Tag:

gen z

Tidak Siap Bekerja dan Sombong, Banyak Perusahaan Ogah Terima Gen Z

Sekitar enam dari sepuluh perusahaan yang termasuk dalam survei melaporkan memecat lulusan universitas baru yang mereka pekerjakan tahun iniHidayatullah.com | LAPORAN terkini menemukan banyak perusahaan mulai enggan menerima Generasi Z (Gen Z) sebagai karyawan. Berdasarkan laporan Euro News, banyak lulusan baru kesulitan mendapatkan pekerjaan dan menghadapi tantangan dalam beradaptasi dengan lingkungan kerja. Laporan terbaru dari Intelligent, platform konsultasi pendidikan dan karier, menyebut, sejumlah perusahaan enggan merekrut Gen Z karena mereka dianggap sulit berkomunikasi, tidak mudah menerima masukan dengan baik, dan belum siap menghadapi tuntutan dunia kerja. Laporan didasarkan hasil survei terhadap hampir 1.000 manajer perekrutan, menemukan bahwa satu dari enam pemberi kerja enggan mempekerjakan karyawan Gen Z karena reputasi mereka yang merasa superior dan mudah tersinggung. Lebih dari separuh Gen Z, merujuk orang-orang yang lahir antara tahun 1997 hingga awal tahun 2010-an, tidak punya etos kerja kuat. Holly Schroth, dosen senior di Haas School of Business di University of California, Berkeley, menjelaskan Gen Z lebih fokus pada kegiatan ekstrakurikuler untuk meningkatkan daya saing perguruan tinggi daripada mendapatkan pengalaman di tempat kerja dan cara menghadapi atasan mereka. “Mereka [Gen Z] tidak mengetahui keterampilan dasar untuk berinteraksi sosial dengan pelanggan, klien, dan rekan kerja, maupun etika di tempat kerja,” kata Schroth kepada Euronews Next melalui email. “Oleh karena itu, perusahaan harus benar-benar melakukan orientasi karyawan baru dan memberikan pelatihan yang memadai. Selain itu, atasan perlu berperan sebagai pelatih sekaligus manajer,” imbuhnya. Sekitar enam dari sepuluh perusahaan yang termasuk dalam survei melaporkan memecat lulusan universitas baru yang mereka pekerjakan tahun ini. Beberapa alasan yang disebutkan di balik keputusan ini antara lain kurangnya motivasi dari karyawan, kurangnya profesionalisme, dan keterampilan komunikasi yang buruk. “Banyak lulusan perguruan tinggi baru-baru ini mungkin kesulitan memasuki dunia kerja untuk pertama kalinya karena bisa jadi sangat berbeda dari apa yang biasa mereka alami selama menempuh pendidikan. Mereka sering kali tidak siap menghadapi lingkungan yang kurang terstruktur, dinamika budaya tempat kerja, dan ekspektasi pekerjaan yang mandiri,” kata Huy Nguyen, penasihat utama pengembangan karier dan pendidikan Intelligent, dalam sebuah pernyataan. “Meskipun mereka mungkin memiliki beberapa pengetahuan teoritis dari perguruan tinggi, mereka sering kali tidak memiliki pengalaman praktis di dunia nyata dan keterampilan nonteknis yang dibutuhkan untuk berhasil di lingkungan kerja,” tambahnya. Manajer perekrutan yang disurvei juga melaporkan bahwa beberapa pekerja Gen Z mereka kesulitan mengelola beban kerja, sering terlambat, dan tidak berpakaian atau berbicara dengan pantas. Laporan terpisah dari bulan April menemukan bahwa pekerja Generasi Z terlalu bergantung pada dukungan orang tua selama pencarian kerja mereka. Menurut survei yang dilakukan oleh ResumeTemplates dan mencakup tanggapan dari hampir 1.500 pencari kerja muda, 70 persen mengaku meminta bantuan orang tua mereka dalam proses pencarian kerja. Sebanyak 25 persen lainnya bahkan membawa orang tua mereka ke wawancara, sementara banyak lainnya meminta orang tua mereka mengirimkan lamaran kerja dan menulis resume untuk mereka.*

Gen Z Suka Miliki Dua Akun, Pakar: Itu Tanda Depresi

Banyak Gen Z ini memiliki 2nd account di media sosial, menunjukkan jati diri yang sesungguhnya yang merupakan dua kepribadian dan tanda gejala depresiHidayatullah.com | PENGGUNAAN media sosial menciptakan ilusi tentang kehidupan yang sempurna, di mana orang cenderung hanya menampilkan sisi positif hidup mereka. Pengguna media sosial di kalangan Gen Z bahkan bisa menyebabkan masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi, termasuk penggunaan dua akun. Guru Besar Psikologi UNDIP, Prof Dr Dian R. Sawitri, menjelaskan bahwa media sosial memiliki karakteristik yang memungkinkan individu untuk menghasilkan dan menyebarkan konten secara luas. Media sosial juga bersifat dinamis dan memungkinkan interaksi dengan banyak orang, tetapi juga memiliki sisi negatif. Konten-konten negatif dan perbandingan sosial yang tidak sehat dapat menyebabkan turunnya rasa percaya diri. Menurut  Sawitri,  media sosial dapat menyebabkan distraksi dan adiksi, terutama di kalangan Gen Z yang sangat terhubung dengan gadget mereka. “Gen Z, sebagai generasi digital, sering menunjukkan perilaku seperti memiliki akun media sosial kedua (second account) untuk menampilkan kepribadian yang sebenarnya. Fenomena ini menunjukkan adanya masalah kepercayaan diri,” ujarnya dalam diskusi bertema “Benarkah Gen Z Rentan Depresi? Kesehatan Mental di Tengah Dinamika Kehidupan Digital” baru-baru ini. Diskusi yang bekerjasama dengan LP3ES, Universitas Paramadina, INDEF dan KITLV Leiden mengungkapkan fenomena Gen Z saat ini. Menurut akademisi psikologi Universitas Diponegoro, Hastaning Sakti, ciri generasi digital bisa dilihat pada seseorang yang memiliki lebih dari satu kepribadian. Bisa dilihat dari kebanyakan Gen Z ini memiliki 2nd account di media sosial, di mana dalam akun tersebut bisa menunjukkan jati diri yang sesungguhnya sementara aku satunya untuk ekspresi tentang dirinya yang lain. Hal ini dianggap sebagai refleksi ketidakpercayaan diri di kalangan mereka untuk mendefinisikan siapa mereka. Ciri lain Gen Z adalah perilaku minim etika bahkan berani memaki orang lebih tua di media sosial walaupun mereka tidak saling kenal. Belum lagi, berbagai permasalahan yang berkembang di kalangan remaja Indonesia saat ini adalah seks bebas, fenomena pernikahan tanpa ikatan resmi atau kumpul kebo semakin marak di kalangan anak muda saat ini. Perilaku ini menjadi perhatian serius, karena berkaitan dengan degradasi moral dan sosial. Menurut catatan, populasi Gen Z, terdiri dari 30% populasi dunia, dianggap sebagai generasi yang akan mendominasi dunia kerja pada tahun 2025. Mereka dikenal menghargai otonomi, mengedepankan transparansi, menyukai tantangan, dan fokus pada keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi. Namun, mereka juga menunjukkan ketidaknyamanan dengan pengawasan yang ketat dan lebih memilih model manajemen yang fleksibel. Di sisi positif, media sosial memfasilitasi Gen Z dalam hal koneksi sosial, pembelajaran, dan dukungan online. Mereka menggunakan platform digital untuk mendapatkan informasi, terlibat dalam kegiatan sosial, dan mengekspresikan diri melalui berbagai konten yang dibagikan. Namun, ada juga risiko seperti cyberbullying dan konten negatif yang dapat merusak kesehatan mental mereka. Selain Dian R. Sawitri, diskusi menampilkan empat pembicara yang ahli di bidangnya yaitu; Hastaning Sakti (Akademisi Psikologi UNDIP), Fatchiah E. Kertamuda (Akademisi Psikologi Universitas Paramadina), Aurora Ardina Fawwaz yang juga merupakan Peer Counselor ‘Kita Teman Cerita’ gerakan peduli mental health di Psikologi UNDIP. Tantangan Kesehatan Mental Gen Z Hastaning Sakti mengingatkan bahwa setiap orang memiliki masanya di kehidupannya.  Sehingga tidak bisa memberikan cap bahwa Gen Z merupakan generasi yang lemah. “Jika Gen Z di dalam keluarganya yang masih hidup eyang dan orang tuanya, mereka harus menyesuaikan dengan generasi sebelumnya dan untuk generasi yang akan datang yaitu generasi alpha di mana generasi ini lebih melek lagi terhadap digital,” paparnya. Jika berbahasa atau menyampaikan sesuatu antar generasi juga berbeda dan terus berkembang di setiap generasinya. “Gen Z menggunakan cara komunikasi dan cara berbahasanya dengan lebih cepat dan praktis, sehingga muncul berbagai singkatan-singkatan baru yang didukung dengan adanya sosial media yang memudahkan untuk komunikasi, jadi tidak jarang sering terjadi gap generasi dalam komunikasi,” tegasnya. Tak hanya itu, masalah kecanduan rokok dan narkoba di kalangan remaja juga meningkat, terutama di lingkungan pendidikan. Mirisnya, keberadaan minuman keras (Miras) di sekitar area pendidikan juga turut menyumbang masalah ini, tentu diperlukan kerja sama dengan pihak perguruan tinggi untuk mengatasi masalah ini. Masalah interpersonal pun kerap dialami mahasiswa, seperti konflik dengan pacar, toxic relationship, konflik dengan keluarga dan berbagai masalah lainnya. Obesitas dan gangguan mood seperti depresi atau kecemasan menjadi masalah kesehatan yang sering ditemukan di kalangan remaja dan mahasiswa. Kemudian tingginya angka mahasiswa yang putus sekolah atau mengambil cuti tanpa alasan jelas menjadi perhatian, karena ini menunjukkan adanya problem akademis yang serius. Kurangnya keterbukaan dan komunikasi antara orang tua dan anak menjadi salah satu faktor yang memengaruhi cara berpikir remaja. Hasting menekankan pentingnya mendidik anak sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di dunia yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Hastaning menyinggung istilah seperti generasi strawberry di mana menggambarkan generasi yang dianggap rapuh, namun perlu dipahami bahwa berkembang dalam konteks zaman yang berbeda. “Dilihat dari populasi penduduk di Indonesia, Gen Z menempatkan 29% populasi di Indonesia. Artinya gen z akan menjadi generasi emas mendatang, jadi penting untuk gen z ini mengembangkan skillnya” tegasnya. Sementara Aurora Ardina Fawwaz, seorang Peer Counselor dari “Kita Teman Cerita,” menambahkan bahwa media sosial sering kali membangun standar yang tidak realistis mengenai pencapaian dan penampilan fisik. Ini dapat menyebabkan perasaan tidak berharga dan tekanan untuk memenuhi ekspektasi yang tidak selalu realistis. Salah satu dampak negatif yang paling umum dari penggunaan media sosial adalah cyberbullying, di mana seseorang bisa diserang secara verbal atau dijadikan target pelecehan. Untuk mengatasi masalah ini, penggunaan media sosial yang bijak sangat diperlukan. Menetapkan batasan dalam penggunaan, seperti membatasi screen time, menentukan tujuan yang jelas dalam menggunakan media sosial, dan berhati-hati dalam memberikan komentar, merupakan beberapa langkah yang bisa diambil untuk menjaga kesehatan mental.*

Gen Z Penyumbang Besar Pengangguran di Jakarta

Hidayatullah.com—Data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta memperlihatkan jumlah pengangguran pada rentang usia 15 tahun ke atas mencapai angka 354.496 orang. Data tersebut dihimpun BPS hingga Agustus 2023 dan sudah diperbarui lagi pada 20 Juni 2024 di laman resmi BPS DKI Jakarta.“DKI Jakarta (angka total) pengangguran tahun 2023 sebanyak 354.496 orang,” demikian yang tertulis di laman resmi BPS DKI Jakarta, dikutip Kompas.com, Rabu (2/10/2024). Berdasarkan dari total angka tersebut, jumlah warga usia 15 tahun ke atas yang menganggur paling banyak berasal dari wilayah Jakarta Timur dengan jumlah 112.490 orang. Kemudian disusul Jakarta Barat dengan total 79.510 orang, Jakarta Utara 64.284 orang, Jakarta Selatan 62.579 orang, Jakarta Pusat 34.417 orang dan, Kepulauan Seribu 1.252 orang. Jumlah total pengangguran ini menurun jika dibandingkan dengan angka pengangguran di tahun 2022 yakni sebanyak 377.294 orang dan 2021 sebanyak 439.889 orang. Sebelumnya, Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda juga mengatakan, saat ini mayoritas lulusan di Indonesia berasal dari jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Menurut Huda, hal itu tidak ada perbaikan selama lebih dari 15 hingga 20 tahun belakangan ini. “Semuanya rata-rata lulusan sekolah kita per hari ini masih lulusan SMP belum bisa beranjak, dan ini sudah hampir 15 sampai 20 tahun,” kata Huda dalam acara diskusi di Jakarta Selatan, Sabtu (7/9/2024). Huda mengatakan, jika dirincikan rata-rata lulusan itu bukan berasal siswa tingkat akhir, tetapi rata-rata putus sekolah ketika berada di kelas 2. Sementara itu, data BPS Nasional memperlihatkan saat ini masih ada 7,2 juta pengangguran di Indonesia terhitung hingga Februari 2024. Dikutip dari laman Puslapdik Kemendikbud Ristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi), dari jumlah tersebut, pengangguran dari lulusan SMK masih merupakan yang paling tinggi dibandingkan tamatan jenjang pendidikan lainnya yakni 8,62 persen. Sementara lulusan SMA yang menjadi pengangguran sebesar 6,73 persen dan jenjang diploma IV, S1, S2, dan S3 sebanyak 5,63 persen.*

Riset: Melawan Gaya Hidup Mahal, Gen Z Pindah Beli Barang Bekas

Hidayatullah.com—Bosan dengan meningkatnya biaya hidup di Amerika Serikat dan iklan yang tiada henti, sejumlah anak muda di TikTok tampaknya melawan melalui tren baru yang menggalakkan pembelian baju bekas yang layak pakai (thrifting).“Ketika setiap momen dalam hidup Anda terasa seperti Anda sedang dijual sesuatu dan harga barang tersebut terus naik, orang akan bosan menghabiskan uang,” kata Kara Perez, seorang influencer dan pendidik keuangan, kepada Agence France-Presse (AFP). Selama ini, media sosial hanya memiliki ruang untuk rumah-rumah yang sempurna, lemari-lemari yang mewah, dan produk-produk kecantikan yang melimpah. Namun, tren baru justru sebaliknya – mendorong penggunaan kembali barang-barang bekas, gaya hidup yang lebih hemat, dan mengutamakan kualitas daripada kuantitas. Perlu diketahui, pasar pakaian bekas global akan tumbuh tiga kali lebih cepat daripada pasar pakaian global, dengan Gen Z memimpin pembelian. Ditambah dengan krisis biaya hidup, Gen Z akan terus menggerakkan gerakan berhemat dalam mencari alternatif yang lebih terjangkau di tahun mendatang. Pasar barang bekas global diperkirakan melonjak tiga kali lipat dari keseluruhan pasar pakaian global hingga tahun 2027, didorong oleh konsumen Gen Z, menurut platform barang bekas daring Thredup. Saat ini, 83% Gen Z Amerika sudah berbelanja atau bersedia menjual barang bekas, dan pada tahun 2027, Gen Z akan menguasai sekitar 28% pasar barang bekas, menurut ThredUp. Laporan penjualan kembali tahunan ke-11 perusahaan, yang dirilis tahun 2023, menyebutkan bahwa konsumen Gen Z dan milenial akan menyumbang hampir dua pertiga dari peningkatan pengeluaran barang bekas seiring dengan meningkatnya daya beli mereka. Laporan Thredup tahun 2023 berisi data dan penelitian dari firma analitik Globaldata, serta sumber sekunder lainnya seperti data kinerja merek dan pelanggan internal. Untuk tujuan laporan ini, Thredup mengatakan, Globaldata melakukan survei terhadap lebih dari 3.000 orang dewasa Amerika, dengan mengajukan pertanyaan spesifik tentang perilaku dan preferensi mereka terhadap barang bekas. Vestiaire Collective, platform yang berkantor pusat di Paris, telah beroperasi di bidang pakaian bekas sejak 2009. Kini, platform ini menarik lebih banyak konsumen yang kekurangan uang, khususnya Gen Z dan milenial yang mencari cara cerdas untuk berinvestasi pada barang-barang mewah. “Berbelanja barang bekas membawa banyak stigma, terutama dalam industri mewah,” kata Fanny Moizant, presiden dan salah satu pendiri Vestiaire kepada Fortune. Dari Jepang sampai ke Amerika Serikat, pasar busana dan aksesori bekas terus naik. Raksasa busana seperti Zara dan H&M pun tergiur ikut bermain. Pola konsumsi generasi Z menjadi pendorong tren yang kini disebut thrifting tersebut. Dilaporkan Reuters, Kamis (12/9/2024), Zara mengumumkan akan lebih serius masuk ke pasar busana bekas. Laman penjualan barang bekas Zara direncanakan mulai melayani konsumen Amerika Serikat pada akhir Oktober 2024. Sebelum ini, laman itu melayani konsumen di 16 negara lain. Di Inggris, laman itu beroperasi sejak November 2022. Induk Zara, Inditex, menargetkan laman itu melayani konsumen di semua pasar strategis pada tahun depan. Sementara perusahaan rintisan penjualan kembali busana peer-to-peer asal Lithuania, Vinted, telah mengambil alih pasar di Inggris, membukukan kerugian sebelum pajak sebesar €47,1 juta ($51 juta; £40,3 juta) pada tahun 2022.*

Melawan Gaya Hidup Mahal, Gen Z Pindah Beli Barang Bekas

Hidayatullah.com—Bosan dengan meningkatnya biaya hidup di Amerika Serikat dan iklan yang tiada henti, sejumlah anak muda di TikTok tampaknya melawan melalui tren baru yang menggalakkan pembelian baju bekas yang layak pakai (thrifting).“Ketika setiap momen dalam hidup Anda terasa seperti Anda sedang dijual sesuatu dan harga barang tersebut terus naik, orang akan bosan menghabiskan uang,” kata Kara Perez, seorang influencer dan pendidik keuangan, kepada Agence France-Presse (AFP). Selama ini, media sosial hanya memiliki ruang untuk rumah-rumah yang sempurna, lemari-lemari yang mewah, dan produk-produk kecantikan yang melimpah. Namun, tren baru justru sebaliknya – mendorong penggunaan kembali barang-barang bekas, gaya hidup yang lebih hemat, dan mengutamakan kualitas daripada kuantitas. Perlu diketahui, pasar pakaian bekas global akan tumbuh tiga kali lebih cepat daripada pasar pakaian global, dengan Gen Z memimpin pembelian. Ditambah dengan krisis biaya hidup, Gen Z akan terus menggerakkan gerakan berhemat dalam mencari alternatif yang lebih terjangkau di tahun mendatang. Pasar barang bekas global diperkirakan melonjak tiga kali lipat dari keseluruhan pasar pakaian global hingga tahun 2027, didorong oleh konsumen Gen Z, menurut platform barang bekas daring Thredup. Saat ini, 83% Gen Z Amerika sudah berbelanja atau bersedia menjual barang bekas, dan pada tahun 2027, Gen Z akan menguasai sekitar 28% pasar barang bekas, menurut ThredUp. Laporan penjualan kembali tahunan ke-11 perusahaan, yang dirilis tahun 2023, menyebutkan bahwa konsumen Gen Z dan milenial akan menyumbang hampir dua pertiga dari peningkatan pengeluaran barang bekas seiring dengan meningkatnya daya beli mereka. Laporan Thredup tahun 2023 berisi data dan penelitian dari firma analitik Globaldata, serta sumber sekunder lainnya seperti data kinerja merek dan pelanggan internal. Untuk tujuan laporan ini, Thredup mengatakan, Globaldata melakukan survei terhadap lebih dari 3.000 orang dewasa Amerika, dengan mengajukan pertanyaan spesifik tentang perilaku dan preferensi mereka terhadap barang bekas. Vestiaire Collective, platform yang berkantor pusat di Paris, telah beroperasi di bidang pakaian bekas sejak 2009. Kini, platform ini menarik lebih banyak konsumen yang kekurangan uang, khususnya Gen Z dan milenial yang mencari cara cerdas untuk berinvestasi pada barang-barang mewah. “Berbelanja barang bekas membawa banyak stigma, terutama dalam industri mewah,” kata Fanny Moizant, presiden dan salah satu pendiri Vestiaire kepada Fortune. Dari Jepang sampai ke Amerika Serikat, pasar busana dan aksesori bekas terus naik. Raksasa busana seperti Zara dan H&M pun tergiur ikut bermain. Pola konsumsi generasi Z menjadi pendorong tren yang kini disebut thrifting tersebut. Dilaporkan Reuters, Kamis (12/9/2024), Zara mengumumkan akan lebih serius masuk ke pasar busana bekas. Laman penjualan barang bekas Zara direncanakan mulai melayani konsumen Amerika Serikat pada akhir Oktober 2024. Sebelum ini, laman itu melayani konsumen di 16 negara lain. Di Inggris, laman itu beroperasi sejak November 2022. Induk Zara, Inditex, menargetkan laman itu melayani konsumen di semua pasar strategis pada tahun depan. Sementara perusahaan rintisan penjualan kembali busana peer-to-peer asal Lithuania, Vinted, telah mengambil alih pasar di Inggris, membukukan kerugian sebelum pajak sebesar €47,1 juta ($51 juta; £40,3 juta) pada tahun 2022.*

Generasi Z adalah Generasi Manja dan Paling Banyak Menangis Saat Bekerja

Hidayatullah.com—Generasi Z adalah kelompok usia yang paling banyak menangis di tempat kerja, menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh perusahaan Vision Direct seperti dilansir surat kabar UK Metro.Generasi yang lahir pada akhir tahun 1990-an hingga 2012 termasuk dalam kelompok umur generasi Z. Dalam studi tersebut, sebanyak 34 persen responden mengaku melakukan hal tersebut karena berbagai alasan, terutama tekanan di tempat kerja, padahal angka tersebut berbeda jauh jika dibandingkan dengan generasi Baby Boomers. Di antara generasi Baby Boomer yang lahir pada tahun 1946 hingga 1954 yang menangis di tempat kerja hanya sekitar 7 persen. Studi baru ini juga mengungkapkan bahwa lebih dari sepertiga warga Inggris pernah menangis di tempat kerja setidaknya sekali dalam satu tahun terakhir. Sebanyak 55 persen di antaranya menyebut stres sebagai pemicu yang menyebabkan mereka menangis. Dalam survei terhadap 2.000 pekerja, sebanyak 27 persen menganggap kelelahan sebagai penyebab mereka menangis. Namun, 15 persen lainnya mengatakan bahwa pekerjaan itu sendiri sudah cukup membuat mereka menangis. Dua pertiga dari mereka yang menangis di depan rekan kerja mereka adalah perempuan dibandingkan dengan 34 persen laki-laki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita juga tiga kali lebih mungkin menangis karena kelelahan bekerja dibandingkan pria. *

Saatnya Gen-Z Melek Politik Islam

MENGANGKAT bahasan politik terkesan senantiasa erat dengan perebutan kekuasaan, ataupun ada yang berpandangan identik peristiwa yang baru kita lewati, yakni Pemilu 2024. Pemilu telah usai dengan segala hiruk-pikuknya. Berikutnya, gemuruh riuh Pilkada segera menjelang, terbukti dengan bergelantungannya wajah-wajah para calon di pinggir jalan. Pemilu lalu sangat terasa bagaimana upaya perebutan suara generasi millenial dan gen-z, Pilkada mendatang bisa ditebak sudah pasti juga begitu rupa. Memang tidak bisa dipungkiri, fakta bonus demografi ada di depan mata. Berdasarkan prediksi yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia diperkirakan akan mengalami bonus demografi pada kurun 2030-2040. Fakta ini meniscayakan setiap paslon berlomba meraup suara mereka sebagai golongan mayoritas penduduk. Namun demikian, tidak sedikit dari gen-z khususnya hari ini yang merasa enggan untuk berpolitik, atau terlibat dalam pembicaran-pembicaraan politik. Hal ini sebenarnya bisa dimaklumi mengingat berbagai fakta rusak sistem perpolitikan kita hari ini. Dari kasus korupsi tiada henti, keculasan para penguasa negeri, perundang-undangan yang tiada berperi, hingga terpampangnya politik oligarki. Jika ditelisik lebih lanjut, maka akan sampai pada pertanyaan “seberapa pentingkah gen-z melek politik?” Dari sini, perlu kita dudukkan dulu makna politik. Kalau politik dimaknai sebagai upaya untuk memperebutkan kekuasaan semata, sebagaimana selama ini kita telah saksikan, tentu ini tidaklah tepat. Membuat wajar akhirnya banyak yang jengah dan enggan membahas politik, karena yang tergambar adalah berbagai macam kedzalimannya, menghalalkan segala cara untuk kekuasaan semata. Islam sebagai agama yang sempurna, the way of life, tentu tidak terlewat aturan terkait politik. Politik dalam Islam dimaknai sebagai ri’ayah syu’un al-ummah, pengaturan urusan umat dengan aturan-aturan Islam. Politik ini meliputi berbagai urusan umat, oleh sebab itu semua lini kehidupan erat kaitannya dengan kebijakan politik suatu negara. Pengaturan politik yang salah tentu akan berdampak besar pada kerusakan di berbagai lini kehidupan. Sebagai contoh, mahalnya kebutuhan pokok, listrik, air, biaya pendidikan, hingga kerusakan pergaulan semuanya adalah hasil dari kebijakan politik hari ini. Oleh sebab itu, perhatian yang besar musti dicurahkan pada pengaturan aspek politik, sistem apa yang melahirkannya. Tidak lain dibutuhkan untuk mampu mewujudkan kehidupan yang lebih baik, tidak hanya penuh dengan kesejahteraan dan kemakmuran, tetapi juga kehidupan mulia dan berlimpah keberkahan dari Rabb semesta alam. Melek politik penting sekali, bukan hanya oleh gen-z tapi seluruh kaum muslimin. Ini adalah bagian dari kewajiban seorang muslim, satu hasil dari kesadaran akidah. Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang pada pagi harinya hasrat dunianya lebih besar maka itu tidak ada apa-apanya di sisi Allah, dan barangsiapa yang tidak takut kepada Allah maka itu tidak ada apa-apanya di sisi Allah, dan barang siapa yang tidak perhatian dengan urusan kaum muslimin semuanya maka dia bukan golongan mereka,” (HR. Al-Hakim dan Baihaqi). “Barangsiapa yang bangun pagi tetapi dia tidak memikirkan kepentingan umat Islam maka dia bukan umatku (umat Nabi Muhammad ﷺ,” (HR. Muslim). Jika gen-z dan mayoritas kaum muslimin abai terhadap urusan politik, maka berpotensi pada munculnya bahaya besar bagi mereka. Sebagaimana yang telah kita saksikan bersama, diaturnya urusan umat tidak dengan aturan Islam. Aturan yang melenceng dari fitrah dan tujuan penciptaan manusia. More pages: 1 2

Problematika Gen Z di Era Kapitalis

Oleh Aas K Aktivis Muslimah Pemuda adalah generasi penerus bangsa, mereka adalah sosok produktif dengan energi dan semangat yang masih membara. Namun, nyatanya saat ini pemuda kurang produktif dikarenakan lapangan pekerjaan yang sempit menyebabkan banyaknya gen Z pengangguran. Seperti yang dikutip oleh media online Kumparan Bisnis.com, pada Senin (20/5). Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat […]