Tag:
haid
Islampos.com
Wanita 2 Kali Haid dalam Sebulan, Bagaimana Shalatnya?
TANYA: Saya mengalami problem sehingga haid saya datang dua kali dalam sebulan. Setiap kali berlangsung selama 7-10 hari. Bagaimana saya shalat?JAWAB: Hukum itu terkait dengan illatnya (sebabnya), ada atau tidaknya. Jika haid yang telah dikenal sifat dan warnanya itu datang, maka seorang wanita harus mentaati ketentuannya; Diharamkan baginya shalat dan jimak, bahkan walaupun kedatangannya berulang lebih dari sekali dalam sebulan. Bahkan seandainya masanya melebihi kebiasaannya dalam setiap bulan.BACA JUGA: Beda Haid dan IstihadahSyekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya tentang wanita yang kedatangan haid kemudian suci lalu dia mandi. Setelah sembilan hari berselang, datang lagi haid selama 3 hari, dia tidak shalat dan berpuasa. Kemudian dia suci, lalu dia shalat selama 11 hari. Kemudian setealah itu datang haid sebagaimana biasanya. Apakah dia harus mengulangi shalat yang dia tinggalkan selama tiga hari tersebut ataukah dia menganggapnya sebagai haid?BACA JUGA: Jima Sebelum Mandi Wajib Haid, Apa Hukumnya?Beliau menjawab, “Haid kapan saja datang, maka ia adalah haid, apakah masa antara haid yang satu dengan lainnya, lama atau sebentar. Jika seseorang haid, lalu suci, kemudian setelah 5-6 hari atau 10 hari datang haid lagi kedua kalinya, maka dia tidak boleh shalat, karena ketika itu dia sedang haid. Demikian seterusnya. Setiap dia suci, lalu datang haid, maka dia wajib tidak shalat dan puasa. Adapun jika darahnya keluar terus menerus, atau tidak terputus-putus kecuali sedikit saja, maka ketika itu dia terkena istihadhah. Ketika itu dia tidak boleh meninggalkan shalat kecuali pada waktu kebiasaan haidnya saja.(Majmu Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, 11/soal 230)Wallahua’lam. []SUMBER: ISLAMQA
Islampos.com
Hukum Wanita Minum Obat Penunda Haid di Bulan Ramadhan karena Akan Nikah Setelah ‘Ied
TANYA: Seorang perempuan akan segera menjadi pengantin insyaAllah setelah ‘ied, dan jadwal datang bulan (haidh) adalah pada akhir minggu bulan ramadhan atau boleh jadi telat sampai tanggal pernikahan, apakah boleh ia minum obat supaya bisa menghentikan masa haid sebelum hari pernikahan?Jawab: Diperbolehkan bagi wanita mengkonsumsi obat untuk melancarkan haid di bulan ramadhan, dengan alasan bahwa jadwal pernikahannya adalah setelah Idul fitri, dan dia tidak ingin masih dalam keadaan haid saat itu, dengan syarat tujuan dan maksudnya bukan untuk membatalkan puasa.Al-Mardawi rahimahullah berkata: “diperbolehkan (bagi wanita) minum obat pelancar haid”, Syeikh Taqiyuddin (ibnu Taimiyah) menyebutkan hal tersebut, dan membatasi pembahasanya pada sub-bab; kecuali menjelang ramadhan agar bisa membatalkan puasa, Abu Yu’la as-saghir juga menyebutkannya”.BACA JUGA: Hukum Perempuan Puasa Sebelum Mandi Besar dari HaidhnyaSaya (Al-Mardawi) menyatakan: dan tidak ada yang berbeda pendapat (dalam hal ini), akhir kutipan dari “Al-Anshaf” (1/273).Dibolehkan bagi seorang wanita meminum obat untuk melancarkan haid pada bulan Ramadhan, karena pernikahannya setelah Idul Fitri, dan dia tidak ingin haidnya bertepatan, asalkan tujuannya bukan untuk berbuka.Untuk penjelasan lebih lanjut, bisa lihat “al-Furu’” (1/393), “al-Fatawa al-Kubro” (5/315).Al-Baihaqi rahimahullah mengatakan: “(diperbolehkan) bagi wanita (minum obat) yang diperbolehkan (untuk pelancar haid, tidak pada menjelang bulan ramadhan dengan maksud supaya tidak berpuasa), akhir kutipan dari “Kasyaf al-Qana’” (1/218).Bepergian (safar) bisa menjadi haram jika sengaja dijadikan sebagai muslihat untuk menghindari kewajiban, sehingga tidak berpuasa di bulan ramadhan.Ilustrasi Foto: HealthlineAkan tetapi jika bepergian (safar) karena alasan yang bisa diterima , maka hal itu tidak dilarang, dan tidak pula menjadi penghalang untuk mengambil keringanan (rukhsah) untuk tidak berpuasa pada bulan ramadhan, atau untuk memendekkan (mengqashar) shalat.BACA JUGA: Sekilas Fiqih Haid (Menstruasi)Selama anda tidak bertujuan agar bisa tidak berpuasa, tetapi karena adanya kekhawatiran pernikahan berlangsung dalam masa haid, maka hal itu tidak menjadi masalah.Akan tetapi jika setelah Ied anda bisa meminum obat untuk mencegah datangnya haid, atau anda bisa menunda tanggal pernikahan dua minggu setelah Ied, dan seterusnya, maka hal ini tentu lebih baik daripada anda harus meminum obat pelancar haid sekarang, dan anda jadi terhalang untuk bisa berpuasa.Wallahu a’lam. []SUMBER: ISLAMQA
Islampos.com
Hukum Perempuan Puasa Sebelum Mandi Besar dari Haidhnya
TANYA: Bagaimana hukum puasa bagi perempuan yang selesai haid namun belum mandi wajib?Saya suci dari haidh sebelum subuh, lalu saya tertidur sampai jam sepuluh menjelang siang dan belum mandi besar. Saya lupa bahkan saya sampai mengantar anak perempuan saya yang sedang sakit ke rumah sakit sampai masuk waktu ashar. Baru teringat kalau saya belum mandi besar. Kemudian saya mandi dan mengqodho’ (mengganti) shalat yang terlewat. Dan Allah Maha Mengetahui bahwa hal ini kali pertama saya alami semenjak saya baligh. Dan siklus masa haidh saya biasanya selama sembilan hari, namun kali ini selama delapan hari. BACA JUGA: Hadist Dha’;if tentang Ramadhan Dibagi 3Lalu saya mengendusnya untuk mengecek kebenarannya, akan tetapi saya berpuasa, apa yang harus saya perbuat? Apakah saya harus mengqodho’ (mengganti) puasa di hari lain?Jawab: Apabila anda sudah yakin sudah suci dari haid, dan anda berniat puasa meskipun satu menit sebelum subuh, maka puasa anda sah. Meskipun mandi besarnya setelah subuh.Dan lihatlah jawaban soal nomor: 7310Namun apabila anda ragu akan masa suci anda, dan anda juga berniat puasa, maka puasa anda tidak sah karena didasari atas keragu-raguan sudah suci dari haid atau belum.Suatu ketika Syeikh Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya tentang seorang perempuan yang berpuasa, akan tetapi dia masih ragu apakah sudah suci dari haid apa belum, dan pada pagi harinya ternyata benar-benar suci, apakah puasanya sah padahal dia belum meyakini kesuciannya dari haid?Maka beliau menjawab: “puasanya tidak sah, dan wajib baginya untuk mengganti di hari lain. Karena hukum asalnya dia sedang haid, sedangkan dia berpuasa dalam keadaan tidak yakin bahwa ia telah suci, artinya dia beribadah (puasa) disertai dengan keragu-raguan akan syarat sahnya ibadah puasa. Inilah yang menghalangi puasanya dianggap sah. (Majmu’ Fatawa Syeikh Ibnu Utsaimin 19/107)Foto: UnsplashDan apabila seorang perempuan mengetahui bahwa dirinya telah suci dari haid, maka diwajibkan baginya mandi besar untuk mendirikan shalat, dan tidak boleh ditunda sampai masa waktu shalat habis. Apabila dia mengerjakan hal yang demikian, maka dia harus bertaubat, dan mengganti ibadah yang terlewat.BACA JUGA: Perempuan Haid Tidak Boleh Puasa Itu Bukan Diskriminasi!Namun apabila dia lupa bahwa ia telah suci dari haid –sebagaimana yang anda sebutkan dalam pertanyaan- maka anda tidak berdosa insya Allah. Dan wajib bagi dia ketika sudah ingat, maka dia harus mandi besar, dan mengganti shalat yang terlewat, sebagaimana yang anda lakukan.Kami mamohon kepada Allah –subhanahu wa ta’ala- agar senantiasa mengampuni kita semua.Wallahu A’lam. []SUMBER: ISLAMQA
Islampos.com
Sekilas Fiqih Haid (Menstruasi)
HAID menurut bahasa artinya genangan air.Adapun menurut syari’at , haidh adalah “darah yang keluar dari dasar rahim wanita” dalam waktu-waktu tertentu yang bukan disebabkan oleh penyakit atau gangguan, tetapi itu merupakan kebiasaan yang Allah tetapkan pada wanita, Allah menciptakannya di dalam rahim untuk persediaan makanan bagi bayi semasa di dalam kandungan, lalu ia akan berubah menjadi susu setelah anak itu dilahirkan.Maka apabila seorang wanita tidak sedang mengandung, dan juga tidak sedang menyusui darah ini tetap ada dan tidak ada penggunaannya, maka ia akan keluar pada waktu-waktu tertentu yang dikenal sebagai kebiasaan wanita atau menjadi rutinitas bulanan.UMUR WANITA MENGALAMI HAIDHMenurut kebiasaan, haidh terjadi pada wanita sekurang-kurangnya mulai umur 9 tahun sampai menjelang 50/ 60 tahun.Allah berfirman:وَٱلَّٰٓـِٔى يَئِسْنَ مِنَ ٱلْمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمْ إِنِ ٱرْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشْهُرٍ وَٱلَّٰٓـِٔى لَمْ يَحِضْنَ ۚDan Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. (QS. At-Thalaq: 4)Hal Yang Dilarang Saat Haidh1. Diharamkan berjima’ (berhubungan badan)berdasarkan firman Allah Ta’ala:وَيَسْتَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: Haidh itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang Allah perintahkan kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)BACA JUGA: Badannya Wanita Haid Itu suciDibolehkan bagi suami untuk bercumbu dengan isterinya yang sedang haidh selain jima’. Berdasar sabda Rasulullah shalallahu `alaihi wasallam:صْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ.“Lakukanlah apa saja (kepada isteri kalian) kecuali nikah (HR. Muslim)2. Dilarang puasa dan shalatBerdasarkan sabda Rasulullah shalallahu `alaihi wasallam shallAllahu `alaihi wasallamاليس إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ لَمْ تُصَلّ وَلَمْ تَصُمْ؟“Bukankah apabila seorang wanita sedang haidh ia tidak mengerjakan shalat dan tidak juga berpuasa?Apabila telah suci dari haidh, ia wajib mengqadha (membayar) puasanya, akan tetapi ia tidak perlu mengqadha shalat, karena ‘Aisyah pernah berkata,كنا نَخَيْضُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَكُنَّا نُؤْمَرُ نَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ.“Kami (para wanita) mengalami haidh pada masa Rasulullah shalallahu `alaihi wasallam ,, lalu kami diperintahkan untuk membayar (mengqadha) puasa dan tidak diperintahkan untu mengqadha shalat.” (Muttafaq ‘alaihi)Foto: Unsplash3. Dilarang menyentuh mush-haf (al-Qur-an) secara langsung tanpa (alas)Berdasarkan firman Allah Ta’ala:لا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ“Tidaklah menyentuhnya kecuali orang-orang yang sucikan.” (QS. Al-Waqi’ah: 79)Sedangkan untuk membacanya Imam Nawawi dalam kitab attibyan membolehkan asalkan dalam hati (tanpa menyentuh/ boleh dengan memakai sarung tangan).Namun mayoritas Imam Mazhab tidak membolehkan.4. Wanita yang sedang haidh diharamkan melakukan thawaf di Ka’bah.Rasulullah shalallahu `alaihi wasallam . bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anhaa ketika ia haidh:“Lakukanlah olehmu seperti apa yang dilakukan oleh orang yang sedang haji, kecuali janganlah engkau thawaf di Ka’bah hingga engkau suci!” (Muttafaq ‘alaihi)5. Wanita yang sedang haidh dilarang berdiam diri di masjid,Berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu `alaihi wasallam:إِنَّ الْمَسْجِدَ لَا يَحِلُّ لِحَائِضِ وَلَا جُنُبٍ.“Sesungguhnya masjid itu tidak halal bagi orang yang sedang haidh dan orang yang sedang junub (berhadas besar).” (HR. Ibnu Majah)Namun ada dalil lain yang memperbolehkan selama mempunyai hajat dan tidak mengotorinya.‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhaa, ia berkata, “Rasulullah shalallahu `alaihi wasallam shallallahu `alaihi wasallambersabda:نَاوِلِينِي الْحُمْرَةَ مِنَ الْمَسْجِدِ، فَقُلْتُ: إِنِّي حَائِضُ فَقَالَ: إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ بِيَدِكِ.‘Ambilkan aku sorban dari masjid!’ Aku pun berkata: ‘Aku sedang haid’ Lalu beliau . bersabda, shalallahu bersabda: “Sesungguhnya haidhmu itu bukan di tanganmu.” (HR. Jama’ah kecuali al-Bukhari (I/140)Lama masa haidhMenurut ulama Syafi’iyah, waktu minimal lamanya haid adalah sehari semalam. Umumnya wanita mengalami haid adalah enam atau tujuh hari. Sedangkan waktu maksimal bagi wanita mengalami haid adalah lima belas hari.Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Salim Al-Hadrami dalam Matan Safinah An-Najah. Lama haid itu sehari semalam juga disebutkan dalam madzhab Hambali seperti dalam Zaad Al-Mustaqni’ bahwa waktu lamanya haid paling minimal adalah sehari semalam.PENJELASAN TENTANG HUKUM ‘SHUFRAH’ DAN ‘KUDRAH’ (CAIRAN KEKUNING-KUNINGAN DAN CAIRAN KERUH)Shufrah yaitu cairan seperti nanah kekuningan, dan kudrah yaitu cairan seperti air yang keruh.Dalam hal ini ada beberapa pendapat yakni,1. cairan yang keluar setelah haidh tidak dihukumi darah haidh lagiDari Ummu Atiyah radhiallahu’anha:كنا لا نعد الكدرة والصفرة بعد الطهر شيئا“Dahulu kami tidak menganggap apapun cairan keruh (kurang) dan kekuning-kuningan (sufrah) setelah masa suci.”HR. Bukhori, 320. Abu Dawud, 307. Nasa’I, 368. Ibnu Majah, 647 redaksi Abu Daud.BACA JUGA: Hukum Suami Menggauli Istri yang Sedang Haid2. Masih dihukumi darah haidhBerdasarkan,“Mereka bertanya tentang shalat (jika keluar cairan seperti ini). Kemudian (Aisyah) mengatakan kepada mereka, “Jangan anda semua terburu-buru (shalat) sampai anda semua melihat lendir putih. Yang beliau maksudkan hal itu suci dari haid.”(HR Bukhari)Pendapat ini diambil mayoritas Imam Mazhab.Tanda berakhirnya Haidh1. Keluarnya cairan putih yang mengikuti haidh menyerupai cairan warna kapur, terkadang juga tidak berwarna putih, dan terkadang warnanya berbeda pada beberapa keadaan wanita.2. Tanda kering, (untuk mengetahuinya) dengan memasukkan kain atau kapas ke kemaluannya, lalu apabila dikeluarkannya kering dan tidak ada sesuatu, baik berupa darah atau kudrah atau shufrah.YANG HARUS DILAKUKAN WANITA AKHIR HAIDHNYA.Di akhir haidhnya, seorang wanita diwajibkan mandi dan berniat untuk mensucikan seluruh badannya, berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu `alaihi wasallam ْ“Maka apabila datang bulan (haidh), tinggalkanlah shalat, dan bila haidh telah berlalu/selesai, maka mandilah dan shalatlah!”Caranya:Hendaklah dalam mandinya itu ia berniat mengangkat hadats besar atau bersuci untuk shalat, dan sebagainya dengan tujuan yang sama. Kemudian بسم الله (dengan menyebut Nama Allah) selanjutnya mandi dengan meratakan air ke seluruh badan, dan alirkan air ke pokok rambut kepala.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam al-Fataawaa (XXII/434): “Jumhur ulama seperti Imam Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat, apabila wanita yang haidh telah suci di akhir siang (waktu ‘Ashar) maka ia harus shalat Zhuhur dan ‘Ashar berbarengan.Dan apabila ia telah suci di akhir waktu malam (waktu ‘Isya’), maka ia harus shalat Maghrib dan Isya berbarengan, sebagaimana yang dinukil (diriwaya dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah dan ‘Abbas, karena menjadi satu waktu dalam dua sholat ketika adanya udzur (ada halangan).Foto: PinterestMaka apabila wanita itu telah suci di akhir siang maka waktu Zhuhur tetap ada, dan ia harus melaksanakan shalat Zhuhur sebelum shalat ‘AsharDan apabila ia telah suci di akhir waktu malam maka waktu Maghrib masih tetap ada untuk udzur tersebut dan ia harus melaksanakan shalat Maghrib sebelum shalat ‘Isya’.”(ijtihad para sahabat)BACA JUGA: Kenali, 6 Warna Darah HaidAdapun apabila telah masuk waktu shalat, la mengalami haidh atau nifas sebelum ia mengerjakan shalat, maka menurut pendapat yang lebih kuat, ia harus mengqadha (membayar) shalat yang ia tinggalkan.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam masalah ini: “Adapun dalil yang paling jelas dari madzhab Abu Hanifah dan Imam Malik, bahwa harus mengqadha (membayar) shalat, karena mewajibkan adanya perintah yang baru.”Dan di sini tidak ada perintah yang mengharuskan untuk menggadha, karena wanita tersebut telah men- ta’khir (menangguhkan) shalatnya dalam waktu yang dibolehkan, jadi ia tidaklah berlebihan (melalaikan).Adapun orang yang sedang tidur atau lupa, jika ia bukan orang yang melalaikan, apa yang ia lakukan itu bukan qadha, bahkan ketika ia bangun dari tidurnya atau ketika itu ia teringat akan shalat, maka itulah waktu shalat baginya. “‘ (Majmuu’ fataawaa (XXIII/335) []Sumber: Fikih Imam Mazhab, Matan abu Syuja’/ Fikih Imam Syafi’i, Fikih Wanita Syeikh shalih bin Fauzan.
Islampos.com
Haid Datang 5 Menit Sebelum Magrib, Apakah Puasa Diteruskan?
KETIKA seorang wanita mulai kedatangan haid lima menit sebelum azan magrib, apakah puasanya diteruskan atau batal?Kalau seorang wanita telah keluar haid sebelum terbenam matahari, meskipun sesaat, maka puasanya batal. Maka dia harus mengqadha untuk hari itu.BACA JUGA: Keluar Nanah, Apakah Membatalkan Puasa?Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan dalam kitab Majalis Syahri Ramadan, hal. 39: “Kalau haidnya telah terlihat dari seorang wanita yang sedang berpuasa meskpun sesaat sebelum magrib, maka puasa hari itu batal dan diharuskan mengqadha.”Dia tidak dibolehkan berpuasa dalam kondisi haid, kalau dia tetap melakukan (puasa), maka puasanya tidak sah.BACA JUGA: Tidak Puasa Ramadhan Sebulan PenuhIbnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni, 4/397: “Jika wanita haid berniat puasa dan menahan (dari makan) padahal dia telah mengetahui keharaman akan hal itu, maka dia berdosa dan tidak diterima puasanya.”Wallahu a’lam. []SUMBER: ISLAMQA
Islampos.com
Hikmah Pengharaman Puasa bagi Wanita Haid?
KAMI ingin mengetahui hikmah tidak dibolehkannya berpuasa bagi wanita (yang sedang haid), padahal (puasa) tidak ada kaitannya dengan najis?Pertama: seharusnya seorang mukmin menerima secara penuh terhadap hukum Allah Ta’ala dan merealisasikannya meskipun tanpa mengetahui hikmahnya. Bahkan dia merasa cukup jika itu adalah perintah dari Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman:( وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً ) سورة الأحزاب: 36“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)BACA JUGA: Kenali, 6 Warna Darah HaidDan firman Allah lainnya:“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nur: 51).Foto: FreepikKedua: Seorang mukmin seharusnya meyakini dengan keyakinan penuh bahwa Allah Maha Bijaksana (Al-Hakim). Maka Dia tidak akan mensyariatkan atau memerintah sesuatu kecuali pasti di dalamnya terdapat hikmah yang dalam dan murni memiliki kemaslahatan atau lebih dominan (kemaslahatannya), dan Dia tidak melarang sesuatu melainkan di dalamnya terdapat murni kerusakan atau dominan (kerusakannya).Alangkah indahnya perkataan Ibnu Katsir rahimahullah di kitab Al-Bidayah Wan Nihayah, 6/79:“Syariat beliau (Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah syariat yang paling sempurna. Tidak ada kebaikan yang dikenal oleh akal fikiran (manusia) sebagai kebaikan kecuali dia memerintahkannya, dan tidak ada suatu kemungkaran yang dikenal oleh akal fikiran (manusia) sebagai kemungkaran melainkan dia telah melarangnya. Dia tidak memerintahkan sesuatu, kemudian ada orang yang mengatakan alangkah baiknya kalau (hal itu) tidak diperintahkan, dan dia tidak melarang sesuatu, kemudian ada yang mengatakan alangkah baiknya kalau hal itu tidak dilarang”Hikmah terkadang dapat kita ketahui dan terkadang tidak kita ketahui. Bahkan bisa jadi yang tidak kita ketahui lebih banyak atau hanya sebagiannya.Ketiga: Para ulama bersepakat (ijma) tentang diharamkannya puasa bagi (wanita) haid. Dan dia diharuskan mengqhada hari yang dia berbuka (puasa) karena haid, jika puasa tersebut merupakan puasa wajib seperti puasa Ramadan. Para ulama juga bersepakat (ijma) kalau wanita haid berpuasa, maka puasanya tidak sah. (Silahkan lihat soal jawab no. 50282)Para ulama berbeda pendapat mengenai hikmah tidak sahnya puasa wanita yang sedang haid. Sebagian (ulama) mengatakan: Hikmahnya tidak kita ketahui. Imam Haramain berkata: “Ketetapan bahwa puasanyanya tidak sah, tidak diketahui maknanya. Karena suci bukan (merupakan) persyaratan di dalamnya.” (Al-Majmu, 2/386).Sebagian (lagi) mengatakan: “Hikmah bawah Allah melarang (wanita) haid berpuasa sewaktu haid adalah sebagai kasih sayang kepada (wanita tersebut). Karena keluarnya haid melemahkan dirinya, dan jika dia berpuasa dalam kondisi haid, maka akan berkumpul pada dirinya dua kelemahan, lemah disebabkan haid dan puasa. Maka berpuasa baginya akan mengakibatkan hilang keseimbangan, bahkan bisa juga membahayakan.Syaikhul Islam berkata di kitab Majmu’ Al-Fatawa, 25/234:“Maka kami akan menyebutkan hikmah haid dan bahwa berlaku padanya qiyas (analogi). Kami katakan, Sesungguhnya agama datang dengan keadilan pada segala sesuatu, karena berlebih-lebihan dalam ibadah termasuk melampau batas yang dilarang agama. Dia memerintahkan untuk melakukan perkara yang seimbang dalam beribadah. Oleh karena itu diperintahkan untuk menyegerakan berbuka (puasa), mengakhirkan sahur dan melarang puasa wishal (puasa terus menerus tanpa henti). Dan (Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam) bersabda: “Sebaik-baik puasa dan paling seimbang adalah puasa Nabi Daud alaihis salam, biasanya beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari dan tidak lari ketika bertemu (musuh).” Sehingga keadilan dalam ibadah menjadi salah satu maksud syariat yang sangat besar. Oleh karena itu Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Maidah: 87). Maka mengharamkan yang halal merupakan sikap melampaui batas yang menyalahi keadilan (keseimbangan). Firman Allah lainnya: “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya,” (QS. An-Nisaa: 160-161).Foto: UnsplashKetika mereka (berbuat) kezaliman, mereka diganjar dengan diharamkannya (memakan) yang baik-baik. Lain halnya dengan umat ini yang moderat. Mereka dihalalkan memakan yang segala sesuatu yang baik dan diharamkan segala sesuatu yang buruk.Karenanya, orang berpuasa dilarang mengkonsumsi sesuatu yang dapat menguatkan dan dapat mensuplai tubuh, berupa makanan dan minuman, sebaliknya mereka dilarang mengeluarkan sesuatu yang dapat melemahkan badan, begitu pula dilarang baginya mengeluarkan komponen yang berguna menjadi asupan bagi tubuh yang kalau dikeluarkan, yang jika hal itu dilakukan akan membahayakan dirinya, dan dengan demikian, dia dikatakan telah melampaui batas dan bersikap tidak adil dalam ibadahnya.BACA JUGA: Badannya Wanita Haid Itu suciSesuatu yang keluar dari tubuh ada dua macam. Pertama, yang keluar tanpa dapat dihindari atau dengan cara yang tidak membahayakan (seperti buang air kecil dan besar). Hal ini tidak mencegah (seseorang dari puasa), karena keluarnya tidak membahayakan dan tidak mungkin ditahan juga, meskipun kita menginginkannya, bahkan bermanfaat. Begitu juga kalau tiba-tiba muntah (tanpa dia sengaja) dan tidak mungkin dicegah. Begitu juga bermimpi dalam tidur, tidak mungkin dicegah.Akan tetapi kalau dia sengaja membuat dirinya muntah, maka muntah disini berarti mengeluarkan asupan makanan dan minuman yang dibutuhkan tubuh. Begitu juga dengan onani bersamaan dengan adanya nafsu.Sewaktu haid berarti mengeluarkan. Sebenarnya wanita haid memungkinkan berpuasa apabila darah tidak keluar. Ketika itu maka puasanya dapat dikatakan puasa yang seimbang, karena saat itu tidak keluar darah yang merupakan unsur penguat badan. Adapun berpuasanya sewaktu haid berarti dia berpuasa saat darah yang menjadi unsur tubuhnya keluar, dan itu berarti berkurangnya bagian dari tubuhnya dan akhirnya membuat lemah. Sehingga puasanya dalam kondisi ini, menyebabkannya keluar dari keseimbangan, karenanya diperintahkan untuk berpuasa pada waktu selain (waktu) haid.” []SUMBER: ISLAMQA
Islampos.com
Badannya Wanita Haid Itu suci
BADANNYA wanita haid itu suci. Ini bisa dilihat dari hadist berikut ini:
حَدَّثَنَا زُهَيْرًا عَنْ مَنْصُورِ بْنِ صَفِيَّةَ أَنَّ أُمَّهُ حَدَّثَتْهُ أَنَّ عَائِشَةَ حَدَّثَتْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَّكِئُ فِي حَجْرِي وَأَنَا حَائِضٌ ثُمَّ يَقْرَأُ الْقُرْآن
Telah menceritakan Zuhair dari Manshur bin Shafiyah bahwa Ibunya menceritakan kepadanya, bahwa ‘Aisyah menceritakan kepadanya, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyandarkan badannya di pangkuanku membaca Al Qur’an, padahal saat itu aku sedang haid.” (Bukhari, Muslim, Abu Dawud)
Makna Dan Faedah Hadits :
1. Bolehnya membaca Al Qur’an diatas paha orang yang haid karena sesungguhnya badan dan pakaian orang yang haid itu suci.
BACA JUGA: Masa Haid Wanita, Menurut 4 Madzhab dalam Islam
2. Adapun wanita haid boleh membaca Al Qur’an atau tidak? Ulama berbeda pendapat, ada yang melarangnya dan ada yang membolehkannya, namun yang kuat –wallahu a’lam- diperbolehkan bagi wanita yang sedang haid untuk membaca Al-Quran karena tidak adanya dalil yang shahih yang melarang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kpd Aisyah yg haid dan ingin menyelesaikan ibadah hajinya :
ثم حجي واصنعي ما يصنع الحاج غير أن لا تطوفي بالبيت ولا تصلي
“Kemudian berhajilah dan lakukan apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji kecuali thawaf dan shalat.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim, dari Jabir bin Abdillah )
Syeikh Al Albany berkata dalam hadist ini menunjukkan seandainya haram baginya membaca Al-Quran tentunya akan beliau terangkan sebagaimana beliau menerangkan hukum shalat (ketika haid), bahkan hukum membaca Al-Quran (ketika haid) lebih berhak untuk diterangkan karena tidak adanya nash dan ijma’ yang mengharamkan, berbeda dengan hukum shalat (ketika haid). Kalau beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Aisyah dari shalat (ketika haid) dan tidak berbicara tentang hukum membaca Al-Quran (ketika haid) ini menunjukkan bahwa membaca Al-Quran ketika haid diperbolehkan, karena mengakhirkan keterangan ketika diperlukan tidak diperbolehkan, sebagaimana hal ini ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh dan ini jelas tidak samar lagi, walhamdulillah.” (Hajjatun Nabi hal:69).
Foto: Pixabay
3. Namun jika orang yang berhadats kecil dan wanita haid ingin membaca Al-Quran maka dilarang menyentuh mushaf atau bagian dari mushaf dan ini adalah pendapat empat madzhab, Hanafiyyah (Al-Mabsuth 3/152), Malikiyyah (Mukhtashar Al-Khalil hal: 17-18), Syafi’iyyah (Al-Majmu’ 2/67), Hanabilah (Al-Mughny 1/137).
BACA JUGA: Kenali, 6 Warna Darah Haid
Berkata Syeikh Bin Baz: “Boleh bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al Qur’an menurut pendapat yang lebih shahih dari dua pendapat ulama, karena tidak ada dalil yang melarangnya, namun tidak boleh menyentuh mushaf langsung dan boleh memegangnya dengan penghalang seperti kain yang bersih atau selainnya dan boleh juga memegang kertas yang ada tulisan Al-Quran (dengan menggunakan penghalang) ketika diperlukan” (Fatawa Syeikh Bin Baz 24/344).
4. Yang lebih utama adalah membaca Al-Quran dalam keadaan suci.
Wallahu ta’ala a’lam bishowab. []
Dinukil dari kitab: Taisirul ‘Alam syarah ‘Umdatul Ahkam Babul Haid, Hadist No 42, Jld : 1 Hal :70-71 Cet. Matabah Ar Rusdi 1420 H, Riyadh- KSA dan www.konsultasisyariah.com | Islamy Persona