Tag:

nabi muhammad

Suswono Minta Maaf Soal Janda Kaya Nikahi Pria Pengangguran

JAKARTA (Arrahmah.id) – Pernyataan calon Wakil Gubernur Jakarta Suswono yang meminta janda kaya menikahi pria pengangguran berujung polemik. Suswono dalam keterangan tertulisnya menuturkan bahwa ia menyadari pernyataannya telah menimbulkan kegaduhan. Politikus PKS itu akhirnya meminta maaf. “Saya menyadari bahwa pernyataan saya dalam pertemuan dengan relawan Bang Japar telah menimbulkan polemik, atas hal itu saya meminta […]

8 Sebab Nabi Muhammad Diutus di Arab

APA sebab Nabi Muhammad diutus di Arab?Jika kita banyak membaca sejarah, maka kita akan menemukan bahwa nabi dan rasul yang terpilih banyak yang lahir dari Jazirah Arab. Lalu timbul pertanyaan, “Mengapa Arab?” “Mengapa tanah gersang dengan orang-orang nomad di sana dipilih menjadi tempat diutusnya Rasul terakhir ini?”Tidak sedikit umat Islam yang bertanya-tanya penasaran tentang hal ini. Mereka berusaha mencari hikmahnya. Ada yang bertemu. Ada pula yang meraba tak tentu arah.Para ulama mencoba menyebutkan hikmah tersebut. Dan dengan kerendahan hati, mereka tetap mengakui hakikat sejati hanya Allah-lah yang mengetahui.Para ulama adalah orang yang berhati-hati. Jauh lebih hati-hati dari seorang peneliti. Mereka jauh dari mengedepankan egoisme suku dan ras. Mereka memiliki niat, yang insya Allah, tulus untuk hikmah dan ilmu.Zaid bin Abdul Karim az-Zaid dalam Fiqh as-Sirah menyebutkan di antara latar belakang diutusnya para rasul, khususnya rasul terakhir, Muhammad ﷺ, di Jazirah Arab adaalah:BACA JUGA: Mimpi Bertemu Nabi? Benarkah Benar?1- Sebab Nabi Muhammad Diutus di Arab: Jazirah Arab adalah tanah merdeka.Jazirah Arab adalah tanah merdeka yang tidak memiliki penguasa. Tidak ada penguasa yang memiliki kekuasaan politik dan agama secara absolut di daerah tersebut. Berbeda halnya dengan wilayah-wilayah lain. Ada yang dikuasai Persia, Romawi, dan kerajaan lainnya.2- Sebab Nabi Muhammad Diutus di Arab: Memiliki agama dan kepercayaan yang beragam.Mereka memang orang-orang pagan penyembah berhala. Namun berhala mereka berbeda-beda. Ada yang menyembah malaikat. Ada yang menyembah bintang-bintang. Dan ada pula yang menyembah patung –ini yang dominan-.Patung yang mereka sembah pun bermacam ragam. Setiap daerah memiliki patung jenis tertentu. Keyakinan mereka beragam. Ada yang menolak, ada pula yang menerima.Di antara mereka juga terdapat orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dan sedikit yang masih berpegang kepada ajaran Nabi Ibrahim yang murni.3- Sebab Nabi Muhammad Diutus di Arab: Kondisi sosial yang unik mungkin bisa dikatakan istimewa tatkala itu. Mereka memiliki jiwa fanatik kesukuan (ashabiyah).Orang Arab hidup dalam tribalisme, kesukuan. Pemimpin masyarakat adalah kepala kabilah. Mereka menjadikan keluarga sendiri yang memimpin suatu koloni atau kabilah tertentu.Dampak positifnya kentara saat Nabi ﷺ memulai dakwahnya. Kekuatan bani Hasyim menjaga dan melindungi beliau dalam berdakwah.Apabila orang-orang Quraisy menganggu pribadi beliau, maka paman beliau, Abu Thalib, datang membela. Hal ini juga dirasakan oleh sebagian orang yang memeluk Islam. Keluarga mereka tetap membela mereka.4- Sebab Nabi Muhammad Diutus di Arab: Jauh dari peradaban besar.Mengapa jauh dari peradaban besar merupakan nilai positif? Karena benak mereka belum tercampuri oleh pemikiran-pemikiran lain.Orang-orang Arab yang tinggal di Jazirah Arab atau terlebih khusus tinggal di Mekah, tidak terpengaruh pemikiran luar. Jauh dari ideologi dan peradaban majusi Persia dan Nasrani Romawi.Bahkan keyakinan paganis juga jauh dari mereka. Sampai akhirnya Amr bin Luhai al-Khuza’I kagum dengan ibadah penduduk Syam. Lalu ia membawa berhala penduduk Syam ke Jazirah Arab.Jauhnya pengaruh luar ini, membuat jiwa mereka masih polos, jujur, dan lebih adil menilai kebenaran wahyu.BACA JUGA: 4 Nama Nabi Muhammad ﷺ yang Penuh Makna5- Sebab Nabi Muhammad Diutus di Arab: Secara geografi, Jazirah Arab terletak di tengah dunia.Memang pandangan ini terkesan subjektif. Tapi realitanya, Barat menyebut mereka dengan Timur Tengah. Geografi dunia Arab bisa berhubungan dengan belahan dunia lainnya.Sehingga memudahkan dalam penyampaian dakwah Islam ke berbagai penjuru dunia. Terbukti, dalam waktu yang singkat, Islam sudah menyebar ke berbagai penjuru dunia. Ke Eropa dan Amerika.6- Sebab Nabi Muhammad Diutus di Arab: Mereka berkomunikasi dengan satu Bahasa yaitu bahasa Arab.Jazirah Arab yang luas itu hanya memiliki satu bahasa untuk komunikasi di antara mereka, yaitu Bahasa Arab. Adapun wilayah-wilayah lainnya memiliki banyak bahasa. Saat itu, di India saja sudah memiliki 15 bahasa resmi (as-Sirah an-Nabawiyah oleh Abu al-Hasan an-Nadawi, Cet. Jeddah: Dar asy-Syuruq. Hal: 22).Bayangkan seandainya di Indonesia, masing-masing daerah berbeda bahasa, bahkan sampai ratusan bahasa. Komunikasi akan terhambat dan dakwah sanag lambat tersebar karena kendala bahasa saja.Dalam waktu yang lama, dakwah Islam mungkin belum terdengar ke belahan dunia lainnya karena disibukkan dengan kendala ini.7- Sebab Nabi Muhammad Diutus di Arab: Banyaknya orang-orang yang datang ke Mekah.Mekah telah menjadi tempat istimewa sejak masa Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimassalam. Oleh karena itu, banyak utusan dari wilayah Arab lainnya datang ke sana.Demikian juga jamaah haji. Pedagang. Para ahli syair dan sastrawan. Keadaan ini mempermudah untuk menyebarkan risalah kenabian.Mereka datang ke Mekah, lalu kembali ke kampung mereka masing-masing dengan membawa berita risalah kerasulan.8- Sebab Nabi Muhammad Diutus di Arab: Faktor penduduknya.Ibnu Khladun membagi bumi ini menjadi tujuh bagian. Bagian terjauh adalah kutub utara dan selatan. Inilah bagian yang ia sebut dengan bagian satu dan tujuh. Kemudian ia menyebutkan bagian dua dan enam. Kemudian bagian tiga dan lima. Kemudian menunjuk bagian keempat sebagai pusatnya. Ia tunjuk bagian tersebut dengan mengatakan, “wa sakanaha (Arab: وسكانها).Penduduk Arab adalah orang-orang yang secara fisik proporsional; tidak terlalu tinggi dan tidak pendek. Tidak terlalu besar dan tidak kecil. Demikian juga warna kulitnya. Serta akhlak dan agamanya. Sehingga kebanyakan para nabi diutus di wilayah ini.Tidak ada nabi dan rasul yang diutus di wilayah kutub utara atau selatan. Para nabi dan rasul secara khusus diutus kepada orang-orang yang sempurna secara jenis (tampilan fisik) dan akhlak. Kemudian Ibnu Khaldun berdalil dengan sebuah ayat:“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia…” (QS. Ali Imran: 110). (Muqaddimah Ibnu Khaldun, Cet. Bairut: Dar al-Kitab al-Albani. Hal: 141-142).Karena pembicaraan pertama dalam ayat tersebut ditujukan kepada orang Arab, yakni para sahabat. Kemudian barulah umat Islam secara umum.Secara realita, kita juga meyakini, memang ada bangsa yang unggul secara fisik. Contohnya ras Mongoloid. Sebuah istilah yang pernah digunakan untuk menunjuk karakter umum dari sebagian besar penghuni Asia Utara, Asia Timur, Asia Tenggara, Madagaskar di lepas pantai timur Afrika, beberapa bagian India Timur Laut, Eropa Utara, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Oseania. Memiliki ciri mata sipit, lebih kecil, dan lebih pendek dari ras Kaukasoid.BACA JUGA: Inilah 9 Bukti bahwa Al-Quran Adalah Ciptaan Allah, Bukan Karangan Nabi Muhammad ﷺRas Kaukasoid adalah karakter umum dari sebagian besar penghuni Eropa, Afrika Utara, Timur Tengah, Pakistan dan India Utara. Walaupun penelitian sekarang telah merubah steorotip ini. Namun hal ini bisa kita jadikan pendekatan pemahaman, mengapa Ibnu Khladun menyebut Timur Tengah sebagai “sakanaha”.Artinya ada fisik yang lebih unggul. Mereka yang sipit ingin mengubah kelopak mata menjadi lebih lebar. Mereka yang pendek ingin lebih tinggi. Naluri manusia menyetujui bahwa Kaukasia lebih menarik. Atau dalam bahasa lain lebih unggul secara fisik.Namun Allah Ta’ala lebih hikmah dan lebih jauh kebijaksanaannya dari hanya sekadar memandang fisik. Dia lengkapi orang-orang Kaukasia yang ada di Timur Tengah dengan perangai yang istimewa.Hal ini bisa kita jumpai di buku-buku sirah tentang karakter bangsa Arab pra-Islam. Mereka jujur, polos, berkeinginan kuat, dermawan, dll. Kemudian Dia utus Nabi-Nya, Muhammad ﷺ di sana. []

Khutbah Jumat: Cintailah Allah, Rasulullah, dan Ahlul Bait

Mari mencintai keluarga Rasulullah ﷺ yang disebut dengan istilah Ahlul Bait. Inilah naskah khutbah Jumat kali iniOleh: Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil Hidayatullah.com | SELAIN dianjurkan mencintai Allah dan Rasulullah, umat Islam dianjurkan mencintai keluarga Rasulullah (Ahlul Bait). Ahlul Bait Nabi menurut pendapat yang sahih adalah Sayidah Fatimah, Sayyidina Ali, Sayidina Hasan, Sayyidina Husain, anak-anak mereka dan keturunannya.Inilah naskah lengkap khutbah Jumat kali ini; Khutbah Jumat Pertama إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا Hadirin Jamaah Jumat yang Dirahmati Allah SWT Cinta kepada Allah SWT merupakan sebuah keniscayaan. Sesuatu yang mutlak. Tidak bisa diganggu gugat. Bersifat final dan mengikat. Demikian pula cinta kepada Sayiduna wa Maulana Muhammad ﷺ merupakan kewajiban. Tidak boleh kita tidak mencintai beliau. Seluruh hidupnya beliau korbankan untuk umat. Tidak lupa, kita juga harus mencintai keluarga Rasulullah ﷺ yang disebut dengan istilah Ahlul Bait. Tidak boleh kita membenci dan mencacinya. Cinta kepada ketiganya ini sesuai dengan sabda Rasulullah ﷺ: أَحِبُّوا اللَّهَ لِمَا يَغْذُوكُمْ بِهِ مِنْ نِعَمِهِ، وَأَحِبُّونِي لِحُبِّ اللَّهِ، وَأَحِبُّوا أَهْلَ بَيْتِي لِحُبِّي “Cintailah Allah karena kenikmatan yang Dia berikan kepada kalian, cintailah aku atas dasar cinta kepada Allah dan cintailah keluargaku atas dasar cinta kepadaku.” (HR. Tirmidzi) Berdasar hadits di atas, ada tiga cinta yang harus kita letakkan di dalam hati kita. Pertama, cinta kepada Allah SWT Wajib hukumnya kita mencintai Allah SWT yang telah memberikan beragam kenikmatan yang bersifat lahir mau pun batin. Ada nikmat lahir seperti dimudahkannya kita untuk makan, minum, dan banyak aktivitas sehari-hari dalam kehidupan kita. Nikmat itu ada yang juga bersifat batin. Nikmat seperti ini meliputi di antaranya : taufiq, hidayah, pengetahuan, iman dan islam yang diberikan kepada kita. Semuanya ini mencakup nikmat batin. Sebagaimana firman Allah SWT : وَاَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهٗ ظَاهِرَةً وَّبَاطِنَةً “Dan Dia menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin.” (QS. Luqman : 20) Adakah yang sanggup menghitung nikmat Allah? Adakah dari kita yang mampu menyebutkan dengan detail apa saja nikmat Allah SWT kepada kita sejak sebelum kita lahir sampai detik ini? وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا ۗاِنَّ اللّٰهَ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. an-Nahl : 18) Dikisahkan, ada seorang sayid bernama Nashiri yang sedang melakukan perjalanan haji ke Tanah Suci. Ketika sampai di Bagdad, dia mengunjungi Imam Junaid al-Bagdadi. “Dari manakah engkau datang, wahai sayid?” al-Junaid bertanya. “Aku datang dari Ghilan,” jawab sayid. “Keturunan siapakah engkau?” “Aku keturunan Ali imam kaum Muslimin.” “Nenek moyangmu itu bersenjatakan dua bilah pedang,” ujar al-Junaid, “Yang satu untuk melawan orang-orang kafir dan yang lainnya untuk melawan dirinya sendiri. Pada saat ini, sebagai keturunannya, pedang manakah yang engkau gunakan?” Sayid itu menangis sedih mendengarkan pertanyaan itu, lalu berkata, “Wahai Syaikh, di sinilah ibadah hajiku. Tunjukkanlah kepadaku jalan menuju Allah.” Kata Imam Junaid, “Dadamu adalah tempat Allah bernaung. Usahakanlah agar tidak ada kotoran yang memasuki tempat bernaung-Nya.” Malik bin Dinar berkata, “Sesungguhnya hati yang seseorang yang mencintai Allah SWT akan senang untuk selalu melakukan ibadah karena Allah SWT.” Salamah bin Dinar berkata, “Dua hal yang jika engkau amalkan, engkau akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat : Sabarlah dengan sesuatu yang tidak engkau sukai, asal itu disukai oleh Allah dan bencilah sesuatu yang engkau sukai, jika hal itu dibenci oleh Allah SWT.” Hadirin Jamaah Jumat yang Dirahmati Allah SWT Kewajiban cinta yang kedua adalah cinta kepada Sayiduna wa Maulana Muhammad ﷺ. Mengapa kita mencintai Rasulullah ﷺ? Ada banyak jawaban yang bisa disampaikan. Namun yang paling penting adalah kita harus mencintai beliau ﷺ karena Allah SWT mencintainya. Sekali lagi, karena Allah SWT yang Maha Agung dan Maha Besar, mencintai Rasulullah ﷺ. Allah SWT meletakkan cinta kepada Rasulullah di hati orang-orang beriman. Maka, aneh jika ada yang mengaku cinta kepada Allah tapi tidak cinta kepada Rasulullah ﷺ. Lebih parah lagi, cinta kepada Rasulullah ﷺ tapi tidak mencintai Allah SWT. Allah memerintahkan kita untuk mencintai manusia biasa yang dicintai oleh-Nya SWT, seperti disebutkan dalam hadits : إنَّ اللَّهَ إذا أحَبَّ عَبْدًا دَعا جِبْرِيلَ فقالَ: إنِّي أُحِبُّ فُلانًا فأحِبَّهُ، فيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ “Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Allah memanggil malaikat Jibril lalu berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mencintai fulan, oleh karena itu cintailah si fulan.’ Maka, Jibril pun mencintainya. ثُمَّ يُنادِي في السَّماءِ فيَقولُ: إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلانًا فأحِبُّوهُ، فيُحِبُّهُ أهْلُ السَّماءِ، قالَ ثُمَّ يُوضَعُ له القَبُولُ في الأرْضِ “Lalu, malaikat Jibril menyeru di langit, ‘Sesungguhnya Allah mencintai Fulan, oleh karena itu hendaklah kalian mencintai Fulan.’ Maka, penduduk langit pun mencintai Si Fulan. Kemudian, diletakkan untuk Si Fulan tersebut penerimaan di muka bumi.” (HR. Muslim) Jika manusia biasa yang baik dianjurkan untuk kita cintai, tentu jauh lebih utama dan lebih wajib mencintai Sayiduna wa Maulana Muhammad ﷺ. Diriwayatkan ada seorang sahabat datang kepada dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau benar-benar lebih aku cintai melebihi diriku sendiri dan melebihi cintaku kepada anakku.” Sahabat ini melanjutkan, “Jika aku berada di rumah lalu aku mengingatmu, maka aku tidak sabar hingga aku mendatangimu dan melihat wajahmu. Jika aku mengingat kematianku dan kematianmu, maka aku tahu bahwa engkau apabila masuk surga engkau akan diangkat bersama para Nabi, sementara aku jika masuk surga, aku takut tidak berjumpa denganmu.” Nabi ﷺ tidak memberi tanggapan sampai datang Jibril dengan membawa ayat yang artinya, “Siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang- orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. an-Nisaa’ : 69) Hadirin Jamaah Jumat yang Dirahmati Allah SWT Cinta yang ketiga adalah cinta kepada keluarga Rasulullah (Ahlul Bait). Ahlul Bait Nabi menurut pendapat yang sahih adalah Sayidah Fatimah, Sayyidina Ali, Sayidina Hasan, Sayyidina Husain, anak-anak mereka dan keturunannya. Pada suatu pagi, Rasullullah ﷺ keluar dari rumahnya dengan mengenakan kain bulu hitam yang berhias. Tidak lama berselang, datanglah Hasan bin Ali. Lalu Rasulullah menyuruhnya masuk ke dalam rumah. Kemudian datanglah Husain dan beliau pun masuk bersamanya ke dalam rumah. Setelah itu datanglah Fatimah dan beliau pun menyuruhnya masuk ke dalam rumah. Akhirnya, datanglah Ali dan beliau pun menyuruhnya masuk ke dalam rumah. Lalu beliau membaca ayat Alquran yang berbunyi: إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمْ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa darimu, hai ahlul bait, dan membersihkanmu sebersih-bersihnya.” (QS. al-Ahzab : 33). (HR. Muslim) Di antara kesempurnaan iman dan sikap cinta kepada Rasulullah ﷺ adalah mencintai keluarganya. Tidaklah mencintai keluarga Rasulullah kecuali dia orang yang beriman. Tidaklah seseorang membenci keluarganya kecuali dia orang munafik. Rasulullah ﷺ banyak mewasiatkan kepada umatnya untuk memperhatikan mereka dan mencintai mereka, karena Allah SWT memerintahkan hal ini dalam firman-Nya: قُلْ لَّآ اَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ اَجْرًا اِلَّا الْمَوَدَّةَ فِى الْقُرْبٰىۗ “Katakanlah wahai Muhammad: Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah apapun atas seruanku, kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” (Qs. asy-Syuura : 23). Oleh karena itu, seluruh umat Islam berkewajiban mencintai mereka dan menghormati mereka tanpa berlebihan. Imam Syafi’i berkata dalam syairnya : يا آلَ بَيتِ رَسولِ اللَهِ حُبَّكُمُفَرضٌ مِنَ اللَهِ في القُرآنِ أَنزَلَهُيَكفيكُمُ مِن عَظيمِ الفَخرِ أَنَّكُمُمَن لَم يُصَلِّ عَلَيكُم لا صَلاةَ لَهُ “Duhai keluarga Rasulullah! Mencintai kalian, Allah haruskan dalam Alquran-Nya. Cukuplah menjadi bukti keagungan kalian, bahwa siapa pun yang tidak berselawat kepada kalian, maka shalatnya tidaklah diterima.” Inilah cinta yang harus kita hujamkan dalam kalbu kita. Kita harus mencintai Allah SWT, Rasulullah ﷺ, dan Ahlul Bait. Semoga Allah SWT menganugerahkan kepada kita cinta kepada Allah, Rasulullah, dan keluarga Rasulullah. بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فيِ القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنيِ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنيِّ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ َإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْليِ هذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ ليِ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ. Khutbah Jumat Kedua اَلْحَمْدُ للّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى اٰلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى اٰلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اَللّٰهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هٰذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْن Arsip lain terkait Khutbah Jumat bisa diklik di SINI. Artikel lain tentang keislaman bisa dibuka www.hidayatullah.com. Khutbah Jumat ini kerjasama dengan Rabithah Alawiyah Kota Malang

Tips Mendidik Anak di Era Digital: Belajar dari Nabi Muhammad

Hidayatullah.com – Di era digital ini, tantangan dalam mendidik anak semakin kompleks. Informasi yang melimpah ruah dan mudah diakses menjadi berkah sekaligus ancaman. Bagaimana kita, sebagai orang tua, dapat membimbing anak-anak kita agar tetap tumbuh dengan nilai-nilai Islami di tengah derasnya arus informasi? Nabi Muhammad SAW, dengan kasih sayangnya yang luar biasa terhadap anak-anak, memberikan kita banyak pelajaran berharga yang relevan untuk diterapkan, bahkan di zaman serba digital ini.Tips Membimbing Anak Terlepas dari kesibukan Rasulullah, beliau memprioritaskan untuk menunjukkan kasih sayang kepada anak-anak, mengajarkan kepada kita bahwa mengasuh anak-anak dapat dan harus diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, sesibuk apa pun kita. Sikap Nabi Muhammad SAW ini terangkum dalam sebuah ayat Al-Quran: “Dan dengan rahmat Allah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” (QS Ali Imran: 159). Menyaring Informasi D era di mana informasi mudah diakses dan melimpah sangatlah penting untuk mendekati anak dengan bijaksana dan penuh pengertian. Orang tua menghadapi tantangan besar dalam membantu anak-anak mereka memilah informasi yang benar dan menolak yang salah. Penting untuk mengajari anak-anak berpikir kritis dan membedakan antara sumber yang dapat dipercaya dan yang tidak, terutama saat mereka bertanya tentang Nabi Muhammad SAW. Ibnu Abbas pernah ditanya bagaimana ia memperoleh ilmunya yang luas. Ia menjawab, “Dengan lidah yang selalu bertanya dan hati yang memahami.” (Imam Ahmad dalam kitab Fadail Al-Sahabah, 2/970). Jawaban ini menegaskan bahwa kombinasi antara pertanyaan dan pemahaman mendalam sangat penting dalam memperoleh pengetahuan. Pernyataan Ibnu Abbas menunjukkan pentingnya kombinasi dua kualitas: lidah yang secara aktif mencari pengetahuan melalui pertanyaan, yang merupakan naluri dalam diri setiap anak, dan hati yang memahami dan menyimpan apa yang dipelajarinya. Ketika kedua kualitas ini hadir bersama-sama, seseorang dapat memperoleh banyak pengetahuan. Namun, jika salah satu dari kedua sifat tersebut tidak ada, maka sifat ketakwaan akan berkurang, begitu pula dengan tingkat pengetahuan seseorang sesuai dengan apa yang hilang. Pernyataan Ibnu Abbas ini juga merupakan bantahan terhadap para filsuf dan ateis tertentu yang menganggap bahwa bertanya adalah tujuan akhir dari ilmu. Mereka terus mengajukan banyak pertanyaan tetapi tidak berusaha benar-benar mencari jawaban. Bahkan ketika jawaban diberikan, mereka tidak berusaha memahami maknanya; sebaliknya, mereka berusaha melemahkan jawaban tersebut dengan memunculkan pertanyaan tambahan yang tak terhitung jumlahnya, yang pada akhirnya melemahkan kekuatan dan koherensi dari jawaban asli. Akar penyebab dari perilaku ini adalah karena hati mereka tidak memiliki pemahaman yang diperlukan untuk memungkinkan pengetahuan berakar, dan mereka tidak memiliki kepastian untuk menjangkarkan pengetahuan tersebut. Akibatnya, hati mereka dipenuhi dengan keraguan, kebingungan, kegelisahan, dan kontradiksi. Menggunakan Teknologi secara Bijak Orang tua dapat memanfaatkan momen-momen keingintahuan dan hasrat akan pengetahuan dan pembelajaran untuk membantu anak-anak mereka mengembangkan pemahaman yang lebih dalam dan lebih akurat tentang kehidupan dan ajaran Nabi. Hal ini termasuk mendorong mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bijaksana, mengeksplorasi perspektif yang berbeda, dan mencari informasi yang kredibel. Nabi sendiri berkata, “Sebaik-baik kalian adalah mereka yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya.” (HR Bukhari) Hadits ini menekankan pentingnya mencari ilmu dan membagikannya kepada orang lain, sebuah prinsip yang dapat diterapkan untuk mengajarkan anak-anak tentang Nabi di era digital. Jadi, bagaimana orang tua dapat lebih mudah memperkenalkan Nabi tercinta kita kepada anak di era konflik teknologi dan informasi ini? Kuncinya terletak pada menggabungkan ajaran tradisional dengan alat-alat modern. Orang tua harus terlibat dengan anak-anak mereka dengan menggunakan teknologi secara bijak, baik melalui menonton video pendidikan yang disajikan oleh para ahli yang dapat dipercaya, membaca e-book interaktif, atau menjelajahi aplikasi yang dirancang untuk mengajarkan tentang Nabi dengan cara yang menarik. Di saat yang sama, orang tua harus memastikan bahwa informasi tersebut akurat dan berakar pada sumber-sumber Islam yang otentik. Yang lebih penting lagi, orang tua harus menerapkan karakter Nabi Muhammad dalam kehidupan sehari-hari mereka karena anak belajar dengan meniru. Mendidik Anak dengan Meneladani Nabi Seiring bertambahnya usia anak-anak, terutama sekitar usia 6 atau 7 tahun, mereka mulai mengembangkan pemahaman tentang benar dan salah. Pada masa kritis inilah Nabi Muhammad SAW memberikan teladan sempurna untuk membimbing anak-anak dengan kelembutan dan kebijaksanaan. Abdullah bin Amr bin ‘Ash meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: “Yang Maha Pengasih (Allah SWT) menyayangi orang-orang yang penyayang. Jika kalian menyayangi orang-orang yang ada di bumi, Dia yang ada di langit akan menyayangi kalian.”(Sunan Abu Dawud) Ketika Rasulullah melihat seorang anak melakukan kesalahan, beliau akan mengoreksinya dengan kebaikan dan pengertian, tidak mengomel dengan nada tinggi atau mempermalukan anak. Umar bin Abu Salamah berkata: “Saya adalah seorang anak laki-laki yang berada di bawah asuhan Rasulullah, dan ketika tangan saya biasa berpindah-pindah di piring, beliau pernah berkata kepada saya, ‘Wahai anakku, sebutlah Nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang terdekat olehmu’”. (HR Bukhari Muslim dalam Musnad Ahmad) Cara Rasulullah mengoreksi sikap Umar bin Abu Salamah yang sederhana ini tidak hanya membimbing sang anak, namun juga menanamkan nilai-nilai kesadaran dan etika, yang dilakukan dengan cara yang dapat menjaga harga dirinya. Merenungkan perilaku Nabi Muhammad yang penuh kasih dan lembut terhadap anak-anak mengajarkan kita untuk menghindari tindakan yang dapat membuat Allah tidak senang dan merusak hubungan kita dengan anak-anak yang berada di bawah pengasuhan kita. Kasih sayang Nabi Muhammad kepada anak-anak digambarkan dengan indah dalam banyak tindakannya. Sebagai contoh, beliau pernah mencium cucunya, Al-Hasan bin Ali, di hadapan Al-Aqra’ bin Habis At-Tamim. Al-Aqra’ berkata, “Saya memiliki sepuluh anak dan belum pernah mencium salah satu dari mereka.” Nabi Muhammad lantas memberi peringatan: “Barangsiapa yang tidak berbelas kasih kepada orang lain, maka ia tidak akan diperlakukan dengan penuh belas kasihan.” (HR Bukhari) Hadits ini menggaungkan prinsip Al-Quran bahwa “Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat dengan orang-orang yang berbuat baik” (Al-A’raf:56), yang menunjukkan bahwa belas kasihan akan menghasilkan belas kasihan. Interaksi Rasulullah SAW dengan anak-anak juga mengajarkan kita bahwa menunjukkan kasih sayang dan perhatian adalah bentuk ibadah dan kepatuhan terhadap Sunnah. Menunjukkan kasih sayang, menggendong dan memeluk bayi, serta mencium anak adalah sunnah. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak menghormati orang tua.” (HR Tirmidzi) Anak-anak adalah sumber kegembiraan, rahmat, dan anugerah dari Allah. Mereka membawa berkah bagi keluarga mereka dan melembutkan hati yang paling keras sekalipun, seperti yang ditunjukkan oleh Rasulullah berulang kali.Yang terpenting, kita harus mengasihi anak-anak kita karena mereka yang paling memahami bahasa kasih. Nabi Muhammad mencontohkan hal ini dalam banyak cara. Salah satunya, beliau akan mempersingkat shalatnya jika mendengar suara tangisan bayi, karena tidak ingin menyusahkan ibu dari bayi tersebut. Pada kesempatan lain, beliau salat dengan menggendong seorang anak, mengangkat anak tersebut ketika beliau berdiri dan meletakkan anak tersebut ketika beliau bersujud. Perilaku lembut ini mencerminkan kasih sayang dan kepedulian beliau yang mendalam terhadap anak-anak, sesuai dengan tuntunan Al-Quran untuk “berbuat baik kepada orang tua, kerabat, anak yatim, dan orang-orang miskin” (Al-Quran 2:83). Nabi Muhammad juga sangat toleran dan pemaaf terhadap kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan anak-anak. Beliau akan bermain dengan mereka, memberi mereka tumpangan di atas untanya, dan menyuapi mereka kurma. Beliau memahami bahwa anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang besar dan senang mengeksplorasi hal-hal baru. Dalam setiap interaksinya, Rasulullah mencontohkan pentingnya kasih sayang, cinta, dan kesabaran kepada anak-anak. Dengan mengikuti teladan beliau, kita dapat mengajarkan anak-anak kita tentang karakter mulia beliau dan memastikan bahwa mereka tumbuh dengan rasa cinta yang mendalam, rasa hormat, dan hubungan yang erat dengan iman mereka. Al-Quran mengingatkan kita, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Ahzab: 21). Mari kita wujudkan teladan ini dalam pendekatan kita dalam mengasuh anak-anak, saat kita membimbing mereka dengan kasih sayang dan kebijaksanaan yang sama seperti yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW.*

Nubuwah Baginda Nabi Muhammad ﷺ

Dengan mengetahui nubuwah Nabi Muhammad ﷺ seorang muslim akan semakin mengimani, memuliakan, mencintai, dan meneladani beliauHidayatullah.com | SETIAP Rabiul Awal kaum Muslimin memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Dalam setiap peringatan selalu dibaca Al-Barzanji, sejarah kehidupan Nabi ﷺ. Agar tidak sebatas rutinitas, selain dibaca hendaknya dikaji sejarah kehidupan Nabi ﷺ. Nabi ﷺ diutus oleh Allah sebagai Nabi sekaligus Rasul terakhir. Tidak ada lagi Nabi sesudahnya, hal ini ditegaskan dalam Surat Al-Ahzab [33] ayat 40. Sebagai nabi terakhir, beliau telah menyempurnakan bangunan dinullah yang telah mulai secara bertahap oleh para nabi dan rasul sebelumnya. مَا كَانَ مُحَمَّدٌ اَبَآ اَحَدٍ مِّنْ رِّجَالِكُمْ وَلٰكِنْ رَّسُوْلَ اللّٰهِ وَخَاتَمَ النَّبِيّٖنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًاࣖ “Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, melainkan dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS: al Ahzab: 33) Perumpamaan seperti itu dijelaskan dalam sabda Nabi ﷺ. عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا مَثَلِي وَمَثَلُ أُمَّتِي كَمَثَلِ رَجُلٍ اسْتَوْقَدَ نَارًا فَجَعَلَتْ الدَّوَابُّ وَالْفَرَاشُ يَقَعْنَ فِيهِ فَأَنَا آخِذٌ بِحُجَزِكُمْ وَأَنْتُمْ تَقَحَّمُونَ فِيهِ و حَدَّثَنَاه عَمْرٌو النَّاقِدُ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ “Dari [Al A’raj] dari [Abu Hurairah] dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Perumpamaanku dengan umatku ialah bagaikan seorang yang menyalakan api. Maka serangga-serangga berterbangan menjatuhkan diri ke dalam api itu. Padahal aku telah berusaha menghalaunya. Dan aku, telah mencegah kamu semua agar tidak jatuh ke api, tetapi kamu meloloskan diri dari tanganku.” Dan telah menceritakannya kepada kami [Amru An Naqid] dan [Ibnu Abu Umar] keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dari [Abu Zinad] melalui jalur ini dengan hadits yang serupa.” (HR: Muslim) Sebagai nabi terakhir, dengan bangunan dinullah yang indah dan sempurna, Nabi ﷺ diutus untuk seluruh umat manusia sepanjang zaman sampai hari kiamat nanti (QS Al-A’raf [7]: 158). قُلۡ يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ اِنِّىۡ رَسُوۡلُ اللّٰهِ اِلَيۡكُمۡ جَمِيۡعَاْ ۨالَّذِىۡ لَهٗ مُلۡكُ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِۚ لَاۤ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ يُحۡىٖ وَيُمِيۡتُ ۖ فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰهِ وَرَسُوۡلِهِ النَّبِىِّ الۡاُمِّىِّ الَّذِىۡ يُؤۡمِنُ بِاللّٰهِ وَكَلِمٰتِهٖ وَاتَّبِعُوۡهُ لَعَلَّكُمۡ تَهۡتَدُوۡنَ “Katakanlah (Muhammad), “Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua, Yang memiliki kerajaan langit dan bumi; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS: Al-A’raf [7]: 158) Sebagai seorang Rasul, terdapat bukti-bukti yang menunjukkan kebenaran nubuwah dan risalah Nabi ﷺ. Pertama, basyarat (berita tentang kedatangan Nabi ﷺ) yang terdapat pada kitab-kitab suci sebelumnya. Dalam hal ini Alquran menyebutkan tentang adanya basyarat tersebut. وَإِذْ قَالَ عِيسَى ٱبْنُ مَرْيَمَ يَٰبَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ إِنِّى رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيْكُم مُّصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَىَّ مِنَ ٱلتَّوْرَىٰةِ وَمُبَشِّرًۢا بِرَسُولٍ يَأْتِى مِنۢ بَعْدِى ٱسْمُهُۥٓ أَحْمَدُ ۖ فَلَمَّا جَآءَهُم بِٱلْبَيِّنَٰتِ قَالُوا۟ هَٰذَا سِحْرٌ مُّبِينٌ “Dan ingatlah ketika Isa putra Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan Kitab Suci sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)”. Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata.” (QS: As-Shaf [61]: 6). Kedua, mukjizat yang dianugerahkan oleh Allah kepada Nabi ﷺ. Mukjizat tersebut adalah Al-Quran al-Karim; air memancar dari sela-sela jari; makanan sedikit cukup untuk orang banyak; segelas susu mengenyangkan banyak orang; doa minta hujan yang langsung dikabulkan; pemberitahuan hal-hal ghaib yang terbukti terjadi; terbelahnya bulan menjadi dua; mengobati sakit mata, yang Allah kabulkan seketika; akan selalu ada yang tampil membela ajarannya; dan air sedikit menjadi banyak. Ketiga, nubuwat (ramalan tentang apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang) yang selalu tepat. Misalnya, nubuwat tentang akan mati syahidnya Umar dan Utsman. أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَعِدَ أُحُدًا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ فَرَجَفَ بِهِمْ فَقَالَ اثْبُتْ أُحُدُ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِيٌّ وَصِدِّيقٌ وَشَهِيدَانِ “Nabi ﷺ mendaki Jabal (Gunung) Uhud, diikuti oleh Abu Bakar, Umar dan Utsman. Lalu gunung Uhud itu bergetar, maka beliau bersabda: “Tenanglah wahai Uhud, karena di atasmu sekarang ada Nabi, As-Shiddiq (orang yang jujur, maksudnya Abu Bakar) dan dua orang (yang akan mati) syahid (maksudnya Umar dan Utsman).” (HR Bukhari). Nubuwat tentang terjadinya fitnah antara sesama Muslimin setelah kepergian Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu. حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَيُّكُمْ يَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْفِتْنَةِ قَالَ قُلْتُ أَنَا أَحْفَظُهُ كَمَا قَالَ قَالَ إِنَّكَ عَلَيْهِ لَجَرِيءٌ فَكَيْفَ قَالَ قُلْتُ فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَوَلَدِهِ وَجَارِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلَاةُ وَالصَّدَقَةُ وَالْمَعْرُوفُ قَالَ سُلَيْمَانُ قَدْ كَانَ يَقُولُ الصَّلَاةُ وَالصَّدَقَةُ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ قَالَ لَيْسَ هَذِهِ أُرِيدُ وَلَكِنِّي أُرِيدُ الَّتِي تَمُوجُ كَمَوْجِ الْبَحْرِ قَالَ قُلْتُ لَيْسَ عَلَيْكَ بِهَا يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ بَأْسٌ بَيْنَكَ وَبَيْنَهَا بَابٌ مُغْلَقٌ قَالَ فَيُكْسَرُ الْبَابُ أَوْ يُفْتَحُ قَالَ قُلْتُ لَا بَلْ يُكْسَرُ قَالَ فَإِنَّهُ إِذَا كُسِرَ لَمْ يُغْلَقْ أَبَدًا قَالَ قُلْتُ أَجَلْ فَهِبْنَا أَنْ نَسْأَلَهُ مَنْ الْبَابُ فَقُلْنَا لِمَسْرُوقٍ سَلْهُ قَالَ فَسَأَلَهُ فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قُلْنَا فَعَلِمَ عُمَرُ مَنْ تَعْنِي قَالَ نَعَمْ كَمَا أَنَّ دُونَ غَدٍ لَيْلَةً وَذَلِكَ أَنِّي حَدَّثْتُهُ حَدِيثًا لَيْسَ بِالْأَغَالِيطِ “Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah] telah menceritakan kepada kami [Jarir] dari [Al A’masy] dari [Abu Wa’il] dari [Hudzaifah radliallahu ‘anhu] berkata; “Suatu hari, kami sedang bersama dengan Umar . Beliau bertanya, ‘Siapakah di antara kalian yang pernah mendengar Rasulullah menyebutkan tentang fitnah?’ Lalu sebagian sahabat berkata; ‘Kami pernah mendengarnya.’ Umar berkata; ‘Barangkali yang kalian maksud adalah fitnah (cobaan) seseorang terkait keluarga dan tetangganya?’ Mereka menjawab; ‘Benar.’ Umar berkata; ‘Fitnah seperti itu dapat dihapuskan dengan shalat, puasa, dan sedekah! Akan tetapi yang aku maksud, siapakah di antara kalian yang pernah mendengar sabda Nabi tentang fitnah yang bergelombang seperti ombak laut?’ Hudaifah melanjutkan bahwa ucapan Umar tersebut membuat para sahabat terdiam. Lalu aku berkata, ‘Aku.’ Umar berkata, ‘Betapa bangga ayahmu kepadamu!’” Hudhaifah berkata; “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Fitnah itu dibentangkan kepada hati seperti anyaman tikar, sehelai demi sehelai. Hati yang mengikutinya maka akan muncul padanya satu noktah hitam. Dan hati yang menolaknya maka akan muncul padanya satu titik putih. Hingga ada dua jenis hati. Hati putih seperti batu putih yang bening, fitnah apapun tidak membahayakannya selama masih ada langit dan bumi. Dan hati yang lain menjadi hitam legam seperti panci terbalik, tidak mengetahui yang makruf dan tidak menolak yang mungkar, kecuali hanya sesuatu yang dibisikkan oleh nafsunya.’” Hudhaifah melanjutkan; “Dan aku menceritakan kepada Umar, ‘Sesungguhnya antara dirimu dan fitnah tersebut ada sebuah pintu tertutup yang hampir dihancurkan. Umar bertanya; ‘Apakah (pintunya) dihancurkan? Tidak ada ayah bagimu (maksudnya, seriuslah kamu). Seandainya pintu itu dibuka, bisa jadi akan ditutup kembali.’ Aku berkata, ‘Tidak dibuka, tetapi dihancurkan.’ Aku menyampaikan kepada Umar bahwa pintu itu adalah seorang laki-laki yang dibunuh atau meninggal. Ini merupakan hadis, bukan cerita dongeng manusia.” (HR: Muslim) Keempat, kesaksian milyaran umat Islam sejak dahulu sampai sekarang yang telah mengucapkan dua kalimah syahadah. Kelima, kenyataan bahwa Nabi ﷺ yang membawa ajaran yang begitu lengkap dan sempurna adalah seorang ummi yang tidak bisa membaca dan manulis dan tidak pernah berguru kepada siapa pun.Dengan mengetahui nubuwah Nabi ﷺ seorang muslim akan semakin mengimani, mentaati, memuliakan, mencintai, mengikuti, dan meneladaninya. Amin.*/Imam Nur Suharno, Kadiv Humas dan Dakwah Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

Khutbah Jumat: Empat Akhlak Mulia Nabi Muhammad ﷺ

Maulid (kelahiran) Baginda Nabi Muhammad ﷺ harus kita peringati dengan cara meniru dan meneladani akhlak beliau, di bawah ini naskah khutbah Jumat kali iniOleh: Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil Hidayatullah.com | AJARAN akhlak yang diusung Baginda Rasulullah ﷺ adalah akhlak yang berisi sikap bahagia dengan kebahagiaan umat Islam dan merasa sakit dengan rasa sakitnya umat Islam. Di bawah ini naskah lengkap khutbah Jumat kali ini bertepatan kelahiran Baginda Nabi Muhammad ﷺ. Khutbah Pertama إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا Ma’asyiral Muslimin Jamaah Jumat Rahimakumullah Bicara tentang akhlak Nabi Muhammad ﷺ bagaikan menyelami samudera yang sangat luas dan dalam. Bahkan seandainya batang-batang pohon dijadikan pena untuk menuliskannya dan lautan sebagai tintanya, masih jauh dari menggambarkan, melukiskan, dan menerangkan keagungan serta kemuliaan akhlak Rasulullah ﷺ. Lantaran luas dan banyaknya wangi akhlak Rasulullah ﷺ, kita perlu mengetahui ringkasannya, supaya lebih mudah dalam mengamalkan dan mencontohnya. Imam Nawawi dalam Syarah Muslim mengutip dari Imam Abu Muhammad bin Abi Zaid, yang menuturkan bahwa Imam Malik ketika berada di Magrib (Maroko) pernah berkata, “Seluruh akhlak yang baik bermuara kepada empat hadits : Pertama, sabda Rasulullah ﷺ : مَن كانَ يُؤْمِنُ باللَّهِ واليَومِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أوْ لِيَصْمُتْ “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata yang baik atau diam.” Kedua, sabda Rasul ﷺ : مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ، تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ “Di antara kesempurnaan keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.” Ketiga, wasiat Rasul ﷺ kepada seorang sahabat, لا تغضب (Jangan marah) Keempat, sabda Rasul ﷺ : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ “Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari) Dari empat hadits di atas kita bisa memperoleh banyak sekali pelajaran yang harus menjadi perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Ma’asyiral Muslimin Jamaah Jumat Rahimakumullah Hadits pertama mengajarkan kepada kita untuk berpikir matang sebelum melontarkan satu kata apalagi satu kalimat. Setiap ucapan yang kita lontarkan ada pertanggungjawaban di sisi Allah SWT. Kalau yang kita ucapkan adalah hal-hal yang terpuji, Insya Allah, pahala yang akan diperoleh. Jika yang diucapkan adalah kata-kata yang buruk : cacian, hinaan, sumpah serapah, atau semisal kata-kata kebun binatang, maka dosa yang kita dapatkan. Allah SWT berfirman : مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ “Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS. Qaaf : 18) Lewat hadits ini pula, Rasul ﷺ mengajarkan akhlak bahwa sebagai orang Islam hendaknya kita selalu berbicara dalam urusan yang bermanfaat untuk urusan dunia atau urusan akhirat. Sebagai orang Islam, kita diajari akhlak oleh beliau ﷺ untuk menahan diri dari mengucapkan kata-kata yang menyakitkan saudara kita, apalagi sampai menimbulkan kerusakan serta permusuhan di antara sesama, sehingga mengundang murka dan kemarahan Allah SWT. Sahabat Luqman al-Hakim pernah berkata kepada anaknya; “Seandainya bicara itu terbuat dari perak maka diam itu adalah emasnya.” Ibnu Mubarak mengomentari nasihat Luqman dengan berkata; “Jika bicara dalam hal menjalankan ketaatan kepada Allah senilai perak maka diam dari ucapan kemaksiatan kepada Allah senilai emas.” Dikisahkan dari Lukman al-Hakim bahwa tuannya menyerahkan seekor kambing kepadanya, lalu sang tuan berkata kepadanya, “Sembelihlah kambing itu, lalu berikan padaku bagian yang terbaik dari kambing itu.” Lukman pun memberikan hati dan lidah kambing kepada sang tuan. Beberapa hari kemudian sang tuan menyerahkan lagi seekor kambing kepadanya seraya berkata, “Sembelihlah kambing ini dan berikan kepadaku bagian yang terjelek dari kambing itu.” Lalu Lukman pun memberikan hati dan lidah kambing tersebut kepadanya. Maka sang tuan menanyakan hal itu, Lukman menjawab, “Keduanya (lidah dan hati) merupakan anggota terbaik jika keduanya baik dan merupakan anggota yang terjelek jika keduanya jelek.” Kaum Muslimin Jamaah Jumat Hafidzakumullah Mari kita masuk pada hadits kedua seperti yang disebutkan oleh Imam Malik. Hadits kedua mengandung ajaran akhlak dari Rasulullah ﷺ bahwa seorang muslim hendaknya memalingkan dirinya dari segala sesuatu yang tidak bermanfaat. Tanda kejujuran dalam keislaman adalah tidak menyibukkan diri dengan hal yang tidak berguna. Seorang muslim yang terjatuh dalam perbuatan yang nihil manfaat, sama artinya dia tidak menyadari bahwa Allah SWT selalu bersamanya. Seseorang yang kehilangan kesadaran seperti ini, lambat laun akan merusak amalnya sendiri dan termasuk kelompok yang binasa. Habib Ahmad bin Hasan al-Attas Ba’alawi berkata: “Siapa yang ingin mendapatkan waktu yang telah terlewatkan dengan sia-sia, hendaklah dia menjaga empat waktu ini : sebelum fajar, setelah fajar sampai terbitnya matahari, sebelum terbenamnya matahari, dan waktu antara magrib dan isya.” Kiat dan tips menjadi pribadi yang terhindar dari perkara-perkara yang tidak bermanfaat, bisa kita ambil dari nasihat Sayidina Umar bin Khattab kepada seseorang. Beliau mengatakan : (1) Jangan berbicara tentang hal-hal yang tidak ada manfaatnya bagimu (2) Jauhi orang yang memusuhimu (3) Berhati-hatilah dengan teman yang dianggap dapat dipercaya sebab hanya sosok yang takut kepada Allah-lah yang bisa dipercaya (4) Jangan berjalan dengan ahli berbuat dosa, nanti engkau akan diajari cara berbuat dosa sepertinya (5) Jangan menyebarkan rahasiamu (6) Jangan bermusyawarah dengan siapa saja kecuali dengan orang-orang yang takut kepada Allah. Jamaah Shalat Jumat yang Dimuliakan Allah Ketiga, Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan kepada kita akhlak tentang menjadi pribadi yang tidak mudah tersulut emosi, tidak gampang naik pitam, tidak mudah terprovokasi. Intinya, pribadi yang tidak suka marah-marah. “Jangan marah,” begitulah wasiat yang beliau sampaikan. Terkesan singkat namun mengandung lautan hikmah yang amat luas. Marah adalah pangkal kejahatan yang menjadi tanda kelemahan diri seseorang, meski dia memiliki badan yang kuat dan otot yang sehat. “Orang yang kuat itu bukan dengan jago gulat, tapi orang kuat adalah yang mampu menguasai hawa nafsunya ketika marah,” sabda Rasulullah ﷺ. Ada seseorang datang kepada Abdullah bin Mubarak. Ia mengeluhkan atas kedurhakaan anaknya kepada dirinya. Ibnu Mubarak bertanya kepadanya, “Apakah engkau jika marah, mendoakan keburukan kepadanya?” Dia menjawab, “Iya.” Beliau berkata; “Hakikatnya engkau yang telah merusak anakmu sendiri.” Dikisahkan, Imam Ali Zainal Abidin pernah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan. Pembantunya yang sedianya akan menyediakan air di sebuah ceret, ternyata ceret dan isinya jatuh tertimpa Imam Ali dan membasahi wajahnya. Beliau mengangkat kepala kepadanya yang dibalas pandangan ini dengan ucapan, “Allah SWT berfirman : ‘Wal Kaadzimiinal Ghaidza (Orang-orang yang menahan marah).” Beliau mengatakan, “Aku telah menahan kemarahanku.” Pembantunya berkata kembali, “Allah SWT berfirman, ‘Wal-‘aafiina ‘anin-naas (Orang-orang yang mau memaafkan kesalahan manusia).” Beliau berkata, “Semoga Allah mengampuni kesalahanmu.” Pembantunya berkata lagi, “Allah SWT berfirman, “Wallaahu Yuhibbul Muhsiniin (Allah suka kepada orang-orang yang berbuat baik).” Imam Ali Zainal Abidin mengatakan kepadanya, “Pergilah. Engkau sekarang menjadi manusia merdeka karena Allah.” Lihatlah, para jamaah, bagaimana dari sebuah kesalahan justru berujung kepada kebahagiaan karena kecerdasan Imam Ali dalam mengelola emosi, sehingga beliau mendapatkan kebaikan berkali-kali lipat, dibandingkan dengan kemarahan akibat sebuah kesalahan yang tidak seberapa. Kaum Muslimin yang Dirahmati Allah Keempat, Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada kita untuk menjadi pribadi yang baperan (mudah terbawa perasaan), tapi bukan baperan dalam perkara yang tidak penting. Dalam kalimat lain, jika kita menginginkan kebaikan, kebahagiaan, dan ketenangan hidup untuk diri kita, maka apa yang kita inginkan juga harus kita lakukan untuk orang lain. Jangan sampai, kita menginginkan kebaikan, tapi keburukan kita timpakan kepada orang lain. Kita menginginkan kebahagiaan, tapi kita menimpakan kesedihan kepada orang lain. Kita menginginkan ketenangan, tapi kita menciptakan keresahan bagi orang lain. Di zaman Nabi Muhammad ﷺ ada seorang pemuda yang mendatangi Nabi Muhammad ﷺ, “Ya Rasulullah, izinkanlah aku untuk berzina,” kata si pemuda. Nabi ﷺ berkata, “Apakah kau suka bila ibumu berzina?” “Tidak, demi Allah yang menjadikan aku sebagai tebusanmu.” “Demikian pula orang-orang lain mereka tidak menginginkan hal itu terjadi pada ibu mereka,” kata beliau. “Sukakah engkau jika anak perempuanmu berzina?” “Tidak, demi Allah yang menjadikan diriku sebagai tebusanmu.” “Demikian pula orang-orang lain, mereka tidak menginginkan hal itu terjadi pada anak mereka,” jelas beliau. “Sukakah engkau jika saudarimu berzina?” “Tidak, demi Allah yang menjadikan diriku sebagai tebusanmu.” “Demikian pula orang-orang lain, mereka tidak menginginkan hal itu terjadi pada saudara perempuan mereka,” kata beliau. “Sukakah engkau jika bibimu berzina?” “Tidak, demi Allah yang menjadikan diriku sebagai tebusanmu.” “Demikian pula orang-orang lain, mereka tidak menginginkan hal itu terjadi pada bibi mereka,” kata beliau. Beliau lalu meletakkan tangan di tubuh pemuda itu seraya mendoakannya; “Ya Allah, ampuni dosanya, sucikan hatinya, dan jagalah kemaluannya.” Sejak saat itu si pemuda tidak tergoda lagi untuk berzina. Dalam sebuah kisah yang lain, disebutkan ada seseorang yang mengeluh banyaknya tikus yang berseliweran di dalam rumahnya. Kawannya berkata, “Pelihara saja seekor kucing.” Dijawab oleh pemilik rumah, “Aku khawatir tikus itu mendengar suara kucing lalu ia kabur ke rumah tetanggaku. Kalau itu sampai terjadi, maka aku termasuk orang yang tidak menyukai sesuatu menimpa diriku, tapi aku biarkan hal itu terjadi kepada orang lain.” Inilah ajaran akhlak yang diusung sejak dulu oleh Rasulullah ﷺ untuk kita terapkan. Akhlak yang berisi sikap bahagia dengan kebahagiaan umat Islam dan merasa sakit dengan rasa sakitnya umat Islam. Memperingati maulid Nabi Muhammad ﷺ berarti memperingati akhlak. Memperingati akhlak berarti mengamalkannya dalam tindak-tanduk kita. Peringatan maulid jangan dijadikan bak monumen di sebuah jalan, sekadar menjadi penghias, setelah itu diabaikan begitu saja. Memperingati maulid Nabi Muhammad ﷺ maka harus disertai dengan meniru dan meneladani akhlak, sekurang-kurangnya empat akhlak di atas : berkata yang baik atau diam, meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat, tidak mudah marah, dan mencintai saudara kita seperti mencintai diri sendiri. بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فيِ القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنيِ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنيِّ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ َإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْليِ هذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ ليِ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ. Khutbah Jumat Kedua اَلْحَمْدُ للّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى اٰلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى اٰلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اَللّٰهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هٰذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْن Arsip lain terkait Khutbah Jumat bisa diklik di SINI. Artikel lain tentang keislaman bisa dibuka www.hidayatullah.com. Khutbah Jumat ini kerjasama dengan Rabithah Alawiyah Kota Malang

Kelapangan Dada Nabi Muhammad

TENTANG kelapangan dada Nabi Muhammad, Allah SWT berfirman: اَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَۙ “Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Muhammad).” Allah memberikan kelapangan dada pada Nabi Muhammad sehingga beliau selalu lembut, tegar, dan sabar ketika menghadapi ujian. Pada diri Nabi tertanam akhlak mulia yang sangat menakjubkan karena dada beliau telah dilapangkan oleh Allah. Meskipun digelari dan dituduh sebagai pendusta, penyihir, penyair gila, orang yang tersihir, orang yang murtad dari adat nenek moyangnya, tetapi semua itu dapat dihadapi Nabi dengan lapang dada. Itulah bekal utama seorang da’i ketika berdakwah. Ia selalu berhias dengan akhlak mulia dan berusaha melapangkan dadanya. BACA JUGA:  Nasab dan Keluarga Inti Nabi Muhammad ﷺ Seorang da’i yang berkecimpung dalam “amar ma’ruf nahi mungkar” pasti akan mendapatkan pertentangan dari masyarakat. Bahkan, ia dapat saja mendapatkan cercaan atau celaan manusia. Oleh karena itulah, seorang da’i membutuhkan kelapangan dada. Jika ia tidak sanggup menghadapi tantangan-tantangan tersebut, dakwahnya pun akan gugur. Salah satu contohnya adalah Nabi Musa ketika diperintahkan oleh Allah untuk mendakwahi Fir’aun yang sombong dan angkuh bahkan mengaku sebagai Tuhan. Allah berfirman dalam Surah Tha Ha (20) ayat 24-28: اِذْهَبْ اِلٰى فِرْعَوْنَ اِنَّهٗ طَغٰى ࣖ(24) قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ ۙ(25) وَيَسِّرْ لِيْٓ اَمْرِيْ ۙ(26) وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّنْ لِّسَانِيْ ۙ(27) يَفْقَهُوْا قَوْلِيْ ۖ(28) “Pergilah kepada Fir‘aun, dia benar-benar telah melampaui batas.” (24) Dia (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, (25) dan mudahkanlah untukku urusanku, (26) dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku (27) agar mereka mengerti perkataanku.(28) Foto: Unsplash Perhatikanlah hal yang diminta Musa a.s. setelah Allah memerintahkan beliau untuk berdakwah kepada Fir’aun. Hal pertama yang diminta Nabi Musa a.s. adalah kelapangan dada. Setelah itu, beliau baru meminta agar dimudahkan dalam mengungkapkan perkataan. Jika seseorang telah berlapang dada, semuanya pasti menjadi mudah. Segala kesulitan akan dihadapinya dengan lapang. Namun, jika dadanya sempit, perkara yang sebenarnya mudah pun bisa jadi terasa berat. Oleh karena itulah, salah satu karunia Allah terhadap seorang Mukmin adalah Allah menjadikan dadanya lapang seperti nikmat-Nya kepada para Nabi. Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa kelapangan dada mencakup lapang dada maknawi (abstrak) dan lapang dada hissi (indriawi). Lapang dada yang maknawi misalnya kekuatan dalam menghadapi cobaan, kesabaran dalam menghadapi gangguan, kelembutan dalam menghadapi celaan, dan beberapa akhlak mulia lainnya. Sementara itu, lapang dada yang hissi pernah dialami Nabi Muhammad ketika Allah mengirim Malaikat Jibril sebanyak dua kali, yaitu saat beliau masih kecil dan ketika beliau Isra Mi’raj. Malaikat Jibril membelah dada Nabi Muhammad ﷺ untuk mencuci bagian buruk dari jantungmya. Lalu, jantung itu dibersihkan Jibril dengan air zam-zam dan diisi dengan keimanan dan hikmah. Oleh sebab itulah, Nabi memiliki dada yang lapang. Kedua hal ini saling berkaitan dibelahnya dada Nabi dan dicucinya jantung Nabi ﷺ oleh malaikat Jibril dari kotoran setan sehingga beliau memilki akhlak yang sangat mulia. Nabi ﷺ adalah orang yang sangat penyabar dan tidak mudah terpancing emosinya. Segala cercaan dan celaan dihadapinya dengan lapang dada. Bahkan, beliau membalasnya dengan memaafkan. Salah satunya adalah kisah Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang munafik yang selama hidupnya selalu mengganggu dan mencerca Nabi ﷺ. Bahkan, ia menuduh istri Nabi, Aisyah, sebagai pezina sehingga tuduhan itu membuat dada Nabi sesak. Namun, ketika Abdullah bin Ubay bin Salul meninggal dunia, anak Abdullah mendatangi dan meminta Nabi menyalatkan jenazah ayahnya. Ketika meninggal dunia, Abdullah bin Ubay bin Salul tidak memiliki apa-apa sehingga Nabi memberikan bajunya sebagai kain kafan. Dalam sebuah hadis dari Ibnu Umar, beliau bersabda: Ketika Abdullah bin Ubay (pemimpin orang-orang munafik) meninggal, anak lelakinya menemui Nabi dan berkata, “Wahai, Rasulullah, berikanlah pakaian Anda untuk mengafaninya, shalat-lah untuknya, dan mohonkanlah ampunan untuknya.” Foto: Pinterest Maka, Rasulullah memberikan pakaiannya kepada sang anak dan berkata, “Beritahu aku (apabila pemakaman telah siap) sehingga aku mungkin menyalatkan jenazahnya.” BACA JUGA: Inilah 9 Bukti bahwa Al-Quran Adalah Ciptaan Allah, Bukan Karangan Nabi Muhammad ﷺ Maka, ia pun memberitahu Nabi. Ketika Nabi bersiap untuk menyalatkan (jenazahnya), Umar memegang tangan Nabi dan berkata, “Bukankah Allah telah melarang Anda menyalatkan orang-orang munafik?” Nabi bersabda. “Aku telah diberikan pilihan karena Allah berfirman, ‘Apakah kau memohon ampun bagi mereka atau tidak memohon ampin bagi mereka, dan sekalipun kau memohon 70 kali untuk ampunan bagi mereka, Allah tidak akan mengampuni mereka’ (QS. At-Taubah [9]: 80). Maka, Nabi mengerjakan shalat jenazah dan waktu itu turunlah wahyu Allah, ‘dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan seseorang pun di antara mereka (orang-orang munafik) yang mati.’ (QS. At-Taubah [9]: 84). Abdullah bin Ubay bin Salul selalu mengganggu  dan menyakiti Nabi Ketika masih hidup. Namun, Nabi menginginkan Allah mengampuni dia hingga turunlah ayat yang melarang Nabi untuk memintakan ampun bagi seorang munafik. Hal ini menunjukkan kelapangan dada seorang Nabi. [] SUMBER: PUSAT STUDI QURAN

5 Hal yang Dilakukan Rasulullah SAW di 10 Hari Terakhir Ramadhan

Hidayatullah.com – Sebagian umat Islam pasti sudah mengetahui bahwa sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan sangatlah istimewa. Inilah malam-malam yang dihabiskan oleh Nabi Muhammad SAW untuk beribadah. Di antara malam-malam ini adalah Lailatul Qadar – malam yang lebih diberkahi dari seribu bulan. Beliau akan mengerahkan dirinya dalam ibadah selama sepuluh malam ini lebih banyak daripada malam-malam lainnya dalam setahun. Selain fokus beribadah, Rasulullah SAW pada 10 malam terakhir ini juga melakukan berbagai perbuatan baik. Hal itu dijelaskan dalam dua Hadits yang diriwayatkan Aisyah, istri Rasulullah SAW. “Selama sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, Nabi akan mengencangkan ikat pinggangnya dan menghabiskan malam itu dengan beribadah. Beliau juga membangunkan keluarganya.” (HR. Al Bukhari) “Aku tidak pernah mengetahui Rasulullah membaca seluruh Al-Quran dalam satu malam, atau menghabiskan sepanjang malam dalam shalat hingga pagi, atau menghabiskan satu bulan penuh dalam puasa – kecuali di bulan Ramadhan.” (Ibnu Majah) Namun, ibadah juga bukan satu-satunya yang Rasulullah SAW lakukan pada 10 malam terakhir. Rasulullah juga menghabiskan waktu untuk makan malam, makan sahur, dan kegiatan serupa lainnya. Kami telah rangkumkan 5 hal yang Rasulullah SAW lakukan di 10 malam terakhir Ramadhan.Membangunkan KeluargaSelama sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, Nabi Muhammad akan membangunkan istri-istrinya untuk beribadah di malam hari… Menurut hadits yang diriwayatkan Aisyah di atas, kita mengetahui bahwa bahwa Nabi Muhammad biasa membangunkan keluarganya selama sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Memang, beliau biasa membangunkan istri-istrinya untuk shalat sepanjang tahun, tetapi itu agar mereka dapat shalat pada sebagian kecil malam. Kita mengetahui hal ini, karena Ummu Salamah, istri Nabi, menceritakan bahwa Nabi membangunkannya pada suatu malam dan berkata: “Maha Suci Allah. Apa yang telah diturunkan berupa cobaan pada malam ini? Apa yang telah diturunkan berupa harta, sehingga para penghuni kamar tidur terbangun? Ya Tuhan! Berpakaianlah kalian di dunia dengan telanjang di akhirat.” (HR. Al Bukhari)Mengerahkan Seluruh Kemampuan dalam BeribadahDalam hadits lain yang diriwayatkan Aisyah, Rasulullah SAW mengerahkan semua kemampuannya untuk beribadah di 10 malam terakhir Ramadhan. “Nabi mengerahkan dirinya dalam beribadah selama sepuluh malam terakhir lebih banyak daripada waktu-waktu lainnya sepanjang tahun.” (Muslim) Imam Al-Syafi’i pun menyatakan “Adalah sunnah bagi seseorang untuk mengerahkan upaya yang lebih besar dalam beribadah selama sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.” Ketika Aisyah mengatakan kepada kita bahwa Nabi Muhammad akan “mengencangkan ikat pinggangnya”, dia berbicara secara kiasan. Ungkapan tersebut berarti untuk mengabdikan diri sepenuhnya dan sepenuh hati pada tugas yang ada.Mencari Lailatul QadarSalah satu keistimewaan terbesar dari sepuluh malam ini adalah salah satunya adalah Lailatul Qadar. Ini adalah malam teragung dalam setahun – lebih baik dari seribu bulan. Ini berarti bahwa seorang Muslim dapat memperoleh lebih banyak pahala pada malam Lailatul Qadar daripada jika – di luar malam istimewa ini – ia beribadah kepada Tuhannya selama delapan puluh empat tahun berturut-turut. Ini adalah salah satu nikmat besar yang Allah berikan kepada umat Islam. Imam Ibrahim Al-Nakha’i berkata: “Amalan yang dilakukan pada malam ini lebih baik daripada amalan yang dilakukan secara konsisten selama seribu bulan.” Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi bersabda: “Barangsiapa yang menghabiskan Lailatul Qadar dengan berdoa, beriman kepada Allah (SWT) dan mengharapkan pahala-Nya, maka akan diampuni semua dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim) “Beriman kepada Allah”, dalam hadits ini, tidak hanya berarti percaya kepada Allah SWT, tetapi juga percaya kepada pahala yang dijanjikan kepada kita karena melaksanakan shalat pada malam ini.Lailatul Qadar jatuh pada salah satu malam ganjil. Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad bersabda: “Carilah Lailatul Qadar pada malam-malam ganjil selama sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kemungkinan besar ini adalah salah satu dari tujuh malam ganjil terakhir. Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad bersabda: “Carilah di sepuluh malam terakhir. Jika salah satu dari kalian merasa lemah atau tidak mampu melakukannya, maka setidaknya dia harus mencoba pada tujuh malam yang tersisa.” (HR. Muslim). Kandidat yang paling mungkin untuk Lailatul Qadar adalah malam ke-27 Ramadhan. Hal ini ditunjukkan oleh pernyataan Ubay bin Ka`ab: “Aku bersumpah demi Allah bahwa aku tahu malam apa itu. Itu adalah malam di mana Rasulullah saw. memerintahkan kita untuk beribadah. Itu adalah malam pada malam tanggal 27 Ramadhan. Tandanya adalah matahari akan terbit pada pagi hari itu dalam keadaan putih tanpa memancarkan sinarnya.” (H.R. Muslim). Seorang Muslim perlu berusaha mencari malam yang istimewa ini dengan menghabiskan sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dengan melakukan berbagai ibadah. Termasuk di antaranya adalah berdzikir, membaca Al-Quran, dan memohon ampunan Allah. Ketika Nabi bersabda: “Carilah pada sepuluh malam terakhir”, beliau tidak bermaksud bahwa kita harus secara harfiah “mencari” tanda-tanda dan indikasi yang membedakan Lailatul Qadar dengan malam-malam lainnya. Hal-hal yang membedakan malam ini dengan malam-malam lainnya adalah bagian dari yang gaib. Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al Quran) pada suatu malam yang diberkahi. Sesungguhnya Kami hendak memberi peringatan pada malam itu, dan pada malam itu dijelaskan segala sesuatu yang ghaib.” (Ad-Dukhan: 3-4) Allah berfirman dalam Al-Quran: “Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turunlah para malaikat dan Ruh dengan seizin Tuhannya dengan membawa berbagai macam ketetapan. (Malam itu) adalah malam yang penuh ketenangan sampai terbit fajar.” (Al-Qadr: 3-5) Ini adalah cara-cara yang membuat Lailatul Qadar menjadi istimewa. Semua itu bukanlah sesuatu yang dapat kita lihat dengan mata kepala. Tidak ada seorang pun setelah Nabi yang dapat melihat para malaikat.I’tikafMelakukan I’tikaf di masjid adalah hal terbaik yang dapat kita lakukan selama sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Aisyah memberitahu kita: Nabi biasa berdiam diri di masjid selama sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat. Istri-istrinya terus melakukan kebiasaan ini setelah beliau wafat. (HR. Bukhari dan Muslim)Dakwah Media BCA - Green.notice-box-green { border: 2px solid #28a745; /* Green border color */ background-color: #d4edda; /* Light green background color */ padding: 15px; margin: 20px; border-radius: 8px; font-family: inherit; /* Use the theme font from WordPress */ text-align: center; /* Center the text */ }Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/Praktik i’tikaf adalah tindakan yang sangat dianjurkan. I’tikaf didefinisikan sebagai berdiam diri di dalam masjid dengan tujuan untuk beribadah. Tujuan dari i’tikaf adalah untuk mencurahkan hati seseorang secara eksklusif kepada Allah. Dan orang yang melakukan i’tikaf menjaga niat ini dalam pikirannya dan mencari berkah Allah. Dia tidak boleh melupakan alasan mengapa dia melakukan i’tikaf ini. Orang yang melakukan i’tikaf tidak boleh keluar dari masjid kecuali untuk hal-hal yang sangat penting (seperti ke kamar mandi). Selama berada di masjid, ia harus menyibukkan diri dengan mengingat Allah. Dia harus memastikan untuk melakukan zikir pagi dan petang dan zikir yang disyariatkan untuk shalat lima waktu. Dia harus melakukan semua salat sunnah. Dia harus membaca Al-Quran sebanyak yang dia bisa. Dia harus menghabiskan lebih sedikit waktu untuk makan dan tidur sesedikit mungkin. Dia harus menghindari pembicaraan yang tidak perlu. Namun, ia harus terlibat dalam menasihati sesama Muslim dan memerintahkan mereka kepada kebenaran dan kesabaran.Menjadi DermawanDianjurkan bagi kita untuk menjadi lebih dermawan selama sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, tanpa menjadi boros atau pamer dalam memberi. Ibnu `Abbas meriwayatkan hal itu: “Rasulullah SAW adalah orang yang paling dermawan di antara semua orang dalam melakukan kebaikan, dan beliau paling dermawan selama bulan Ramadhan. Jibril biasa bertemu dengan beliau setiap tahun selama bulan Ramadhan, sehingga Nabi dapat membacakan Al-Quran kepadanya. Setiap kali Jibril bertemu dengan beliau, ia menjadi lebih dermawan daripada angin yang bermanfaat.” (HR. Al Bukhari dan Muslim) Imam Nawawi menyatakan: “Kedermawanan dan tangan terbuka sangat dianjurkan di bulan Ramadan, terutama selama sepuluh malam terakhir. Dengan demikian, kita meniru teladan Rasulullah saw. dan juga para pendahulu kita yang saleh. Bulan ini adalah bulan yang mulia, dan perbuatan baik yang dilakukan di bulan ini lebih diberkahi daripada di bulan-bulan lainnya. Selain itu, pada bulan ini, orang-orang disibukkan dengan puasa dan ibadah, dan hal ini melalaikan mereka dari mata pencaharian mereka, sehingga mereka mungkin membutuhkan bantuan selama waktu ini.”