Tag:

media sosial

Ada Dampak Buruknya, Usia Berapa Anak-Anak Boleh Gunakan Medsos?

Jakarta (SI Online) – Sadar bahwa media sosial banyak membawa dampak buruk, pemerintah Australia akhirnya mengesahkan Undang-Undang yang melarang penggunaan media sosial (medsos) bagi anak-anak di bawah 16 tahun.Aturan ini dinilai menjadi salah satu kebijakan paling ketat di dunia dalam upaya mengontrol akses media sosial bagi anak di bawah umur.Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Mengakses informasi sudah semakin mudah dan cepat, dengan adanya berbagai platform media sosial.Namun, yang harus menjadi perhatian adalah dampak buruk media sosial bagi anak-anak. Seperti dilansir Kompas.com, psikolog Vera Itabiliana Hadiwidjojo, menyebut dampak buruk media sosial bisa jelas terlihat pada anak-anak.Adv: Untuk mendapatkan informasi seputar dunia kefarmasian di daerah, Anda dapat mengunjungi pafihulusungaiutarakab.org“Banyak banget contoh nyata di mana anak mulai berbicara ngomong kasar, terekspos dengan hal berbau seksual, depresi dan cemas karena apa yang dia lihat di media sosial,” ujar Vera diJakarta, Selasa (10/12/2024) lalu.Pengaruh media sosial memang luar biasa, jika anak tidak cukup matang dalam memilah mana yang baik dan buruk. Dia menambahkan, usia anak sangat berpengaruh dalam hal ini.“Idealnya anak boleh punya sosmed di usia 13 tahun. Kalau punya sosmed berarti harus punya email, dan batas usia email adalah 13 tahun,” kata dia.Vera beralasan, pada usia ini anak-anak umumnya sudah mulai belajar untuk bertanggung jawab atas perbuatan mereka.Meski demikian, dia juga wanti-wanti agar orangtua tetap melakukan pengawasan dan pendampingan dalam penggunaan media sosial.“Tentu saja kita perlu mendampingi dan memilah konten yang anak konsumsi dari media sosial,” lanjutnya.Selain itu, kata Vera, penggunaannya harus disesuaikan dengan platform tertentu, karena setiap media sosial memiliki batasan usia yang berbeda-beda. []

Media Sosial dan Identitas Diri

MEDIA sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Platform ini membuka akses tak terbatas untuk berinteraksi, memperoleh pengetahuan, dan berbagi inspirasi. Namun, di balik manfaatnya, media sosial juga menghadirkan tantangan besar dalam menjaga identitas diri yang berlandaskan nilai-nilai agama. Allah SWT berfitman: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 36). Ayat ini mengingatkan untuk berhati-hati dalam menerima dan membagikan informasi di media sosial. Di era di mana berita palsu dan konten negatif mudah tersebar, penting untuk menyaring apa yang dikonsumsi dan dibagikan, memastikan semua tindakan tetap sesuai dengan ajaran agama. Sosial media sering kali memamerkan standar kehidupan yang penuh glamor, yang bisa membuat kita merasa minder atau tidak cukup baik. Padahal, Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’: 32). Kita harus memahami bahwa rezeki dan kebahagiaan setiap orang berbeda-beda, sehingga membandingkan diri dengan orang lain di media sosial hanya akan mengundang rasa tidak puas. Sebaliknya, fokuslah pada syukur atas apa yang telah Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan dan terus memperbaiki diri. Media sosial juga dapat menjadi sarana dakwah yang luar biasa jika digunakan dengan bijak. Firman Allah SWT: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125). Kita dapat memanfaatkan media sosial untuk berbagi kebaikan, menyebarkan nilai-nilai Islam, dan menjadi inspirasi bagi banyak orang. Dengan menampilkan konten yang positif dan beretika, kita dapat menjaga akhlak Islami sambil memberikan dampak baik bagi orang lain. More pages: 1 2

Media Sosial Pengaruhi Kosakata Baru Generasi Alpha

Hidayatullah.com—Guru Besar Bidang Ilmu Etnolinguistik Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Dr Dra Ni Wayan Sartini MHum, mengatakan, kosakata baru Generasi Apha (Gen Apha) terbentuk akibat pengaru pratform digital dan perkembangan media sosial.“Di era digital ini, banyak model bahasa baru bermunculan. Salah satunya bahasa Gen Alpha. Sebenarnya, cikal bakal tersebut adalah dari bahasa gaul kemudian berkembang sampai kepada Gen-Z dan Gen Alpha,” katanya dikutip laman resmi Unair.Menurut Prof Wayan, bahasa Gen Alpha tidak lepas dari pengaruh media sosial dan teknologi. Tumbuh dalam ekosistem digital, membuat generasi alpha terbiasa dengan pemakaian kosakata unik ini.Menurutnya, bahasa setiap generasi selalu mengalami perubahan. Tidak terkecuali, bahasa-bahasa yang muncul dalam keseharian. Hal ini disampaikan menanggapi berbagai kosakata baru yang muncul, seperti mewing, rizz, sigma, dan skibidi, muncul yang banyak digunakan Gen Alpha saat berkomunikasi.Prof Wayan menyebut, perkembangan masyarakat yang kian kompleks juga menjadi pemicu dari perubahan model komunikasi ini.“Gen Alpha cenderung terhubung satu sama lain karena pengaruh interaksi dalam berbagai platform. Mereka yang sedang mencari jati diri, punya cara berkomunikasi khas lewat kata-kata baru, emoji, emoticon, sebagai kemudahan-kemudahan pengucapan dari bahasa aslinya sehingga itu mempercepat komunikasi,” ujarnya.Tak hanya itu, Prof Wayan juga menyoroti penggunaan istilah populer, seperti mewing yang merujuk pada teknik memperbaiki bentuk wajah dan rizz yang merupakan kependekan dari karisma. Kosakata tersebut baginya menunjukkan sisi kreativitas Gen Alpha.Ia menyebut bahwa fenomena ini adalah bagian dari inovasi bahasa yang lahir dari komunitas tersebut.Prof Wayan juga menyebut bahwa bahasa Gen Alpha hanya bersifat temporer. “Sah-sah saja ketika Gen Alpha menggunakan bahasa itu dalam komunikasi mereka sesuai dengan usianya.Namun, seperti bahasa gaul sebelumnya, bahasa Gen Alpha kemungkinan akan hilang seiring mereka beranjak dewasa kemudian menghadapi konteks kehidupan berbeda ataupun semakin sedikit penuturnya,” tambahnya.Dalam keterangannya, Prof Wayan menjelaskan bahwa bahasa dan budaya selalu berjalan seiring dan sesuai konteks zamannya.“Bahasa Gen Alpha adalah identitas sosial mereka. Tidak ada pengaruh negatif terhadap budaya, selama penggunaan bahasa ini masih dalam ranah informal,” ujarnya.Terakhir, Prof Wayan juga mengingatkan bahwa penggunaan bahasa harus sesuai dengan konteks, baik formal maupun informal.“Tidak akan merusak bahasa Indonesia selagi penggunaan itu hanya dalam konteks komunikasi mereka. Tapi jangan sampai merembes ke dalam ranah formal. Maka perlu penyesuaian kepada siapa dan kapan kita berbicara,” pungkasnya.*

Brain Rot, Pembusukan Otak akibat Penggunaan Layar Gawai Berlebihan

Hidayatullah.com—‘Pembusukan otak’ atau ‘brain rot’ menjadi Kata Tahun Ini untuk tahun 2024, demikian diumumkan Oxford University Press. Menurut psikolog berbagi, pandangan tentang istilah tersebut yang berisiko memiliki dampak terhadap penurunan kesehatan mental karena berkaitan dengan penggunaan media sosial yang tergolong dangkal.Para ahli Oxford mengamati bahwa istilah brain rot mendapat perhatian signifikan di tahun ini. Hal tersebut tercermin dari kekhawatiran tentang dampak mengonsumsi konten daring berkualitas rendah dalam jumlah berlebihan di media sosial, seperti dikutip dari siaran India Today, Sabtu (7/12) waktu New Delhi, India.Bahkan, frekuensi penggunaan istilah tersebut melonjak 230 persen dari tahun 2023 ke tahun 2024. Psikolog Klinis dari Rumah Sakit Holy Family di Mumbai, India memaparkan penyebab dari ‘brain rot’.“‘Brain rot’ mencerminkan penurunan kemampuan mental secara perlahan, yang sering kali dikaitkan dengan penggunaan layar yang berlebihan, kurangnya stimulasi, atau pilihan gaya hidup yang tidak sehat,” kata Dr. Narendra Kinger.Dia melanjutkan, “(brain rot merupakan) kemunduran yang diduga terjadi pada kondisi mental atau intelektual seseorang, terutama jika dilihat sebagai akibat dari konsumsi berlebihan terhadap materi (terutama konten daring) yang dianggap remeh atau tidak menantang”.Istilah brain rot menyoroti meningkatnya kekhawatiran tentang dampak mengonsumsi konten media sosial yang dangkal terhadap kesehatan mental. Paparan informasi yang dangkal dari internet atau media sosial tersebut dapat menurunkan kesehatan kognitif dan menyebabkan kelelahan mental.Penurunan tersebut tidak terbatas pada kelompok usia tertentu. Kerusakan otak akibat penggunaan media sosial dapat mempengaruhi anak-anak dan orang dewasa, meskipun penyebab dan gejalanya dapat berbeda.Pada anak-anak, kerusakan otak sering kali terlihat dari berkurangnya rentang perhatian, kesulitan berkonsentrasi pada tugas, dan prestasi akademis yang buruk.Sebaliknya, kerusakan otak pada orang dewasa dapat ditandai dengan mudah lupa, motivasi rendah, mudah tersinggung, dan terlalu bergantung pada perangkat gawai untuk hiburan.Penyebabnya beragam, tetapi sering kali berasal dari masalah inti yang sama. Mulai dari terlalu bergantung pada layar gawai atau perangkat komputer, kurangnya rangsangan mental, dan kebiasaan tidak sehat.Kinger menjelaskan bahwa waktu menonton layar yang berlebihan adalah salah satu penyebab terbesar dari kerusakan otak.“Konsumsi berlebihan terhadap materi yang remeh mengurangi rentang perhatian dan membatasi pemikiran kritis,” kata Kinger.Media sosial dan pengguliran (scrolling) internet tanpa akhir dapat membanjiri otak dengan konten yang dangkal, sehingga hanya menyisakan sedikit ruang untuk keterlibatan kognitif yang lebih dalam.Faktor lain yang menyebabkan kerusakan otak meliputi kurangnya aktivitas fisik, kurang tidur, dan gizi buruk.Tanpa istirahat yang cukup dan diet seimbang yang kaya akan nutrisi penambah fungsi otak (seperti asam lemak omega-3 dan antioksidan), fungsi kognitif dapat menurun seiring berjalannya waktu.Tidak hanya itu, gaya hidup yang tidak aktif semakin memperburuk masalah karena aktivitas fisik sangat penting untuk menjaga kesehatan otak dan kesehatan mental.Oleh sebab itu, Kinger menyarankan agar orang tua menetapkan batasan waktu layar yang jelas dan mendorong permainan di luar ruangan untuk merangsang kreativitas dan mengurangi stres pada anak-anak mereka.Dia juga menyoroti pentingnya hobi lain seperti membaca, musik, dan seni. Aktivitas tersebut dapat membantu anak-anak mengembangkan fokus dan keterampilan berpikir kritis.Bagi orang dewasa, memerangi kerusakan otak berarti menemukan keseimbangan antara konsumsi digital dan aktivitas yang menantang pikiran. Menurutnya, seseorang perlu melakukan permainan yang dapat merangsang pikiran, seperti memecahkan teka-teki, atau melakukan percakapan yang mendalam dan bermakna.“Memahami kerusakan otak adalah langkah pertama untuk mencegahnya,” kata Kinger.“Otak Anda adalah aset Anda yang paling berharga. Lindungilah dengan saksama, karena kesehatannya menentukan kualitas hidup Anda,” katanya.* ant

Waspada, Internet dan Medsos Jadi Gerbang Anak-Anak Terpapar Pornografi

Jakarta (SI Online) – Salah satu wujud kemajuan teknologi adalah kemudahan mengakses internet untuk siapapun, tak terkecuali anak-anak.Penggunaan internet ini memiliki dua dampak, positif dan negatif sekaligus. Salah satu dampak buruknya adalah terpaparnya anak dengan konten pornografi.Terkait dampak negatif penggunaan internet dan media sosial, Psikolog Ratih Ibrahim menyarankan agar orangtua lebih rajin menjaga anaknya. Bahkan ia menyarankan agar ortu benar-benar tidak memberikan anaknya akses internet secara bebas.“Anaknya didietin di sosial media. Terus jangan malas, harus rajin jagain anak, mungkin kita agak repot,” ujar Ratih, Selasa (03/12/2024), seperti dilansir Kompas.com.Ratih mengatakan, internet dan sosial media bisa menjadi gerbang akses pornografi oleh anak-anak, baik secara sengaja maupun tidak disengaja.ADS: Untuk mendapatkan informasi seputar dunia medis, Anda dapat mengunjungi idiindramayu.orgIa bercerita, salah satu kliennya terpapar pornografi pada usia delapan tahun. Hal tersebut diawali dengan anak yang selalu ingin tahu. Sang ayah yang berusaha mendukung kemandirian anak, kemudian mengajarkan cara penggunaan internet untuk mencari informasi.Namun, kurangnya pengawasan menyebabkan anak tersebut menemukan situs yang tidak pantas. Merasa penasaran, anak tersebut mengaksesnya berkali-kali yang membawa ke berbagai konten dewasa.“Anak ini anak pintar dan pembaca. Jadi dilihat banyaknya situs yang dia buka, linknya itu ada tiga lebar folio,” ungkap Ratih.Dampak Negatif Paparan Konten PornografiTak bisa diabaikan, paparan konten pornografi pada anak bisa menyebabkan berbagai dampak buruk pada anak. Beberapa dampak yang mungkin terjadi meliputi:Trauma EmosionalAnak-anak yang terpapar konten yang tidak sesuai dapat merasa terganggu, karena mereka belum memiliki pemahaman yang matang tentang apa yang mereka lihat.“Kalau saya bilang trauma ya mungkin ada. Tapi artinya dia terekspos dengan pornografi yang tidak sesuai sama umurnya,” ungkap Ratih.Kecanduan PornografiAnak kecil memiliki rasa penasaran yang tinggi. Paparan pornografi dapat membuatnya makin penasaran dan memiliki kemungkinan untuk terus menonton, sehingga mengalami keecanduan.1 2Laman berikutnya

Malaysia akan Luncurkan UU Keamanan Online, termasuk Atasi Perundungan 

Hidayatullah.com—Perundungan siber (cyberbullying) telah mendapatkan perhatian pemerintah Malaysia dalam beberapa bulan terakhir setelah kematian tragis seorang influencer media sosial yang ditindas di platform tempat ia mengunggah konten online.Selama tiga tahun terakhir, terdapat 9.483 laporan cyberbullying, sedikit lebih tinggi dari 9.321 laporan terkait penipuan online, menurut statistik terbaru yang dirilis oleh Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia.Menurut laporan global The Economist Intelligence Unit, pada tahun 2021, 85 persen perempuan akan mengalami kekerasan online. Bentuk kekerasan yang paling umum mencakup ujaran kebencian, pelecehan, doxxing, ancaman kekerasan, dan distribusi gambar yang tidak diinginkan atau konten seksual eksplisit.Meskipun Malaysia kekurangan data spesifik gender, organisasi non-pemerintah (LSM) memperkirakan bahwa jumlah kejahatan dunia maya terhadap perempuan di negara tersebut juga sama pentingnya dan terus meningkat.Undang-undang yang ada di Malaysia tidak mendefinisikan cyberbullying atau intimidasi, kata Firzana Redzuan, pendirii Monsters Among Us – sebuah LSM yang bertujuan untuk memerangi kekerasan terhadap anak-anak.“Di dalam  “Maksud saya, tidak ada perlindungan – tidak ada cara untuk mencegah (kejahatan) dan kita tidak bisa memikirkan mekanisme untuk memberikan dukungan kepada mereka yang menjadi korban perundungan dan perundungan maya,” katanya.RUU ini merupakan salah satu dari beberapa langkah yang diambil oleh pemerintah Malaysia untuk mencoba menjadikan ruang di platform media sosial lebih aman menyusul kasus tewasnya Rajeswary.Pada bulan Agustus, para pejabat mengumumkan bahwa media sosial dan platform perpesanan dengan setidaknya 8 juta pengguna lokal harus mengajukan izin dari pemerintah. Aturan tersebut akan dimulai tahun depan.Persyaratan tersebut merupakan bagian dari kerangka peraturan baru untuk memastikan ekosistem online yang lebih aman. Kode etik untuk platform ini juga sedang dirancang.Selain hukum, para ahli mengatakan menjadikan internet sebagai tempat yang lebih aman dimulai dari rumah.Orang tua harus membimbing anak-anak mereka tentang cara menggunakan ruang online, bukan membatasi penggunaannya, kata Cik Firzana.“Kami selalu mengajari anak-anak kami, bagaimana cara menyeberang jalan. Tapi ketika (mereka) membuka Instagram, Anda berasumsi anak itu langsung tahu,” katanya dikutip Channel News Asia.“Membangun ketahanan dalam kehidupan nyata sama dengan kehidupan Anda di platform online,” tambah dia.*

Resmi, Australia Larang Anak-Anak di Bawah 16 Tahun Gunakan Medsos

Jakarta (SI Online) – Pemerintah Australia secara resmi mengesahkan undang-undang yang melarang penggunaan media sosial (medsos) bagi anak-anak di bawah 16 tahun.Regulasi ini dinilai menjadi salah satu kebijakan paling ketat di dunia dalam upaya mengontrol akses media sosial bagi anak di bawah umur.Itu artinya, UU akan memaksa platform media sosial seperti Instagram, Facebook, hingga Tiktok untuk melarang anak di bawah usia 16 tahun mengakses layanan mereka. Jika aturan dilanggar, maka perusahaan media sosial terancam denda hingga 49,5 juta dolar Australia (sekitar Rp510 miliar).Uji coba metode verifikasi usia akan dimulai pada Januari 2025, dan larangan ini akan berlaku penuh dalam waktu satu tahun.ADS: Untuk mendapatkan informasi seputar dunia medis, Anda dapat mengunjungi idibuntok.org.Undang-undang baru ini muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran negara-negara terhadap dampak penggunaan media sosial terhadap kesehatan mental anak muda.Beberapa negara seperti Prancis dan sejumlah negara bagian di AS juga telah mengesahkan undang-undang untuk membatasi akses anak di bawah umur tanpa izin orang tua.Pengesahan undang-undang tersebut dianggap sebagai kemenangan politik bagi Perdana Menteri Anthony Albanese dari Partai Kiri-Tengah.Menurut jajak pendapat, seperti dilansir Reuters, Jumat (29/11/2024), 77 persen masyarakat Australia juga mendukung diberlakukannya aturan baru ini.Dukungan terhadap undang-undang ini diperkuat oleh hasil penyelidikan parlemen sepanjang 2024, yang mendengar kesaksian dari orang tua anak-anak yang mengalami perundungan di media sosial hingga menyebabkan mereka menyakiti diri sendiri.Namun, aturan ini juga bisa menimbulkan kekhawatiran hubungan dengan sekutu utamanya, Amerika Serikat. Terlebih pemilik X, Elon Musk, menyebut aturan ini sebagai cara untuk mengontrol akses ke Internet oleh semua warga Australia.Aturan ini juga ditentang oleh Meta Platform, perusahaan induk Facebook dan Instagram, yang menilai Undang-undang ini terlalu terburu-buru. []

Australia Loloskan RUU Larangan Media Sosial Bagi Anak di Bawah Usia 16 Tahun

Hidayatullah.com– Wakil-wakil rakyat di parlemen Australia, hari Kamis (28/11/2024), meloloskan rancangan undang-undang yang akan melarang anak di bawah usia 16 tahun menggunakan media sosial.Legislasi itu, yang mengharuskan perusahaan media sosial untuk mengambil “langkah-langkah yang wajar” untuk mencegah remaja memiliki akun, disahkan di Senat dengan 34 suara mendukung dan 19 suara menolak, lansir AFP.Aturan baru tersebut sekarang akan dikembalikan ke majelis rendah – di mana para anggotanya sudah menyetujui RUU itu pada hari Rabu – untuk satu persetujuan akhir sebelum hampir dipastikan menjadi undang-undang.PM Anthony Albanese antusias mendukung RUU itu dan mengajak para orang tua Australia untuk berdiri di belakangnya.Menjelang pemungutan suara di parlemen, dia menggambarkan media sosial sebagai “platform tekanan teman sebaya”, yang mendorong anak dan remaja menjadi mudah resah dan gelisah, kendaraan bagi para pelaku penipu online untuk melancarkan aksinya, serta yang paling buruk, menjadi alat bagi para predator seks online.Albanese ingin anak-anak Australia melepaskan ketergantungan mereka terhadap ponsel dan aktif melakukan kegiatan fisik seperti bermain sepakbola, cricket, tenis, berenang dan lain sebagainya.Dengan ancaman denda sampai Aus$50 juta ($32,5 juta) bagi pengelola media sosial yang tidak mematuhi aturan, di atas kertas larangan itu merupakan yang paling garang di dunia.Namun, masih belum jelas bagaimana peraturan baru itu akan dilaksanakan, sehingga sebagian pihak menilai legislasi ini hanya bersifat simbolis yang tidak dapat diterapkan.Masih diperlukan waktu 12 bulan sebelum panduan pelaksanaannya dirumuskan oleh pihak regulator dan untuk berlaku efektif.Beberapa platform media sosial kemungkinan besar akan dikecualikan, seperti WhatsApp dan YouTube, karena dipergunakan juga oleh anak-anak untuk belajar dan berkomunikasi dengan temannya.Pakar media sosial Susan Grantham kepada AFP mengatakan bahwa program literasi digital yang mengajarkan anak-anak untuk berpikir kritis tentang apa yang dilihatnya secara online – seperti yang sudah diterapkan di Finlandia – perlu diperkenalkan kepada anak-anak.China sudah memberlakukan pembatasan akses media sosial bagi anak sejak 2021. Mereka yang berusia di bawah 14 tahun hanya diperbolehkan mengakses Douyin, semacam TikTok, selama 40 menit dalam sehari.Waktu bermain game online juga dibatasi di China.*