Tag:
Konsultasi Syariah
Hidayatullah.com
Hukum Berquran menurut Para Ulama
Berqurban salah satu syiar Islam yang paling agung, diperintahkan Muslim untuk mengamalkannya, apakah hukumnya wajib?
Hidayatullah.com | BANYAK dalil-dalil baik dari Al-Quran dan Sunnah yang menyebutkan keutamaan berqurban. Bagaimana hokum berkorban bagi seorang Muslim?
Pengertian Qurban dan Udhiyah
Al-Udhiyah jama’nya Al-Adhahi adalah binatang ternak yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada Allah pada hari-hari tertentu dengan syarat-syarat khusus. Boleh disebut Al-Udhiyah, atau Al-Idhiyah, atau Alh-Dhahiyah. Dinamakan Al-Udhiyah karena penyembelihan tersebut dilakukan pada waktu Dhuha (pagi hari). Begitu disebut dengan Idul Al-Adha, karena pada hari tersebut kaum muslimin merayakan dengan menyembelih hewan qurban pada waktu Dhuha. (Shahih Fiqh As-sunnah : 2/ 366 )
Adapun masyarakat Indonesia lebih mengenal dengan istilah Qurban, yang berarti mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih hewan. Maka mereka juga menyebut hari dimana mereka menyembelih qurban dengan hari Raya Qurban.
Keutamaan Berqurban
Banyak dalil-dalil baik dari Al-Quran dan Sunnah yang menyebutkan keutamaan berqurban, di antaranya adalah sebagai berikut :
Pertama: Firman Allah
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan.” ( QS:Al- Kautsar: 2)
Kedua: Firman Allah :
قُلْ إِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى للَّهِ رَبِّ الْعَـلَمِينَ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” ( QS: Al-An’am : 162-163)
Ketiga: Firman Allah :
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكًا لِّيَذْكُرُواْ اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِّن بَهِيمَةِ الاَنْعَـامِ فَإِلَـهُكُمْ إِلَـهٌ وَحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُواْ وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ
“Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezeki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’am).” ( QS: Al Hajj: 34).
Keempat: Hadist Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata :
ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا
“Nabi ﷺberqurban dengan dua domba yang berwarna putih yang ada hitamnya, dan bertanduk, beliau menyembelihnya dengan tangannya, menyebut nama Allah dan bertakbir, dan meletakkan kakinya di atas samping kambing. “ ( HR: Al-Bukhari (5558) dan Muslim (1966 )
Kelima: Hadist Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu :
أَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ عَشْرَ سِنِينَ يُضَحِّي
“Rasulullah ﷺ tinggal di Madinah selama sepuluh tahun beliau selalu berqurban. “ (HR: At-Tirmidzi ( 1507 ) dan Ahmad ( 4935 ), Berkata At-Tirmidzi : “ Ini adalah hadist hasan shahih.“
Keenam: Hadist ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi ﷺbersabda:
ما عمل ابن آدم يوم النحر أحب إلى الله من إهراق الدم، وإنه ليؤتى يوم القيامة بقرونها وأشعارها وأظلافها، وإن الدم ليقع من الله بمكان قبل أن يقع بالأرض، فطيبوا بها نفسا.
“Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah daripada mengalirkan darah (berqurban), dan sesungguhnya pada hari kiamat orang yang berqurban itu akan diberi tanduk, bulu, dan kukunya, dan sesungguhnya darah tersebut akan sampai kepada Allah sebelum jatuh ke tanah, maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR: At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).
Ketujuh: Berqurban lebih utama dari pada sedekah dengan uang, karena dengan berqurban, seseorang bisa mensedekahkan dagingnya kepada orang lain, boleh juga memberikannya sebagai hadiah kepada teman dan saudaranya. Orang yang berqurban berarti telah menggabung antara qurban dan sedekah.
Berkata Ibnu Qudamah di Mughni ( 11/95 ) :
وقد ضحّى النبي – صلى الله عليه وسلم – والخُلَفاء الرّاشِدون بعَده، ولو عَلِمُوا أنَّ الصدقةَ أفضلُ لَعَدلُوا إليها.. ولأنّ إيثارَ الصَدَقةِ على الأضحيةِ يُفْضي إلى تَرْكِ سنّةٍ سنَّها رسولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – .
“Rasululullah ﷺmelakukan qurban, begitu juga Khulafa’ Rasyidin sesudahnya, seandainya mereka mengetahui sedekah itu lebih utama dari pada berqurban, tentunya mereka akan bersedekah.“
Hukum Berqurban
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berqurban, apakah wajib atau sunnah, perbedaan tersebut sebagai berikut :
Pendapat Pertama: mengatakan bahwa berqurban hukumnya wajib bagi orang yang berkelapangan. Ini adalah pendapat Rabi’ah, Al-Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah.
Di antara dalilnya adalah :
Pertama: Firman Allah :
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan.” (Qs. Al Kautsar: 2)
Pada ayat di atas, Allah memerintahkan untuk berqurban, dan pada dasarnya perintah tersebut mengandung kewajiban.
Kedua: Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ, فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR: Ibnu Majah (3123), Ahmad ( 2/321), Al-Hakim ( 4/349 ), Ad-Daruquthni ( 4/285 ), Al-Baihaqi (9/260).
Hadist di atas menunjukkan bahwa berqurban hukumnya wajib, karena beliau melarang orang yang tidak berqurban padahal mampu untuk mendekati tempat sholat Rasulullah ﷺ. Kalau hukumnya sunnah tentu tidak ada larangan seperti ini.
Ketiga: Hadist Jundub bin Sufyan radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
مَنْ كَانَ ذَبَحَ مِنْكُمْ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَلْيُعِدْ مَكَانَ ذَبِيحَتِهِ أُخْرَى ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ ذَبَحَ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ
“Barang siapa di antara kalian yang telah menyembelih sebelum sholat ( Idul Adha ), maka hendaknya dia menggantinya dengan sembelihan lain. Dan barang siapa yang belum menyembelih, hendaknya dia menyembelih dengan nama Allah.“ (HR: al-Bukhari (5562) dan Muslim (1960)
Perintah untuk mengganti, menunjukkan kewajiban, karena sesuatu yang sunnah jika ditinggalkan, tidak perlu diganti. Berkata Ibnu Taimiyah di dalam Majmu’ Al-Fatawa ( 32/ 162-164 ) :
والأظهر وجوبها ( يعني الأضحية ) فإنها من أعظم شعائر الإسلام ، وهي النسك العام في جميع الأمصار ، والنسك مقرون بالصلاة ، وهي من ملة إبراهيم الذي أمرنا باتباع ملته ، وقد جاءت الأحاديث بالأمر بها
“Pendapat yang lebih tepat bahwa berqurban hukumnya wajib, karena qurban merupakan salah satu syiar Islam yang paling agung. Qurban adalah ibadah tahunan yang berlaku di semua daerah, ibadah ini selalu disertai dengan sholat, dan merupakan ajaran nabi Ibrahim yang kita diperintahkan untuk mengikutinya, dan banyak hadist-hadist yang memerintahkan untuk mengamalkannya.“
Berkata Abu Bakar al-Hashni di dalam Kifayat Al-Akhyar(695):
وهي سنة مؤكدة وشعار ظاهر ينبغي لمن قدر عليها أن يحافظ عليها
“Berqurban merupakan sunnah yang sangat ditekankan, dan syiar yang nampak, maka hendaknya bagi yang mampu untuk selalu menjaga sunnah tersebut.“
Dalil-dalil mereka sebagai berikut :
Pertama: Hadist Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
إذا رأيتم هلاَلَ ذي الحجة ، وأرادَ أحَدُكم أَنْ يَضَحِّيَ : فَلْيُمْسكْ عن شَعُرِه وأظْفَار
“Jika kalian melihat bulan Dzulhijjah, dan salah satu diantara kalian ingin berqurban, maka hendaknya dia menahan untuk tidak mencukur rambut dan memotong kukunya.“ (HR: Muslim (1977 )
Dalam riwayat lain disebutkan bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَلاَ بَشَرِهِ شَيْئًا
“Jika sudah memasuki sepuluh pertama ( bulan Dzulhijjah ), dan salah satu diantara kalian ingin berqurban, maka hendaknya dia jangan mencukur rambut dan memotong kukunya.“ (HR Muslim (1977)
Berkata Abu Malik dalam Shahih Fiqh As-Sunnah (2/368 ): “Para ulama berbeda pendapat apakah hadist ini marfu’ atau mauquf, tetapi yang nampak adalah marfu’.“
Hadist di atas menunjukkan bahwa berqurban tidak wajib, karena kewajiban tidaklah diserahkan kepada keinginan setiap orang.
Kedua: Hadist Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata :
أني لأدع الأضحية ، وأنا من أيسركم، كراهة أن يعتقد الناس أنها حتم واجب
“Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR: Abdur Razzaq ( 8149) dan Al-Baihaqi (9/265) dengan sanad shahih).
Ketiga: Atsar Abu Sarihah, bahwa beliau berkata:
رأيت أبا بكر و عمر ، وما يضحيان
“Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR: Abdur Razzaq ( 8139 ) dan al-Baihaqi ( 9/269), dengan sanad yang Shahih)
Berkata Ibnu Hazm di dalam al-Muhalla ( 8/9):
و لا يصح عن أحد من الصحابة أن الأضحية واجبة
“Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa berqurban adalah wajib.”
Kesimpulan
Dari dua pendapat ulama di atas tentang hukum berqurban, maka pendapat yang lebih mendekati kebenaran dan lebih kuat dalilnya adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa berqurban hukumnya sunnah mu’akkadah dan bukan sesuatu yang wajib. Wallahu A’lam.*/Dr. Ahmad Zain an-Najah, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)
Hidayatullah.com
Puasa Syawal, Syarat dan Ketentuan menurut Fikih
Umat Islam dianjurkan puasa Syawal selama enam hari setelah Ramadhan, apa sarat dan ketentuannya dan kapan boleh dilakukan?
HIdayatullah.com | KETIKA bulan Ramadhan selesai, kita diperintahkan untuk melakukan puasa enam hari pada bulan Syawal. Ini berdasarkan Hadist Abu Ayyub radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال كان كصيام الدهر
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka seakan berpuasa seumur hidup.” (HR. Muslim)
Hadits di atas menunjukkan beberapa pelajaran, sebagai berikut :
Pertama, puasa enam hari bulan Syawal hukumnya sunnah
Kedua, satu kebaikan di dalam Islam akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Oleh karena itu, puasa Ramadhan satu bulan dihitung sepuluh bulan, dan puasa enam hari bulan Syawal dihitung enam puluh hari atau setara dengan dua bulan. Sehingga sepuluh bulan ditambah dua bulan sama dengan satu tahun.
Itulah makna puasa seumur hidup atau puasa satu tahun, sebagaimana tersebut dalam hadits di atas. Adapun dalilnya adalah firman Allah :
مَن جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا ۖ وَمَن جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰ إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
“Barangsiapa berbuat kebaikan, dia akan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan Barangsiapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (didzalimi).” (QS: Al-An’am : 160).
Tiga, disunahkan untuk segera melakukan puasa enam hari bulan Syawal setelah selesai hari raya Idul Fitri.
Karena bersegera kepada kebaikan adalah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana di dalam firman-Nya :
وَسَارِعُوْۤا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ
عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَا لْاَرْضُ ۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ ۙ
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS: Ali ‘Imran: 133)
Dan juga firman-Nya,
فَاسْتَجَبْنَا لَهٗ ۖ وَوَهَبْنَا لَهٗ يَحْيٰى وَاَصْلَحْنَا لَهٗ زَوْجَهٗ ۗ اِنَّهُمْ كَا نُوْا يُسٰرِعُوْنَ فِيْ الْخَيْـرٰتِ
وَ يَدْعُوْنَـنَا رَغَبًا وَّرَهَبًا ۗ وَكَا نُوْا لَنَا خٰشِعِيْنَ
“Maka Kami kabulkan (doa)nya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan kami jadikan istrinya (dapat mengandung). Sungguh mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdoa kepada kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang – orang yang khusyuk kepada kami.” (QS: Al – Anbiya : 90).
Empat, kapan puasa Syawal sebaiknya dimulai?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:
Pendapat Pertama: puasa Syawal dimulai hari kedua setelah Idul Fitri. Mereka berdalil dengan empat hal:
Hal ini sesuai dengan lafadh hadist: “Barangsiapa yang berpuasa bulan Ramadhan kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal.” Makna diikuti yaitu langsung, tidak ada jeda kecuali hari pertama Idul Fitri.
Hal itu juga karena yang diharamkan berpuasa hanyalah hari pertama, dengan demikian dibolehkan berpuasa pada hari keduanya.
Selain itu, puasa hari kedua belum banyak gangguannya dan masih terasa suasana bulan Ramadhan, sehingga membuat semangat untuk berpuasa. Berbeda jika puasanya diundur, dikhawatirkan semangatnya sudah mulai berkurang karena terpengaruh dengan gegap gempita suasana lebaran.
Sebagian ulama memposisikan puasa Syawal seperti sholat rawatib yang dikerjakan langsung setelah selesai sholat lima waktu dan dzikir. Jika diundur pelaksanaannya, menjadi tidak baik.
Pendapat Kedua: Puasa Syawal dimulai pada hari keempat.
Alasan pendapat ini :
Pertama, walaupun Idul Fitri hanya satu hari, tetapi makna lebaran berlangsung sampai tiga hari untuk makan dan minum serta silaturahim.
Kedua, ini seperti hari raya Idul Adha dimana penyembelihan hewan dan hari Tasyriq berlaku sampai tiga hari setelah hari Raya Idul Adha. Tujuannya adalah memberikan kesempatan kaum muslimin untuk makan dan minum setelah melaksanakan ibadah haji atau setelah puasa Arafah.
Lima, puasa Syawal boleh dilakukan secara berturut-turut, dan boleh juga dilakukan secara terpisah.
Berkata Imam An-Nawawi di dalam Al-Majmu’: “Jika seseorang memisahkannya (puasa enam Syawal) atau menunda pelaksanaannya hingga akhir Syawal, ini juga diperbolehkan, karena masih berada pada keumuman dari hadits tersebut Kami (dalam Madzhab Syafi’i) tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini. Dan ini juga pendapat Imam Ahmad dan Abu Daud.”
Enam, sebelum melaksanakan puasa enam hari bulan Syawal, hendaknya dia menyempurnakan puasa Ramadhan terlebih dahulu.
Bagi yang mempunyai hutang puasa pada bulan Ramadhan, hendaknya meng-qadha’nya terlebih dahulu sebelum dia melaksanakan puasa enam hari bulan Syawal.
Di dalam lafadh hadits di atas sangat jelas, yaitu, “Barangsiapa puasa bulan Ramadhan ” artinya telah menyelesaikannya dengan sempurna.
Tujuh, bolehkah berpuasa Syawal terlebih dahulu, sebelum meng-qadha’ puasa Ramadhan?
Para ulama berbeda pendapat apakah boleh berniat mengqadha’ puasa Ramadhan, sekaligus berniat puasa Syawal?
Sebagian ulama menjelaskan bahwa puasa Syawal syaratnya harus menyelesaikan puasa Ramadhan terlebih dahulu, dan itu tidak terpenuhi jika diniatkan meng-qadha’ puasa Ramadhan dan puasa Syawal secara bersamaan. Dengan demikian, tidak dibolehkan untuk menggabung keduanya dalam satu puasa.
Adapun menggabungkan niat meng-qadha’ puasa Ramadhan dengan puasa sunnah lainnya (selain puasa Syawal), seperti puasa Senin Kamis, puasa Daud, Puasa ‘Asyura dan Puasa Arafah, maka hal itu dibolehkan, karena tidak ada syarat sebagaimana di dalam puasa Syawal.
Delapan, perbedaan ulama tentang hukum mendahulukan puasa Syawal sebelum meng-qadha’ hutang puasa Ramadhan:
Pendapat Pertama:
Tidak dianjurkan, bahkan dianggap pahala puasa Syawal tidak sampai. Mereka berdalil dengan hadist Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال كان كصيام الدهر
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan enam hari pada Syawal, maka seakan berpuasa seumur hidup.” (HR. Muslim)
Hadist di atas menjelaskan bahwa untuk mendapatkan pahala puasa Syawal harus terpenuhi tiga syarat;
Pertama: Harus menyelesaikan puasa bulan Ramadhan secara penuh. Orang yang masih punya hutang bulan Ramadhan dan belum meng-qada’nya dianggap belum menyelesaikan puasa Ramadhan nya secara penuh, maka tidak akan mendapatkan pahala seperti yang tersebut di dalam hadist.
Kedua: Harus dilaksanakan pada bulan Syawal.
Ketiga: Puasanya harus enam hari.
Berkata al-Haitami di dalam kitab Tuhfatu al-Muhtaj (3/457): “Karena dia harus menyempurnakan puasa Ramadhan (secara keseluruhan), jika tidak maka dianggap tidak mendapatkan keutamaan puasa Syawal, walaupun dia berbukanya pada bulan Ramadhan karena udzur.”
Pendapat Kedua:
Dibolehkan puasa enam hari bulan Syawal, walaupun belum meng-qadha’ hutang puasa bulan Ramadhan dan pahalanya tetap sampai. Mereka berdalil sebagai berikut:
Kewajiban mengqadha’ hutang puasa Ramadhan tidak harus dilakukan pada bulan Syawal, tetapi boleh diundur pada bulan-bulan berikutnya sebagaimana di dalam firman Allah,
اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ
“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka Barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.” (QS: Al-Baqarah: 184)
Ayat di atas tidak membatasi waktu qadha’ puasa Ramadhan, boleh pada bulan Syawal, juga boleh pada bulan-bulan lainnya. Juga berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,Dakwah Media BCA - Green.notice-box-green {
border: 2px solid #28a745; /* Green border color */
background-color: #d4edda; /* Light green background color */
padding: 15px;
margin: 20px;
border-radius: 8px;
font-family: inherit; /* Use the theme font from WordPress */
text-align: center; /* Center the text */
}Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/حديث عائشة رضي الله عنها تقول: كان يكون عليَّ الصوم من رمضان فما أستطيع أن أقضيه إلا في شعبان. الشغل من رسول الله صلى الله عليه وسلم، أو برسول الله صلى الله عليه وسلم.
Aisyah radhiyallahu ‘ anha berkata: ” Saya pernah punya hutang puasa Ramadhan dan saya tidak bisa meng-qadha’ nya kecuali pada bulan Sya’ban karena disibukkan mengurusi Rasulullah ﷺ.” (HR. Muslim)
Hadits di atas menunjukkan bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha meng-qadha’ puasa Ramadhan pada bulan Sya’ban. Ini menunjukkan ada kemungkinan beliau puasa enam hari di bulan Syawal sebelum meng-qadha’ puasa Ramadhan.
Orang yang telah menyelesaikan puasa Ramadhan walaupun ada beberapa hari yang ditinggalkannya karena udzur dianggap telah berpuasa Ramadhan secara maknawi.
Mewajibkan untuk meng-qadha’ puasa Ramadhan terlebih dahulu sebelum melaksanakan puasa Syawal akan sangat memberatkan, terutama bagi kaum wanita yang haidnya sampai delapan hari atau lebih, khususnya jika ada udzur lainnya seperti sakit dan safar, bahkan kadang hutang puasa Ramadhan bisa sampai 15 hari lebih. Jika digabung dengan 6 hari puasa Syawal, maka menjadi 21 hari.
Pendapat yang membolehkan untuk mengundur qadha’ puasa Ramadhan hingga satu tahun, dan membolehkan mendahulukan puasa Syawal akan meringankan beban mereka. Allah berfirman,
ۡ یُرِیدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡیُسۡرَ وَلَا یُرِیدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
“Allah menginginkan kalian mendapatkan kemudahan dan tidak menginginkan kalian mendapatkan kesusahan.” (QS: Al-Baqarah: 185)
Berkata al-Bujairmi dalam Hasyiayah nya atas al-Khatib (2/352) dengan menukil perkataan ulama: “Mengikuti dengan puasa Syawal secara (taqdiriyah), yaitu menyempurnakan (puasa Ramadhan) sesudahnya, tetapi dianggap terlaksana sebelumnya. Atau mengikutinya dengan puasa Syawal secara (Mutaakhirah), yaitu dilaksanakan puasa Syawal sesudah puasa Ramadhan sebagaimana pelaksanaan shalat nafilah sesudah shalat fardhu.”
TARJIH
Dari dua pendapat di atas, maka pendapat yang kita pilih dilihat dari dua sisi:Untuk sifat kehati-hatian dan agar tidak mengundur-undurkan amal shalih, maka pendapat pertama lebih tepat.
Untuk kemudahan bagi kalangan tertentu seperti wanita yang banyak meninggalkan puasa Ramadhan (banyak hutang puasanya), sedang mereka ingin mendapatkan pahala puasa Syawal, maka yang lebih tepat adalah pendapat kedua. Wallahu A’lam.*/Dr. Ahmad Zain An-Najah. MA, PUSKAFI (Pusat Kajian Fiqih Indonesia)
Hidayatullah.com
Apakah Sah Memberikan Zakat Tanpa Melafalkan Ijab Kabul?
Ijab kabul di dalam penyerahan harta zakat sesungguhnya bukan hal yang mutlak menjadi syarat
Hidayatullah.com | ZAKAT merupakan ibadah wajib dan salah satu daripada rukun Islam yang diwajibkan pada tahun ke-2 H. Ini sepertimana hadis dari Ibnu Umar RA:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Dari Abdullah Ibnu Umar r.a. (diriwayatkan bahwa) Rasulullah saw telah mewajibkan zakat fitri pada bulan Ramadhan sebanyak satu sha’ kurma atau gandum atas kaum muslimin: merdeka ataupun budak, laki-laki ataupun wanita, laki-laki ataupun perempuan.” (HR: Muslim).
Para fuqaha’ menjelaskan, bahwa zakat merupakan sedekah yang wajib. Ia berdasarkan firman Allah SWT:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّـهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS: at-Taubah: 103).
Dr. Wahbah Zuhaili menyatakan di dalam kitabnya bahwa para fuqaha’ berpendapat, yang dimaksudkan di dalam ayat di atas adalah zakat yang diwajibkan kepada seluruh umat manusia. (Lihat: Tafsir al-Wasit li Zuhaili: 1/913).
Begitu juga yang terdapat di dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah menyatakan bahwa sedekah yang wajib menurut syar’a terhadap harta adalah zakat harta. Sedekah yang diwajibkan pada bagian tubuh adalah zakat fitrah. (Lihat: al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaituyyah, 26/325)
Syarat Wajib dan Sahnya Zakat
Dr. Wahbah Zuhaili menyatakan bahwa syarat-syarat mengeluarkan zakat terdapat syarat wajib dan sah. Oleh karena itu, wajib bagi seorang muslim yang sudah mandiri, sudah baligh, berakal sehat, dan memiliki harta yang cukup jumlahnya (Nisab) dan masa kepemilikan batas harta yang wajib dikeluarkan zakatnya (haul) serta sah mengeluarkan zakat dengan tujuan menunaikan kewajibannya. (Lihat: al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 3/1796).
Niat adalah penetapan suatu hal sebagai ibadah dan membedakannya dengan ibadah lain seperti zakat. Ini sebagaimana hadis dari Sayidina Umar al-Khattab RA berdasar Sabda Nabi ﷺ:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR: Muslim 1907)
Mengikut pandangan Mazhab Imam Syafi’i, wajib berniat di dalam hati dan tidak disyaratkan dengan kata-kata seperti contoh “Ini Zakat harta” walaupun tanpa berniat fardhu, ini karena membayar zakat merupakan suatu kewajipan. (Lihat: al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 3/1811)
Imam Nawawi dalam Raudhatut Thalibin berpendapat sedekah sama hukumnya dengan hadiah, dan ia tidak memerlukan lafaz ijab dan qabul. Cukup sekadar penyerahan dan penerimaan barang dan pendapat ini merupakan pendapat yang sahih di dalam Mazhab Imam Syafi’i serta telah di naqalkan oleh fuqaha’ mazhab muta’akhirin. (Lihat: Raudah al-Thalibin, 5/365-366).Dakwah Media BCA - Green.notice-box-green {
border: 2px solid #28a745; /* Green border color */
background-color: #d4edda; /* Light green background color */
padding: 15px;
margin: 20px;
border-radius: 8px;
font-family: inherit; /* Use the theme font from WordPress */
text-align: center; /* Center the text */
}Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/Kesimpulan
Ijab kabul di dalam penyerahan harta zakat sesungguhnya bukan hal yang mutlak menjadi syarat. Sehingga, bila tidak ada ijab kabul dalam zakat, maka zakat itu menjadi sah.
Namun, tidak menjadi masalah sekiranya melakukan akad ijab dan qabul guna memastikan tujuan dan tujuan pemberian zakat tercapai. Dengan demikian mengeluarkan zakat memerlukan kepuasan dan keikhlasan agar dapat memperoleh keridhaan Allah SWT. Firman Allah SWT:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّـهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Mereka tidak diperintah, kecuali untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya lagi hanif (istikamah), melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus (benar).” (QS: Al-Bayyinah: 5).*/laman muftiwp.gov.my
Hidayatullah.com
Zakat Fitrah dan Pelaksanaannya Menurut Hukum Islam
Sebagian ulama menyatakan bahwa pembayaran zakat fitrah sebelum shalat Ied merupakan hal yang sunnah dan dianjurkan, bukan merupakan kewajiban
Hidayatullah.com | UMUMNYA di Indonesia petugas dan pengelola masjid akan sibuk fokus mengatur zakat fitrah. Apa manfaat zakat fitrah dan bagaimana pelaksanaanya?
Pertama: Zakat Fitrah merupakan salah satu bentuk solidaritas khususnya kepada fakir miskin yang tidak mempunyai makanan pada hari raya Idul Fitri.
Kedua: Zakat Fitrah merupakan pembersih puasa dari hal-hal yang mengotorinya. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ :
زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِن اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ َْ
“Zakat Fitri merupakan pembersih bagi yang berpuasa dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan kata-kata keji (yang dikerjakan waktu puasa), dan bantuan makanan untuk para fakir miskin.” (Hadits Hasan riwayat Abu Daud)
Waki’ bin Jarrah berkata, “Manfaat zakat Fitrah untuk puasa seperti manfaat sujud sahwi untuk shalat. Kalau sujud sahwi melengkapi kekurangan dalam shalat, begitu juga zakat fitrah melengkapi kekurangan yang terjadi ketika puasa.
Ketiga: Zakat Fitrah merupakan bentuk syukur kepada Allah SWT karena telah memberikan taufik-Nya sehinga bisa menyempurnakan puasa Ramadhan.
Kapankah waktu paling baik untuk membagi/menyerahkan zakat fitrah?
Waktu paling utama untuk menyerah zakat fitrah adalah pada pagi hari sebelum shalat Ied. Karenanya, kita disunnahkan untuk mengakhirkan shalat Ied untuk memberi kesempatan kepada kaum muslimin membayar zakat fitrahnya kepada fakir miskin.
Adapun waktu wajibnya adalah setelah terbenam matahari akhir bulan Ramadhan sampai sebelum dilaksanakan shalat Ied. Dalilnya adalah hadits Ibnu Abbas bahwasanya Rasululullah ﷺ bersabda:
من أداها قبل الصلاة فهي زكاة مقبولة، ومن أداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقاتَ
“Barang siapa yang membayar zakat fitrah sebelum shalat Ied maka termasuk zakat fitrah yang diterima; dan barang siapa yang membayarnya sesudah shalat Ied maka termasuk sedekah biasa (bukan lagi dianggap zakat fitrah).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas menjelaskan bahwa barangsiapa yang membayar zakat setelah Ied, tidak dianggap sebagai zakat fitrah, tetapi sedekah biasa. Pelakunya berdosa karena mengundur-undur pembayaran zakat fitrah dari waktu yang telah ditentukan. Hendaknya ia bertaubat kepada Allah SWT dan tidak mengulanginya lagi.
Sebagian ulama menyatakan bahwa pembayaran zakat fitrah sebelum shalat Ied merupakan hal yang sunnah dan dianjurkan, bukan merupakan kewajiban, sehingga zakat fitrah yang dibayarkan setelah shalat Ied masih dianggap sah, dan batasan akhir pembayaran adalah akhir hari raya.
Bagaimana bila memajukannya sehari-dua hari sebelum Idul Fitri?
Boleh saja seseorang seseorang membayar zakat fitrah satu atau dua hari sebelum hari raya pada bulan Ramadlan. Alasannya, Ibnu Umar ra pernah membayar zakat fitrah satu atau dua hari sebelum hari raya Idul Fitri. Bahkan sebagian ulama membolehkan membayar zakat fitrah pada awal bulan Ramadhan atau di pertengahan bulan.
Biar Praktis, Bolegkah Mengganti Zakat Fitrah dengan Uang?
Mayoritas ulama tidak membolehkan mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk uang, tetapi yang wajib dikeluarkan adalah jenis makanan sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah ﷺ.
Tetapi ada juga sebagian ulama yang membolehkan seseorang mengeluarkan zakat fitrah dengan uang karena kebutuhan fakir miskin berbeda-beda, khususnya zaman sekarang—kebanyakan orang lebih membutuhkan uang daripada makanan. Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Umar r.a:
فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر وقال: أغنوهم في هذا اليومَ
“Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fitri dan bersabda, ‘Cukupkan mereka (fakir miskin) pada hari itu’.” (HR. Daruqutni dan Baihaqi).
Mencukupkan fakir miskin bisa dengan memberikan uang atau sejenisnya yang dibutuhkan oleh fakir miskin dan tidak harus dengan bentuk makanan.
Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa dalam membayar zakat fitrah sebaiknya dilihat kondisi fakir miskin setempat. Jika mereka memang lebih membutuhkan makanan, seperti beras dan lain-lainnya sebagaimana yang tersebut dalam hadits, sebaiknya orang yang berzakat mengeluarkan zakatnya berupa makanan.
Akan tetapi jika mereka lebih membutuhkan uang, sebaiknya membayar zakat dengan uang karena hal tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat dan sesuai dengan tujuan diturunkannya syariah.
Siapa Orang yang Berhak Dapat Zakat Fitrah?
Orang-orang yang berhak mendapatkan zakat fitrah (mustahiq) adalah fakir miskin yang tidak mendapatkan makanan pada hari raya Idul Fitri. Dalilnya adalah sabda Rasulullah ﷺ :
زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
” Zakat Fitri merupakan pembersih bagi yang berpuasa dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan kata-kata keji (yang dikerjakan waktu puasa) dan bantuan makanan untuk para fakir miskin.” (Hadits Hasan riwayat Abu Daud)
Akan tetapi jika kebutuhan fakir miskin sudah tercukupi semuanya maka zakat fitrah tersebut diberikan kepada golongan lain yang berhak mendapatkan zakat seperti yang tersebut dalam Al-Qur’an:
إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلْفُقَرَآءِ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْعَٰمِلِينَ عَلَيْهَا وَٱلْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَٱلْغَٰرِمِينَ وَفِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS:At-Taubah: 60)
Ada yang Menyalurkan Zakat Fitrah ke Pondok Pesantren, karena banyak Penuntut Ilmu
Seandainya para fakir miskin sudah tercukupi semuanya maka zakat fitrah itu boleh disalurkan kepada para santri-santri pondok karena mereka termasuk para penuntut ilmu.Dakwah Media BCA - Green.notice-box-green {
border: 2px solid #28a745; /* Green border color */
background-color: #d4edda; /* Light green background color */
padding: 15px;
margin: 20px;
border-radius: 8px;
font-family: inherit; /* Use the theme font from WordPress */
text-align: center; /* Center the text */
}Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/Sebagian ulama membolehkan zakat untuk disalurkan kepada para penuntut ilmu, walaupun mereka mampu bekerja. Syaratnya, ia ingin berkonsentrasi menuntut ilmu dan dikhawatirkan jika ia bekerja akan mengganggu belajarnya.
Sebagian ulama lain membolehkan zakat dibayarkan kepada para penuntut ilmu untuk membantu mereka membeli buku dan keperluan-keperluan yang dibutuhkan untuk belajar. Mereka beralasan bahwa menuntut ilmu adalah fardhu kifayah, yang jika ditinggalkan, kaum muslimin akan berdosa semua.
Penuntut ilmu yang berhak mendapatkan zakat bisa ditinjau dari beberapa sisi. Di antaranya, seorang penuntut ilmu dikatakan orang miskin jika uangnya dipakai untuk membeli buku dan keperluan lain yang menunjang ilmunya, sehingga hartanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Penuntut ilmu dikatakan Ibnu Sabil jika ia belajar di luar daerahnya dan hartanya hanya cukup untuk membeli peralatan ilmu, sehingga dia tidak mempunyai bekal untuk kembali ke daerahnya. Karenanya, ia berhak diberi zakat sampai bisa kembali pulang. Penuntut ilmu juga termasuk golongan “Fi Sabilillah”, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ
من خرج في طلب العلم فهو في سبيل الله حتى يرجع
“Barang siapa yang keluar dari rumahnya untuk menuntut ilmu maka dia berada di jalan Allah hingga pulang.” (Hadits Hasan Riwayat Tirmidzi).
Mahasiswa yang tinggal di rumah kos di luar kota pun bisa dikategorikan fi sabilillah, selama mereka tetap konsisten dengan niat semula untuk mencari ilmu. Predikat “fi sabilillah” dengan sendirinya akan ternoda bila mereka melakukan berbagai pelanggaran syariat Islam seperti hura-hura, pacaran, dan sebagainya.
Bolehkah Panitia Zakat Fitrah Mengambil Bagian Zakat?
Amil zakat boleh mengambil bagian dari zakat fitrah tersebut. Karena amil zakat adalah salah satu dari 8 golongan yang berhak mendapatkan zakat fitrah.
Akan tetapi sebaiknya jangan mengambil dahulu sebelum seluruh fakir miskin mendapatkan jatah. Wallahu A’lam.*/ Dr Ahmad Zain an-Najah, lc, MA, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)
Hidayatullah.com
Muntah Siang Hari Bulan Ramadhan
Pembatal puasa adalah sesuatu yang masuk ke dalam perut, bukan sesuatu yang keluar darinya
Hidayatullah.com | ADA orang bertanya. “Ustad, saya mendengar bahwa muntah dapat membatalkan puasa. Padahal, saya sering muntah ketika naik kendaraan dan saya harus naik bus jika pulang. Bagaimana ustadz?
Muntah yang tidak disengaja seperti mabuk kendaran tidaklah membatalkan puasa. Sebaliknya jika ia muntah dengan sengaja maka puasanya batal.
Dasarnya adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
من ذرعه القيء وهو صائم ، فليس عليه قضاء ومن استقاء فليقض
“Siapa yang muntah (tanpa sengaja) sedang dia dalam keadaan puasa maka tidak ada kewajiban baginya untuk mengganti (puasanya). Dan barang siapa sengaja muntah maka hendaknya dia mengganti puasanya.” (Hadits Shahih, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Sebagian ulama mengatakan bahwa muntah tidak membatalkan puasa, baik disengaja, maupun tidak sengaja. Mereka beralasan dengan dua hal :
Pertama; Bahwa hadits Abu Hurairah di atas adalah hadits dhaif yang tidak boleh dijadikan sandaran hukum.Dakwah Media BCA - Green.notice-box-green {
border: 2px solid #28a745; /* Green border color */
background-color: #d4edda; /* Light green background color */
padding: 15px;
margin: 20px;
border-radius: 8px;
font-family: inherit; /* Use the theme font from WordPress */
text-align: center; /* Center the text */
}Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/Kedua; bahwa yang membatalkan puasa itu adalah sesuatu yang masuk ke dalam perut, bukan sesuatu yang keluar darinya.
Yang benar dalam hal ini adalah pendapat yang pertama, karena sebagaimana disebut di atas bahwa hadits Abu Hurairah di atas adalah hadits shahih. Wallahu A’lam.*/Dr Ahmad Zain an-Najah, lc, MA, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)
Hidayatullah.com
Mencium Istri di Siang Hari, Apakah Puasanya Batal?
Rasulullah ﷺ membolehkan orang yang kuat menahan syahwatnya untuk mencium istrinya pada waktu puasa dan melarangnya bagi yang tidak kuat menahan syahwatnya
Hidayatullah.com | ADA orang yang berpuasa, tapi pada siang hari ia mencium istrinya. Apakah puasanya tidak batal ustadz?
Jawaban: Orang yang berpuasa dan mencium istrinya tidak lepas dari dua keadaan. Pertama; orang tersebut kuat menahan syahwatnya.
Artinya, dia hanya sekedar mencium saja dan bisa menahan diri untuk tidak melanjutkan kepada hal-hal yang lebih dari itu. Untuk golongan seperti ini, menurut mayoritas ulama dibolehkan untuk mencium istri atau suaminya dalam keadaan berpuasa.
Apakah ini dikhususkan bagi suami istri yang sudah tua saja?
Jawaban: Hal ini tidak dikhususkan bagi pasangan suami istri yang tua saja, tetapi mencakup juga pengantin baru atau pasangan suami istri yang masih muda, asal kuat menahan syahwatnya.
Kedua; orang tersebut tidak kuat menahan syahwatnya. Artinya, jika ia mencium istrinya kemungkinan akan berlanjut pada hal yang lebih dari itu, bahkan sampai pada hubungan badan.
Untuk golongan yang kedua ini, hukum mencium istri ketika puasa menjadi makruh karena dikhawatirkan akan menjurus kepada hal-hal yang membatalkan puasa. Bahkan bisa menjadi haram jika ia yakin hal tersebut akan menghantarkannya pada hubungan badan.
Dasar pijakan dari penjelasan di atas adalah sebagai berikut:
1. Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a:
عن عاشة رضى الله عنها قالت :كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقبل وهو صائم ويباشر وهو صائم ، ولكنه كان أملككم لأربه .
“Dari Aisyah ra bahwasanya ia berkata: “Bahwasanya Rasulullah ﷺ mencium (istrinya) sedang beliau dalam keadaan puasa , begitu juga beliau menyentuh istrinya sedang beliau dalam keadaan puasa, tetapi beliau paling kuat menahan syahwatnya diantara kalian.” (HR Bukhari Muslim)
Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling kuat menahan syahwatnya maka tidak apa mencium istrinya dalam keadaan puasa.
2. Hadits riwayat Umar r.a:
وعن عمر رضي الله عنه، قال: هششت يومًا، فقبلت وأنا صائم، فأتيت النبي صلى الله عليه وسلم، فقلت: إني صنعت اليوم أمرًا عظيمًا: قبلت وأنا صائم، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” أرأيت لو تمضمضت بماء وأنت صائم؟ ” قلت: لا بأس بذلك، قال ” ففيم؟ “
“Diriwayatkan dari Umar r.a, ia berkata: Pada suatu hari aku senang melihat istriku, kemudian aku menciumnya sedang aku dalam keadaan puasa. Kemudian aku datang kepada Rosulullah ﷺ sambil berkata, ’Pada hari ini aku telah melakukan sesuatu yang besar, saya telah mencium istriku dalam keadaan puasa.’ Rosulullah ﷺ bersabda, ’Bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur dengan air dalam keadaan puasa?’ Saya berkata, ‘tidak apa-apa.’ Bersabda Rasululullah ﷺ, ‘Kalau begitu, apa yang ditanyakan?’.” (Hadits Shahih, HR Abu Daud).
Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasululullah ﷺ tidak menegur Umar bin Khattab ra ketika mencium istrinya dalam keadaan berpuasa. Karena Rasululullah ﷺ mengetahui bahwa Umar ra orang yang kuat menahan syahwatnya maka ia dibiarkan saja.
Bahkan beliau memberitahu Umar bahwa mencium istri pada waktu puasa hakikatnya seperti orang yang berwudlu dalam keadaan puasa.
3. Hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a:
وعن أبي هريرة رضى الله عنه أن رجلاً سأل النبي صلى الله عليه وسلم عن المباشرة للصائم فرخَّص له، وأتاه آخر فنهاه ، فإذا الذي رخص له شيخ، والذي نهاه شاب .
“Dari Abu Hurairah r.a bahwasanya seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang sentuhan antara suami istri yang sedang berpuasa. Maka Rosulullah memberikan keringanan baginya, kemudian datang laki-laki lain yang bertanya tentang hal itu juga, tapi Rasulullah ﷺ kali ini melarangnya. Berkata Abu Hurairah, ‘Ternyata yang diberi keringanan adalah orang yang sudah tua, sedang yang dilarang adalah orang yang masih muda’.” (Hadits Hasan, HR Abu Daud dan Baihaqi).
4. Hadits riwayat Abdulah bin Amru bin Ash r.a:
وعن عبد الله بن عمرو بن العاص قال :كنا عند النبي صلى الله عليه وسلم، فجاء شاب فقال: يا رسول الله، أقبل وأنا صائم؟ فقال: “لا” فجاء شيخ فقال: أقبل وأنا صائم؟ قال: “نعم” .Dakwah Media BCA - Green.notice-box-green {
border: 2px solid #28a745; /* Green border color */
background-color: #d4edda; /* Light green background color */
padding: 15px;
margin: 20px;
border-radius: 8px;
font-family: inherit; /* Use the theme font from WordPress */
text-align: center; /* Center the text */
}Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/Dari Abdullah bin Amru bin Ash, bahwasanya ia berkata: “Suatu ketika kami bersama Rosulullah ﷺ, tiba-tiba datang seorang pemuda bertanya, “Wahai Rasulullah bolehkah saya mencium istri saya dalam keadaan puasa?’ Beliau menjawab, ‘Tidak boleh.’ Kemudian datang seorang yang tua bertanya, ’Wahai Rasulullah bolehkah saya mencium istri saya dalam keadaan puasa?’ Beliau menjawab, ‘Boleh’.” (HR Ahmad, hadits ini shohih menurut Syekh Muhammad Syakir).
Hadits Abu Hurairah dan Abdullah bin Amru r.a di atas menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ membolehkan orang yang kuat menahan syahwatnya untuk mencium istrinya pada waktu puasa dan melarangnya bagi yang tidak kuat menahan syahwatnya.
Adapun perkataan Abu Hurairah dan Abdullah bin Amru yang menjelaskan bahwa yang dibolehkan adalah orang yang sudah tua, sedang yang dilarang adalah orang yang masih muda, itu hanya kebetulan saja.
Sebab, rata-rata orang yang sudah tua lebih kuat menahan syahwatnya dibanding yang muda. Akan tetapi, hal ini tidak menutup kemungkinan jika sebagian yang muda justru lebih kuat menahan syahwatnya dari pada yang tua.
Maka ukuran yang tepat dalam hal ini bukanlah tua dan muda tetapi ukurannya adalah yang kuat menahan syahwatnya dan yang tidak kuat, sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas. Wallahu A’lam.*/Dr. Ahmad Zain an-Najah, Lc, MA, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)
Hidayatullah.com
Berpuasa Tapi Tidak Berjilbab, Apakah Sah?
Wanita muslim yang tidak menutup aurat ia berdosa, bagaimana hukum puasanya? Ini Jawaban Darul Ifta Mesir
Hidayatullah.com | DEFNISI puasa secara istilah adalah menahan hawa nafsu yang bersumber dari perut atau kemaluan sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa segala hal yang memicu hawa nafsu, seperti : makan, minum, dan jimak itu membatalkan puasa. Adapun pakaian perempuan tidak menjadi sebab batalnya puasa, karena panjang atau pendeknya pakaian wanita tidak menghilangkan esensi puasa.
Menutup aurat adalah kewajiban bagi setiap wanita muslimah, baik di Bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya, karena mengenakan pakaian syar’i merupakan perintah Allah SWT kepada setiap wanita muslimah, dan Allah SWT melarang wanita muslimah membuka auratnya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya. Maka, jika seorang wanita tidak menutup aurat ia berdosa.
Pakaian syar’i bagi wanita merupakan pakaian yang menutup seluruh badan selain wajah dan telapak tangan menurut mayoritas ulama, serta kaki menurut hanafiyah; dengan catatan tidak menerawang, tidak ketat, dan tidak membentuk lekukan tubuh.
Lalu, apakah Allah SWT menerima sholat dan puasa seorang muslimah yang tidak berjilbab?
Melaksanakan salah satu ibadah wajib dalam syariat itu tidak bisa menjadi pengganti pelaksanaan ibadah wajib lainnya. Misalnya jika ada seorang muslim yang telah melaksanakan sholat, maka kondisi tersebut tidak menggugurkan kewajibannya untuk melaksanakan puasa.
Begitu pun seorang muslimah yang telah menunaikan sholat dan telah menjalankan puasa, hal tersebut tidak lantas menghilangkan kewajibannya untuk mengenakan pakaian syar’i.
Seorang wanita muslimah yang melaksanakan sholat dan puasa, namun tidak mengenakan pakaian syar’i, maka wanita tersebut dinilai baik karena sholat dan puasanya, dan dinilai buruk karena menanggalkan jilbab yang menjadi kewajibannya.
Adapun diterima atau tidaknya suatu ibadah, hal tersebut dikembalikan kepada kehendak Allah SWT, karena sudah semestinya bagi seorang muslim untuk melakukan hal-hal berikut ini :
1. Senantiasa berbaik sangka kepada Allah SWT, meskipun dirinya tidak luput dari perbuatan dosa atau maksiat.
2. Setiap muslim hendaknya mengetahui bahwa diantara rahmat Allah SWT adalah menjadikan setiap kebaikan yang dilakukan menjadi penggugur keburukan, tidak sebaliknya. Sebagaimana firman Allah SWT
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ ۚ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّاكِرِينَDakwah Media BCA - Green.notice-box-green {
border: 2px solid #28a745; /* Green border color */
background-color: #d4edda; /* Light green background color */
padding: 15px;
margin: 20px;
border-radius: 8px;
font-family: inherit; /* Use the theme font from WordPress */
text-align: center; /* Center the text */
}Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/“Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (QS: Hud: 114)
3. Bertaubat kepada Allah SWT
4. Menjadikan Bulan Ramadhan sebagai batu loncatan untuk banyak melakukan amal shalih
5. Senantiasa bersyukur kepada Allah SWT atas adanya perintah melaksanakan puasa dan shalat di Bulan Ramadhan dengan melaksanakan semua kewajiban tersebut; karena diantara tanda diterimanya suatu kebaikan adalah adanya taufiq atau kemudahan untuk melakukan kebaikan lainnya.*/diterjemahkan Hilma A’yunina, LC, mahasiswi pascasarjana Al-Azhar, Mesir
Hidayatullah.com
Mengapa Niat Puasa dalam Madzhab Syafi’i Harus Disebutkan Secara Detail?
Wajibnya ta’yin niat puasa Ramadhan karena puasa ibadah yang bersandar pada waktu, maka wajib ditentukan niatnya, sebagaimana sholat 5 waktu
Hidayatullah.com | DALAM Madzhab Syafi’I, niat puasa Ramadhan wajib dita’yinkan. Yaitu diharuskannya seseorang meniatkan puasa Ramadhan di setiap malamnya dengan detail bahwasanya ia berniat puasa besok.
At-Ta’yin berasal dari kata bahasa Arab ayyana-yuayyinnu yang artinya menentukan, yaitu menjadikan suatu hal menjadi tertentu. Bisa juga diartikan dengan pengkhususan. Adapun penyebutannya dalam fikih Syafi’i, kata Ta’yin dimaksudkan untuk menentukan niat tatkala hendak beramal.
Dalam kitab panduan utama Madzhab Syafi’i, Minhaj ath-Thalibin, Imam Nawawi menyebutkan tentang wajibnya Ta’yin pada ibadah wajib.
ويجب التعيين في الفرض
“Dan wajib hukumnya Ta’yin (penentuan niat) dalam ibadah fardhu.” (Minhaj ath-Thalibin: 75)
Dalam kitabnya yang lain, Raudhah ath-Thalibin, Imam Nawawi menambahkan bahwa yang dimaksudkan ta’yin adalah penentuan niat pada puasa wajib, termasuk di dalamnya puasa Ramadhan.
وَيَجِبُ تَعْيِينُ النِّيَّةِ فِي صَوْمِ الْفَرْضِ، سَوَاءٌ فِيهِ صَوْمُ رَمَضَانَ، وَالنَّذْرُ، وَالْكَفَّارَةُ، وَغَيْرُهَا.
“Dan diwajibkan Ta’yin (penentuan) niat pada puasa fardlu, baik itu puasa Ramadhan, puasa nadzar, puasa kafarat, dan lainnya.” (Raudhah ath-Thalibin: 2/350).
Baca: Niat Puasa Ramadhan Tiap Malam atau Sekali
Lalu mengapa ta’yin niat puasa itu wajib dalam Madzhab Syafi’i?
Mengenai pertanyaan tersebut, Imam Khatib Asy Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj, menjawab dengan argumen bahwa wajibnya ta’yin niat puasa itu dikarenakan puasa adalah ibadah yang bersandar pada waktu, maka wajib ditentukan niatnya, sebagaimana sholat 5 waktu yang bersandar pada waktu wajib juga ditentukan niatnya.
(ويجب) في النية (التعيين في الفرض) بأن ينوي كل ليلة أنه صائم غدا من رمضان أو عن نذر أو عن كفارة لأنه عبادة مضافة إلى وقت فوجب التعيين في نيتها كالصلوات الخمس.
“Dalam dalam niat diwajibkan Ta’yin pada ibadah yang besifat wajib. Yaitu dengan berniat seseorang setiap malamnya bahwa ia akan berpuasa Ramadhan besok, atau puasa nadzar, atau puasa kafarat. Kerena ia (puasa) adalah ibadah yang bersandar pada waktu. Maka wajib dita’yin dalam niatnya sebagaimana sholat 5 waktu”. (Mughni al-Muhtaj: 1/424).
Dari referensi di atas dapat dijabarkan bahwa puasa Ramadhan sebagaimana yang diketahui dilakukan di waktu tertentu dan bulan tertentu.
Artinya puasa Ramadhan adalah ibadah wajib yang bersandar pada waktu. Dan setiap ibadah wajib yang bersandar pada waktu itu bermacam-macam, seperti: puasa nadzar, kafarah, qadha.
Baca: Tata Cara Niat Puasa Puasa Ramadhan menurut Empat Madzab
Memaksudkan Niat Puasa secara Jelas
Disebutkan dalam kitab Hasyiyah Bājūrī Imam Ibrāhim Bājūrī bahwa paling minimalnya niat puasa itu sebagai berikut.
نَوَيْتُ صَوْمَ رَمَضَانَ
Nawaitu shauma Ramadhāna
Artinya, “Aku berniat puasa bulan Ramadhan.” (Hasyiyah Bājūrī: 1/633).
Lalu dalam Fathul Qarīb Syarah Ghāyah wa Taqrīb Imam Ibnu Qasim menerangkan tentang niat puasa Ramadhan secara lengkap.Dakwah Media BCA - Green.notice-box-green {
border: 2px solid #28a745; /* Green border color */
background-color: #d4edda; /* Light green background color */
padding: 15px;
margin: 20px;
border-radius: 8px;
font-family: inherit; /* Use the theme font from WordPress */
text-align: center; /* Center the text */
}Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāni hādzihis sanati lillāhi ta‘ālā
“Saya berniat puasa besok, yang mana ia (merupakan bagian) dari kewajiban Ramadhan pada tahun ini karena Allah ta’ala.” (Fathul Qarīb: 194).
Adapun Imam Baramāwi yang dikutip dalam I’ānah Thõlibīn, ia menganjurkan untuk membaca beberapa kalimat pengganti lafadz “lillahi ta’ala”.
وقوله : (لله تعالى) : ويسن أن يقول إيمانا واحتسابا لوجه الله الكريم
“Dan pada lafadz ‘lillahi ta’ala’ disunnahkan untuk mengucapakan ucapan ‘imānan wa ihtisāban li wajhillāhi al-karīm’.” ( I’ānah Thõlibīn: 2/1228).
Maka wajib niatnya ditentukan agar apa yang seseorang amalkan tepat dengan apa yang ia niatkan, tidak bercampur dengan puasa wajib lainnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa niat puasa Ramadhan wajib hukumnya dita’yin, yaitu disebutkan secara jelas dan detail. Wallahu a’lam bi ash-shawab.*/Dzulfikar, mahasiswa Al-Azhar, Mesir