Tag:
etnis Rohingya
Hidayatullah.com
Masyarakat Aceh Tak Mungkin Tolak Pengungsi, Ajak Pemerintah dan PBB Cari Solusi Nyata
Hidayatullah.com—Tokoh masyarakat Aceh yaitu Panglima Laot Aceh Miftach Cut Adek mengatakan masyarakat Aceh tidak bisa menolak kehadiaran pengungsi Rohingya. Hal ini karena ada alasan agama (Islam) dan alasan kemanausiaan.
Meski demikian, ia mendesak Pemerintah dan Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) bisa menyelesaikan masalah pengsungsi ini agar tidak menimbulkan masalah di Aceh.
“Masyarakat meminta agar pengungsi Rohingya ada yang menguruslah,” kata Miftah dalam perbincangan bersama Pro 3 RRI, Ahad (10/12/2023) malam.
“Kita tidak mengharapkan mereka datang, tetapi mereka datang tiba-tiba. Kalau kita tolak menyalahi hukum dan agama,” ujarnya.
Senada dengan Miftach, Senator DPD RI asal Aceh, HM Fadhil Rahmi Lc MAg, atau akrab disapa Syech Fadhil, meminta Pemerintah Pusat di Jakarta mencari solusi kongkrit terkait kedatangan para pengungsi Rohingya di Aceh.
Pasalnya, kata dia, hampir ribuan Rohingya terus berdatangan ke Aceh selama sebulan terakhir. Sementara di sisi lain, banjir bandang akibat curah hujan tinggi juga melanda berbagai kabupaten kota di Aceh.
“Jangan sampai ini persoalan ini kemudian menjadi tanggungjawab pemerintah daerah di Aceh. Pasalnya, Pemkab dan Pemprov di Aceh sendiri sedang fokus menangani persoalan banjir bandang yang melanda di beberapa daerah. Begitu juga masalah lain, seperti pembahasan APBA dan lainnya, ” kata Syech Fadhil kepada wartawan di sela-sela acara UIN Langsa, Ahad (10/12/2023).
“Kita berharap tanggungjawab penanganan masalah Rohingya harus menjadi konsentrasi Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat dan UNHCR harus mencari Solusi kongkrit terkait masalah Rohingya,” kata senator muda ini dikutip Harian Rakyat Aceh.
“Atas nama kemanusiaan, kita memang diharuskan membantu. Tapi ketika kebaikan orang Aceh dalam memuliakan tamu disalahartikan dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, maka harus ada langkah tegas, sebelum muncul konflik sosial yang lebih luas di Aceh di masa depan,” ujar Syech Fadhil lagi.
Sebagaimana yang diketahui, sekitar 400 pengungsi Rohingya mendarat di Aceh pada hari Ahad (10/12/2023) dini hari. Pertama di Pantai Desa Blang Raya, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, kedua di Desa Blang Ulam Kecamatan Masjid Raya Kabupaten Aceh Besar.
Saat ini mereka masih berada di tepi pantai dan belum diizinkan beranjak ke lokasi lain. “Kedua kapal ini mendarat dini hari tadi. Kapal yang mendarat di Pidie pada pukul 3.30 WIB, sementara di Kabupaten Aceh Besar pukul 5.30 WIB,” kata Miftach.
Ahad malam, sebanyak 135 pengungsi Rohingya yang mendarat di Dusun Blang Ulam, Gampong Lamreh, Kecamatan Masjid Raya, dievakuasi ke Camp Pramuka, Seulawah, Pidie. Mereka diangkut menggunakan empat unit truk yang dipinjam dari Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD Aceh Besar dan Satpol PP/WH Kota Banda Aceh.
Seorang petugas UNHCR Perwakilan Indonesia Ann Maymann, mengatakan saat ini mereka sedang mengusahakan penempatan sementara supaya dapat menyelesaikan persoalan darurat, hingga pihak UNHCR menetapkan keputusan baru setelah melakukan koordinasi dengan Pemerintah Indonesia.*
Hidayatullah.com
Menjawab Narasi Negatif Netizen tentang Pengungsi Rohingya
Sesungguhnya imam, pemimpin, khalifah adalah perisai dan menjadi pelindung bagi mereka yang terzalimi dan tertindas, termasuk pada kasus Palestina dan Rohingya
Oleh: Ali Mustofa Akbar
Hidayatullah.com | “SUDAH jatuh terimpa tangga pula,” begitu kira-kira menggambarkannestapa saudara Muslim Rohingya saat ini. Sudah terusir dan teraniaya dari negerinya, sekarang dibuly dengan narasi-narasi kejam oleh netizen Indonesia.
Etnis Rohingta, sering digambarkan sebagai orang-orang yang paling sering mengalami persekusi di dunia. Mereka ditolak di negara sendiri, tidak diterima oleh beberapa negara, hidup miskin, tak punya kewarganegaraan, serta dipaksa meninggalkan negerinya dibeberapa dekade ini.
Padahal sebelumnya mereka merupakan komunitas Muslim yang sudah tinggal berabad-abad lamanya di sana, mereka absah dan diakui sebagai warga negara bahkan juga ketika Inggris berkuasa di Burma, Rohingya menjadi bagian tak terpisahkan dari negara itu.
Hingga ikut andil dalam kemerdekaan Burma tahun 1948. Sekarang bernama Myanmar.
Keadaan berbanding terbalik sejak kudeta militer oleh Jenderal Ne Win dari Partai Sosialis Burma pada 1962. Komunitas Muslim di Myanmar terutama Rohingya mendapat perlakuan diskriminatif, mereka tidak dianggap sebagai warga asli Myanmar.
Puncaknya di tahun 2017 ribuan Muslim myanmar terbunuh oleh tentara Myanmar. Dunia mengutuk peristiwa ini dengan menyebutnya sebagai genosida.
Pengungsi Rohingya di Aceh
Dalam kurun waktu 14-21 November 2023 ini, ada 1.084 pengungsi Rohingya yang datang ke Sabang, Aceh. Mereka datang dengan menumpangi kapal milik warga Bangladesh.
Menurut UNHCR, bahwa per 31 Oktober 2023, lebih dari sejuta pengungsi Rohingya pergi ke berbagai negara untuk mencari perlindungan (Detik, 04/12/33). Beberapa negara menjadi labuhan mereka adalah Arab Saudi, Malaysia, Bangladesh, Indonesia, dan lainnya.
Derita saudara Muslim Rohingya menambah pelik kisah umat Islam di penjuru dunia yang saat ini dalam kondisi yang memprihatinkan. Menjadi manusia perahu serta “mengemis” ke negara manca tentulah bukanlah keinginan terbaik meraka, siapapun, ingin hidup tenteram di negerinya sendiri.
Kedatangan Muslim Rohingya di negeri ini kini makin menghangat kembali. Permasalahan bertambah runyam karena muncul narasi-narasi negatif terhadap Muslim Rohingya distigmakan sebagai pelaku tindak berbagai aktivitas kriminal seperti pencurian, pemerkosaan, dan seterusnya.
Menanggapi hal ini Ketua MPU Aceh, Abu Faisal Ali, menyampaikan: “Jangan sampai, karena banyaknya pemberitaan negatif yang menggambarkan kekurangan-kekurangan mereka, seolah menepis dan menihilkan kewajiban kita sesama Muslim ataupun sekadar selaku manusia,” katanya.
Sementara cendikiawan Muslim Aceh, Adli Abdullah mengatkan, “Saya kira kita tetap membangun simpati terhadap masyarakat Rohingya yang terzalimi dan memang kalau ada yang terlibat human traficking harus ditindak. Jangan mencari keuntungan di atas penderitaan orang Rohingya. Semoga etnis Rohingya segera merdeka dunia akhirat,” tegas dosen Universitas Syah Kuala ini.
Persoalan Umat Islam
Apa yang terjadi kepada Muslim Rohingya sejatinya juga merupakan persoalan umat Islam seluruh dunia terutama saudara-saudara terdekatnya termasuk di Indonesia. Banyak dalil yang sudah dijelaskan oleh pada ulama akan tuntutan kepedulian ini.
Diantaranya salah satu hadits dari Rasul ﷺ:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Orang-Orang mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuhnya ikut merasakan tidak bisa tidur dan panas (turut merasakan sakitnya).” (Shahih Muslim 4685).
Namun akibat framing miring tentang Rohingya membuat sebagian kaum Muslim di negeri ini mengisyaratkan terpancing untuk tidak empati kepada saudaranya. Beberapa komentar miring seperti bahwa Muslim Rohingya identik dengan perilaku kriminal serta digambarkan tidak tau adab karena membuang bantuan makanan ke laut, dst. Tidak disangkal bahwa ditengah ketidakpastian hidup, ada beberapa oknum dari Muslim Rohingya yang berlaku kejahatan, namun tentu tidak baik jika di generalisir semua melakukannya.
Solusinya adalah adili pelaku kejahatan dengan tindakan preventif maupun efek jera dengan penegakkan hukum serta perlu dilakukan sosialisasi yang berkesinambungan di tempat penampungan.
Tampak pula sebagian netizen trauma dengan apa yang terjadi di Palestina, dimana pengungsi Yahudi yang diberi tumpangan justru menikam dari belakang umat Muslim Palestina.
Hal ini tidak bisa disamakan karena, mereka bukanlah Zionis yang layak dimusuhi dan dicurigai, tapi saudaranya Muslim yang diibaratkan Rasul ﷺ seperti satu tubuh. Kalau kita tidak bisa seperti Kaum Anshar yang menerima kaum muhajirin maka minimal tidak mencibir.
Akar Permasalahan
Pertama; nasionalisme. Ikatan ini lahir dari akidah sekulerisme yang memisahkan agama dengan kehidupan. Output-nya menjadikan urusan warga Muslim negara lain bukan menjadi urusan negaranya.
Sebagaimana diketahui, semenjak kesepakatan Sykes-Picot, umat Islam terpecah-pecah menjadi negeri-negeri kecil yang melunturkan ikatan ukhuwah Islamiyyah.
Kedua; kekuasaan pemimpin Muslim lemah. Bukan dalam arti lemah secara personal namun secara sistemik.
Adalah contoh pada kepemimpinan Khalifah Mu’tashim Billah di masa Abbasiyah. Saat seorang Muslimah dilecehkan oleh orang kafir lalu wanita itu berteriak kepada Khalifah, tak berselang lama Mu’tashim mengirimkan tentara untuk membela kehormatan wanita Muslimah tersebut.
Dalam buku-buku sejarah disebutkan tentara Mu’tashim yang dikirim bahkan saat kepalanya sudah di kawasan Umuria sedangkan ekornya masih di Ibu Kota Baghdad saking banyaknya pasukan untuk membela kemuliaan seorang Muslimah itu.
Menyikapi persoalan Rohingya perlu ada kerjasama berbagai stakeholder guna merumuskan solusinya. Pertama: Pihak-pihak berkewenangan diberbagai negeri Muslim memiliki kewajiban untuk menolong saudaranya.
Apresiasi layak diberikan kepada Wapres Ma’ruf Amin yang membuka opsi Pulau Galang yang akan menjadi tempat labuhan pengungsi Rohingya meski mendapat bantahan dari Menteri Mahfud MD.
“Kalau pengungsi 1.400 lebih ya dan kita sebenarnya tidak terikat ya dengan konvensi itu, tapi karena kita punya prinsip kemanusiaan ya kita cari. Ya mudah-mudahan dalam waktu dekat,” (CNN, 6/12/2023).
Kedua: Mahfud MD juga menyampaikan bahwa pengungsi Rohingya akan dipulangkan ke Myanmar. Maka jika itu juga opsi harus perhatikan pula keselamatan dan keadilan bagi Muslim Rohingya sebagai warga negara Myanmar dengan cara negeri-negeri Muslim terutama ASEAN berperan aktif dalam pengawasan, diplomasi, maupun upaya lainnya untuk menjamin keamanan Muslim Rohingya.
Situasi yang dialami oleh saudara Muslim di Rohingya, Palestina, Uighur, dan di belahan bumi lainnya yang sedang terdzolimi semakin membuka mata hati kita akan kerusakan sistem dunia dunia ini melahirkan sikap apatisme dan pengabaian pada orang yang seharunya bisa kita bela dan kita lindungi, dan penyakit ini, kini menimpa negeri-negeri Muslim.
Ketiga, penting bagi kita sesama manusia belajar para kesusahan dan penderitaan pengungsi Rohingya. Jika kita diposisikan pada mereka, mungkin kita akan semakin luka dan menderita.
Apalagi jika di tengah kesusahan, ditolak sana-sini, lalu dikembalikan lagi ke laut, sampai mati satu-persatu. Bagi yang selamat ke darat, orang yang di darat justru mem-bully-nya, menyerang dengan kata-kata atau tindakan. Bagaimana rasanya?
Bagaimana jika kita atau keluarga kita yang mengalami nasib serupa lalu mereka diteriaki, dibully dengan narasi-narasi jahat agar mengusir kembali ke laut? Di mana kemanusiaan kita?
Kita berharap pemimpin-pemimpin kita menjadi lebih baik. Agar mereka bisa menjadi perisai yang melindungi umatnya.
«إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ»
“Sesungguhnya imam adalah perisai orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR: Muslim).
Dalam syarah Imam Nawawi tentang hadits ini beliau menjelaskan:
أي : كالستر ;لأنه يمنع العدو من أذى المسلمين , ويمنع الناس بعضهم من بعض, ويحمي بيضة الإسلام , ويتقيه الناس ويخافون سطوته , ومعنى يقاتل من ورائه أي : يقاتل معه الكفار والبغاة والخوارج وسائر أهل الفساد والظلم مطلقا
“Makna imam sebagai perisai adalah seperti benteng, sebab imam melindungi umat Islam dari gangguan musuh, mencegah pertikaian di antara sesama Muslim, menjaga eksistensi Islam, serta imam ditaati dan ditakuti oleh masyarakat. Dan makna berperang dibelakangnya adalah berperang melawan orang-orang kafir, bughot, khawarij, pembuat kerusakan dan pelaku kedzaliman secara mutlak.” (Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Hadits No. 4772). Wallahu A’lam.*
Pengasuh Kajian Kampung
Hidayatullah.com
Din Syamsuddin Dukung Gagasan Wapres Menempatkan Pengungsi Rohingya yang Terusir
Hidayatullah.com—
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyambut baik opsi Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang akan menempatkan para pengungsi Rohingya di Pulau Galang.
“Usul Wapres Ma’ruf Amin yang disiarkan media agar Pemerintah RI sediakan Pulau Galang untuk para pengungsi Rohingya patut disambut positif,” ujar Din Syamsuddin dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (08/12/2023).
Din mengatakan para pengungsi Rohingya, yang kebetulan beragama Islam, terusir dari tanah kelahiran mereka di Rakhine State Myanmar, karena dianggap tidak berkewarganegaraan Myanmar.
Padahal, kata Din, mereka sesungguhnya warga negara yang sah dan bahkan pernah ikut terlibat dalam Pemerintahan Myanmar. Namun, rezim junta militer Myanmar, atas desakan kelompok keagamaan ekstrim, mengusir mereka dari kampung halamannya.
Ia menaksir pengungsi Rohingya yang terdampar di Indonesia, di Aceh bahkan sampai Sulawesi Selatan, berjumlah ratusan dan terus bertambah. Masalahnya, kata Din, lembaga pengungsi dunia UNHCR tidak berdaya atas alasan mereka stateless (tidak berkewarganegaraan).
“Pemerintah Indonesia pun tidak dapat berbuat banyak untuk menampung mereka. Syukur ada lembaga swadaya masyarakat dan organisasi Islam, seperti Muhammadiyah, membantu mereka walau tidak maksimal,” katanya.
Ia pun berharap usulan Wapres tersebut dapat segera terealisasi atas nama kemanusiaan. “Semoga usul Wapres Ma’ruf Amin dapat dilaksanakan oleh Pemerintah RI sendiri. Tentu Bapak Wapres tidak hanya menyampaikan usul baik tersebut di media massa, tapi memimpin pelaksanaannya di lapangan secara nyata,” kata dia dikutip laman Antara.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md memastikan pulau Galang, Kota Batam, Provinsi Riau, tidak akan menjadi tempat pengungsi Rohingya, kemungkinan di lokasi lain.
“Ndak (pengungsi Rohingya di pulau Galang), justru jangan sampai seperti pulau Galang,” kata Mahfud.
Mahfud tidak menjelaskan secara rinci alasan menolak Pulau Galang sebagai lokasi pengungsian warga Rohingya. Hingga saat ini Mahfud beserta jajarannya masih berupaya mencari lokasi pengungsian di tempat lain.
Salah satu upayanya, yakni meminta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk berkomunikasi dengan pemerintah Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Riau untuk membahas lokasi baru tersebut.*
Hidayatullah.com
Muhammadiyah Dukung Wapres Ma’ruf Amin Atasi Pengungsi Rohingya agar Bisa Hidup Tenang
Hidayatullah.com—Persyarikatan Muhammadiyah mendungkung langkah-langkah pemerintah, dalam al ini Wapres Ma’ruf Amin yang memberi opsi menempatkan pengungsi Rohingya di tempat khusus. Muhammadiyah tetap meminta pemerintah memperlakukan mereka secara manusiawi.
“Menolak dan membiarkan mereka kembali terkatung-katung di tengah laut di dalam kapal dan atau perahu yang mereka tumpangi tanpa ada kejelasan tujuan ke negara mana mereka akan berlabuh, jelas tidak manusiawi, karena mereka sebagai manusia juga punya hak untuk hidup dengan tenang, damai, sejahtera dan bahagia, demikian disampaikan Ketua PP Muhammadiyah Buya Anwar Abbas, Jumat (8/12/2023) .
Seperti diketahui , jumlah pengungsi Rohingnya di Indonesia saat ini ada sekitar 1.487 orang , sebuah jumlah yang tidak kecil. Muhammadiyah melihat masalah pengungsi adalah masalah kemanusiaan yang harus dicarikan solusinya, apalagi bangsa Indonesia mengaku menjunjung Pancasila.
“Apalagi kita sebagai bangsa yang menjunjung tinggi falsafah Pancasila, dimana Sila Ppertamanya adalah Ketuhanan yang Maha Esa dan Sila Keduanya yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab maka tidak dapat tidak kita harus bisa berbuat untuk membantu mereka,” ujarnya.
Menghadapi kasus pengungsi Rohingya ini PP Muhammadiyah mendukung sikap Wapres RI, Ma’ruf Amin, agar para pengungsi tersebut jangan dibiarkan berserak di berbagai daerah tapi di tempatkan di sebuah pulau agar lebih mudah mengurusi dan mengawasinya.
“Sikap Ini penting untuk diambil oleh pemerintah bagi meminimalisir masalah dan bagi memudahkan kita berbicara dan bernegosiasi serta mencarikan solusi bersama United Nations High Commissioner for Refugees (INHCR) tentang tindakan dan langkah apa yang terbaik kita lakukan bagi para pengungsi tersebut agar mereka sebagai manusia juga bisa hidup dengan aman, tentram, damai dan bahagia di bumi milik kita bersama ini,” ujarnya.
Sebelumnya, Wapres RI Ma’ruf Amin mengusulkan menempatkan para pengungsi di Pulau Galang, seperti pernah dilakukan untuk pengungsi dari Vietnam tahun 1979 -1996 yang jumlahnya sekitar 250.000 orang.
Namun Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md memastikan Pulau Galang, Kota Batam, Provinsi Riau, tidak akan menjadi tempat pengungsi Rohingya, kemungkinan di lokasi lain.
“Ndak (pengungsi Rohingya di pulau Galang), justru jangan sampai seperti Pulau Galang,” kata Mahfud.
Mahfud tidak menjelaskan secara rinci alasan menolak Pulau Galang sebagai lokasi pengungsian warga Rohingya. Hingga saat ini Mahfud beserta jajarannya masih berupaya mencari lokasi pengungsian di tempat lain.
Salah satu upayanya, yakni meminta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk berkomunikasi dengan pemerintah Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Riau untuk membahas lokasi baru tersebut.*
Hidayatullah.com
Wapres: Ada Opsi Tampung Pengungsi Rohingya di Pulau Galang
Hidayatullah.com— Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin isu pengungsi Rohingya adalah masalah kemanusiaan yang harus diatasi bersama antarpemangku kepentingan. Ia menyebut terdapat opsi untuk menampung pengungsi rohingya di Pulau Galang, Kepulauan Riau.
“Penempatannya di mana? Dulu kita punya Pulau Galang, nanti kita bicarakan lagi apa akan seperti itu,” kata Ma’ruf Amin di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa (5/12/2023).
Pulau Galang sendiri sebelumnya pernah digunakan sebagai tempat penampingan sementara pengungsi Vietnam antara 1979-1996. Maruf Amin menyorot gelombang pengungsi Rohingya yang tiba di Aceh dalam beberapa gelombang belakangan ini.
Ma’ruf Amin menyebut permasalahan pengungsi Rohingya sedang dibahas secara intensif dalam rapat yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Ma’ruf menyatakan pemerintah Indonesia mengagendakan pembahasan soal pengungsi Rohingya dengan Komisariat Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR). “Selama ini kan tidak mungkin kita menolak, tetapi juga tentu kita mengantisipasi jangan sampai ada penolakan dari masyarakat, juga bagaimana supaya mengantisipasi jangan sampai terus semuanya lari ke Indonesia. Itu jadi beban,” kata Ma’ruf.
Negeri Asal?
Sementara itu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyebutkan ada upaya untuk mengembalikan para pengungsi Etnis Rohingya kembali ke asalnya.
“Besok akan kita rapatkan bagaimana caranya mengembalikan negaranya melalui PBB,” kata Mahfud, hari Selasa, dikutip TVRINews.
Ia menyatakan terdapat 1.447 pengungsi asal Rohingya yang berada di Indonesia. Meski sudah menampung sebanyak itu, Mahfud mengatakan Indonesia tidak ikut menandatangani konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui UNCHR.
“Orang Rohingya masuk sini sekarang jumlahnya 1.447. Itu terus bertambah gelombang pengungsi datang terus, Malaysia sudah tutup, Australia juga sudah tutup sehingga Indonesia turun tangan,” ujar Mahfud.
Menurut pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi itu, Indonesia ternyata melalui Aceh, Riau, dan Medan sudah kewalahan untuk menangani ribuan pengungsi itu. ‘Itu terus bertambah gelombang pengungsi datang terus, Malaysia sudah tutup, Australia juga sudah tutup sehingga Indonesia turun tangan, tapi turun tangan teru-terusan ini kewalahan, orang Aceh sudah menolak, di sini kami punya keperluan juga, atas tanah, atas makanan.
Dikirim ke riau juga sudah penuh, lalu ke medan sudah penuh,” ucap Mahfud.*