Tag:
kekuasaan
Suaraislam.id
Penghamba Kekuasaan
Kepada para penghamba kekuasaan, sulit untuk tidak dikatakan bahwa hanya alasan kepentingan ‘duniawi’ yang menjadi landasan hidup mereka.Berbagai pelanggaran konstitusi atau hukum bukan menjadi persoalan bagi mereka. Demikian pula sudah tidak menghiraukan lagi prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak politik bangsa. Bila perlu dikeluarkan ‘jurus-jurus’ untuk membela dan mempertahankannya. Prinsip mereka adalah apapun diterobos yang penting kekuasaan berpihak kepada mereka.Berbagai justifikasi mereka pertahankan. Kebanggaan menjadi bagian dari tim pemenangan, mereka pertontonkan. Mereka seakan sudah kehilangan ‘rasa malu’. Kemampuan dan keahlian mereka sebagai kaum intelektual dan praktisi profesional seakan lumpuh tidak berdaya. Ketakutan akan ‘hukum duniawi’ mengorbankan ‘prinsip-prinsip moralitasnya’ bahkan kepentingan bangsanya yang lebih besar.Merasa nyaman dan menggantungkan asa menjadi bagian dari mesin politik mereka, baik melalui koalisi partainya maupun kontribusi para pendukungnya sehingga menjadi ‘penguat partainya’, yaitu memilih caleg-caleg DPR RI dari koalisi partai mereka. Artinya, memilih caleg DPR koalisi mereka otomatis menguatkan posisi presiden pilihan mereka.Ironisnya masih banyak yang menamakan ‘penjaga moralitas bangsa’ masih bertahan dengan prinsipnya tidak mengambil sikap atau menjaga jarak yang sama kepada mereka. Tuntunan Rasulullah telah menggariskan bahwa jika kita salah memilih pemimpin, padahal di antara mereka ada yang lebih baik dari perspektif ‘fitrah politiknya’, maka pada dasarnya kita telah menghianati Allah dan RasulNya.Penulis teringat sikap konsistensinya seorang anak bangsa yang berani bersikap ketika penguasa lagi di puncak kekuasaannya. Amien Rais tampil mengingatkan bangsa ini agar mempersiapkan regenerasi kepemimpinan. Padahal di saat yang sama penguasa sedang menikmati kekuasaannya.Pernyataan tokoh muda Islam yang gagah berani saat itu sudah pasti ditujukan kepada eksistensi kekuasaan penguasa yang sudah berkuasa lebih dari 30 tahun. Allah takdirkan tokoh muda pemberani ini lolos dari incaran penguasa bahkan menjadi lokomotif perubahan di Republik ini.Ketika partai besutannya menjadi bagian dari pemerintahannya, Amin tetap menyuarakan sikap kritisnya kepada presidennya. Sebuah sikap politik yang justru dihindari oleh para ketua umum partai karena kehawatiran kadernya disingkirkan dari kabinetnya. Lagi-lagi bagi Amien jabatan atau kekuasaan bukan segalanya. Mempertahankan dan membela kepentingan bangsa dan negara adalah segalanya.Kegigihannya memperjuangkan ‘akal sehat’ dalam mengelola bangsa dan negara ini terus digelorakan sekalipun fisiknya sudah mulai melemah. Berani meninggalkan partai yang dia dirikan dan besarkan bahkan memilih berpayah-payah dengan pengorbanan lahir batin berusaha bangkit kembali dengan kendaraan politik baru, Partai Ummat dia dirikan.Keistiqamahannya dalam ber-amar ma’ruf nahyi munkar, Amien Rais tidak merasa takut lagi menghadapi risiko perjuangannya. Kita bisa simak dalam berbagai kesempatan, khususnya melalui media sosial kita bisa simak pandangan-pandangannya yang kritis bahkan tajam dalam mengingatkan penguasa juga pengusaha hitam atas tingkah laku mereka terhadap nasib bangsa dan negeri ini.Penulis menyimak sepak terjang politik tokoh reformasi ini dengan Partai Ummatnya adalah sebuah episode perjalanan politiknya menuju politik husnul khatimah. Wallahu’alam.Epi Zaenal Hanafi, Penulis adalah caleg DPR RI Partai Ummat Dapil Jawa Barat XI (Kab. Garut, Kab. Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya).
Suaraislam.id
Jokowi Mabuk Kekuasaan
Arah kritik Ketum PDIP Megawati saat HUT PDIP ke-51 di Lenteng Agung kemarin adalah Presiden Jokowi. Sulit untuk ditafsirkan lain dari bahasa politik itu. Jokowi menjadi figur yang bertipe penjajah yang biasa melakukan politik pecah belah (divide et impera) kepada rakyat.Megawati sangat merasakan bahwa pola ini sedang dimainkan oleh Jokowi. Berdampak kepada partainya. Pendukung Ganjar yang berpindah pada Prabowo.Meskipun tidak menyebut langsung yang dimaksud, akan tetapi rakyat sangat memahami bahwa Jokowi lah yang digelari orang “mabuk kekuasaan” oleh Megawati. Keinginan Jokowi untuk memperpanjang masa jabatan menjadi tiga periode, agenda menunda Pemilu serta memaksakan puteranya Gibran menjadi Cawapres menjadi modus dari mabuk kekuasaan tersebut. Megawati tidak setuju.Perseteruan dirasakan semakin tajam bahkan pengamat menilai hubungan keduanya sudah putus. Sikap Capres PDIP Ganjar Pranowo yang “menyerang” Prabowo saat acara Debat KPU beberapa waktu lalu memberi sinyal akan hal itu. Demikian juga dengan kader-kader PDIP yang “menyerang” Putusan MK yang berbau politik dinasti. Wacana hak angket DPR juga mengemuka meski ternyata tidak berlanjut.Menkopolhukam yang juga Cawapres PDIP Mahfud MD membuka pintu bagi aspirasi Petisi 100 tentang pemakzulan Jokowi. Telah menjadi bahasan media. Meskipun bagi Mahfud tentu beralasan soal mengisi desk kecurangan Pemilu yang dibuatnya. Ia menyatakan bahwa pemakzulan adalah hak rakyat. Mengikuti prosedur yang diatur oleh Konstitusi. Bahkan menurutnya jangankan pemakzulan, revolusi juga menjadi hak rakyat.Perilaku Jokowi dinilai semakin tidak wajar, karena di samping dipertanyakan kualitasnya sebagai Presiden juga telah banyak aturan yang dilabrak. Ia menjadi penguasa yang berbuat sewenang-wenang.Mabuk kekuasaan dapat disebabkan dua faktor utama, yaitu:Pertama, habitatnya sebagai pemabuk. Hal ini terlihat dari ambisi untuk selalu meraup kekuasaan baik Walikota, Gubernur dan Presiden dua periode. Ada kenikmatan dirasakan saat mabok. Alkoholik merupakan kecanduan yang merusak diri dan lingkungan.Kedua, mengalami tekanan atau stress berat. Ketakutan tidak berkuasa menjadi beban fikiran. Khawatir akan hilang pengaruh, kemapanan maupun kekayaan. Apalagi jika terancam sanksi akibat perbuatan melanggar etika dan hukum selama berkuasa. Mabuk adalah solusi dunia halusinasi.Cawe-cawe dahsyat Jokowi dalam mendukung pasangan prabowo Gibran baik konsolidasi partai politik, penggiringan kepala desa, intervensi institusi, pengerahan aparat maupun penggunaan fasilitas negara merupakan bentuk dari mabok kekuasaan. Menghalalkan segala cara agar kekuasaan tetap langgeng.Suara keras Megawati kepada Jokowi menjadi bukti bahwa dukungan politik internal telah buyar. Jokowi bukan hanya ditinggalkan PDIP tetapi juga partai lain. Tokoh pendukung banyak yang menjauhi. Oposisi semakin menguat dan mengancam. Potensi jatuh dengan tidak normal terbuka lebar. Menjelang Pemilu hingga Oktober 2024 adalah neraka politik bagi Jokowi “He deserved to panic”.Hanya jurus mabuk China yang mungkin dapat mengalahkan lawan, selainnya tidak. Mabuk kekuasaan Jokowi bukan kekuatan tapi kepanikan. Ia akan dikalahkan. Segera akan dikalahkan.[]M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan KebangsaanBandung, 11 Januari 2024
Suaraislam.id
Apa yang Kau Cari, Jokowi?
Dalam film Asrul Sani “Apa Jang Kau Tjari, Palupi?” produksi 1969 diceritakan bahwa Palupi tidak tahan hidup apa adanya dengan Haidar suaminya, pengarang idealis. Berkat teman Haidar bernama Chalil jadilah Palupi artis film. Akibat terayu Sugito, Palupi lepas dari Haidar dan jatuh ke pelukan Sugito, seorang pengusaha kaya. Palupi menikmati kesenangan duniawi. Kecewa atas nasib Palupi, Chalil hanya bisa bertanya “Apa jang kau tjari, Palupi?”Haidar masih sempat menilai mantan istrinya yang hanya mencari kesenangan sekarang. Gumamnya “ia begitu gelisah seolah-olah ingin berlomba-lomba dengan bayang-bayangnya sendiri”. Palupi berucap “Aduh, gelap betul disini”. Chalil berujar ” Yah, di dalam dunia angan-angan, yang terang bisa kelihatan gelap”. Membuat rumah yang tidak pernah ada, bagai dalam mimpi buruk. Sebuah kesenangan dalam kegelisahan.Jokowi yang tidak bisa hidup apa adanya seusai berkuasa memang gelisah dan ingin tetap berada di ruang kesenangan panjang. Ia lepas dari Megawati dan mencoba hidup bersama Prabowo. Memasuki ruang angan-angan yang sebenarnya gelap.Ketika tiga periode tidak berhasil didapat, ia menjual Gibran dengan tukaran harga diri. Ketidakpedulian atas penilaian orang banyak. Pantas jika kolega bertanya “apa yang kau cari, Jokowi?”.Sugito mengobrol dengan Cholil tentang kehidupan di ruang pesta. Menurut Sugito tamu-tamunya ada tiga model, yaitu:Pertama, “sesama pengusaha” yang selalu “senyum profesional” memuji-muji sambil mencari kesempatan untuk “menggorok leher saya”.Kedua, ” pembesar pemerintahan dan orang politik”. Mereka “kembang semusim” disayang-sayang dan dipuji-puji selama masih berkuasa. Ongkosnya mahal.Ketiga, para “benalu” yang selalu berkantor di kantong saku. Mungkin para punakawan, petugas bayaran yang tingkat kesetiaannya tergantung sisipan isi kantong.Istana adalah ruang pesta yang berkilau cahaya. Tetapi diisi oleh orang-orang yang gelap mata dan gelap hati. Pemburu fatamorgana kekuasaan palsu. Berkeliling para benalu yang memuji bertalu-talu. Politisi bermulut bau dan pengusaha penggorok berkumpul disitu.Jokowi di masa akhir jabatan super sibuk menggalang dukungan untuk sang anak. Dikira itu bisa memperpanjang umur kekuasaan. Panjang angan-angan adalah ciri dari hati gelap. Ciri lain adalah perut yang terlalu kenyang, bergaul dengan orang zalim, serta banyak dosa tanpa penyesalan. Demikian sahabat Ibnu Mas’ud menyatakan.Para petani yang berteriak “wuuuu.. ” saat Jokowi pidato membual tentang hubungan kelangkaan pupuk dengan perang Rusia Ukraina dan kaburnya peserta mobilisasi baik kepala desa atau petani adalah pertanda bahwa rakyat sudah muak padanya. Banyak omong yang bukan hanya tak bermutu tetapi juga tipu-tipu.Bekerja untuk kesejahteraan diri, famili dan kroni membuat Jokowi nir prestasi. Melakukan pelemahan KPK, membumbungkan harga pangan dan BBM, swasembada hutang, serta membenturkan aparat dengan rakyat dalam konflik agraria. Menurut Majalah Time prestasi Jokowi adalah memundurkan demokrasi, memaksakan IKN dan menyuburkan politik dinasti.1 2Laman berikutnya
Islampos.com
Hawa Nafsu dan Hasrat Ingin Berkuasa
Oleh: Enzen Okta Rifai, LcAlumni perguruan tinggi International University of Africa, Republik Sudan[email protected]JIKA kita tergoda oleh hawa nafsu, maka target pencapaian selalu kita kejar sampai di mana pun dan kapan pun. Misalnya, kita ingin meraih kemenangan dalam lomba tertentu, maka kita berlatih mati-matian untuk mencapai target hingga kita berhasil mencapai kesuksesan. Dengan demikian, boleh jadi harta dan popularitas akan mampu kita raih. Kadangkala, untuk mencapai sasaran yang dituju, manusia menggunakan cara-cara culas dan curang yang dilakukan sekehandak hatinya, sehingga ia dapat berhasil melalui jalan yang tidak fair, dan dengan demikian tidak diridhoi oleh Tuhan.Bagi seorang yang bijak dan beradab, menang atau kalah akan dipasrahkan kepada ketentuan juri, setelah ia berusaha secara optimal. Secara moril, ia sudah siap menerima kemenangan, juga sudah siap menghadapi kekalahan dengan hati lapang dan terbuka. Demikian yang diajarkan Islam mengenai konsep sabar dan syukur. Jika hati sudah dekat dengan Allah, niscaya manusia akan dibekali kesabaran dan kelapangan untuk menerima kekalahan, bahkan hinaan dan caci-maki sekalipun. Maka, dalam hal kesuksesan pun ia akan memikulnya dengan kelapangan dan rasa syukur, serta tidak terperangkap dalam keangkuhan dan kesombongan.Hawa nafsu, terutama nafsul ammarah, seringkali menjebak manusia ke dalam sifat hasad dan dendam kesumat. Boleh jadi karena dulunya ia pernah merasa tersakiti. Meskipun, bisa jadi pihak yang menyakiti itu sudah lupa karena berjalannya sang waktu, atau karena kesalahan yang dilakukannya atas dasar ketidaksengajaan atau ketidakpahaman akan suatu nilai tertentu. Melalui perjalanan waktu, sesuatu yang dulu kita anggap besar, boleh jadi ternyata hanya masalah sepele yang sudah tak mengandung arti apa-apa di mata banyak orang. Namun, yang sepele akan tetap menjadi besar, bahkan akan dianggap semakin besar oleh seseorang yang suka memelihara sifat hasad, sehingga hati dan jiwanya tetap picik dan sempit.BACA JUGA: Nietzsche dan Filsafat NabiGodaan hawa nafsu kadang membuat manusia sibuk mengejar target dan sasarannya untuk membalas perlakuan pada si Z, sementara dia sudah mengorbankan ABCD dan seterusnya di tengah perjalanan. Pokoknya, dia bersikeras menaklukkan si Z, padahal nasib hidup Z sepenuhnya berada di tangan Allah. Ambisi dan keserakahan untuk menaklukkan si Z menjadi agenda utama baginya. Padahal, ketentuan untuk mencapai target bukan mutlak di tangannya, tetapi imajinasinya tergoda oleh suatu keyakinan, seolah-olah hasil akhir pasti berada di tangannya.Foto: PinterestDi sisi lain, justru target yang dicapai Iblis (setan) sebagai sang penggoda sudah mencapai sasarannya, manakala orang yang digodanya bersifat pemarah, tamak dan serakah, terlepas apakah yang menjadi korban adalah si Z atau bukan. Bagi Iblis, tak ada urusan, apakah orang itu berhasil atau tidak dalam rangka menaklukkan si Z. Yang pasti si ABCD dan seterusnya telah menjadi korban dari sifat amarah dan kedengkiannya.Rumus itulah setidaknya, yang membuat Imam Ali bin Abi Thalib pernah berfatwa: “Tidak sama orang yang mencari-cari kesalahan walaupun sudah berhasil diraihnya, ketimbang orang yang mencari kebenaran walaupun belum berhasil diperolehnya.”Kadangkala ada jalan mulus yang diraih seseorang, meskipun menyimpang dari agama dan jalan Tuhan. Ia akan tetap dibiarkan untuk mencapai titik keberhasilannya, sampai akhirnya ia akan dipaksa oleh keadaan, bahwa sesuatu yang diraih secara tidak baik (halal) pasti akan mengundang kehinaan dan malapetaka. Tak peduli apakah yang diperjuangkannya itu berlabel religius atau bukan, karena hakikat yang diperjuangkan tergantung kepada niatnya. Untuk itu, para ulama sufi menyatakan, bahwa amalan bersifat duniawi yang ditujukan untuk akhirat, jauh lebih mulia ketimbang amalan bersifat ukhrawi (agama) namun hanya diperuntukkan bagi kepentingan duniawi belaka.Karena kehidupan dunia ini hanya sepintas dan sekejap mata, maka dalam penilaian Allah, tak penting Anda menang atau kalah dalam perlombaan untuk mencapai kursi jabatan dan kedudukan politik. Yang terpenting Anda bersikap jujur dan fair atau tidak, dalam rangka menjalani perlombaan tersebut. Ketika Anda menang maka Anda bersikap legawa dan rendah-hati, dan ketika Anda kalah, Anda akan menerima dengan sabar dan lapang-hati, itulah yang terbaik dalam pandangan Tuhan. Untuk apa kesuksesan yang hanya sekejap itu Anda kejar mati-matian, sementara Anda merelakan diri sebagai “manusia terhina” di mata Allah?Tak jadi soal Anda terhinakan di mata manusia, namun hakikatnya mulia di mata Allah. Ketimbang Anda memaksakan diri agar terlihat mulia di mata manusia namun hakikatnya hina dan kotor di mata Allah. Untuk apa mengejar kemuliaan (popularitas) di mata manusia, yang sifatnya semata-mata fana dan semu belaka? Alangkah bodohnya orang yang mengorbankan kenikmatan yang abadi, hanya untuk mendapatkan kenikmatan semu dan sekejap mata saja. Alangkah hinanya orang yang mengorbankan kemenangan sejati, hanya untuk meraih kemenangan yang instan dan sesaat belaka.Konon, untuk mencapai tingkat popularitas, kekayaan dan kekuasaan, manusia sampai nekat menggadaikan jiwanya kepada Raja Iblis (Jin Ifrit). Setidaknya itulah kisah yang pernah dialami Nabi Sulaiman dalam Alquran maupun kitab-kitab terdahulu. Kisah itu pun diadaptasi oleh sastrawan Jerman, Wolfgang Goethe, mengenai seorang ilmuwan yang menggadaikan jiwanya pada sang Raja Iblis, yang kemudian ilmuwan tersebut menjadi takluk dan tunduk untuk menjalani hidup dalam bimbingan sang Raja Iblis.Foto: Aldi/IslamposDalam cerpen yang ditulis Hafis Azhari, “Kunjungan Iblis Mefisto” (radarntt.co), memberikan gambaran jelas, agar manusia terhindar dari godaan hawa nafsu, yang dipersonifikasi melalui godaan Iblis Mefisto yang hendak merenggut kembali talenta atau bakat yang dimiliki sang penulis. Maka, terjadilah dialog intensif, bahwa bakat yang dimiliki manusia hakikatnya adalah anugerah Allah yang patut disyukuri. Namun kemudian, Iblis Mefisto mengklaim bahwa keahlian itu berkat pemberian bos dan atasannya.BACA JUGA: Karakteristik SetanDitunggu, ditunggu, akhirnya sang penulis melepas bakat yang dimilikinya, serta memasukkannya ke dalam kotak yang disodorkan si Mefisto. Namun, karena di dalam kotak itu terkandung karya-karya penulis yang mengagungkan kebesaran dan keadilan Tuhan, maka tersungkurlah Mefisto lantaran ia tak sanggup lagi memikul beban berat di pundaknya. Akhirnya, bakat itu pun diserahkan kembali kepada sang penulis, dan Iblis Mefisto lari tunggang langgang dengan kotak kosong yang terpikul di pundaknya.Dengan demikian, hawa nafsu dapat ditaklukkan dan dikendalikan oleh kekuatan iman dan ilmu yang mumpuni. Sebab pada prinsipnya, iman tanpa ilmu dapat menjerumuskan manusia ke lembah kesesatan, sedangkan ilmu tanpa iman akan membuat manusia menjadi angkuh dan sombong. Padahal sejatinya, apa yang dimiliki oleh setiap manusia, hanyalah setetes air di lautan samudera yang maha luas. []Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: [email protected], dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.
Arrahmah.id
Kekuasaan untuk Menyejahterakan bukan Menyalahgunakan
Oleh Ine Wulansari Pendidik Generasi Kontestasi pemilihan presiden 2024 kian menggema. Perayaan ini diramaikan oleh sejumlah figur pejabat mulai dari menteri kepala daerah, hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan keikutsertaan para pejabat publik tersebut, dikhawatirkan akan menyalahgunakan fasilitas negara. Tanpa adanya pengawasan dan pencegahan, kontestan pilpres 2024 mungkin saja berkompetisi tidak sesuai dengan aturan […]