Tag:
Feature
Hidayatullah.com
Umat Islam Bergabung dengan Budha dan Kristen Melawan Junta Militer Myanmar
Di sebuah perbukitan hijau nan subur di Tanintharyi, Myanmar selatan, para pejuang perlawanan yang ditempatkan di pos memeriksa mobil dan truk yang melaju ke kota terdekat yang dikuasai junta militer. Suasana seperti ini merupakan pemandangan umum di wilayah tersebut, sejak militer melakukan kudeta tahun 2021.Di antara para pejuang perlawanan itu ada kelompok yang disebut 3rd Company. Mereka adalah para pejuang Muslim yang telah bergabung dalam barisan perlawanan bersenjata yang didominasi oleh Kristen dan Budha, yakni the Karen National Union (KNU).
Secara resmi diberi nama Kompi ke-3 Brigade 4 di KNU. Jumlahnya sekitar 130 prajurit. Ini hanyalah sebagian kecil dari puluhan ribu prajurit yang berjuang melawan junta militer Myanmar.
Belum lama ini wartawan Al Jazeera mengunjungi markas para pejuang tersebut. Lokasinya di antara pegunungan yang diselimuti hutan di bagian selatan Myanmar. Kelompok Muslim ini seperti menyatukan kembali benang yang hampir terlupakan dalam jalinan rumit konflik Myanmar.
“Beberapa daerah difokuskan pada etnis yang memiliki negara bagian mereka sendiri,” kata pemimpin 3rd Company, Mohammed Eisher, 47 tahun. Ia menjelaskan tentang gerakan perlawanan bersenjata yang telah lama berperang melawan militer Myanmar.
Di Tanintharyi, kata Eisher, tidak ada satu kelompok pun yang mendominasi. Selain itu, penindasan oleh junta militer telah menimpa semua kelompok. “Selama militer masih berkuasa, umat Islam dan semua orang lainnya akan tertindas,” katanya.
Eisher berharap keberagaman di dalam pasukan perlawanan akan membantu meredakan ketegangan budaya dan regional yang sebelumnya telah menyebabkan konflik di Myanmar. Menurut para cendekiawan, bergabungnya elemen Muslim menggambarkan sifat inklusif kaum perlawanan dan mampu mengakomodasi kelompok-kelompok yang sebelumnya terpinggirkan.
Berbagai Garis Keturunan
Umat Islam di Myanmar berasal dari beragam garis keturunan. Ada etnis Rohingya di bagian barat, etnis Muslim keturunan India dan Cina, serta suku Kamein yang nenek moyangnya diyakini sebagai pemanah pangeran Mughal (India) yang mencari perlindungan di kerajaan Arakan pada abad ke-17. Sekarang wilayah ini menjadi bagian dari Myanmar.
Di wilayah Tanintharyi, sebagian Muslim merupakan keturunan pedagang Arab, Persia, dan India. Ada pula orang Melayu Burma yang dikenal sebagai Pashu, suku Karen dan Mon, suku Bamar dari kota Dawei dan Myeik, dan lain-lain.
Meskipun seragamnya berlambang KNU, para prajurit Muslim membawa lencana bintang dan bulan sabit di tas mereka. Hal ini melambangkan garis keturunan mereka dari the All Burma Muslim Liberation Army (ABMLA).
Yang perempuan mengenakan hijab. Kaum laki-laki biasa memakai thobe, jubah tradisional berlengan panjang yang panjangnya sampai ke mata kaki seperti yang sering dikenakan oleh pria dan wanita di negara-negara Muslim.
Bacaan ayat-ayat al-Qur’an bergema dari sebuah masjid, sementara sajadah digelar di pos-pos perjuangan yang terpencil. Sepanjang bulan suci Ramadan, para pejuang berpuasa dan menunaikan shalat tarawih.
Junta militer Myanmar yang didukung oleh para biksu nasionalis garis keras selama ini menggambarkan kaum Muslim sebagai ancaman serius bagi budaya Budha Burma. Itulah sebabnya komunitas Muslim –yang telah tinggal lebih dari satu milenium di Myanmar—kerap menjadi kambing hitam, mengalami penindasan, dan tidak diakui sebagai warga negara.
“Umat Muslim di Myanmar sangat rentan dan telah menjadi korban kekerasan yang signifikan,” kata cendekiawan Myanmar, Ashley South. “Namun di wilayah Karen, sering ditemukan masyarakat yang hidup damai.”
Para pejuang di Kompi 3 salat di masjid di kamp utama mereka di Myanmar selatan (Lorcan Lovett / Al Jazeera)
Sejarah Perlawanan Muslim
Perlawanan umat Islam di Myanmar bukanlah hal baru. Ketika terjadi kerusuhan anti-Muslim pada bulan Agustus 1983, warga yang melarikan diri kemudian membentuk the Kawthoolei Muslim Liberation Front (KMLF). KNU pernah melatih 200-an orang pejuang KMLF. Tetapi perselisihan antara Sunni dan Syiah akhirnya memecah belah kelompok tersebut.
Pada tahun 1985, beberapa pejuang KMLF pindah ke Tanintharyi dan mendirikan ABMLA. Beberapa dekade terlibat bentrokan sporadis dengan junta militer, kemudian terbentuklah 3rd Company pada tahun 2015.
Kekejaman junta militer belakangan ini telah menghancurkan banyak keluarga di seluruh Myanmar. Tidak hanya bagi umat Islam dan etnis minoritas, tetapi juga bagi sebagian besar penduduk. Mereka semua mengutuk, kata seorang warga yang tidak mau disebut namanya.
“Kudeta (2021) membuka jalan menuju kebebasan bagi semua orang,” katanya kepada Al Jazeera, sambil duduk di tempat tidur gantung di atas sepasang sepatu bot militer yang diambilnya dari pangkalan junta militer.
Thandar –bukan nama sebenarnya, 28 tahun, seorang petugas medis, ikut bergabung pada Oktober 2021. Ia pernah mengikuti pelatihan tempur KNU, lalu mendengar tentang adanya pasukan Muslim. Ia pun memutuskan untuk mendaftar.
“Saya akan bekerja di sini sampai revolusi berakhir,” katanya sambil tersenyum kepada komandan Eisher. “Dia seperti ayah baru saya sekarang,” katanya.
Bergabung dengan pejuang Muslim membuatnya tenang. Salah satunya terjamin makanannya halal.
“Saya bersama sesama Muslim. Di sini suasananya menyenangkan. Itulah sebabnya saya tinggal di sini begitu lama,” ujarnya.
Untuk Semua Orang Burma
Dalam kunjungan Al Jazeera di kamp pejuang Muslim, tampak sebagian besar tentaranya adalah pria dewasa dan sudah menikah. Mereka ditampung di sebuah barak. Ada pula barak yang terpisah untuk menampung orang sakit, di antaranya karena malaria.
Di kamp itu ada sebuah masjid sederhana, terbuat dari balok beton dengan atap seng. Ada pipa plastik pada dinding luar untuk keperluan wudhu sebelum shalat.
Mohammed Eisher berkisah tentang pengalaman tak terlupakan pada tahun 2012. Saat terlibat bentrok dengan militer Myanmar, ia tertembak di leher dan lengan kanan atas. Ia kemudian terpisah dari kesatuannya sehingga harus terlunta-lunta sendirian selama dua hari. Akhirnya ia bertemu dengan rekan-rekannya, yang menggendongnya selama lima hari melewati hutan lebat.
“Bau nanah dari luka di leher membuatku muntah,” kenangnya sambil menyentuh bekas luka menganga akibat tembakan itu.
“Saya berdoa agar dosa-dosa diampuni, jika saya telah berbuat salah. Jika tidak, saya berdoa agar diberi kekuatan untuk terus berjuang,” ungkapnya.
Pengalaman lainnya dikisahkan oleh Mohammed Yusuf, 47 tahun. Sekitar 20 tahun lalu, saat membersihkan ranjau darat, satu ranjau meledak dan membutakannya. Kini ia terus berjuang.
“Saya menginginkan kebebasan bagi semua orang di Burma. Revolusi akan berhasil, tetapi butuh lebih banyak persatuan,” ujarnya.
Di kamp itu juga ada beberapa anggota Budha dan Kristen. Misalnya Bamar, 46 tahun, yang tengah menanam terong dan kacang panjang untuk bahan makanan para pejuang. Dia pernah bergabung dengan kelompok perlawanan lain, sampai akhirnya kini merasa nyaman bersama para pejuang Muslim.
“Tidak ada diskriminasi di sini. Kita semua sama: manusia,” ujarnya.*
Hidayatullah.com
Sabet 4 Sabuk Juara Tinju, Artur Beterbiev: Alhamdulillah Fi Kulli Haal
Hidayatullah.com – Kiprah Artur Beterbiev di kancah olahraga tinju semakin melambung usai mengalahkan Dmitry Bivol dan menjadi juara dunia sejati di kelas berat ringan.Petinju Muslim itu berhasil menyatukan empat sabuk juara WBC, IBF, WBO dan terbaru WBA. Juara dunia sejati atau undisputed di kelas berbobot 79,9 kg terakhir dicapai oleh Roy Jones Jr pada 20 tahun lalu, 1992-2002.
Kemenangan ini membuat Artur kembali mencatatkan rekor menang 21 kali dalam karirnya. Artur menyebut kemenangannya bukan hanya karena upayanya semata, namun juga berkat Allah SWT.
Di depan para penonton laga yang berlangsung di Riyadh, Arab Saudi pada Ahad (13/10/2024) itu, ia meneriakkan takbir dan mengucapkan kalimat tahmid.
“Alhamdulillah fi kulli hal (Segala puji hanya milik Allah dalam segala sesuatu), Allahuakbar!” kata Artur.
Petinju asal Dagestan itu bahkan bersikap rendah hati dengan memuji Dmitry Bivol, yang merupakan lawannya.
“Tentu saja ini pertarungan yang sulit karena Dmitry juga seorang juara dunia. Ia memiliki keterampilan yang bagus, mungkin lebih baik dari saya, tetapi hari ini Allah (SWT) memilih saya,” ujarnya dalam wawancara pasca pertandingan.
Pertarungan Artur melawan Bivol berlangsung ketat selama 12 ronde. Kombinasi serangan Bivol sempat membuat Artur kewalahan di ronde awal, namun ia berhasil bangkit di ronde-ronde akhir.
Juri memberi hasil 114-114, 116-112 dan 115-113 untuk kemenangan Artur.
Profil Artur Beterbiev
Petinju Muslim tersebut bernama lengkap Artur Asilbekovich Beterbiev. Ia lahir di Khasavyurt, Dagestan, Rusia pada 21 Januari 1985.
Artur memiliki dua kewarganegaraan, yakni Rusia dan Kanada. Ia menetap di Montreal, Kanada.
Saat masih amatir, Artur berhasil meraih sejumlah pencapaian menakjubkan di kelas berat ringan. Dia berhasil memenangkan medali perak di Kejuaraan Dunia 2007, emas di Kejuaraan Dunia 2008 dan 2009 serta emas di Kejuaraan Eropa 2006 dan 2010.
Artur Beterbiev juga pernah mencapai perempat final kelas berat di Olimpiade 2012.
Dengan merebut gelar WBA pada 2024, dia menjadi juara kelas berat ringan yang tidak terbantahkan setelah memegang gelar IBF sejak 2017, WBC sejak 2019 dan WBO sejak 2022.*
Arrahmah.id
Teriakan dari Jalur Gaza Utara kepada Dunia, ‘Demi Allah, Kami Sekarat’
Wilayah utara sedang dibantai, Gaza sedang dibantai, pembantaian di mana-mana, begitulah ciri-ciri Jalur Gaza utara dengan pengeboman gila-gilaan pendudukan ‘Israel’ yang tidak membedakan antara manusia dan batu. Tentara pendudukan sedang menuntaskan babak-babak pembantaian di wilayah utara, khususnya kamp Jabalia, untuk mengosongkannya dari penghuninya. Mohammed Abu Luay – anggota kru pertahanan sipil – mendokumentasikan dengan kameranya […]
Hidayatullah.com
Petinju Dunia Asal Gaza Siap Ukir Sejarah di Tengah Penderitaan Rakyat Palestina
Shams Al-Tayeb (24 tahun) adalah seorang petinju kelahiran Gaza. Ia tengah bersiap untuk mengukir sejarah sebagai orang Palestina pertama dari Palestina yang menjadi juara tinju dunia WBC.Bukan Semata Ingin JuaraMerindukan Palestina MerdekaAl-Tayeb sekarang berlatih di Siprus. Ia terus bersemangat, sementara hatinya tetap teguh di Gaza, tempat keluarganya yang hidup dalam ancaman perang terus-menerus.
“Keluarga saya masih di Gaza. Kakak laki-laki dan perempuan serta anak-anaknya terjebak di sana, ayah saya juga. Mereka tetap bertahan dan menolak untuk pergi,” ungkap Al-Tayeb kepada Middle East Monitor, menggarisbawahi ikatan mendalam dengan tanah kelahirannya meskipun jarak fisiknya jauh.
Di sela-sela rutinitasnya berlatih tinju, Al-Tayeb terus menerima kabar terbaru tentang situasi yang semakin buruk di kampung halamannya. Situasi itu sebenarnya menekan mentalnya.
“Saya berada di dua sisi pada saat yang sama. Di sini saya mencoba untuk berkompetisi, sementara pikiran dan energi juga terus memikirkan cara untuk membantu saudara-saudara di Gaza dengan cara apapun yang saya bisa.”
Bukan Semata Ingin Juara
Tinju, bagi Shams Al-Tayeb, telah menjadi kebutuhan. Sebelum tanding di atas ring, ia adalah seorang pengusaha. Namun situasi yang memburuk di Gaza mendorongnya untuk mengubah hasrat menjadi petinju.
“Saya seorang pengusaha, bahkan memiliki agensi dan perusahaan sendiri. Tetapi situasi memaksa saya menggunakan hobi untuk mendapatkan keuntungan,” jelasnya.
Menjadi petinju Palestina tidak didorong oleh keinginan untuk mendapatkan ketenaran atau kekayaan, tetapi oleh kebutuhan untuk melindungi. Hal ini tidak lepas dari masa kecil dan remajanya yang sulit.
Tumbuh di Tal Al-Hawa, daerah selatan kota Gaza, masa kecilnya berjalan lumayan normal sebagaimana anak-anak pada umumnya. Namun kesehariannya banyak dihantui oleh penindasan dan pengepungan brutal “Israel”.
Ketika usianya 9 tahun, Al-Tayeb kehilangan kakak laki-lakinya. Ia syahid akibat serangan bom “Israel”. Kejadian ini meninggalkan trauma yang tak terhapuskan hingga kini.
“Saudara laki-laki saya terbunuh oleh pasukan Israel 15 tahun lalu dan sayalah yang mengambil jasadnya dari jalanan,” ungkapnya.
Kenangan mengerikan juga menimpa ayahnya yang bernama Shams Ouda, seorang wartawan yang melaporkan berita untuk Reuters. Ketika melakukan liputan, iaditembak oleh serdadu “Israel”. Peluru mengenai dadanya, hanya meleset lima sentimeter dari jantungnya. Diduga meninggal, ia dimasukkan ke dalam kantong mayat dan dibawa ke kamar mayat.
“Ayah saya tertembak tepat di dekat jantungnya. Ia terbangun di kamar mayat. Dapatkah Anda bayangkan itu? Saya sudah berduka, menangis, dan bersiap untuk menguburkannya,” kenangnya.
Peristiwa traumatis tersebut menjadi titik balik bagi Al-Tayeb. Ia bertekad untuk mempelajari seni bela diri. Bukan semata untuk olahraga, tetapi untuk bertahan hidup.
“Sejak kecil, saya bertekad untuk belajar karate dan tinju. Semuanya untuk melindungi diri dan keluarga. Kami tidak pernah diajari cara menggunakan senjata. Semua yang kami pelajari adalah untuk membela diri.”
Naluri bertahan hidup ini terus melekat padanya, baik di dalam maupun di luar ring.
Merindukan Palestina Merdeka
Sejak 7 Oktober 2023, militer “Israel” terus membombardir wilayah Jalur Gaza. Serangan brutal itu telah menewaskan lebih dari 41.200 warga Palestina di Jalur Gaza, termasuk sekitar 16.700 anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan Palestina.
“Banyak pesan datang kepada saya setiap hari dari orang-orang yang saya kenal maupun tidak, tentang rasa sakit dan kehilangan mereka, yang benar-benar menghancurkan,” Shams Al-Tayeb merasa frustrasi.
Teriakan minta tolong, cerita tentang kelaparan dan penderitaan, tidak mungkin diabaikannya. “Saya sering terbangun dalam keadaan depresi; saya tidur dalam keadaan depresi, berharap semuanya akan berakhir suatu hari nanti.”
Meskipun menghadapi tantangan yang sangat berat, Al-Tayeb tetap fokus pada misinya. Keikutsertaannya dalam kejuaran WBC bukan sekadar untuk pencapaian pribadi, namun dilandasi niat untuk melantangkan suara rakyat Gaza.
“(Jika saya juara) Saya tidak akan berbangga diri, sebab rakyat saya membutuhkan bantuan, makanan, air, dan kebutuhan manusia normal lainnya.”
Misinya menjadi juara dunia dianggapnya sebagai kesempatan untuk menarik perhatian dunia atas krisis kemanusiaan di tanah kelahirannya.
Gaza baginya bukan sekadar tempat, tetapi itu adalah bagian dari identitasnya. Identitas yang akan selalu dibawanya ke mana pun.
“Sebelum perang, Tal-Al Hawa adalah tempat yang damai. Itu lingkungan kecil di dekat laut. Tetapi sekarang, Anda tidak akan dapat melihat apapun. Lingkungan itu benar-benar hancur.”
“Saya merindukan semua yang ada di Gaza. Saya pernah melihat laut yang lebih indah daripada laut di Gaza, tetapi saya tidak pernah merasa senyaman yang saya rasakan di sana.”
Al-Tayeb telah terpilih untuk bertanding di Kejuaraan Tinju Dunia WBC di Turkiye tahun lalu. Namun acara tersebut dibatalkan karena gempa besar mengguncang wilayah Turkiye dan Suriah.
Ia juga tidak bisa bertanding di Dubai dan Olimpiade karena paspor Palestina yang dimilikinya. Sekarang, ia menunggu konfirmasi untuk kejuaraan mendatang di Riyadh, Qatar, dan Inggris.
Al-Tayeb memahami bahwa perjalanannya lebih dari sekadar bertinju. Ini adalah perjuangan untuk masa depan rakyat Gaza agar dapat hidup tanpa rasa takut, anak-anak dapat tumbuh tanpa ancaman kekerasan, dan Gaza bebas dari penindasan.
“Yang kami inginkan hanyalah Palestina yang merdeka, tempat orang Palestina dapat hidup bebas. Ini hanya masalah waktu. Kita harus bersabar,” ujarnya yakin.*
Hidayatullah.com
Kisah Bidan di Gaza, Membantu Persalinan Ibu-ibu Terluka Parah di Lantai
Nour Mwanis, seorang bidan berusia 27 tahun, tampak sibuk di ruang bersalin RS al-Awda, Gaza. Ia baru saja membantu persalinan seorang ibu. Wanita itu telah datang sejak pagi-pagi sekali.Proses persalinan berlangsung sekitar setengah jam. Nour dan rekan-rekannya kemudian harus membersihkan dan mensterilkan ruangan dan peralatan.
Tak jauh dari ruang bersalin, yakni di ruang tamu, ada nenek, kakek, dan paman si bayi yang baru lahir. Mereka bergantian menggendong dalam suasana ceria. Sang nenek tersenyum lebar saat menyaksikan bayi yang dibalut syal merah muda itu.
Wajah-wajah mereka tampak hangat, bahagia, gembira. Rona kebahagiaan yang seolah sudah lama tidak dirasakan di Gaza.
Wartawan Al Jazeera bertanya siapa nama bayi itu? Mereka semua tertawa pelan dan menjawab, “Dia belum punya nama.”
Persalinan di Lantai
Nour Mwanis berdiri tenang di ruang bersalin itu. Dia meletakkan nampan berisi peralatan sterilisasi, membersihkan tangan, lalu duduk di bed bersalin. Ia kemudian bercerita tentang pengalamannya menjadi bidan selama perang.
Sejak dulu memang Nour bercita-cita menjadi bidan. Ia ingin membantu para ibu melahirkan dengan aman dan membawa kebahagiaan bagi keluarga dengan penuh senyuman.
Selama tiga tahun, profesi itu telah ditekuni. Sampai akhirnya keasyikannya sebagai bidan hancur sejak “Israel” membombardir Gaza bulan Oktober 2023 lalu.
“Saya tidak pernah menyangka akan mengalami hari-hari seperti ini,” tutur Nour kepada Al Jazeera, sambil menceritakan gelombang besar pengungsi Nuseirat di Gaza tengah, yang berusaha menjauh dari bom-bom Zionis, untuk pindah ke kawasan selatan.
“Selama tiga bulan pertama perang, kami menangani sekitar 60 hingga 70 kelahiran per hari, bekerja sepanjang waktu hanya dengan enam bidan,” ujarnya.
Selama tiga bulan pula Nour tidak bisa pulang ke rumah. Padatnya jadwal sebagai bidan dan banyak bahaya dalam perjalanan di Nuseirat membuatnya harus tinggal di RS al-Awda.
“Ruang bersalin tidak dapat menampung jumlah pasien yang banyak. Kami harus membantu beberapa persalinan di lantai atau di ruang persiapan pranatal yang tidak dilengkapi dengan peralatan untuk melahirkan,” jelas Nour.
Beban tugas di RS al-Awda meningkat karena menjadi satu-satunya fasilitas bersalin yang masih berfungsi. Fasilitas kesehatan lain di daerah itu, misal RS Syuhada al-Aqsha di Deir el-Balah, harus menutup bangsal bersalinnya agar fokus merawat warga yang terluka.
“Kacau. Pemboman di mana-mana, para ibu datang dalam kondisi yang menyedihkan. Banyak wanita yang mengalami komplikasi, pendarahan atau melahirkan janin yang sudah mati, dan mereka memerlukan perawatan khusus. Namun, tidak ada peralatan sehingga keadaannya semakin memburuk,” ujar Noer sambil mendesah dalam.Aya, seorang ibu dengan kehamilan 31 minggu. Janinnya meninggal karena kondisi sang ibu sangat lemah, kekurangan nutrisi, sulit mengakses air bersih, obat-obatan, suplemen, atau perawatan medis.
Ayah Aya, seorang paramedis berusia 58 tahun. Ia syahid akibat pengeboman “Israel”. Sehari kemudian, Aya menyadari bahwa bayinya telah berhenti bergerak di dalam rahimnya.
Satu-satunya cara untuk membantu Aya adalah dengan menginduksi persalinan. Proses induksi akan memberikan dampak emosional dan fisik yang lebih menyakitkan karena tubuh Aya secara alami belum siap untuk melahirkan.
“Saya benar-benar shock dan tidak bisa berhenti menangis. Tetapi saya mencoba menenangkan diri dan merenungkan keadaan ini. Mungkin lebih baik jika anak ini tidak dilahirkan dalam kesengsaraan. Mungkin Allah telah menyelamatkannya dari penderitaan,” kata Aya.
Hidayatullah.com
Kehidupan Mualaf Lil Durk, Rapper Penuh Kontroversi
Seorang penyanyi rap, atau biasa disebut rapper, menimbulkan kontroversi dengan menjuluki dirinya sebagai “Tuhan dari Chicago” (Allah of Chicago). Namun yang banyak orang tidak tahu ternyata musisi tersebut kini telah masuk Islam dan menjadi mualaf.Inilah kisah Lil Durk, seorang rapper muslim, penuh kontroversi namun peduli pada masyarakat;
Siapa Lil Durk?
Lil Durk adalah nama panggung dari Durk Derrick Banks, seorang musisi, rapper, dan penulis lagu asal Amerika Serikat.
Lahir pada 19 Oktober 1992 di Chicago, Illinois, Lil Durk pertama kali dikenal sebagai pendiri dan anggota utama dari grup musik Only the Family (OTF) yang dibentuk pada tahun 2010.
Agama Lil Durk
Sebelum memeluk agama Islam, Lil Durk merupakan seorang penganut Kristen. Hal itu terungkap dalam sebuah video wawancara yang diunggah di Youtube pada tahun 2018.
Lil Durk mengaku ia tidak terlahir sebagai muslim, meskipun ayahnya adalah seorang penceramah Islam atau ustadz. Pencariannya akan agama yang benar terjadi saat ia mulai dewasa.
Situasi semacam itu merupakan hal yang lumrah di kalangan masyarakat Barat terutama di Amerika Serikat. Orang tua seringkali membebaskan anaknya untuk menganut agama apapun yang mereka inginkan.
Sehingga kebanyakan dari mereka mengikuti agama mayoritas di lingkungan tempat mereka tumbuh, kalau di AS, yaitu agama Kristen.
Rapper yang dikenal dengan gaya musiknya yang menggabungkan rap dengan melodi itu mengaku merasa ada yang membingungkan dalam agama Kristen.
Hal itu mulai dirasakannya sejak pertama kali datang ke gereja. Saat itu Durky bertanya tentang tentang patung Yesus yang disalib, “Itu adalah Yesus?”.
Salah satu jemaat menjawab, “Iya itu Yesus, tapi itu bukan Yesus yang sebenarnya”.
Jawaban tersebut malah membuat Lil Durk bingung, mulai sejak itu banyak pertanyaan yang muncul. “Saya tidak pernah benar-benar percaya kepada Yesus,” ujar Lil Durk dalam wawancara 2018.
Dia pun mulai berbincang dan berdiskusi dengan ayahnya yang beragama Islam. Ia juga bertanya menanyakan pertanyaan tentang agama kepada teman-teman Muslimnya, termasuk rapper Ralo.
Lil Durk akhirnya bersyahadat dan masuk Islam, meski tidak menjelaskan secara detail bagaimana proses tersebut.
Cuplikan musik video “Street Prayer” Lil Durk
Lagu
Durk juga dikenal dengan gaya musiknya yang menggabungkan rap dengan melodi, yang sering kali menggambarkan kehidupan jalanan, perjuangan pribadi, dan kehilangan teman-temannya akibat kekerasan.
Lil Durk terus meraih popularitas dengan album-album studio seperti “Remember My Name” (2015), “Love Songs 4 the Streets 2” (2019), dan “The Voice” (2020). Kolaborasi dengan berbagai artis terkenal seperti Drake, Lil Baby, dan Polo G juga turut membantu meningkatkan pamornya di industri musik.
Dia pertama kali mengumumkan kepercayaannya pada Islam dalam lirik lagu “Viral Moment” pada tahun 2020 dan kemudian “Street Prayer”.
“Saya mengubah hidup saya, saya Muslim,” ujar Durk dalam lirik lagu “Viral Moment”.
Selain itu, dia sering menyebutkan agamanya dalam berbagai lagu lainnya dan juga menunjukkan tanda-tanda keimanannya, seperti mengenakan pakaian Muslim tradisional dalam video musiknya.
Bahkan dalam video musik “Street Prayer”, tampak Lil Durk mengenakan kopyah putih dan gamis. Rapper berusia 31 itu juga memperlihatkan dirinya sedang melaksanakan shalat.
Meski secara pribadi belum menjadi muslim yang taat, Lil Durk berupaya menempatkan agama Islam sebagai hal yang paling penting dalam kehidupannya.
“Jangan labeli saya apa pun selain sebagai seorang pria, ayah, dan 1000% muslim,” tegas Lil Durk dalam salah satu unggahan di Instagram.
Kontroversi
Kalung bintang emas
Pada Mei 2024, Lil Durk menjadi perbincangan hangat di kalangan umat Muslim lantaran memakai kalung emas.
Melalui Instagram Stories-nya pada hari Kamis (02/05/2024), rapper ini mengungkapkan bahwa ia memiliki kalung “Bintang Islam” yang dibuat khusus untuk menunjukkan keyakinannya.
Unggahan tersebut kemudian dibanjiri komentar para penggemar Muslim yang mengingatkannya bahwa seorang pria Muslim dilarang memakai perhiasan yang terbuat dari emas.
Diantara mereka bahkan menuliskan dalil dari larangan tersebut, yakni Al-Quran Surat At-Taubah ayat ke-34 yang berbunyi;
“Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”tato kaki Lil Durk/Instagram
Tato takbir
Di akhir bulan yang sama, Lil Durk kembali menimbulkan kontroversi. Kali ini dengan menunjukkan tato bertuliskan kalimat Takbir (Allahu Akbar).
Beberapa penggemar kembali mengingatkan Durk bahwa membuat tato bertentangan dengan agama Islam dan mengatakan bahwa hal tersebut ‘haram’.
“Durk, kamu tahu kamu salah besar karena tato allahu akbar” sementara yang lain menambahkan, “Muslim tidak seharusnya memiliki tato dan merajah diri sendiri dalam Islam, itu tidak membuatmu menjadi Muslim, tapi menyimpang,” komentar salah satu penggemar.
“Tunggu sampai dia tahu bahwa membuat tato Allah itu sangat haram,” imbuh penggemar lain.
Tuhan dari Chicago
Dalam sebuah wawancara dengan Glad TV, Lil Durk menjuluki dirinya sebagai “Allah of Chicago”. Pernyataan itu membuat marah ayah dan paman-paman Lil Durk.
“Ayah menelponku dan memarahiku, semua paman-pamanku juga. Mereka mengingatkanku untuk tidak mengatakan hal semacam itu,” ujar Durkie.
Kerabatnya mengingatkan untuk tidak bermain-main dengan agama dan keyakinan. Ia mengaku perkataan tersebut salah dan telah meminta maaf.
“Setelah itu saya menyadari bahwa itu bukanlah bercandaan dan bukan sesuatu yang boleh dikatakan,” kata Lil Durk.
Jiwa sosial
Meski berbagai kontroversi yang ditimbulkannya, Lil Durk merupakan seorang dengan jiwa sosial yang tinggi.
Dia beberapa kali menggalang dana untuk membantu komunitas dan masyarakat. Pada bulan April, Lil Durk membuat seruan untuk para artis yang ingin membantunya membuat sebuah acara, yang rencananya akan diselenggarakan di stadion Bears.
“Saya akan mengadakan Smurkchella tahun depan di stadion Bears di Chicago,” tulisnya. “Ini akan menjadi acara penghentian kekerasan dan kami akan membagi setengah uangnya dengan berbagai lembaga non profit dari yang besar hingga yang kecil. Saya butuh bantuan, saya butuh setiap artis yang bergabung dengan saya untuk membantu menyelamatkan anak-anak ini.”
Lil Durk meluncurkan organisasi nirlaba Neighborhood Heroes pada tahun 2020 dan terus memberikan kontribusi kepada komunitasnya di tahun-tahun berikutnya.
Pada tahun 2022, mereka bermitra dengan organisasi nirlaba bernama Chicago Votes untuk membantu dan memasok narapidana dan pekerja fasilitas pemasyarakatan di Departemen Pemasyarakatan Illinois dengan 29.000 botol pembersih tangan. Inisiatif ini diluncurkan untuk memerangi kurangnya akses air bersih di penjara akibat wabah COVID-19.
Pada tahun 2023, yayasan ini menyelenggarakan acara “Makan Malam dengan Durk” di Chicago, memberikan kesempatan kepada 30 siswa sekolah menengah atas untuk makan malam bersama lima kandidat walikota untuk memberikan kesempatan kepada kaum muda di kota tersebut untuk berbicara tentang bagaimana memperbaiki komunitas mereka masing-masing.
Semoga Allah terus memberinya hidayah dan menguatkan imannya, Amiiin.*
Hidayatullah.com
7 Tahun Sembunyikan Keimanan, Sampai Harus Sholat di Kamar Mandi dan Gereja
Guna menjaga keimanan, Nur Ain harus menyembunyikan keislaman selama 7 tahun dan terpaksa sholat di kamar mandi dan gereja
Hidayatullah.com—Keimanan adalah barang mahal bagi semua orang. Ini pula yang dilakukan Nur Ain. Lebih memilih meninggalkan kuil dan jatuh dalam pelukan Islam, sampai ia terpaksa sholat di kamar mandi dan gereja.
“Setelah memeluk Islam, saya selalu mencari cara untuk sholat bahkan di gereja,” demikian diungkapkan, Nur Ain Sumaiyah Valaitham, 27 tahun, tentang kisah awal masuk Islam.
Nur Ain mengaku, awal mula mengenal Islam di rumah temannya. Gadis ini aktif menimba ilmu ini sering mendengar ceramah agama di kampus untuk memahami apa itu Islam.
Bahkan, Nur Ain juga kerap berselancar di YouTube untuk mencari ilmu agama dan mengikuti para dai-dai ternama.
“Saya masuk Islam ketika saya berumur 18 tahun, yaitu pada tahun 2010 di Kantor Agama Ipoh, Departemen Agama Islam Perak (Malaysia). Saat itu saya bahkan tidak memikirkan penerimaan keluarga,” ujarnya mengenang.
Bahkan ketika telah yakin dengan Islam, ia terpaksa harus merahasiakan keimanannya dari keluarga besarnya.
“Saya merahasiakan masuk Islam saya selama tujuh tahun, baru pada tahun 2017 saya ceritakan kepada keluarga,” ujarnya dikutip Berita Harian.
Meski dihadapkan pada berbagai tantangan dalam beribadah, namun hal tersebut tidak menjadi alasan untuk meninggalkan keimanannya.
“Tapi saya yakin semua ada hikmahnya, itu pun tidak membuat saya ingin kembali ke agama asal saya, Hindu. Saya melihatnya sebagai sebuah keindahan, meski ada tantangannya tapi saya yakin dengan pilihan saya.”
Apakah tidak ada penolakan dari keluarga? Tentu saja muncul penolakan.
Di antaranya adalah menghadapi keluarganya, yang sebagaian adalah pemeluk Kristen. Saat itu dia tetap bertekad, bagaimana cara tetap bisa sholat meski di areal gereja.
“Saat itu salah satu keluarga saya yang beragama Kristen mengadakan upacara di gereja, karena sudah waktunya sholat, saya harus mencari tempat yang tenang di gereja untuk berdoa,” ujarnya.
Itulah salah satu pengalaman Nur Ain Sumaiyah tentang tantangan yang harus ia sembunyikan selama tujuh tahun memeluk Islam dari keluarganya.
Iya yakin semua ada hikmahnya. Ketetapan hatinya telah membuat dirinya tidak akan kembali ke agama asalnya, Hindu. “Saya melihatnya (Islam, red) sebagai sebuah keindahan, meski ada tantangannya tapi saya yakin dengan pilihan saya.”
Kini, dia merakan dengan mengadu kepada Allah Swt, menjadikan kekuatanya bertambah. “Saya berdoa dan sholat karena itulah kekuatan saya. Saya tahu Allah swt akan membantu saya dan dengan sholat saya ungkapkan segala persoalan saya,” ujarnya.
Ia mengaku bersyukur memilih teman dan dosen yang pengertian. “Mereka banyak mendukung saya ketika saya dalam keadaan sulit,” ujarnya baru-baru ini kepada BH Online.
Alhamdulillah, kini, lambat laun, perjuangan keimanannya telah diterima pihak keluarga.
Mendengarkan Cerita Sirah
Nur Ain mengaku, sebelum Islam, dia beragama Hindu. Meski dulunya penganut Hindu taat, namun setiap hari, dia hidup di lingkunan etnis Melayu-Muslim. Tentu saja tradisi Islam sudah dia lihat setiap harinya.
“Saya mengenal Islam sejak kecil karena saya besar dikelilingi oleh orang Melayu. Saya mempelajari agama ini lebih banyak ketika saya berusia delapan tahun,” ujarnya.
Hal ini mengharusnya banyak bergaul dengan teman dan sahabat orang Islam.Bahkan ketika dia sekolah, Nur Ain adalah satu-satunya murid yang Hindu.
Nur Ain (kiri) dalam sebuah acara
Hal ini membuatnya kesulitan mengikuti kelas khusus pendidikan Hindu. Akibatanya, ia sering mengikuti kelas mata pelajaran Pendidikan Agama Islam karena tidak ada guru yang menggantikan mata pelajaran moral (Hindu).
Dari situlah dia kerap mendengar kisah-kisah kehidupan Baginda Nabi Muhammad ﷺ. “Saya sangat suka mendengar kisah Sirah, keagungan Nabi Muhammad ﷺ. Hal itu membuatku merasa tercengang,” ujarnya.
Kisah Baginda Nabi Muhammad ﷺ baginya telah membuatnya kagum. Apalagi kisah perjalanan hidup Baginda yang cukup menantang dan tidak bisa dilalui oleh orang awam.
Awal keinginannya untuk belajar Islam adalah ketika ditawari untuk mengambil Tassawur Islam ketika dia duduk di bangku kelas 4 SD. Namun di situ, ada satu bab di buku teks yang sangat ia khawatirkan, yakni bab berjudul “Al-Quran Adalah Panduan Bagi Umat Islam”.
“Waktu itu saya kurang setuju dengan judulnya, tapi saya lihat teman-teman muslim saya tidak seperti itu,” jelas Nur Ain Sumaiyah membuka perbincangan.
Belajar Islam Hingga Akhir Hayat
Nur Ain juga menjelaskan bahwa dia beriman kepada Allah karena merasa lebih dekat dengan Sang Pencipta. Inilah yang ia rasakan di agama barunya.
“Aspek ibadahnya pasti shalat lima waktu dan menurut saya lebih bermakna hidup di muka bumi ini jika membaca Al-Quran, Allah ingatkan akan kewajiban menjadi hamba Allah dan khalifah, jadi ada sebuah tanggung jawab yang harus dipenuhi bukan sekedar mencari kekayaan, hidup begitu saja dan mati,” ujarnya.
Bahkan menurutnya, Islam juga telah memberinya arahan bahwa dunia adalah wadah untuk berbuat baik dan menyebarkan agama Allah agar bisa bertemu denganNya di akhirat, lanjut Nur Ain Sumaiyah.
Ditanya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk belajar tentang Islam. Nur Ain Sumaiyah menjelaskan, proses belajar dalam Islam sesungguhnya tidak pernah berhenti.
“Sampai saat ini saya masih belajar lebih banyak tentang Islam. Dari segi ibadah saja, alhamdulillah dalam dua tahun saya baru bisa lancar membaca Surat al-Fatihah dan berdoa. Namun saya masih belajar lebih dalam lagi, sehingga proses pembelajaran ini akan berlangsung hingga akhir hayat saya,” katanya.
“Saat ini pun aku merasa hidupku begitu indah, meski ada cobaan, tapi aku selalu yakin Allah selalu ada di setiap perjalananku. Bahkan ada yang mencela, mengejek, namun hati ini sangat tenang ketika mengingat Allah,” tambah dia.
Begitu cintanya pada Islam, ia kini melanjutkan studi S1 bisa Ilmu Islam agar bisa berusaha aktif dalam kegiatan dakwah kepada non-Muslim, khususnya untuk keluarganya.
“Kepada keluargaku, aku hanya menunjukkan dari perbuatanku saat ini. Aku berusaha mengamalkan Islam sebaik-baiknya dan tidak melanggar perintah Allah agar bisa terlihat perbedaan antara Islam dan non-Islam,” kata Nur Ain Sumaiyah.
Menjaga Sholat
Di antara kegiatan yang sering dilakukan dalam mendekatkan diri pada Islam, gadis ini menjelaskan bahwa dirinya selalu menjaga shalat. Nur mengaku menjaga amalan terutama menjaga waktu sholat, terutama Subuh.
“Saya, sangat menghargai waktu sholat karena sebelum masuknya Islam, sholat itu sangat menantang dan saya selalu mencari strategi agar saya bisa sholat, “ ujarnya.
“Bagiku doa dalam sholat adalah anugerah Alah. Hal lainnya, aku selalu mengikuti pertemuan di majelis ilmu dan banyak berdoa selama pertemuan ilmu tersebut agar Allah menerima amalanku,” katanya.
Baru di awal tahun ini, dirinya mengaku jatuh cintanya kepada Allah dan Al-Quran makin bertambah-tambah. Hal ini terjadi saat ia mengikuti ceramah “Surah Taddabur dalam Al-Qur’an”.
“MasyaAllah hebat cerita dan hikmah yang bisa diambil dari taddabur Al-Quran, “ ujar dia.
Carilah Ilmu dan Pelajari Islam
Kepada para mualaf dan bagi orang yang belum berani menyatakan keislaman, Nur Ain berpesan agar terus mencari ilmu dan mengenal Islam lebih dalam.
Menurutnya, orang masuk Islam biasnya karena berbagai alasa. Di antaranya karena pernikahan, karena teman, dan mendapat hidayah.
“Hal pertama yang bisa saya katakan adalah mereka perlu mencari ilmu dan belajar tentang Islam.”
Kedua, harus shalat dan terus shalat. Jangan beralasan mereka mualaf untuk tidak shalat, ujarnya yang awalnya mendapat tentangan keras dari keluarganya atas keputusannya memilih Islam.
Menurutnya, doa dan menjaga hubungan dengan Tuhan akan menjadi penyebab utama seseorang segera memeluk Islam.
“Pahamilah keluarga dan jangan membenci mereka. Bagi mualaf yang diusir oleh keluarganya, beri mereka (keluarga, red) waktu, usahakan tetap bersikap sopan kepada mereka.”
“Teruslah berdoa karena kita tahu Allah memegang hati manusia dan berdoalah agar keluarga kita dapat menerima kita kembali,” ujarnya yang sempat menginformasikan kepada kedua orang tuanya untuk masuk Islam pada tahun 2017.
Ia menambahkan, jika ada non-Muslim mengejek, Nur Ain mengatakan tidak semuanya perlu dijawab dan ditanggapi.
“Sindiran memang menyakitkan, tapi tidak semua dari kita harus menjawab. Beberapa hal butuh waktu, diam bukan berarti kita kalah karena suatu saat kita akan bisa membuktikan semua pertanyaan mereka,” kata dia.*
Arrahmah.id
Penembak Jitu Kembali Muncul di Tepi Barat, Mimpi Buruk Pendudukan Dimulai
Dari suatu tempat, pada Selasa sore (2/7/2024), kelompok perlawanan Palestina menembakkan peluru, tepat mengenai sasarannya di pemukiman “Har Bracha” (yang namanya berarti Gunung Berkah), yang terletak di salah satu sisi Gunung Gerizim di kota Nablus, Tepi Barat bagian utara. Kali ini tidak membunuh sasarannya, namun menimbulkan kegaduhan dan kepanikan di kalangan pemukim dan tentara pendudukan yang […]