Tag:
Ali bin Abi Thalib
Suaraislam.id
Ali bin Abi Thalib: Teladan bagi Pemimpin Islam Kontemporer
Ali bin Abi Thalib merupakan salah satu sahabat Rasulullah dan juga menantu beliau setelah menikahi putri beliau, yaitu Fatimah r.a.Dalam usia remajanya, Ali langsung menerima didikan langsung dari Rasulullah sebagai balasan atas kebaikan pamannya, Abi Thalib, yang telah merawat Rasulullah setelah kakeknya meninggal. Karena didikan tersebut, karakter Ali sangat dipengaruhi oleh karakter Rasulullah.Dia memiliki tekad kuat untuk mengajarkan manusia bagaimana meneladani dan mengikuti Rasulullah dalam segala aspek kehidupan, termasuk ucapan, perbuatan, dan ketetapan-ketetapannya. Ali mengajarkan pentingnya taat kepada ajaran-ajaran Nabi, mengikuti sunnahnya, dan selalu menghormati serta mematuhi beliau.Sebagai pemimpin dan pendidik umat, kepemimpinan Ali penuh dengan nilai-nilai yang bisa dijadikan teladan bagi pemimpin Islam kontemporer.Dalam kitab Nahjul Balaghah, terdapat banyak nilai kepemimpinan pendidikan yang diperlihatkan oleh Ali bin Abi Thalib. Ali adalah sosok yang religius dan menjadi contoh bagi orang lain. Dari usia remajanya, Ali sudah mendapat didikan karakter yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an yang diberikan oleh Rasulullah.Ali sangat teguh dalam ibadahnya, seperti berpuasa dan melakukan shalat malam. Dia juga rajin memotivasi kaum muslimin untuk tetap bertakwa kepada Allah dan selalu merasa diawasi oleh-Nya. Ali selalu mengingatkan bahwa perjalanan menuju akhirat adalah perjalanan yang panjang dan membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh, terutama di waktu malam.Karakter religius yang dimiliki Ali adalah kesetiaan yang tulus kepada ajaran agama yang dianutnya. Dia juga toleran terhadap keberagaman dalam beribadah dan hidup harmonis dengan pemeluk agama lain. Religiusitasnya tercermin dalam ketaatan penuh kepada Allah, menjalankan seluruh perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya.Ali bin Abi Thalib adalah seorang sosok yang sangat dihormati dan dianggap cerdas di kalangan para sahabat Rasulullah. Dia memiliki pengetahuan yang luas, seringkali menjadi tempat para sahabat mengajukan pertanyaan tentang masalah-masalah hukum agama yang rumit atau untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an beserta tafsirannya.Tak hanya sekadar menjelaskan tafsir, tetapi dia juga mampu memberikan konteks tentang turunnya ayat-ayat, seperti tentang apa, siapa, di mana, dan kapan diturunkannya. Orang-orang bahkan meminta fatwanya dalam menghadapi situasi yang sulit. Ibnu Abbas, seorang mufasir terkemuka di kalangan sahabat, pun belajar menafsirkan Al-Qur’an dari Ali bin Abi Thalib.Sebelum Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, para khalifah khulafaurrasyidin sebelumnya menganggapnya sebagai seorang penasihat yang bijaksana. Pandangannya yang dalam dalam berbagai masalah membuat keputusannya dihormati oleh berbagai kalangan, bahkan oleh mereka yang biasanya memusuhi Islam, seperti Yahudi.Rasulullah sendiri pernah meminta bantuan Ali bin Abi Thalib untuk menyelesaikan masalah yang rumit di Yaman. Rasulullah juga mendoakan agar Ali bin Abi Thalib diberikan kekuatan dalam tutur katanya dan tetap mendapat bimbingan dalam hatinya.Gelar “al-Imam” yang melekat pada Ali bin Abi Thalib mungkin karena kemampuannya dalam menafsirkan Al-Qur’an dan memberikan ceramah agama di Masjid Nabawi. Dia bukan hanya seorang imam dalam arti agama, tetapi juga seorang pujangga dan guru.1 2Laman berikutnya
Islampos.com
Ali bin Abi Thalib Berdoa untuk Tangan si Pencuri
PADA zaman kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, ada seorang hamba sahaya yang melakukan pencurian. Kemudian ia dilaporkan kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib.“Apakah benar engkau telah mencuri?” tanya sang khalifah.“Benar, ya Amirul Mukminin,” jawab orang itu.BACA JUGA: 4 Bentuk Penghormatan Ali bin Abi Thalib terhadap Orang BerilmuPertanyaan itu diulang-ulang oleh Ali bin Abi Thalib hingga tiga kali. Namun orang itu tetap meyakinkan sang khalifah dengan jawabannya. Khalifah Ali pun langsung memerintah orang tersebut untuk dipotong tangan.Usai menjalani hukuman, orang itu keluar sambil menenteng tangannya yang telah terpotong.Di tengah perjalanan, orang tersebut berjumpa dengan Salman Al Farisi.“Siapa yang memotong tanganmu?” Tanya Salman.Orang itu menjawab, “Tanganku dipotong oleh pembela agama, menantu Rasul, suami Fathimah, dan putra paman Rasul, Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib.Foto: Pinterest“Tanganmu telah dipotongnya, namun mengapa engkau masih saja memujinya?” tanya Salman penasaran.“Ya, karena dengan memotong satu tanganku, ia telah menyelamatkanku dari siksa yang amat pedih di akhirat nanti,” (Dalam riwayat lain dikatakan “sungguh aku mencintai amirul mukminini, Ali Bin Abi Thalib. Bagaimana mungkin aku benci kepadanya, sedangkan ia telah menyelamatkanku dari azab di akhirat”)BACA JUGA: Sedekah Ali bin Abi Thalib dan Fatimah yang MengagumkanKemudian Salman memberitahu ucapan orang kepada Ali bin Abi Thalib. Orang tersebut kemudian dipanggil untuk kembali menghadap sang khalifah.Saat orang itu datang untuk menghadap, khalifah meletakkan tangan yang terpotong tadi kepada tempatnya. Lalu ditutupnya sambungan tangan tersebut dengan kain, kemudian ia berdoa kepada Allah Swt.Dengan kuasa Allah tangan itu kembali utuh seperti semula. []Sumber: Abdurrahman, Fuad dan Nur, Abdullah, 2017, The Golden Stories, Solo: Tinta Medina.
Islampos.com
Sedekah Ali bin Abi Thalib dan Fatimah yang Mengagumkan
KETIKA Ali bin Abi Thalib pulang dari rumah baginda Nabi. Fathimah sedang berdiri di depan rumah, ada juga Salman Al-Farisi sedang mengurai bulu-bulu domba untuk dipintal oleh Fathimah.“Wahai wanita mulia, apakah kamu punya makanan untuk suamimu ini?” tanya Ali bin Abi Thalib.“Demi Allah aku tak punya sesuatu apa pun. Namun ini ada enam dirham dari Salman saat aku memintal tadi, hendak aku belikan makanan untuk buah cinta kita, Hasan dan Husain,” jawab penghulu wanita ahli Surga ini.“Biarlah aku yang beli, mana uang itu?” kata Ali.Fathimah pun memberikan uang enam dirham tersebut kepada sang kekasih. Lantas ia pun bergegas membeli makanan. Tiba-tiba di perjalanan itu ada seorang lelaki berkata,“Siapa yang mau meminjami Rabb yang Maha Pengasih lagi Maha menepati janji?” sebuah isyarat bahwa lelaki tersebut minta sedekah.BACA JUGA: 4 Nasihat Ali bin Abi Thalib pada Hasan, AnaknyaTak tanggung-tanggung dan tak jua berpikir panjang, figur yang kelak menjadi khulafaa ar-rasyidin keempat ini langsung memberikan semua hartanya sebesar enam dirham tersebut. Ali bin Abi Thalib pun pulang ke rumahnya, tentu saja dengan tangan hampa.Foto: PInterestFathimah tahu pasti, jika suami tercinta tidak membawa makanan apa pun, sang kekasih telah menyedekahkan hartanya. Fathimah pun sempat bersedih dan menangis.Ali bin Abi Thalib terheran, “Mengapa kau menangis, wahai wanita mulia?”“Wahai suamiku, kamu pulang tanpa membawa sesuatu pun?” tanya Fathimah.“Telah kupinjamkan harta itu kepada Allah,” sahut putra bungsu Abu Thalib ini.Fathimah bukan sekadar wanita shalih biasa, jiwa dan keimanannya telah membumbung tinggi. Wanita shalih biasa akan ber hujjah, “Bukankah kau harus mendahulukan kebutuhan istri dan anak-anakmu?” ya, itu celotehan wanita shalih biasa. Jelas, Fathimah tidak akan mau keislaman dan keimanannya hanya dalam level standar. Ia sadar dirinya akan diteladani para wanita.Ia memahami kalau sedekah itu tidak akan mengurangi sesuatu apa pun dan tidak merugikan siapa pun. Malah akan dijadikan penghapus dosa-dosa, melipatgandakan pahala dan keberkahan.Dengan ikhlas Fathimah bertutur, “Sungguh, aku mendukung apa yang kau lakukan.”Tak lama kemudian, Ali bin Abi Thalib pergi lagi hendak menemui Rasulullah. Tiba-tiba di perjalanan ada seorang Arab Badui beserta seekor untanya.Ia menyapa Ali “Wahai Abu Hasan, tolonglah beli unta ini.”Ali menjawab, “Aku tak punya uang.”“Bayar tempo saja,” kata si Baduwi coba menawarkan.“Berapa harganya?”“Seratus dirham”“Ya, aku beli,” ujar Ali bin Abi Thalib.Saat melanjutkan perjalanan tidak lama kemudian datanglah orang Baduwi lain, ia pun menyapa Ali.“Hai Abul Hasan, apakah kau jual unta ini?”“Ya” jawab Ali.“Berapa” tanya orang Baduwi tersebut.“Tiga ratus dirham”“Ya aku beli,” kata si Baduwi.Baduwi itu tunai membayar 300 dirham dan mengambil unta tersebut.Ketika Ali bin Abi Thalib pulang, sang istri dengan tersenyum bertanya pada suaminya itu, “Apa ini, wahai Abu Hasan?”Foto: Pinterest“Duhai putri Rasulullah, telah kubeli unta dengan bayar tempo seharga 100 dirham, dan kujual lagi 300 dirham, tunai,” jawab Ali lembut.Fathimah pun senang dengan apa yang dialami suaminya itu. Lantas Ali menemui Rasulullah lantaran tadi sempat tertunda dengan “bisnis”nya itu. Rasulullah berada di Masjid Nabawi, saat Ali masuk ke Masjid, Rasulullah pun tersenyum melihat kedatangan sepupu sekaligus mantunya ini.“Hai Abul Hasan, engkau yang bercerita atau aku yang bercerita?”BACA JUGA: Kisah Cinta Indah Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-ZahraSabda Rasulullah itu adalah isyarat bahwa beliau telah mengetahui perihal yang terjadi. Tentu siapa lagi kalau bukan Allah ‘azza wa jalla atau Malaikat yang memberikan kabar ini ke beliau, lantaran beliau tidak menyaksikan apa yang dialami Ali.“Engkau saja yang bercerita, wahai Rasulullah.”“Wahai Abu Hasan, tahukah kamu siapa Baduwi yang menjual unta dan Baduwi lain yang membeli unta?”“Tidak. Allah dan RasulNya lebih tahu,” jawab Ali bin Abi Thalib dengan agak heran.“Berbahagialah engkau, kau telah ‘meminjamkan’ enam dirham kepada Allah. Allah memberimu 300 dirham, tiap satu dirham mendapat ganti 50 dirham. Baduwi yang pertama datang kepadamu adalah Jibril. Sedangkan yang berikutnya adalah Mikail.”Kisah ini dikisahkan oleh fuqaha dan imam Madinah, Imam Ja’far Ash-Shiddiq bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin, Ali Zainal Abidin sendiri merupakan putra dari Husain bin Ali bin Abi Thalib. []SUMBER: SUARA ISLAM
Suaraislam.id
Ali bin Abi Thalib: Pemimpin Pembawa Cinta
Wajahnya mirip Rasulullah Saw. Sejak kecil dididik dengan tangan suci. Ia melihat bagaimana Rasul dan istrinya sehari-hari di rumah. Ia melihat bagaimana Rasul ‘menerima wahyu’, Rasul berjihad, Rasul berdakwah dan Rasul bertahan menghadapi berbagai cacian dan serangan dari kaum kafir Quraisy.Keteguhan dan keberaniannya membuat Rasul mengambil keputusan yang membuat bangga seumur hidupnya. Menggantikan Rasul dalam selimut untuk mengelabuhi para pemuda kafir yang ingin membunuh beliau. Ali menerima perintah Rasul itu dengan senang hati, meski nyawa taruhannya.Sayyidina Ali bukan hanya kali itu mendapat kepercayaan Rasulullah. Di Ghadir Khum pada 14 Hijriyah, ia disumpah untuk melanjutkan ajaran gurunya. Nabi melingkarkan serban hitam di kepalanya. ‘Man kuntu maulah, fa’aliyun maulah’, kata Nabi. (Siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya/pemimpin, hendaknya Ali pun menjadinya maulanya).Suatu kali Nabi mengatakan kepada Ali, ”Hai Ali, kedudukanmu terhadapku sama seperti kedudukan Harun terhadap Musa as.”Jabir bin Abdullah, seperti dikisahkan kembali oleh Jalaluddin as-Suyuthi dalam Duurul Mantsur, bercerita: Suatu hari kami berkumpul bersama Nabi saw, Ali datang. Nabi berkata, “Demi Allah yang diriku berada dalam kekuasaannya, sesungguhnya orang ini dan ‘pengikutnya’ adalah orang-orang yang beruntung pada hari kiamat nanti.” Lalui turunlah ayat, Orang-orang yang beriman dan beramall shaleh, merekalah makhluk yang paling baik (khairul bariyyah) (Al Bayyinah 7), Sejak saat itu, setiap kali Ali lewat, para sahabat berkata: Telah datang khairul bariyyah._Ketika Aisyah ra ditanya tentang akhlak Nabi, ia menjawab,”Akhlak Nabi itu Al-Qur’an.” Bila para sahabat ditanya bagaimana akhlak Ali, mereka akan berkata, ”Akhlak Ali itu akhlak Rasulullah Saw.”Singa, asad. Itulah nama pertama yang diberikan ibunya. Nama itu diambil dari nama kakeknya, ayahanda iibunya, Fatimah binti Asad. Nama itu tak lama dipakai karena ibuunya memberi nama lain yang lebih lembut, Haidarah, macan. Ibunya ingin putranya tumbuh menjadi laki-laki pemberani. Bagi bangsa Arab, kemuliaan milik para pemberani. Kelak, harapan ibunya menjadi kenyataan, karena anak itu tumbuh menjadi laki-laki yang sangat pemberani. Salah satu singa padang pasir yang terkenal dalam sejarah manusia. Namun, nama pemberian ayahnyalah yang dikenal hingga akhir hayatnya, Ali, yang luhur.Kemuliaan dan kesucian selalu menyertai kehidupannya. Sejak kecil ia terjaga dari kekejian dan kebodohan bangsa Arab jahiliyah. Sejak lahir hingga akhir hayatnya ia tidak pernah menyembah berhala. Seluruh sujud dalam hidupnya hanya untuk Allah Yang Maha Agung dan Maha Kuasa. Maka ia dikenal sebagai pemilik wajah yang dimuliakan Allah, karramallahu wajhah.Laki-laki pemberani mempunyai jiwa tawadhu’ yang luar biasa. Meski dalam dirinya penuh kemuliaan, ia lebih senang dipanggil dengan Abu Turab, laki-laki berdebu. Ia menyukai julukan itu karena yang memanggilnya nama itu pertama kali baginda Rasulullah. Suatu hari, layaknya rumah tangga yang lain, Ali kesal dengan istrinya Fatimah az Zahra putri Muhammad saw. Tapi tidak seperti kebanyakan para suami, saat marah ia menghindar, keluar rumah dan pergi ke masjid. Ia duduk bersandar pada salah satu dinding masjid Nabi. Tiba-tiba Nabi datang menghampiri. Nabi melihat punggung Ali dipenuhi debu, sehingga beliau membersihkan pakaian Ali dari debu itu dan berkata,”Hai laki-lakii yang berdebu, Abu Turab.”Ada julukan lain, yang dipergunakan kalangan Syiah, sang Imam. Julukan ini dipergunakan kaum Syiah sebagai perwujudan konsep imamah dalam keyakinan mereka. Bagi mereka, Ali adalah imam pertama.Benarkah Ali sebagai imam pertama? Bila kita tilik dengan cermat sejarah Sayidina Ali, ia layak sebagai pemimpin pertama. Tapi Ali bukan tipe orang yang haus kekuasaan. Ali orang yang tawadhu’. Ia tahu banyak sahabat lain yang lebih senior. Ia ‘menghindar’ dari kontestasi kekuasaan. Ketika para sahabat berunding tentang siapa yang paling layak menjadi pemimpin negara menggantikan Nabi, Ali lebih memilih mengurusi jenazah Rasulullah.Ali bin Abi Thalib bisa dikatakan sebagai ‘insan kamil’ (insan yang benar-benar kamil tentu Rasulullah). Ia adalah ahli ilmu. Rasulullah menyatakan bahwa beliau adalah gudangnya ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya. Ia adalah sang Zahid, yang lebih mengutamakan ilmu dari harta dunia.