan diberikan kepada yang istikamah dalam mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh yang makruf, mencegah yang mungkar, dan mengembalikan semua urusan hanya kepada-Nya.“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS al-Hajj [22]: 41).Sehingga, calon ketika meraih kemenangan (terpilih) akan mendapat tambahan dukungan dari-Nya. Jika tidak terpilih, tidak akan berputus asa, ia akan tetap berkontribusi untuk kemaslahatan bangsa, negara dan siap untuk dipimpin. Inilah hakikat kemenangan sebenarnya.Sebaliknya, jika yang menang (terpiih) malah jumawa dan menampakkan kesombongan, dan yang tidak terpilih enggan berkontribusi untuk kemaslahatan bangsa dan negara serta enggan dipimpin. Inilah kekalahan yang sebenarnya.Apapun hasilnya, semuanya merupakan kebaikan. Ketika hasil pilkada sesuai harapan, ucapkan:الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ“Segala puji bagi Allah, dengan kenikmatan dari-Nya menjadi sempurna semua amal kebaikan.”Ketika hasil pilkada tidak sesuai harapan, ucapkan:الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ“Segala puji bagi Allah dalam segala keadaan.”Semoga Allah membimbing kita untuk ikhlas menerima ketentuan-Nya, tepilih (menang) maupun tidak terpilih (kalah) sehingga mengantarkan kebaikan dan kedamaian bagi masyarakat di negeri ini. Amin.Imam Nur Suharno, Kepala Divisi Humas dan Dakwah Pesantren Husnul Khotimah Kuningan

Pidato Politik

Setiap prosesi pelantikan kepemimpinan selalu ada ritual penyampaian pidato poitik. Berkaitan pidato politik, seorang pemimpin di semua tingkatan hendaknya mengambil pelajaran dari pidato politik yang disampaikan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq sepeninggal Nabi Saw.Sehari setelah dibaiat sebagai khalifah di Saqifah Bani Sa’idah, Abu Bakar ash-Shiddiq berjalan menuju mimbar Rasulullah Saw di Masjid Nabawi dengan perasaan gugup. Khalifah pertama itu menghadap ke arah kaum muslimin untuk menyampaikan pidato politiknya.Berikut petikan pidato politik Abu Bakar ash-Shiddiq: “Amma ba’du, wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian meski aku bukan yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, dukunglah saya. Sebaliknya, jika berbuat salah, luruskanlah saya.Kejujuran itu merupakan amanah, sedangkan dusta itu merupakan pengkhianatan. Kaum yang lemah menempati posisi yang kuat di sisiku hingga aku dapat mengembalikan padanya haknya dengan izin Allah.Sedangkan, kaum yang kuat menempati posisi yang lemah di sisiku hingga aku dapat mengambil darinya hak orang lain dengan izin Allah.Jika suatu kaum meninggalkan perkara jihad di jalan Allah, mereka akan ditimpakan kehinaan oleh Allah. Jika kemaksiatan telah meluas di tengah-tengah suatu kaum, Allah akan menimpakan balak kepada mereka secara menyeluruh.Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kalian tidak wajib taat kepadaku. Bagunlah untuk melaksanakan shalat, semoga Allah merahmati kalian.”Dalam pidato politik Abu Bakar ash-Shiddiq tersebut ada ibrah (pelajaran) yang dapat diambil, terutama oleh para pemimpin di semua tingkatan di negeri ini, mulai dari kepemimpinan tingkat desa, kecamatan, daerah, hingga kepemimpinan nasional.Pertama, jabatan kepemimpinan itu bukan sebuah penghormatan dan penghargaan, tetapi sebagai tanggung jawab dan amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan manusia (di dunia) dan di hadapan Allah (di akhirat). Maka, tunaikan kepemimpinan itu dengan sebaik-baiknya dan jangan berlaku sewenang-wenang terhadap orang (rakyat) yang dipimpin.Kedua, seorang pemimpin tidak anti kritik, justru ia malah minta untuk diberi masukan sebagai sebuah nasihat yang membangun. Dalam hal ini, Nabi Saw bersabda, “Agama adalah nasihat.” Lantas para sahabat bertanya, “Untuk siapa?” Nabi menjawab, “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin, dan untuk seluruh umat Islam.” (HR Muslim dan Nasai). Memberi nasihat kepada pemimpin untuk kemaslahan umat (rakyat) termasuk amal mulia, bahkan termasuk jihad fi sabilillah (HR Ahmad).Ketiga, seorang pemimpin harus dapat melayani orang (rakyat) yang dipimpinnya, bukan malah minta dilayani. Melayani dengan hati (al-khidmah bil-qalbi), akal (al-khidmah bil-aqli), dan tangan (al-khidmah bil-yad). Hakikat kepemimpinan itu adalah melayani bukan dilayani. Nabi Saw bersabda, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan bagi mereka.” (HR Ibnu Asakir dan Abu Nu’aim).Keempat, seorang pemimpin harus berpikir keras untuk kesejahteraan orang (rakyat) yang dipimpinnya, bukan malah sibuk memperkaya diri, keluarga, dan kelompoknya. Pastikan, kekayaan (harta) yang yang dimiliki itu benar-benar harta yang didapat dengan cara yang halal.1 2Laman berikutnya

Islam Agama yang Tinggi

Sebagai muslim, kita dituntut untuk mengenal Islam (makrifatul Islam) dan masuk ke dalam Islam secara totalitas. Dengan mengenal Islam seseorang akan mampu berkomitmen untuk menjadikan hidup hanya untuk Islam, bukan mencari penghidupan dari Islam sesuai sumpah janji yang selalu diikrarkan.   “Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al-An’am [6]: 162).  Berbeda dengan agama lain, nama agamanya berasal dari nama tempat atau nama penyebarnya atau lainnya. Sedangkan Islam berasal kata bahasa Arab yang memiliki banyak arti yang menunjukkan tentang karakteristik dari para pemeluknya.Pertama, islamul wajhi (menundukkan wajah). Islam berasal dari kata islaamul wajhi yang berarti menundukkan wajah (QS Al-Baqarah [2]: 112). Dari makna ini menunjukkan bahwa seorang muslim itu berarti orang yang menundukkan wajahnya di hadapan Allah SWT, karena rasa hormatnya kepada-Nya. Tunduk dan patuh dalam menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.Kedua, al-istislam (berserah diri). Islam itu berasal dari kata istislaam yang berarti berserah diri (QS Ali Imran [3]: 83). Seorang muslim berarti orang yang berserah diri kepada Allah; apapun yang akan diperbuat oleh Allah kepada dirinya ia akan pasrah, menyerah, ridha. Seorang muslim juga berarti orang yang taat mengikuti aturan-aturan Allah SWT.Ketiga, as-salaamah (suci dan bersih). Islam juga berasal dari kata as-salaamah yang artinya suci dan bersih (QS As-Syu’ara [26]: 89). Seorang muslim berarti orang yang bersih badan pakaian, pikiran dan hatinya. Kebersihan merupakan kekhasan Islam, sehingga bab thaharah (bersuci) menjadi yang pertama dalam fiqh.Keempat, as-salaam (selamat sejahtera). Islam berasal dari kata as-salaam yang artinya selamat sejahtera (QS Al-An’am [6]: 54). Hal ini menunjukkan bahwa seorang muslim itu selalu memberikan keselamatan dan kesejahteraan bagi orang lain. Ucapan salam adalah khas bagi muslim, Rasulullah Saw mendorong umatnya agar menebarkan salam kepada orang yang dikenal dan yang tidak dikenal, salam juga ucapan para penghuni surga (QS Ar-Ra’d [13]: 24), dan ucapan dari Allah (QS Yasin [36]: 58).Kelima, as-silm (perdamaian). Islam juga berasal dari kata as-silmu atau as-salmu yang berarti perdamaian (QS Al-Anfal [8]: 61). Hal ini menujukkan bahwa Islam adalah agama damai, bukan agama kekerasan. Seorang muslim berarti orang yang selalu menebarkan kedamaian di muka bumi.Dari semua makna di atas menunjukkan, bahwa Islam itu berarti menundukkan wajah ke hadirat Allah, berserah diri kepada Allah, kesucian dan kebersihan, keselamatan dan kesejahteraan, serta perdamaian.Dengan demikian, Islam adalah agama yang dibenarkan dan diridhai oleh Allah (QS Ali Imran [3]: 19), dan siapa yang mencari agama selain Islam maka akan ditolak dan di akhirat menjadi orang yang merugi (QS Ali Imran [3]: 85).Sebagai agama, Islam memiliki beberapa sebutan yang menjelaskan hakikat dari Islam. Sebutan itu sebagian terkait dengan maknanya secara bahasa dan ada juga yang terpisah.Pertama, al-khudhu (ketundukan). Bararti Islam adalah agama yang menekankan pada ketundukan manusia pada Sang Pencipta. Seorang muslim berarti orang yang tunduk pada perintah dan larangan Allah agar menjadi orang yang bertakwa. Ibadah shalat merupakan salah satu contoh ketundukan seorang muslim, terutama pada saat rukuk dan sujud, dan ciri pengikut Rasulullah Saw ialah rukuk dan sujud mengharapkan karunia Allah.1 2Laman berikutnya

Menjemput Kemenangan

Tadabur dari Surat Ash-Shaff ayat 1-9. Surat Ash-Shaff merupakan salah satu surat dalam juz 28 yang memiliki beberapa nama. Ia dinamakan surat Ash-Shaff karena di dalamnya terdapat kata Shaffan.Biasanya suatu surat dinamakan dengan sesuatu yang khusus dalam surat tersebut yang tidak terdapat di surat-surat lainnya, karena itu surat ini disebut sebagai surat Ash-Shaff.Surat ini disebut juga surat Al-Hawariyyin karena di dalamnya terdapat perkataan Nabi Isa kepada Hawariyyin (Al-Itqan fi Ulumil-Qur’an karya Imam As-Suyuthi). Surat Ash-Shaff adalah surat Madaniyah, surat yang diturunkan kepada Nabi SAW setelah hijrah ke Madinah.Berkaitan jalan untuk menjemput sebuah kemenangan dalam berbagai aspek, termasuk kemenangan dalam politik, maka paling tidak ada tiga syarat utama yang hendaknya dipenuhi. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.Pertama, konsekuen antara perkataan dan perbuatan. Surat Ash-Shaff ini dibuka dengan pemberitahuan bahwa semua makhluk yang ada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah SWT. (Ash-Shaff [61]: 1).Kemudian ayat ke dua menjelaskan celaan untuk orang-orang yang perkataannya tidak sesuai dengan tindakannya (Ash-Shaff [61]: 2). Sebagian ulama Salaf berpendapat atas dalil ayat ini, diwajibkan bagi seseorang menunaikan apa yang dijanjikannya secara mutlak. Mereka beralasan dengan hadis Nabi Saw, “Di antara tanda munafik ada tiga: jika berbicara, dusta; jika berjanji, tidak menepati; jika diberi amanat, ia khianat.” (H.r. Muslim).Karena itu, Allah mengukuhkan pengingkaran-Nya terhadap sikap mereka yang tidak konsekuen antara ucapan dan perbuatan, melalui firman surat Ash-Shaff [61] ayat 3.Sebagian kita “kadang” memiliki sifat ini, berkata dan mengajak orang lain melakukan kebaikan (berjuang), namun dirinya enggan melakukan. Melarang suatu kemungkaran, namun dirinya melakukan. Seorang muslim yang baik menjadi pelopor kebaikan, terdepan dalam menjauhi kemungkaran sebelum mengajak atau mendakwahi orang lain.Hal ini menegaskan, syarat pertama meraih kemenangan adalah komitmen terhadap apa yang disampaikan, diucapkan dan dijanjikan untuk direalisasikan. Seorang pejuang sejati akan selalu komitmen terhadap janji yang disampaikan, baik secara lisan maupun tulisan.Kedua, barisan yang solid. Syarat mencapai kemenangan harus solid dalam barisan yang teratur. (Ash-Shaff [61]: 4). Sesungguhnya Allah menyukai, artinya selalu menolong orang-orang yang berperang di jalannya dalam barisan yang teratur. Lafadz shaffan merupakan kata keterangan keadaan, yakni dalam keadaan berbaris rapi, seakan seperti bangunan yang tersusun kokoh, yakni sebagian di antara mereka menempel rapat dengan sebagian lainnya.Hal ini menegaskan bahwa syarat kedua untuk meraih kemenangan adalah tetap solid dalam satu barisan di dalam satu komando kepemimpinan, serta tidak mudah goyah meskipun dalam situasi yang sulit sekalipun.Ketiga, taat terhadap arahan pimpinan. Di antara perkara yang mesti menjadi perhatian serius dalam upaya meraih sebuah kemenangan adalah selalu mengikuti arahan dari pimpinan. (Ash-Shaf [61]: 5). Di antara bentuk tidak mengikuti arahan pimpinan adalah tidak totalitas dalam berjuang, berjuang ala kadarnya, enggan berkontribusi dengan harta apalagi jiwa, yang dipikir apa yang didapatkan bukan apa yang bisa diberikan.Jika ketiga syarat tersebut diikuti dengan semangat pengorbanan dengan jiwa dan harta dalam sebuah perjuangan maka akan dapat mengantarkan kepada kemenangan yang dijanjikan. Wallahu a’lam.[]Imam Nur Suharno, Kepala Divisi Humas dan Dakwah Pesantren Husnul Khotimah Kuningan Jawa Barat

Tanggung Jawab Pemimpin sampai Akhirat

Suatu hari, usai mengurus pemakaman jenazah Sulaiman bin Abdul Malik, sang khalifah Umar bin Abdul Aziz pulang ke rumah untuk istirahat sejenak. Tiba-tiba Abdul Malik bin Umar, putra sang khalifah, menghampirinya.Ia bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apakah gerangan yang mendorong Anda membaringkan diri di siang hari seperti ini?” Umar bin Abdul Aziz tersentak campur kaget tatkala sang putra memanggilnya dengan sebutan Amirul Mukminin, bukan ayah, sebagaimana biasanya.Ini isyarat, putranya tengah meminta pertanggungjawaban ayahnya sebagai pemimpin negara, bukan sebagai kepala keluarga. Umar menjawab pertanyaan putranya, “Aku letih dan butuh istirahat sejenak.”“Pantaskah engkau beristirahat, padahal masih banyak rakyat yang teraniaya?” kata sang anak dengan bijak. “Wahai anakku, semalam suntuk aku menjaga pamanmu. Nanti usai Zhuhur aku akan mengembalikan hak-hak orang yang teraniaya,” jawab Umar.“Wahai Amirul Mukminin, siapakah yang dapat menjamin Anda hidup sampai Zhuhur jika Allah menakdirkanmu mati sekarang?” kata Abdul Malik. Mendengar ucapan anaknya itu, Umar bin Abdul Aziz semakin terperangah.Lalu, ia memerintahkan anaknya untuk mendekat, diciumlah anak itu sembari berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mengaruniakan kepadaku anak yang telah membuatku menegakkan agama.”Selanjutnya, ia perintahkan juru bicaranya untuk mengumumkan kepada seluruh rakyat, “Barangsiapa yang merasa terzalimi, hendaknya mengadukan nasibnya kepada khalifah.”Kisah di atas memberikan pelajaran (ibrah) berharga kepada kita dan para pemimpin di semua level di negeri ini bahwa seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya di hadapan manusia (di dunia) dan di hadapan Allah kelak (di akhirat).Rasulullah Saw menegaskan, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Pemimpin negara yang berkuasa atas manusia adalahaaa pemimpin dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang lelaki/suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Wanita/istri adalah pemimpin terhadap keluarga suaminya dan anak suaminya dan ia akan ditanya tentang mereka. Budak seseorang adalah pemimpin terhadap harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR Bukhari dan Muslim).Yang pasti, seorang pemimpin tidak akan dapat menghindarkan diri dari tanggung jawab atas kepemimpinannya. Boleh jadi seorang pemimpin dapat berkelit dari pertanggungjawaban di dunia. Namun, ia tidak akan dapat berlari dari pertanggungjawaban (pengadilan) di akhirat kelak.Karenanya pada saat amanah kepemimpinan dibebankan kepada kita maka mesti kita jadikan sarana untuk memberikan manfaat seluas-luasnya untuk kemaslahatan masyarakat (umat). Sehingga, tatkala dimintai pertanggungjawaban maka masyarakat akan menjadi saksi atas kepemimpinan yang kita jalankan.Semoga Allah menganugerahkan pemimpin-pemimpin di negeri ini dari pusat hingga daerah pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab sehingga mampu mengantarkan kepada kehidupan yang lebih baik dalam semua aspek. Amin. []Imam Nur Suharno, Kepala Divisi Humas dan Dakwah Pesantren Husnul Khotimah Kuningan.

Agar Hidup Lebih Bermakna

Sahabat Shalihah, pernah nggak sih, ngerasa menjalani kehidupan ini sangat membosankan, karena rutinitas yang dilakukan itu lagi, itu lagi, tidak ada perubahan sama sekali. Terkadang merasa hidupnya hampa, dan tidak bermakna.Nah, jika sahabat Shalihah merasakan hal demikian, harus ingat, itu semua bisikan setan agar manusia tersesat dari jalan yang diperintahkan Allah SWT. Setan selalu membisikan ke dalam dada manusia rasa was-was dan hampa. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an surah an-Naas menegaskan bahwa setan membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia.Nah, agar kita terhindar dari jerat setan yang selalu menggoda manusia menuju jalan kesesatan baiknya tingkatkanlah kualitas dan kuantitas ibadah dan zikir.Dengan perbanyak ibadah, hidup kita tentu tidak akan hampa dan lebih bermakna. Dalam keseharian kita, jalankanlah ibadah, terutama yang diwajibkan Allah SWT, seperti shalat lima waktu dengan khusyuk agar dapat memberikan ketenangan hati, dan amalan yang wajib lainnya. Selain yang wajib, perbanyak pula ibadah sunnah seperti shalat Tahajud dan shalat Duha juga untuk menambah keberkahan.Begitu juga, memperbanyak mengingat Allah (zikir) setiap waktu membantu seseorang merasa selalu dekat dengan-Nya, sehingga akan membuat tenteram dan hidupnya tidak hampa, karena Allah selalu menyertai di manapun kita berada. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surah ar-Ra’d ayat 28 yang artinya, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”Tak hanya itu, sibukkan diri kita dengan menuntut ilmu agama dan dunia. Islam sangat mendorong umatnya untuk terus belajar. Mempelajari ilmu baru, baik itu ilmu agama seperti tafsir, fiqh, atau ilmu dunia seperti teknologi, bahasa, atau keterampilan lainnya, akan membuat hidup lebih dinamis dan bermakna. Apalagi Nabi Saw mengingatkan menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim. “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (HR Ibnu Majah).Dan hal yang penting lainnya, berfokuslah pada tujuan akhirat. Kita harus ingat, hidup di dunia hanya sekali dan sementara. Tujuan utama manusia itu akhirat nanti. Oleh karenanya, seorang Muslim harus selalu berusaha melakukan hal-hal yang bermanfaat dan bermakna selama hidup di dunia.Memang, terkadang kita merasa dunia itu penjara bagi orang Mukmin, karena Allah akan menguji hambanya dengan segala ketakutan, kekurangan, kehampaan dan sebagainya. Jika kita berhasil dalam ujian, bersabar atas apa yang Allah takdirkan, insyaallah pahalanya sangat besar sekali sesuai dengan besarnya ujian buat kita.Sebagaimana yang disebutkan dalam Hadis dari Anas bin Malik ra, Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya besarnya pahala itu sesuai dengan besarnya ujian. Sesungguhnya, apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan memberikan ujian kepada mereka. Barang siapa yang ridha, maka baginya keridhaan (Allah), dan barang siapa yang murka, maka baginya kemurkaan Allah.” (HR Tirmidzi No. 2396)Itulah salah satu aktivitas yang harus kita lakukan agar hidup ini bermanfaat, tidak hanya di dunia, tapi akhirat nanti. Serta harus mengingat selalu tujuan hidup sebagai hamba Allah, hidup akan terasa lebih bermakna, penuh warna, dan jauh dari kebosanan.[]Siti Aisyah, S.Sos., Koordinator Kepenulisan Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok.

Keteguhan Dakwah Nabi Nuh AS

Islam bisa sampai kepada kita karena ada yang berdakwah. Tanpa usaha, perjuangan dan pengorbanan untuk mendakwahkan Islam di Tanah Air, bisa jadi kita masih belum mengenal Allah dan menyembahnya.Inilah urgensinya dalam berdakwah, yaitu melanjutkan risalah dakwah yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Meski begitu, kita perlu memetik ibrah dari kisahnya para nabi beserta kaumnya. Karena, pada kisah-kisah tersebut terdapat pengajaran bagi yang sangat berharga.Perumpamaan dakwah para nabi ibarat sebuah bangunan. Rasulullah Saw bersabda, “Perumpamaanku dan perumpamaan nabi-nabi terdahulu ibarat seseorang membangun rumah lalu menyempurnakan dan memperindahnya. Kemudian orang-orang mengelilinginya dan mengaguminya, seraya berkata: “Kita tidak pernah melihat bangunan yang lebih indah dari bangunan ini sebelumnya, hanya saja ada satu batu bata (yang belum diletakkan)”, satu bata tersebut adalah aku.” (HR Muslim).Di antara kisah dakwah yang perlu diteladani adalah keteguhan dakwah Nabi Nuh AS, berdakwah malam dan siang dalam masa yang panjang. Disebutkan selama 950 tahun, Nabi Nuh menyeru kaumnya untuk menyembah Allah dan mentaatinya, namun kaumnya malah lari.Kisah tersebut digambarkan dalam Al-Qur’an surah Nuh ayat 5-7. Aneka cara dilakukan, dakwah secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi, hingga mengkombinasikan keduanya agar kaumnya menyembah Allah namun tetap hanya sedikit yang beriman.Dalam Tafsir Qurthubi disebutkan, Nabi Nuh AS sampai mendatangi rumah kaumnya satu persatu. Namun para pimpinan mereka melakukan provokasi agar tidak menghiraukan Nabi Nuh AS dan orang yang beriman bersamanya. Mereka melakukan tipu daya dan segala sesuatu yang sangat buruk untuk menghalangi dakwah Nabi Nuh AS.Tidak hanya sampai itu, justru mereka malah membuat dakwah tandingan agar menolak dakwah Nabi Nuh AS dan tetap menyembah berhala. Ini mengisyaratkan bahwa dakwah yang hak dan dakwah yang bathil akan terus ada di tengah masyarakat.Keteguhan Nabi Nuh AS bukan hanya karena beliau Rasul yang diutus Allah. Tetapi memang Nabi Nuh sayang kepada kaumnya, tidak ingin mereka terkena siksa. Kata ‘Ya Qaumi’ yang berarti wahai kaumku, mengisyaratkan bahwa Nabi Nuh AS merasa bagian dari kaumnya.Karena itu, dalam dakwah mesti ada rasa simpati, empati dan rasa memiliki. Kemudian, wahai kaumku sebagaimana ungkapan wahai anakku dan wahai keluargaku, mengindikasikan bentuk sapaan untuk mendekatkan hati, adanya kasih sayang dan cinta. Ini pelajaran bagi siapa pun yang berdakwah mesti didasari kasih sayang dan penuh kecintaan.Dalam berdakwah jangan ungkapkan sesuatu yang bisa menjauhkan seorang dai dengan orang yang didakwahi. Apalagi ungkapan yang menyiratkan kebencian dan permusuhan. Nabi Nuh AS mengajak kaumnya menyembah Allah dan mengakui keesaan-Nya, bertaqwa kepada-Nya dan mentaati Nabi Nuh AS. Inilah inti ajaran Islam yang diajarkan para rasul, dakwah tauhid dan menjadikan seluruh aktivitas karena Allah SWT.Berdakwah, salah satunya untuk mengingatkan manusia agar terhindar dari siksa yang dapat diperolehnya baik di dunia maupun di akhirat. Dengan dakwah manusia tidak terjebak dalam kubangan materialistik, hedonistik dan sekularistik.Ketulusan inilah yang membuat Nabi Nuh AS teguh berdakwah beratus tahun lamanya. Ketulusan dan keteguhan hati ini menjadi pelajaran bagi para dai setelahnya. Jangan berdakwah dengan mengharapkan pujian, komentar baik, tepuk tangan atau apresiasi secara material, karena balasan kebaikan yang hakiki dari Allah SWT.1 2Laman berikutnya