Tag:
KH Asrorun Niam Sholeh
Mediaislam.id
Dua Anggota Komisi Fatwa MUI yang Terafiliasi Israel Dinonaktifkan
Jakarta (MediaIslam.id) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan, dua nama anggota pengurus yang tergabung dengan organisasi (LSM) yang terafiliasi Israel telah mencederai garis perjuangan yang selama ini ditunjukkan oleh lembaga para ulama itu serta masyarakat Indonesia.
“Apa yang dilakukan oleh kedua aktivis ini sungguh amat sangat membuat hati kita pilu, membuat kita merasa sedih, melukai hati kita,” ujar Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan di Jakarta, Kamis (18/07/2024).
Amirsyah mengatakan dua nama yang saat ini tengah dimintai keterangan yakni MA dan AR. Berdasarkan laman resmi MUI, keduanya merupakan anggota Komisi Fatwa MUI.
Amirsyah menjelaskan, dalam proses pemeriksaan, MUI memiliki mekanisme sesuai pedoman dasar, pedoman rumah tangga, dan peraturan organisasi. Proses penyelidikan dilakukan dengan hati-hati sesuai prosedur yang berlaku di MUI.
Apabila keduanya terbukti memiliki hubungan dengan organisasi yang terafiliasi Israel, maka MUI akan langsung memberhentikan mereka dari keanggotaan.
“Dua inisial ini tengah kita lakukan proses (pemeriksaan) sesuai dengan prosedur dan tahapan-tahapan. Ini tentu kita lalui dengan sebaik-baiknya agar mulai dari penonaktifan sampai kepada pemberhentian dapat dilakukan sesuai dengan tata kelola organisasi,” kata Amirsyah.
Amirsyah tak habis pikir saat bangsa Indonesia sama-sama berjuang demi kemerdekaan Palestina, serta memboikot produk-produk yang terafiliasi Israel, namun ada sebagian kelompok malah membuka hubungan dengan Israel.
“Karena di saat bangsa Indonesia berjuang dengan sungguh-sungguh untuk membela kemerdekaan Palestina tetapi kedua aktivis ini telah kehilangan hati nurani ya, itu sekali lagi amat kita sayangkan,” kata dia.
Ia mengajak semua Ormas dan masyarakat pada umumnya untuk bersikap hati-hati terhadap berbagai upaya yang dilakukan oleh siapapun, kelompok manapun, yang mencoba melemahkan perjuangan membela Palestina.
Sebelumnya, MUI telah menonaktifkan dua nama yang diduga memiliki keterkaitan dengan organisasi terafiliasi Israel menyusul pertemuan lima kader Nahdlatul Ulama (NU) dengan Presiden Israel Isaac Herzog di Israel.
More pages: 1 2
Mediaislam.id
MUI Haramkan Salam Lintas Agama, Begini Penjelasan Kiai Niam
Jakarta (MediaIslam.id) – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh menjelskan mengenai fatwa haram salam lintas agama yang dikeluarkan MUI dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII di Bangka Belitung ebberapa waktu lalu.
Penjelasan Niam ini merespon merespons berbagai tanggapan atas fatwa tersebut oleh berbagai pihak di luar MUI.
Niam menjelaskan, salam terbagi menjadi dua, yakni salam yang bersifat umum seperti ucapan selamat pagi, dan salam yang bersifat khusus keagamaan.
“Sementara salam yang bersifat khusus yaitu term ‘Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh’ itu berdimensi keagamaan, di dalamnya ada doa,” kata Niam di Kantor MUI Pusat, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (14/06/2024).
Menurut Niam, seperti dilansir ANTARA, doa yang terkandung dalam ucapan salam tersebut diajarkan secara khusus oleh Nabi Muhammad Saw.
Hal tersebut, kata dia, dibuktikan dengan adanya hukum dalam Islam yang menyatakan bahwa menjawab salam adalah wajib.
“Artinya, di situ adalah masalah keagamaan yang berdimensi ubudiah,” katanya menegaskan.
Adapun terkait toleransi beragama, ungkap Niam, dengan tidak mencampurkan salam antara salam satu agama tertentu dengan agama lainnya bukan berarti menunjukkan seseorang itu tidak menghargai agama lainnya.
“Makna toleransi itu ya sudah masing-masing nggak perlu anda mencampuradukkan salam yang bersifat khas keagamaan sebagai bagian dari doa khusus, menjadi satu kesatuan. Itu bukan makna toleransi yang dibenarkan dalam konteks keislaman. Nah itu yang perlu dipahami oleh publik,” jelasnya.
“Kalau salam yang bersifat umum seperti kita mendoakan kesehatan, seperti ‘salam sehat bos’ atau ‘mudah-mudahan terus sehat’ apakah itu terlarang? tidak, karena itu bagian dari hal yang bersifat muamalah. Nah ini yang perlu dipahami,” lanjut Niam.
Menurutnya, hal tersebut tidak menunjukkan bahwa Islam antipancasila dan antikesatuan. Justru sebaliknya, Islam mewajibkan kepada umatnya untuk menjalin kerja sama kepada siapapun tanpa membeda-bedakan agamanya, dengan prinsip saling menguntungkan dengan mengedepankan harmoni dan kedamaian.
“Saya kira ini yang perlu kita pahami secara utuh dan didudukkan secara proporsional, bahkan di dalam keputusan ijma’ ini ditegaskan satu item tersendiri, hukumnya haram mengejek, mengolok-olok, dan merendahkan ajaran agama yang lain, sekalipun itu nadanya guyon,” tuturnya. []
Mediaislam.id
Ijtima’ Ulama MUI Dorong Pemerintah Prakarsai Bantuan Militer untuk Palestina
Bangka (MediaIslam.id) – Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII mendorong Pemerintah RI untuk memprakarsai bantuan militer bersama negara-negara lain untuk mendukung Palestina dalam menghentikan kekejaman zionis Israel.
“Memperhatikan kondisi pembantaian massal yang sangat biadab dan genosida yang terang benderang di Gaza Palestina, maka Pemerintah Indonesia harus memprakarsai bantuan militer bersama negara-negara lain, terutama negara-negara Islam (OKI) untuk menghentikan kekejaman dan kebiadaban Zionis Israel,” kata Ketua MUI Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh dalam keterangannya, Jumat (31/05/2024).
Niam mengatakan, dukungan Pemerintah RI terhadap Palestina harus diwujudkan, karena Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka agresi dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kemudian, katanya, umat Islam wajib berjihad untuk mempertahankan kemerdekaan dan menjaga kedaulatan bangsa. Dalam situasi damai, implementasi jihad, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara adalah dengan melakukan berbagai aktivitas kebaikan dengan bersungguh-sungguh dan berkelanjutan demi meninggikan agama Allah.
“Dalam situasi perang, jihad bermakna kewajiban Muslim dan Muslimat untuk mengangkat senjata guna mempertahankan kedaulatan negara,” ucapnya.
Untuk itu, Niam menyatakan negara atau pihak yang melakukan agresi, genosida dan/atau penjajahan atas suatu bangsa adalah merupakan pengingkaran dan pengkhianatan terhadap komitmen keislaman, komitmen kemerdekaan serta bertentangan dengan konstitusi dan hukum internasional.
Menurutnya, setiap warga negara wajib mewujudkan kemerdekaan dan menentang segala bentuk penjajahan, serta wajib mendukung upaya bangsa lain mewujudkan kemerdekaan, seperti mendukung perjuangan bangsa Palestina mewujudkan kemerdekaan melawan penjajahan Israel.
“Negara wajib menghentikan kerja sama, baik langsung maupun tidak langsung, dengan negara agresor atau penjajah, serta memberikan sanksi kepada pihak yang secara nyata atau sembunyi-sembunyi mendukung, bersimpati, dan bekerja sama dengan penjajah,” katanya menegaskan.
Untuk itu, Niam menyatakan MUI sebagai payung besar ulama dan umat Islam Indonesia menjadi pelopor perdamaian dan kemerdekaan setiap bangsa yang masih dijajah, terutama Negara Palestina. Pihaknya juga akan menindaklanjuti upaya-upaya dialog antar ulama dan tokoh lintas agama di negara-negara di dunia.[]
Mediaislam.id
MUI: Umat Islam Tidak Boleh Ucapkan Selamat Hari Raya Agama Lain
Bangka (Mediaislam.id) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) melarang umat Islam untuk mengucapkan selamat hari raya bagi agama lain.
Hal ini diputuskan melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Islamic Center, Sungailiat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Kegiatan yang mengangkat tema Fatwa: Panduan Keagamaan untuk Kemaslahatan Umat ini digelar pada 28-31 Mei 2023. Kegiatan ini dibuka langsung oleh Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin.
“Toleransi umat beragama harus dilakukan selama tidak masuk ke dalam ranah akidah, ibadah ritual dan upacara-upacara keagamaan,” kata Prof Ni’am saat menyampaikan hasil Ijtima Ulama VIII poin 3 terkait Fikih Toleransi dalam Perayaan Hari Raya Agama Lain.
Prof Ni’am menuturkan, hal itu seperti mengucapkan selamat hari raya agama lain, menggunakan atribut hari raya agama lain, memaksakan untuk mengucapkan atau melakukan perayaan agama lain atau tindakan yang tidak bisa diterima oleh umat beragama secara umum.
“Beberapa tindakan sebagaimana yang dimaksud seperti di atas dianggap sebagai mencampuradukkan ajaran agama,” terangnya.
Meski begitu, MUI menegaskan, umat Islam harus menjalankan toleransi dengan memberikan kesempatan bagi umat agama lain yang sedang merayakan ritual ibadah dan perayaan hari besar mereka.
Prof Ni’am menjelaskan, setidaknya ada dua bentuk toleransi beragama yakni dalam hal akidah dan muamalah. Dalam hal akidah, sambungnya, umat Islam wajib memberikan kebebasan kepada umat beragama lain untuk melaksanakan ibadah hari raya sesuai keyakinannya dan tidak menghalangi pelaksanaanya.
“Dalam hal muamalah, bekerja sama secara harmonis serta bekerja sama dalam hal urusan sosial bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,” tutup Prof Niam yang juga Ketua MUI Bidang Fatwa.
sumber: muidigital
Mediaislam.id
Ijtima’ Ulama MUI VIII Fatwakan Haram Salam Campur Aduk dari Agama Lain
Jakarta (MediaIslam.id) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII di Provinsi Bangka Belitung telah menetapkan ketentuan bahwa ucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram.
“Pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram,” kata Ketua MUI Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh dalam keterangannya, Kamis (30/05/2024).
Niam menekankan, pengucapan salam dengan cara menyertakan salam berbagai agama bukan merupakan implementasi dari toleransi dan/atau moderasi beragama yang dibenarkan.
Hal tersebut, jelas dia, dikarenakan pengucapan salam dalam Islam merupakan doa yang bersifat ubudiah (bersifat peribadatan).
“Karenanya harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan salam dari agama lain,” ujarnya.
Niam juga menuturkan penggabungan ajaran berbagai agama, termasuk pengucapan salam, dengan menyertakan salam berbagai agama dengan alasan toleransi dan/atau moderasi beragama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan.
Sebagai solusinya, ungkap dia, dalam forum yang terdiri atas umat Islam dan umat beragama lain, umat Islam dibolehkan mengucapkan salam dengan Assalamu’alaikum, salam nasional, atau salam lainnya, yang tidak mencampuradukkan dengan salam doa agama lain, seperti selamat pagi.
Menurut Niam, Islam menghormati pemeluk agama lain dan menjamin kebebasan umat beragama dalam menjalankan ajaran agama, sesuai dengan keyakinannya dengan prinsip toleransi dan tuntunan Al-Quran pada ayat “lakum dinukum wa liyadin” (untukmu agamamu dan untukku agamaku), tanpa mencampuradukkan ajaran agama atau sinkretisme.
“Dalam masalah muamalah, perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk terus menjalin kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara harmonis, rukun, dan damai,” tutur Guru Besar UIN Jakarta itu.[]
Mediaislam.id
Tolak Politik Uang, MUI: ‘Serangan Fajar’ Hukumnya Haram
Jakarta (Mediaislam.id) – Sehari jelang pemilihan umum (Pemilu) pada 14 Februari 2024, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai adanya politik uang atau lebih dikenal ‘serangan fajar’.
Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Niam Sholeh menjelaskan, memilih pemimpin harus berdasarkan kompetensi. Pemimpin yang terpilih idealnya yang mengemban amanah demi kemaslahatan.
“Setelah mendengar visi misi calon dalam masa kampanye, saatnya kita kontemplasi dan memilih sesuai hati yang jernih, meminta pertolongan Allah SWT agar diberi pemimpin yang shiddiq atau jujur, yang amanah atau dapat dipercaya,” kata Prof Niam di sela-sela Rapat Pimpinan Harian rutin MUI di Aula Buya Hamka, Jakarta, Selasa (13/2/2024).
Prof Niam menambahkan, dalam memilih pemimpin juga didasarkan pada sifat tabligh atau kemampuan eksekusi, serta yang fathanah atau memiliki kompetensi.
Oleh karena itu, Prof Niam menegaskan, tidak boleh memilih pemimpin didasarkan kepada sogokan atau pemberian harta.
“Orang yang akan dipilih atau yang mencalonkan diri juga tidak boleh menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih, seperti menyuap atau dikenal serangan fajar hukumnya haram,” jelasnya.
Prof Niam menegaskan, praktik tersebut yang dikenal dengan serangan fajar hukumnya haram bagi pelaku maupun penerimanya.
Guru Besar Ilmu Fiqih Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta ini mengungungkapkan, para pelaku dan penerima serangan fajar juga hidupnya tidak berkah.
Prof Niam menyampaikan, Majelis Ulama Indonesia juga telah menetapkan Fatwa tentang Hukum Permintaan dan atau Pemberian Imbalan atas proses pencalonan pejabat publik.
Penetapan fatwa tersebut dalam Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia di Banjarbaru, Kalimantan Selatan pada 2018.
Berikut isi ketetapan fatwa tersebut:
1. Suatu permintaan dan/atau pemberian imbalan dalam bentuk apapun terhadap proses pencalonan seseorang sebagai pejabat publik, padahal diketahui hal itu memang menjadi tugas, tanggung jawab, kekuasaan dan kewenanganya hukumnya haram, karena masuk kategori risywah (suap) atau pembuka jalan risywah.
2. Meminta imbalan kepada seseorang yang akan diusung dan/atau dipilih sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan publik lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya haram.
3. Memberi imbalan kepada seseorang yang akan mengusung sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan public lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya haram.
4. Imbalan yang diberikan dalam proses pencalonan dan/atau pemilihan suatu jabatan tertentu tersebut dirampas dan digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umum.
sumber: muidigital
Mediaislam.id
MUI Imbau Tidak Gunakan Agama sebagai Candaan Politik
Jakarta (Mediaislam.id) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau seluruh kontestan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 baik eksekutif maupun legislatif untuk tidak menggunakan agama sebagai bahan candaan politik.
“Setiap kita harus berhati-hati dengan urusan ibadah, jangan menggunakan ibadah sebagai bahan candaan yang bisa berdampak pada ihanah (mengejek dalam sikap merendahkan,” kata Ketua MUI Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Niam Sholeh, Kamis (21/12/2023).
Oleh karena itu, Kiai Niam menekankan bahwa setiap orang harus berhati-hati dalam persoalan ibadah. Apalagi, persoalan ibadah dijadikan sebuah candaan politik yang bisa saja berpotensi masuk ke dalam ranah ihanah.
Kiai Niam mengingatkan, setiap orang harus berhati-hati dalam menyampaikan candaan di ruang publik.
Bukan hanya terkait agama, tetapi juga terkait ibadah, suku dan sejenisnya. “Tapi intinya setiap kita perlu berhati-hati dalam menyampaikan candaan di ruang publik,” tegasnya.
“Apalagi terkait itu masalah agama, masalah suku, masalah ibadah, dan sejenisnya. Agar tidak terjerumus pada hal-hal yang terlarang,” sambungnya.
Sementara itu, Kiai Niam kembali mengingatkan kepada umat Muslim yang memiliki hak pilih untuk menggunakannya secara bertanggungjawab.
Menggunakan hak pilihnya secara bertanggungjawab itu dengan memilih pemimpin yang memenuhi syarat ideal dan bertanggungjawab. Bahkan, hal itu hukumnya wajib bagi umat Muslim.
“Setiap Muslim yang memiliki hak pilih wajib menggunakannya secara bertanggungjawab. Dengan memilih pemimpin, baik eksekutif maupun legislatif yang memenuhi syarat ideal kepemimpinan sehingga dapat mengemban tugas kepemimpinan dengan amanah,” jelasnya.
Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat ini mengungkapkan, syarat ideal dari pemimpin adalah beriman dan bertakwa, jujur (shiddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), serta mempunyai kemampuan (fathanah).
Hal ini, kata Gurubesar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagaimana telah ditetapkan melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tahun 2009. Keputusan tersebut secara lengkap sebagaimana berikut:
1. Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
2. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah (kepemimpinan) dan imarah (pemerintahan) dalam kehidupan bersama.
3. Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.
4. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (shiddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathanah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
Rekomendasi
1. Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar.
2. Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkat, sehingga hak masyarakat terpenuhi.
sumber: muidigital
Mediaislam.id
MUI: Gencarkan Khotbah tentang Palestina
Jakarta (MediaIslam.id) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta para dai dan penceramah untuk menggencarkan khotbah kepada jamaah tentang perjuangan Palestina untuk membangun empati dan solidaritas umat Islam.
“Maka pesan ini harus disampaikan agar muncul sensitivitas, muncul solidaritas, dan juga muncul perasaan saling memiliki ketika saudara-saudara kita di Palestina dalam situasi duka dan kita mengalami duka yang sama,” kata Ketua MUI bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh usai menyampaikan fatwa MUI, di Jakarta, Jumat (10/11/2023).
Niam mengatakan, pesan dakwah juga harus disampaikan kepada anak-anak untuk mengetahui peristiwa apa yang sebenarnya terjadi dan seberapa penting sejarah Palestina bagi umat Islam.
“Kita juga harus menceritakan kepada anak, cucu bahwa di Palestina ada tempat suci masjid Al-Aqsa yang harus dilindungi karena dia menjadi salah satu dari tiga masjid yang disucikan,” kata dia.
Ia juga mengatakan bahwa khotbah soal Palestina harus terus digaungkan hingga kemerdekaan Palestina tercapai.
Untuk itu, komitmen mengenai kemerdekaan Palestina, kata dia, harus terus didukung umat Islam di Tanah Air.
“Iya, membangun satu komitmen mengenai perjuangan kemerdekaan dan dukungan kita tanpa syarat terhadap kemerdekaan Palestina,” ujarnya.[]