Tag:

Ilmu

Mana yang Lebih Utama Didahulukan, Ilmu atau Amal?

TERKADANG kita sering bingung mengenai ilmu dan amal. Kita harus mengetahui Ilmunya terlebih dahulu atau melakukan amalannya terlebih dahulu? Ini nampaknya seperti orang yang sering bertanya mana yang lebih dulu, ayam atau telur?Pernyataan ini seperti benar, namun dalam beragama tentu segala amal yang kita lakukan harus ada dalilnya yakni berdasarkan perintah dari Allah dan ada contoh dari Rasulullah. Sebab amal yang tidak berdasarkan dalil akan menjadi perbuatan bid’ah dan ini tidak dibenarkan menurut syariat Islam.BACA JUGA: 6 Syarat Mendapatkan IlmuDengan demikian kita beramal harus berdasarkan ilmu atau dalil yang memerintahkan atau melarang. Silakan perhatikan ayat berikut,”Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan  selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal,” (QS Muhammad 47: 19).Kalimat Maka ketahuilah… mengisyaratkan bahwa ilmu harus menjadi landasan amal. Atau dengan kata lain, ilmu harus lebih dahulu dibandingkan amal. Penafsiran ini   dikuatkan dengan ayat yang pertama kali turun kepada Nabi saw. yaitu, ”Bacalah dengan  nama Tuhanmu Yang menciptakan… ” (QS Al ’Alaq 96: 1).Ilmu akan mengantarkan kita pada jalan kebaikan. Rasulullah bersabda, ”Barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu. Niscaya Allah akan mudahkan jalan menuju surga,” (HR. Abu Daud).Ilmu berfungsi sebagai pemandu bagi amal. Amal yang tidak berlandaskan ilmu, kemungkinan besar tertolak, sebagaimana disabdakan Rasul, ”Siapa yang beramal  tapi tidak seperti yang aku perintahkan, maka amalnya tertolak.” Ini isyarat, betapa pentingnya ilmu dalam suatu amal.Selain ilmu, ada satu lagi yang harus diperhatikan dalam beramal, yaitu ikhlas. Perhatikan ayat berikut,”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah (beribadah) dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus,” (Q.S. Al Bayyinah 98: 5).Maksud ‘dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya…’, yakni suatu ibadah atau amal harus dilandasi keikhlasan, artinya hanya mengharap ridha Allah.Jangan lupa, kalau kita hanya bergelut dengan ilmu tetapi miskin dengan amal, itulah yang disebut ilmu yang tidak bermanfaat. Karena itu, walau ilmu harus kita prioritaskan, namun jangan hanya sampai disitu, kita harus berusaha untuk mengamalkan ilmu. Jadi, antara ilmu dan amal terjadi keseimbangan. Rasulullah mengajarkan sejumlah doa agar kita diberi ilmu yang bermanfaat, di antaranya.BACA JUGA: 7 Seni Menjaga Kesehatan Tubuh dari Ilmuwan Muslim Ar-Razi”Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat,” (H.R. Muslim). ”Ya Allah, berikanlah manfaat kepadaku atas apa yang telah Engkau ajarkan kepadaku. Serta ajarkanlah kepadaku apa-apa yang bermanfaat bagiku, dan tambahkanlah ilmu kepadaku,” (HR. Tirmidzi).Malik bin Dinar mengatakan, ”Jika seseorang mencari ilmu untuk diamalkan, maka ilmu tersebut akan membahagiakan dirinya. Sedangkan jika dia mencari ilmu bukan untuk diamalkan, maka ilmu tersebut akan membawanya pada kesombongan.”[]SUMBER: PERCIKANIMAN

Mengapa Ilmu Lebih Baik daripada Harta? Ini Penjelasannya

ALI radhiallahu anhu pernah berkata, “Ilmu lebih baik daripada harta, karena ilmu menjaga dirimu sedangkan kamu menjaga harta. Ilmu akan bertambah jika disebarkan manakala harta akan berkurang jika dibelanjakan. Para ulama itu akan tetap hidup selamanya meskipun jasadnya tidak ada dan ajaran mereka itu selalu diingat di dalam hati”. Benarlah firman Allah dalam wahyu-Nya kepada Baginda Nabi SAW, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, (1) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah ; (2) Bacalah dan Tuhanmu yang Maha Pemurah; (3) Yang mengajar manusia melalui penadan tulisan; (4) Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (5)” (QS. Al-Alaq. Ayat 1-5) BACA JUGA: Cara Ibnu Abbas Mendapatkan Ilmu Begitulah kehebatan wahyu pertama yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kita ambil contoh kisah wahyu pertama Rasulullah. Walaupun Nabi Muhammad SAW berulang kali mengatakan bahwa ia tidak bisa membaca, Jibril tetap menyuruh beliau melafazkan ayat tersebut. Inilah simbol yang perlu kita pahami. Tiada alasan untuk tidak menuntut ilmu. Sedangkan Nabi SAW yang ummi (buta huruf) pun disuruh membaca, apalagi kita yang hidup di zaman teknologi serba canggih. Sekarang mari kita pikirkan sejenak. Nabi SAW adalah seorang buta huruf sejak ia dilahirkan. Semua masyarakat Mekah mengetahui hal ini. Ironisnya, ketika di Gua Hira, Jibril menyuruh Nabi Muhammad SAW untuk membaca. Aneh bukan? Maha Suci Allah yang lebih mengetahui akan Hamba-Nya. Mengapa? Inilah hikmah yang tersembunyi. Untuk sukses dunia dan akhirat kita tidak dapat lari dari menguasai ilmu. Bagaimana cara untuk mendapatkan ilmu? Jawabannya pasti, yaitu dengan MEMBACA. Jadi, kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW harus dengan niat dan tekad yang kuat, menjadikan kegiatan membaca ini sebagai amalan setiap hari. Membaca bukan lagi hobi, karena hobi diakukan secara musiman dan hanya untuk mengisi waktu luang. Membaca haruslah menjadi rutinitas harian untuk menjadikan kita masyarakat yang berilmu dan maju. BACA JUGA: Penuntut Ilmu harus Bisa Menjaga Lisan dan Tulisannya Telah kita ketahui, dengan amalan membaca kita dapat menambah banyak ilmu. Cara kita berpikir, cara kita bertindak, dan cara kita menangani/menyelesaikan suatu masalah menjadi bijak, apabila kita menjadi seorang yang berilmu pengetahuan. Tetapi, pastikan bahwa bahan bacaan yang kita baca yaitu dari bahan ilmiah seperti buku motivasi, soal tanya jawab agama, manajemen keuangan, dan ilmu-ilmu lain yang memberi nilai tambah dalam kehidupan harian kita. Hindarkan diri dari berlangganan majalah yang berisi gosip, bacaan-bacaan khayalan, dan yang berbentuk mistik. [] Sumber: Kaya Dunia Akhirat dengan Amalan 1 SAAT/Rafizam Mohamed/PT Buku Pintar Indonesia/Maret 2015

Jangan Hindari Orang Miskin

Di kehidupan yang serba materialistis saat ini, seolah olah kaum miskin adalah penyakit. Banyak orang cenderung menghindar dari orang miskin dan berteman dengan orang orang kaya.Kekayaan dianggap sebagai sumber kehormatan dan pangkat yang tinggi. Dengan harta, maka kini semua bisa dibeli. Keinginan, anak buah, organisasi, bahkan pasangan hidup bisa dibeli dengan uang.Padahal kekayaan belum tentu menghasilkan kebahagiaan. Berapa banyak orang kaya yang rumah tangganya hancur, anak anaknya liar dan kehidupannya amburadul.Kekayaan bisa menghasilkan kebahagiaan sekaligus juga kesengsaraan. Karena itu ketika kaum Yahudi bertanya kepada Sayidina Ali mana yang lebih berharga harta atau ilmu. Ali menjawab ilmu. Ilmu menjagamu harta kamu harus menjaganya. Ilmu warisan para Nabi harta warisan Qarun dan Fir’aun. Ilmu mencerahkan harta seringkali menggelapkan. Ilmu diberikan bertambah, harta diberikan berkurang. Yang jelas di tangan orang berilmu harta manfaat. Di tangan orang jahil harta mudharat.Maka Rasulullah tidak pernah membedakan antara sahabat yang kaya dan miskin. Ada Abdurrahman bin Auf yang kaya. Ada Bilal yang miskin. Yang didorong Rasul bukan menjadi kaya atau miskin, tapi yang didorong Rasul mencari ilmu setinggi tingginya.Penghormatan terhadap harta yang berlebihan menyebabkan masyarakat kita seperti menuhankan uang. Kalau gak ada uang gak mau jalan. Gak ada uang gak mau kerja.Akhirnya hal ini menjadi makanan empuk bagi politisi atau mereka yang syahwat kekuasaan. Suara rakyat bukan suara Tuhan. Suara rakyat bisa dibeli. Suara rakyat bisa dimainkan. Ini nampak jelas pada pilpres 2024 yang lalu. Untuk pilkada, nampaknya tidak jauh beda dengan pilpres.Mengubah mindset harus kaya ini memang tidak mudah. Harusnya mindset sebagai seorang muslim adalah harus berilmu. Cita cita tertingginya menjadi ulama bukan menjadi kaum berduit.Orang yang berilmu dipuji Allah dan RasulNya. Tentu mereka yang berilmu dan mengamalkan ilmunya. Orang kaya yang berilmu juga dipuji. Tentu bagi mereka yang senang membagi kekayaannya bagi kaum miskin.Ingatlah pesan Rasulullah Saw, “Sesungguhya Allah akan menolong umat ini dengan sebab orang orang yang lemah dari mereka, yaitu dengan doa, shalat dan keikhlasan mereka.” (Hadits An Nasai)Jangan hindari orang miskin. Bertemanlah kepada orang kaya atau miskin.Rasulullah dalam perjuangan dakwahnya banyak didukung orang orang yang lemah dan miskin (dhuafa). Bahkan Rasul pernah berdoa agar dimasukkan dalam golongan orang miskin.Hidup memang pilihan. Boleh kaya atau miskin. Yang penting berilmu. Ilmu inilah yang menjaga kepribadian seorang Muslim baik di saat kaya atau miskin. Wallahu alimun hakim.[]Nuim Hidayat, Penulis dan Aktivis Ormas Islam di Depok, Jabar.

Islam Menghargai Ilmu dan Menjunjung Tinggi Para Pemilik Ilmu

Rina Tresna Sari, S.Pd.I Pendidik Generasi Khoiru Ummah Berdasarkan hasil Penelitian Serikat Pekerja Kampus atau SPK mengungkap mayoritas dosen menerima gaji bersih kurang dari Rp3 juta pada kuartal pertama 2023, termasuk dosen yang telah mengabdi selama lebih dari enam tahun. Sekitar 76 persen responden atau dosen mengaku harus mengambil pekerjaan sampingan karena rendahnya gaji dosen. […]

Teruslah Haus Akan Ilmu

Kehidupan akhirat adalah kehidupan kekal yang abadi setelah kehidupan dunia. Kehidupan dunia bukanlah kehidupan yang abadi selayaknya akhirat, dunia bersifat sementara, tempat dari berbagai macam kehidupan para makhluk ciptaan-Nya, salah satu dari makhluk-Nya adalah manusia.Dunia menjadi tempat untuk berlomba-lombakan materi kehidupan yang jauh lebih baik, tanpa terlintas bagaimana kehidupan setelahnya, dan terkadang hal ini bisa terjadi oleh siapapun, walaupun tidak semua insan seperti itu.Namun, setiap manusia yang hidup pasti mempunyai bekal tersendiri, tentu untuk dirinya. Entah itu hanya bekal materi untuk kehidupan dunianya atau mungkin, dibalik dari bekal dunianya, ia juga menyiapkan bekal untuk akhiratnya, dan bahkan mungkin juga ia mengejar bekal akhiratnya melalui kehidupan dunianya. Salah satu untuk meraih perbekalan itu dengan menuntut ilmu.Lalu, seberapa pentingkah menuntut Ilmu?Menuntut ilmu itu sangatlah penting. Manusia tanpa ilmu, hidupnya tidak akan lebih baik tanpa ilmu. Dalam Islam pun, hukum menuntut ilmu menjadi hukum yang wajib bagi setiap muslim, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Rasulullah Saw, dalam hadistnya;طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah dari Anas r.a)Berbicara mengenai ilmu, perlu diketahui bahwa ilmu Allah itu tak ada habisnya, dibuktikan dengan adanya firman allah yang berbunyi:قُل لَّوْ كَانَ ٱلْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَٰتِ رَبِّى لَنَفِدَ ٱلْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَٰتُ رَبِّى وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِۦ مَدَدًا“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (QS. Al-Kahfi [18]: 109)Apabila kita cermati dengan seksama mengenai ayat ini, ayat ini mengandung perumpamaan, dan perumpamaan ini ada didalam Al-Qur’an, yang mana jika kita berada dalam ranah Ulumul Qur’an maka ayat ini disebut ayat amtsal. Amtsal pada ayat ini juga disebut sebagai amtsal mushaharrah yakni amtsal yang nyata dan pasti dialami oleh setiap manusia. Karna amtsal ini ditujukan kepada setiap hamba Allah yang haus akan ilmu, yang menjelaskan bahwa ilmu allah itu tidak akan ada habisnya..Menuntut ilmu ini, tidak selamanya harus dalam jenjang ke-umuman seperti sekolah ataupun kuliah, walaupun memang pada umumnya seperti itu. Namun, perjalanan menuntut ilmu tidak hanya berhenti sampai disana, melainkan menuntut ilmu juga didapat dari berjalannya kehidupan itu sendiri, baik dari kehidupan dirinya maupun orang lain bahkan orang-orang sekitarnya, dan bisa didapatkan juga di majelis-majelis ilmu seperti halnya pengajian.Dan tentunya, Ilmu tidak akan cukup jika hanya di dapatkan dari jenjang sekolah/kuliahnya saja, karna setiap manusia hidup pasti membutuhkan pengetahuan yang baru untuk kehidupan selanjutntya. Dengan kata lain, bahwa manusia itu perlu menambah wawasan pengetahuannya, baik secara materi maupun alamiah. Adapun penafsiran dua ulama yang dikutip penulis mengenai QS. Al-Kahf [18]: 109 mengutip beberapa makna.1 2Laman berikutnya