Tag:
Buya Hamka
Hidayatullah.com
Buya Hamka dan Rahasia Merebut Al-Aqsha
Ahli-ahli fikir Islam modern berkesimpulan bahwasanya Palestina dan Tanah Suci Baitul Maqdis, tidaklah akan dapat diambil kembali dari Zionis sebelum orang Arab dan orang-orang Islam seluruh dunia mengembalikan pangkalan fikirannya pada Islam
Oleh: Qosim Nurseha Dzulhadi
Hidayatullah.com | BUYA Hamka adalah salah satu dari ulama dunia yang memiliki perhatian khusus kepada masalah Palestina dan al-Aqsha. Perhatiannya ini banyak beliau tuangkan dalam banyak tulisannya.
Dalam Sejarah Umat Islam beliau mengulas tentang Negeri Syam, Perang Salib, dan kerajaan-kerajaan Islam di Syam. (Buya Hamka, Sejarah Umat Islam (Singapura: Pustaka Nasional, cet. Vl, 2006), 349-369).
Kisah kepahlawanan Shalahuddin al-Ayyubi tampaknya amat menarik perhatian Buya Hamka. Maka, beliau ulas lagi dalam Dari Hati ke Hati. Dalam tajuk “Shalahuddin al-Ayyubi: Pahlawan Perang Salib yang Berjihad menurut Jalan Nabi” beliau menyebutkan demikian:
“Bila Anda menyebut nama itu, tidak akan terpisah dari kenangan Anda bahwa pada akhir abad ke-Xl Masehi atau akhir abad ke-V Hijriyah (?) telah terjadi peperangan yang hebat diantara raja-raja dari Kerajaan Islam dengan Kerajaan Nasrani dari Benua Eropa yang merebut tanah suci Palestina dari tangan kaum Muslimin dan menduduki negeri itu hampir dua abad lamanya sehingga berdirilah beberapa Kerajaan Kristen di tanah air Kaum Muslimin. (Buya Hamka, Dari Hati ke Hati (Depok: Gema Insani, cet. I, 1437 H/2016), 86.
Dan dengan iman sebagai “senjata” dalam Perang Hittin (1877) benteng al-Kark direbut. 20.000 tentara Salib tewas dan tertawan. Reginald ikut tertawan, termasuk Guy de Lusignan, Raja Jerusalem. Tapi Reginald dipancung kepalanya, karena pengkhianat. Dari benteng al-Kark masuk ke Akra, Nablus, Ramlah, Kisariyah, Jafa dan Beirut. Akhirnya, Jerusalem dikepung dan Baitul Maqdis dibebaskandibebaskan, setelah 88 tahun di tangan kaum Nasrani atau 90 tahun dalam hitungan Hijriyah. (Buya Hamka, Dari Hati ke Hati, 95, 96).
Dan tentunya, hari ini Baitul Maqdis dalam keadaan “tertawan” bahkan terjajah. Sejak 1948 hingga 2024 negeri yang di dalamnya ada Kiblat Pertama Umat IsIam ini ditawan dan dijajah kaum Zionis-Yahudi.
Umat ini tengah menanti sosok seteguh Shalahuddin al-Ayyubi. Pahlawan Islam yang menjadikan iman sebagai “senjata” dalam menaklukkan penjajahan sadis Zionis-Yahudi.
Selain itu, kemurnian akidah seperti yang ditampilkan Shalahuddin al-Ayyubi dibutuhkan umat ini untuk mengakhiri kebiadaban peradaban Barat yang materialis dan bengis di sana.
Kembali ke Pangkalan Islam
Terkait dengan gagahnya Shalahuddin al-Ayyubi dalam membebaskan Baitul Maqdis dari tangan kaum Salibis, agaknya refleksi sekarang perlu kita lakukan. Dan ini yang diingatkan oleh Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar-nya yang legendaris itu.
Kata Buya Hamka, di saat ini kaum Bani Israil itu telah dapat mendirikan kembali Kerajaannya di tengah-tengah Tanah Arab, di Palestina yang telah dipunyai oleh orang Arab Islam sejak 1.400 tahun, dan beratus-ratus tahun sebelum itu telah dikuasai negeri itu oleh orang Romawi dan Yunani.
Sudah lebih 2.000 tahun tidak lagi orang Yahudi mempunyai negeri itu. Tetapi dengan uang dan pengaruh, mereka menguasai pendapat dunia untuk tidak mengakui negeri Islam itu.
Tujuh Negara Arab, hanya satu yang tidak resmi negara Islam, yaitu Negara Lebanon. Ketujuh Negara Islam itu kalah berperang dengan mereka (1948), dan langsung juga negeri Israel berdiri.
Maka setelah ditanyai orang kepada Presiden Mesir, (ketika itu Republik Arab Persatuan), Jamal Abdel Nasser, apa sebab tujuh Negara Arab dapat dikalahkan oleh satu Negara Israel, Nasser menjawab: “Kami kalah karena kami pecah jadi tujuh, sedang mereka hanya satu.”
Pada tahun 1948, peperangan hebat diantara orang Islam Arab dengan Yahudi itu, yang menyebabkan kekalahan Arab, negara-negara Arab baru tujuh buah.
Kemudian, tengah buku “Tafsir Al-Azhar” ini masih dalam cetakan yang pertama (Juni 1967), Negara Arab tidak lagi tujuh, melainkan telah menjadi tiga belas. Waktu itu sekali lagi Israel mengadakan serbuan besar-besaran.
Sehingga dalam enam hari saja lumpuhlah kekuatan Arab Islam, hancur segenap kekuatannya. Beratus buah pesawat terbang kepunyaan Republik Arab Mesir dihancurkan sebelum sempat naik ke udara. Belum pernah negeri-negeri Arab khususnya dan ummat Islam umumnya menderita kekalahan sebesar ini, walaupun dibandingkan dengan masuknya tentara kaum Salib dan Eropa, sampai dapat mendirikan Kerajaan Palestina Kristen selama 92 tahun, sepuluh abad yang lalu.
Maka dikaji orang lah apa sebab sampai demikian?
Setengah orang mengatakan karena persenjataan Israel lebih lengkap, dan lebih modern. Setengah orang mengatakan bahwa bantuan dari negara-negara Barat terlalu besar kepada Israel, sedang Republik Arab Mesir sangat mengharap bantuan Rusia.
Tetapi di saat datangnya penyerangan besar Israel itu, tidak datang bantuan Rusia itu.
Setengahnya mengatakan bahwa Amerika dan Rusia menasihati Republik Arab Mesir agar jangan menyerang lebih dahulu; kalau sudah diserang baru membalas. Tetapi Israellah yang memang menyerang lebih dahulu, sedangkan pihak Arab telah taat kepada anjuran Rusia dan Amerika.
Tetapi segala abalisa ini tidaklah kena mengena akan jadi sebab musabab kekalahan. Kalau dikatakan persenjataan Israel lebih lengkap, senjata Republik Arab Mesir tidak kurang lengkapnya.
Kalau bukan lengkap persenjataan Mesir, tentu Presiden Jamal Abdel Nasser dan terompet-terompetnya di radio tidak akan berani mengatakan bahwa kalau mereka telah menyerang Isarel pagi-pagi, sore harinya mereka sudah bisa menduduki Tel Aviv.
Kalau dikatakan bahwa orang Yahudi Israel itu lebih cerdas dan pintar, maka sejarah dunia sejak zaman Romawi sampai zaman Arab menunjukkan bahwa bangsa yang lebih cerdas kerapkali dapat dikalahkan oleh yang masih belum cerdas.
Bangsa Jerman yang waktu itu masih biadab, telah dapat mengalahkan Romawi. Bangsa Arab yang dikatakan belum cerdas waktu itu, telah dapat menaklukkan Kerajaan Romawi dan Persia.
Sebab yang utama bukan itu. Yang terang ialah karena orang Arab khususnya dan Islam umumnya telah lama meninggalkan senjata batin yang jadi sumber dari kekuatannya. Orang-orang Arab yang berperang menangkis serangan Israel atau ingin merebut Palestina sebelum tahun 1967 itu, tidak lagi menyebut-nyebut Islam. Islam telah mereka tukar dengan Nasionalisme Jahiliyah, atau Sosialisme ilmiah ala Marx. Bagaimana akan menang orang Arab yang sumber kekuatannya ialah imannya, lalu meninggalkan iman itu, malahan barangsiapa yang masih mempertahankan ideologi Islam, dituduh reaksioner.
Nama Nabi Muhammad sebagai pemimpin dan pembangun dari bangsa Arab telah lama ditinggalkan, lalu ditonjolkan nama Karl Marx, seorang Yahudi. Jadi, untuk melawan Yahudi mereka buangkan pemimpin mereka sendiri, dan mereka kemukakan pemimpin Yahudi.
Dalam pada itu kesatuan akidah kaum Muslimin telah dikucar-kacirkan oleh ideologi-ideologi lain, terutama mementingkan bangsa sendiri. Sehingga dengan tidak bertimbang rasa, di Indonesia sendiri, di saat orang Arab bersedih karena kekalahan, Negara Republik Indonesia yang penduduknya 90 % pemeluk Islam, tidaklah mengirimkan utusan pemerintah buat mengobati hati negara-negara itu, melainkan mengundang Kaisar Haile Selassie, seorang Kaisar Kristen yang berjuang dengan gigihnya menghapuskan Islam dari negaranya.Dakwah Media BCA - Green.notice-box-green {
border: 2px solid #28a745; /* Green border color */
background-color: #d4edda; /* Light green background color */
padding: 15px;
margin: 20px;
border-radius: 8px;
font-family: inherit; /* Use the theme font from WordPress */
text-align: center; /* Center the text */
}Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/Ahli-ahli fikir Islam modern telah sampai pada kesimpulan bahwasanya Palestina dan Tanah Suci Baitul Maqdis, tidaklah akan dapat diambil kembali dari rampasan Yahudi (Zionis) itu, sebelum orang Arab khususnya dan orang-orang Islam seluruh dunia umumnya, mengembalikan pangkalan fikirannya kepada Islam.
Sebab, baik Yahudi dengan Zionisnya, atau negara-negara Kapitalis dengan Christianismenya, yang membantu dengan moril dan materiel berdirinya Negara Israel itu, keduanya bergabung jadi satu melanjutkan Perang Salib secara modern, bukan untuk menantang Arab karena dia Arab, melainkan menantang Arab karena dia Islam. (Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1082): 2/220-221).
Maka, jelaslah sudah problem utama umat ini. Yaitu akidah. Ya, keyakinan sudah lama berganti (atau sengaja diganti) dengan ideologi-ideologi lain yang bertentangan dengan pandangan alam (worldview) Islam.
Padahal, umat ini kuat dan ditakuti lawan karena akidahnya. Bukan yang lainnya. Dan apa yang kita saksikan saat ini di Palestina dan Baitul Maqdis menguatkan hal ini.
Negara sekecil Afrika Selatan sejatinya telah mempermalukan negara-negara Arab yang konon “tetangga” dekat Palestina. Mereka hanya menonton. Mirip tajuk sebuah sinetron: “Tetangga kok gitu?”
Apa benar kondisi negara-negara Arab itu sama seperti tahun 1948, 1956, dan 1967? Apakah ini menguatkan pandangan Buya Hamka bahwa negara-negara itu semua belum kembali ke pangkalan Islamnya?
Yang jelas Khalifah Umar pernah ingatkan kita dengan satu pernyataannya yang amat terkenal: “Ketika kami mencari kemuliaan di luar Islam kami semakin dihinakan oleh Allah. Dan ketika kami mencari kemuliaan dalam Islam kami dimuliakan Allah.”
Karena hanya dengan kembali ke pangkalan Islam umat ini akan kembali jaya, kuat dan ditakuti oleh musuh. Jika tidak, maka perjuangan akan semakin panjang dan pengorbanan akan semakin besar. Semoga kita segera sadar. *
Dosen dan Guru di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah dan Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan
Hidayatullah.com
Kepala SPI Pusat Meraih Gelar Doktor Ilmu Sejarah dengan Disertasi Tentang Hamka
Hidayatullah.com—Kepala Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Pusat, Akmal Sjafril, berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Dakwah Kebudayaan HAMKA Melalui Majalah Pandji Masjarakat dan Gema Islam (1959-1967)”.
Di hadapan Majelis Sidang yang dipimpin oleh Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), Jum’at (12/01) silam, Akmal memaparkan hasil penelitiannya yang mengungkapkan berbagai strategi yang diterapkan Hamka untuk menjaga kesinambungan dakwah pada era Demokrasi Terpimpin.
“Secara umum, era Demokrasi Terpimpin atau yang lebih dikenal sebagai Orde Lama dianggap sebagai masa-masa yang kurang baik bagi politik Islam. Pada saat itu, partai Islam terbesar, yaitu Masyumi, telah dibubarkan. Padahal, perolehan suara Masyumi di Pemilu 1955 menempati peringkat kedua dengan selisih yang tidak terlalu besar dengan PNI,” ujar Akmal.
Dalam situasi demikian, terlebih lagi setelah tokoh-tokoh Masyumi ditangkapi, Buya Hamka tampil memimpin dengan karakteristik dakwahnya yang unik.
“Dalam Disertasi saya, saya mengungkap bagaimana Hamka menerapkan strategi-strategi yang dibutuhkan untuk menjaga kesinambungan dakwah pada periode 1959-1967, terutama melalui Majalah Pandji Masjarakat dan Gema Islam,” ungkap Akmal lagi.
Ketika ditanya tentang harapan selanjutnya, Akmal mengaku telah berencana untuk menulis beberapa buku tentang Buya Hamka.
“Mohon doanya, mudah-mudahan saya bisa segera menulis biografi Buya Hamka sesuai harapan banyak orang,” tandas Akmal seperti dikutip dari video wawancara UIVIDEOPEDIA.
Disertasi ini bukanlah pertama penelitian Akmal yang pertama tentang Buya Hamka. Sebelumnya, Akmal telah meraih gelar magisternya di Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor dengan tesis “Studi Komparatif Antara Pluralisme Agama dengan Konsep Hubungan Antar Umat Beragama dalam Pemikiran Hamka”.
Tesis tersebut diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul “Buya Hamka: Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme”.
Dalam buku ini, Akmal membantah klaim sekelompok orang yang menyebut Hamka sebagai seorang pluralis yang membenarkan semua agama.
Akmal juga kerap diminta memberikan kajian seputar hidup dan pemikiran Hamka di berbagai forum. Sampai saat ini, SPI Jakarta dan Bandung telah menggelar acara Nobar dan Bedah Film “Buya Hamka” sebanyak tujuh kali dengan menghadirkan Akmal sebagai narasumbernya.
Beberapa tahun belakangan, Akmal juga rutin mengajar di At-Taqwa College, Depok, untuk materi “Pemikiran Buya Hamka”.
Keseriusan Akmal dalam meneliti Buya Hamka telah mengantarkannya untuk meraih gelar Doktor ilmu Sejarah di Universitas Indonesia (UI) dengan yudisium sangat memuaskan.
Disertasi Akmal mendapatkan banyak pujian, salah satunya datang dari Prof. Djoko Marihandono yang tidak lain merupakan promotornya.
“Mudah-mudahan ini merupakan langkah awal bagi Prodi sejarah untuk mulai keluar dari metodologi lamanya yang sudah sangat sering digunakan, dan mulai menggunakan metodologi yang baru untuk analisis disertasinya,” ungkap Prof. Djoko Marihandono sebagaimana dikutip dari video wawancara UIVIDEOPEDIA.*/SPI Media Center
Hidayatullah.com
Siti Raham Takdir Cinta Buya Hamka
Banyak gadis pilihan Buya Hamka, ada Kulsum, Maryam, dan wanita Hijaz di rumah Syeikhnya di Makkah yang mendesaknya untuk menikah, tapi mengapa pilihannya jatuh Siti Raham?
Hidayatullah.com | PERNIKAHAN Haji Abdulmalik bin Abdulkarim Amrullah (HAMKA) dengan Siti Raham berlangsung pada tanggal 5 April 1929, di usia keduanya masih muda belia.
Hamka saat itu berusia 21 tahun dan istri berumur 15 tahun. Seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan rumah tangga yang pada awalnya melalui proses perjodohan atas inisiatif ayahnya, Syaikh Abdulkarim Amrullah, pada tahun 1928.
Hamka menyadari bahwa ternyata Siti Raham adalah takdir cinta sejatinya, sehingga tidak ada niat untuk menduakannya.
Padahal sebelumnya, seperti diungkap Hamka dalam biografinya “Kenang-Kenangan Hidup” jilid I, saat di Padang Panjang dan ketika berlayar dalam perjalanan menuju Makkah pada bulan Pebruari 1927, kemudian bermukim di sana sekian bulan lamannya, kembali pulang ke tanah air dan menetap di Medan, telah ada wanita lain yang pernah hadir di hatinya.
Adalah gadis bernama Kulsum, dara Cianjur berusia 17 tahun yang berangkat haji bersama kedua orang tuanya. Ia terpesona kepada Hamka karena dikenal rajin mengumandang adzan setiap masuk waktu shalat dan suaranya yang merdu ketika membaca Al-Quran di atas kapal Karimata yang membawa mereka ke tanah suci.
Kulsum bahkan memanggil Hamka dengan sebutan “Ajengan”. Ajengan adalah panggilan untuk orang terkemuka, terutama guru agama Islam.
Pada tahun 1928, ketika pulang dari Medan bersama kakak iparnya Ahmad Rasyid Sutan Mansur dan baru sehari sampai di Maninjau, hari itu hari Jumat, setelah shalat Maghrib, adik ayahnya yang bernama Haji Yusuf Amrullah mengajaknya bercakap empat mata di sudut Surau.
“Malik, obatlah hati Buya-mu, beliau sudah mulai tua. Engkau telah dipertunangkan dengan anak perempuan Endah Sutan, namanya Siti Raham!”.
Pikirannya melayang ke Kulsum. Terbayang pula Maryam, wanita Hijaz di rumah Syeikhnya di Makkah yang mendesaknya untuk menikah.
Melintas pula di ingatannya seorang gadis yang sama-sama berasal dari Maninjau dan telah lama menetap di Medan. Pada saat akan pulang ke Maninjau, gadis tersebut bertanya: “Jika Tuan Haji pulang, tentu tidak ada niatan akan balik ke Medan lagi, ya?.”
“Ah, tentu saja kembali”, jawabnya.
“Jangan mendorong-dorongkan mulut, Tuan Haji, kampung kita “kramat”, balas wanita tersebut.
“Kembali jugalah ke Medan, Haji, sebab ada orang yang menunggumu”, pesan kakak gadis itu.
***
Buya Hamka menuturkan cuplikan dialog dengan ayahnya pada tahun 1943 di Tanah Abang, Jakarta, setelah sebelumnya ayah Buya Hamka ini dibuang ke Sukabumi oleh pemerintah Belanda karena dianggap mengganggu stabilitas misi kolonialnya di Minangkabau :
“Pada suatu hari, ketika kami duduk bercengkerama bersama-sama, beliau bersenda-gurau, seraya berkata: “Engkau sudah seperti batu terbenam ke bencah, tidak timbul lagi. Isteri hanya satu. Apalah agaknya “ramuan” yang dimakankan isterimu kepadamu, sehingga engkau tidak berani beristeri seorang lagi?”.
Dengan gaya berkelakar Buya Hamka menjawab secara serius: “Ini bukanlah soal ramuan atau soal pekasih (guna-guna). Soalnya ialah soal Abuya sendiri. Abuyalah dahulu yang mencarikan dan menetapkan dia menjadi isteriku. Rupanya Abuyalah yang memilih gadis yang ananda tidak sanggup menduakannya dengan yang lain.”
Kutipan dialog di atas diabadikan Buya Hamka dalam rubrik “Dari Hati ke Hati” di Majalah Panji Masyarakat edisi 95/1972 yang berjudul “Hj. Siti Raham: Dia adalah Obat Hati Ayahku.”
Begitulah penulis roman “Tenggelamnya Kapal Van der Wijk” ini menemukan kedamaian dan ketentraman hidup bersama Siti Raham yang dalam pergaulan hidup berumah tangga sampai wafatnya panggilan romantis Siti Raham untuk Buya Hamka adalah Engku Haji.
Buya Hamka mengenang pada saat beliau akan ditahan oleh rezim Orde Lama dan ketika akan berpisah untuk selamanya dengan wanita tangguh yang telah melahirkan 12 orang anak ini:
“Di waktu aku ditangkap dan ditahan (27 Januari 1964), dia meratap: “Bawo den Angku Haji, jan den ditinggalkan”. (Bawa saya serta Engku Haji, jangan saya ditinggalkan).”
“Bahkan 5 menit sebelum Siti Raham menghembuskan nafasnya yang penghabisan, dipegangnya tanganku dengan tangannya yang mulai kaku: “Beri maaf saya Engku Haji!….”.
Setelah merasakan bahwa saat ajalnya telah dekat, Siti Raham berucap: “Kalau saya meninggal lebih dahulu, apakah di akhirat kita kan bertemu kembali, Engku Haji?”.
Buya Hamka menjawab: “Aku akan berusaha supaya kita bertemu hendaknya di akhirat kelak!”.
“Mengapa begitu?”, tanyanya.
“Ada tersebut di dalam Sabda Nabi kita Muhammad ﷺ bahwa jika seorang perempuan meninggal dunia, sedang suaminya ridha kepada kesetiaannya dikala hidupnya, perempuan itu akan masuk Surga. Sebab itu, menurut hadits itu Ummi akan masuk Surga. Dan aku, kalau kau tinggalkan menyimpang dari jalan yang digariskan Tuhan, niscaya masuk Neraka. Sebab itulah jika aku engkau tinggalkan akan selalu berusaha sampai panggilan datang pula, agar tetap dalam iman dan istiqamah, agar kita dapat bertemu kembali,” jelas Buya Hamka.
“Benar begitu…!”
“Benar……!”, jawab Buya Hamka.
Dan di menit-menit terakhir, pada saat pegangan tangannya dirasakan mulai melemah oleh Buya Hamka, ia meminta maaf: “…Angku Haji,……beri maaf saya.”
“Janganlah disimpangkan ingatan kepada Engku Haji, luruskan ingatan kepada ALLAH !”, seru Buya Hamka kepada kekasih hati dan belahan jiwanya itu.
“…Allah…!”, ucapnya lirih.
Tidak berselang lama, sampailah waktunya berpisah dengan Engku Hajinya untuk selama-lamanya pada hari Sabtu, 1 Januari 1972, jam 8.45 pagi, di kamar 6 Paviliun Cenderawasih Rumah Sakit Umum Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta.*/Roni Candra, Pegiat Pendidikan dan Sosial Kemanusiaan Yayasan Swadaya Ummah Pekanbaru
Hidayatullah.com
Hormati Buya Hamka, MUI Bangun Pusat Pariwisata Halal di Maninjau
Hidayatullah.com—Lembaga Wakaf MUI bekerja sama dengan Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah (DEKS) Bank Indonesia bakal membangun Pusat Pariwisata Halal (Halal Tourism Hub) Buya Hamka di Maninjau, Sumatra Barat.
Selain bersama DEKS BI, pembangunan ini juga menggandeng Politeknik Pariwisata NHI Kementerian Pariwisata, Yayasan Keluarga Besar Buya Hamka, Keluarga Besar Fatimah Karim Amrullah, dan Buya AR Sutan Mansur, Nagari Sungai Batang dan Komunitas Masyarakat Sungai Batang.
Rencananya pembangunan tersebut akan dimulai diawal tahun 2024.
Dalam kegiatan kick-off ini Sekretaris LWMUI, Guntur Subagja menyampaikan, Pariwisata Ramah Muslim (PRM) memiliki potensi yang sangat besar sebagai kekuatan pariwisata nasional di Indonesia.
Alasannya, selain memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki sejumlah objek dan destinasi wisata halal yang cukup banyak yang tersebar di Nusantara.
Menurut Guntur, pembangunan Halal Tourism Hub Buya Hamka ini sebagai salah satu upaya untuk mendukung pengembangan pariwisata yang mengusung nilai-nilai Islam dan etika universal.
“Insya Allah, awal 2024 sudah mulai dibangun Halal Tourism Hub Buya Hamka yang akan menjadi role model pariwisata ramah Muslim di Indonesia, model bisnisnya berbasis wakaf produktif,” kata Guntur Subagja dalam keterangan dikutip laman resmi MUI.
Guntur menjelaskan, pembangunan ini juga sebagai salah satu penghormatan MUI kepada Buya Hamka sebagai ulama besar, tokoh bangsa, figur teladan, yang menginspirasi umat Muslim bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di mancanegara.
“Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) adalah founding father yang menjadi salah satu pendiri MUI dan Ketua Umum MUI pertama,” ujarnya.
Pembangunan ini, kata Guntur, akan melengkapi Museum Hama dan Masjid Syech Amrullah di Manjau yang saat ini banyak dikunjungi wisatawan mancanegara seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura.
“Buya Hamka selain sebagai sosok figur teladan, tapi juga brand yang memberikan nilai tambah tinggi dan memiliki daya tarik wisatawan,” paparnya.
Sementara itu, Deputi Direktur DEKS BI Diana Yumanita menyampaikan, Bank Indonesia sangat konsen terhadap pengembangan wisata ramah Muslim sebagai bagian dari ekosistem rantai nilai halal.
“Konsep PRM sudah dirumuskan sejak beberapa tahun lalu, alhamdulillah saat ini bisa diwujudkan,” ujarnya.
Hadir dalam kegiatan ini Ketua Yayasan Buya Hamka Hisham Hamka, pakar desa Poltekpar NHI Kemenpar Sumaryadi, dan perwakilan ahli waris keluarga besar Hj Faimah Karim Amrullah dan Buya AR Mansur.*