Tag:

agama

Bagaimana Islam Memandang Perbedaan Agama dan Keyakinan? Ini Penjelasannya

ISLAM memandang perbedaan dengan sangat toleran. Hal ini merupakan petunjuk bagi manusia menuju jalan yang lurus (hudal linnas), benar dan sesuai dengan tuntunan kitap suci  Al-Quran yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ.Kalau kita kaitkan dengan konteks dan perubahan zaman sekarang, Islam memandang perbedaan agama/pluralitas yang ada dinegri ini, bahkan di dunia.Sebagaimana yang telah disebutkan berkali-kali oleh Allah SWT didalam Al-Quran. Islam sangat menjunjung keberagaman/pluralitas, karena keberagaman/pluralitas merupakan sunatullah, yang harus kita junjung tinggi dan kita hormati keberadaannya.Seperti dalam ayat Al-Quran, Allah SWT telah menyatakan:“Wahai para manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki, dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal”.(QS. Al-Hujurat: 13)Dari ayat  Al Qur’an tadi, itu menunjukan bahwa Allah sendiri lah yang telah menciptakan keberagaman, artinya keberagaman didunia ini mutlak adanya. Dengan adanya keberagaman ini, bukan berarti mengenggap kelompok, madzab, ataupun keberagaman yang lain sejenisnya mengenggap kelompoknyalah yang paling benar.Semua ulama sebenarnya telah sepakat bahwa pada dasarnya hubungan Muslim dan non Muslim adalah pertemanan, damai dan hidup berdampingan. Ijma adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam agama berdasarkan Alquran dan hadits.Hasil ijma tersebut hubungan dasar Muslim dengan non Muslim adalah hubungan pertemanan, damai dan hidup berdampingan. Sejak diangkat menjadi utusan Allah SWT secara resmi, Nabi Muhammad SAW tidak pernah berada di lingkunan yang steril dari orang kafir.BACA JUGA: Ini Perbedaan Mukmin dan MuslimJustru kehidupan Nabi baik selama di Makkah selama 13 tahun maupun setelah hijrah ke Madinah selama 10 tahun, selalu dikerumuni oleh kalangan non Muslim di sekeliling beliau.Abu Thalib adalah paman Nabi, bahkan tahun kematiannya diresmikan menjadi tahun duka cita. Padahal Abu Thalib tidak pernah mengucapkan syahadat. Kemudian, Abu Sufyan bin Al-Harb sebelum akhirnya masuk Islam, ternyata sepanjang 21 tahun dakwah kenabian selalu berada pada posisi sebagai orang kafir yang memerangi.Padahal putrinya sendiri, Ibunda Ramlah RA menikah dengan Nabi. Ini berarti Nabi punya mertua yang agamanya non Muslim. Salah satu menantu Nabi yang bernama Abul Ash agak lama menjadi orang kafir. Sampai pernah berhadapan dengan Nabi di medan perang, Abul Ash ikut berperang di pihak Quraisy memerangi Nabi dan kaum Muslimin.Atas pertolongan Allah SWT, kaum Muslimin menang di Badar dan Abul Ash pun menjadi tawanan.Hamzah dan Umar bin Khattab pada awalnya kafir, tapi akhirnya masuk Islam juga. Amar bin Al Ash dan Khalid bin Walid itu kafir yang jadi musuh Islam, tapi akhirnya masuk Islam juga. Bahkan sekelas Abu Sufyan, walaupun sudah di akhir waktu tapi masuk Islam juga.BACA JUGA: Perbedaan Al-Quran dengan Al-Hadits Al-QudsiKalau pun nanti ada kisah perang, yang jadi titik masalah bukan karena berbeda iman dan aqidah. Perang Badar, Uhud, Khandaq dan perang-perang yang lain itu bisa dibedah satu per satu penyebabnya. Dan tidak ada satu pun perang yang didasari perbedaan agama dan keyakinan.Dia menerangkan, ketika Rasulullah ﷺ mengusir Yahudi dari Madinah, sebenarnya dasarnya bukan karena perbedaan aqidah. Dasarnya khianat yang mereka lakukan. Ibarat menohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan dan menyalip di tikungan.Berikut dua alasan bagaimana islam memandang berbagai perbedaan dalam kehidupan masyarakat?Islam memandang Perbedaan: Disikapi secara damaiIslam mengajarkan umatnya agar semua perbedaan yang ada disikapi secara damai, bukan secara konfliktual, yakni dengan membangun kehidupan berlandaskan semangat kebersamaan dan saling menghormati antarsesama.Islam memandang Perbedaan: Menghormati keberagamanIslam menentang segala hal yang mengunggulkan kelompok manusia atas dasar apapun. Seharusnya perbedaan dan keberagaman di pakai sebagai upaya untuk saling mengenal satu sama lain dan saling menghormati dalam rangka mewujudkan silaturahmi dan silah ukhuwah.Islam memandang Perbedaan: Keberagaman merupakan sunattulahSebagaimana yang telah disebutkan berkali-kali oleh Allah SWT didalam  Al-Quran. Islam sangat menjunjung keberagaman/pluralitas, karena keberagaman/pluralitas merupakan sunatullah, yang harus kita junjung tinggi dan kita hormati keberadaannya.Oleh karena itu, marilah kita hayati segala perbedaan yang ada di muka bumi ini. Janganlah menjadikan perbedaan sebagai alasan untuk berbuat konflik atau kekerasan atas nama apa pun terhadap orang lain. Sebagai umat yang beragama, hendaknya kita lebih memilih hidup damai dalam perbedaan, daripada memilih konflik karena perbedaan. []SUMBER: REPUBLIKA

Generasi Milenial di Barat Semakin Tidak Percaya Agama

Studi menemukan Generasi Milenial AS memiliki keyakinan berbeda dengan orang tua mereka,  bahkan makin banyak di antara mereka meninggalkan iman BibelHidayatullah.com | AMERIKA SERIKAT (AS)  terus mengalami pergeseran sangat besar dalam 25 tahun terakhir— dimana hanya 6 persen orang dewasa saat ini yang memiliki “pandangan hidup Bibel” (Biblical value) dibandingkan dengan dua kali lipatnya (12 persen) pada pertengahan 1990-an. Dan tidak ada tempat yang lebih jelas terlihat dampak dari perubahan budaya yang dramatis ini selain di antara generasi Milenial (usia 18 hingga 36 tahun), yang secara radikal berbeda dalam hal “pandangan hidup Bibel”, keyakinan, dan nilai-nilai dibandingkan generasi lain dalam sejarah Amerika, demikian penelitian Pusat Penelitian Budaya di Arizona Christian University. Temuan terbaru dari American Worldview Inventory 2020 menunjukkan bahwa Generasi Milenial di AS melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Penelitian yang inovatif ini mengidentifikasi tiga dimensi spesifik di mana “pandangan hidup Bibel” generasi dewasa termuda menyimpang paling jauh dari norma-norma tradisional: rasa hormat terhadap orang lain, minat terhadap agama, dan antusiasme terhadap Amerika. Menurut Dr. George Barna, Direktur Penelitian CRC dan penulis penelitian tersebut, Generasi Milenial AS semakin menolak “pandangan hidup Bibel” —hanya 2 persen yang memiliki “pandangan hidup Bibel”—dan menolak kepercayaan dan praktik agama generasi sebelumnya. Survei tersebut menemukan bahwa kesenjangan agama antara Generasi Milenial AS dan pendahulu mereka adalah perbedaan antargenerasi terluas yang teridentifikasi setiap saat selama tujuh dekade terakhir. Kesenjangan generasi terbesar terjadi antara Generasi Milenial (18-36) dan Generasi Baby Boomer (56-74). Sementara dua generasi tertua di antara orang dewasa di negara tersebut, mereka yang saat ini berusia pertengahan 50-an dan seterusnya (yaitu, Generasi Baby Boomer dan Generasi Tua), secara mengejutkan memiliki pandangan hidup yang sama terhadap sebagian besar item yang diuji. Presiden ACU Len Munsil mengatakan temuan ini mengonfirmasi kekhawatiran terdalam generasinya tentang anak muda Amerika. “Kami selalu merasakan bahwa budaya telah menjauhkan generasi berikutnya dari nilai-nilai dan kebenaran Bibel yang telah diajarkan kepada banyak orang. Studi ini lebih menegaskan, dan menggambarkan perlunya mempersiapkan orang Kristen muda dengan hati untuk mengubah generasi mereka dengan kebenaran Bibel,” dikutip di laman Arizona Christian University (ACU). Menurut Dr. George Barna, Direktur Penelitian CRC dan penulis studi tersebut, temuan tersebut “sangat meresahkan.”  “Perspektif  Biblical view dan penerapan yang sangat berbeda dari keempat generasi—terutama betapa berbedanya Generasi Milenial dari para pendahulu mereka—menunjukkan bahwa suatu bangsa yang sedang berperang dengan dirinya sendiri harus mengadopsi nilai-nilai, gaya hidup, dan identitas baru,” ujarnya. Sebelumnya, tahun 2021, Survei Pew Research Center (PRC),  menemukan 29% orang dewasa AS mengatakan mereka tidak berafiliasi dengan agama tertentu, meningkat 6 poin persentase dari tahun 2016, dimana generasi milenial memimpin pergeseran tersebut. Semakin banyak orang Amerika mengatakan mereka juga semakin jarang berdoa. Sekitar 32% dari mereka yang disurvei oleh Pew Research dari 29 Mei hingga 25 Agustus mengatakan mereka jarang atau tidak pernah berdoa. Angka tersebut naik dari 18% dari mereka yang disurvei oleh kelompok tersebut pada tahun 2007. “Pergeseran sekularisasi yang terlihat dalam masyarakat Amerika sejauh ini di abad ke-21 tidak menunjukkan tanda-tanda melambat,” kata Gregory Smith, direktur asosiasi penelitian di Pew Research Center. Inilah temuan AWVI 2020 tentang Generasi Milenial AS: •   28 poin persentase lebih kecil kemungkinannya daripada Generasi Baby Boomer untuk mengatakan bahwa mereka memperlakukan orang lain dengan cara yang sama seperti yang mereka inginkan. •   Generasi Milenial paling tidak toleran—menurut pengakuan mereka sendiri. Generasi Milenial dua kali lebih mungkin mengatakan bahwa tipe orang yang selalu mereka hormati adalah mereka yang memiliki pandangan agama dan politik yang sama dengan mereka. •    Generasi yang paling “berkomitmen untuk membalas dendam” terhadap orang-orang yang berbuat salah kepada mereka. Mereka 28 persen lebih mungkin memiliki sudut pandang yang penuh dendam daripada Generasi Baby Boomer. •    Kurang dari setengah kemungkinan dibandingkan orang dewasa lainnya untuk mengatakan bahwa hidup itu sakral. •    Kecil kemungkinannya percaya pada keberadaan kebenaran moral absolut, menganggap Bibel sebagai sumber bimbingan moral yang dapat diandalkan atau berdoa selama seminggu. Barna  mengatakan, data tersebut juga menunjukkan bahwa Amerika telah kehilangan kesatuan spiritualnya dengan cepat. Ia mengingatkan, jika tidak diperhatikan, Amerika akan kehilangan identitasnya sebagai bangsa seperti selama ini. “Kecuali Amerika Serikat mempertahankan kesatuan spiritual di bawah tangan Tuhan, kita tidak akan mampu mempertahankan kebebasan yang telah membuat bangsa ini unik dan diinginkan. Hati dan jiwa bangsa akan mengejar dewa-dewa dan kepercayaan (agama) lain yang akan menghancurkan kita sebagai sebuah bangsa,” ujarnya.*

Tirulah Nabi SAW, Tak Kenal Kompromi soal Agama

SEPERTI yang kita ketahui bahwa Rasulullah adalah sosok yang sangat mulia akhlaknya. Kita bisa melihat dalam sejarah kelembutan sifat Rasulullah ketika berinteraksi dengan siapa pun. Namun tak hanya memiliki sifat lemah lembut, Rasulullah juga memiliki sifat tegas dan teguh dalam pendiriannya. Terlebih mengenai agama.Pada zaman dahulu orang-orang musyrik membujuk Nabi SAW dengan jabatan dan kekuasaan. Berharap agar Muhammad jadi seperti Muhammad yang dulu. Agar Muhammad berhenti menyuarakan dakwahnya. Namun beliau tak peduli terhadap bujuk rayu itu. Bahkan tidak membuka dialog sama sekali.BACA JUGA: 5 Perkara untuk Umat Nabi Muhammad SAW di Bulan RamadhanNabi SAW menjawab, “Aku diutus kepada kalian bukan untuk meminta harta kalian, bukan pula meminta kemuliaan di tengah-tengah kalian, atau menjadi raja untuk kalian. Akan tetapi, Allah mengutusku pada kalian sebagai seorang rasul dan menurunkan untukku sebuah kitab. Dia memerintahkanku menjadi pemberi kabar gembira dan peringatan untuk kalian. Menyampaikan risalah Rabbku kepada kalian. Menasihati kalian. Jika kalian menerimanya, itu menjadi kebaikan untuk dunia dan akhirat kalian. Kalau kalian menolak, aku bersabar atas ketetapan Allah hingga datang keputusan-Nya antara aku dan kalian.” (Sirah Ibnu Hisyam, Juz: 1, Hal: 296).BACA JUGA: Umar Bertanya, Jawaban Abu Bakar Sama dengan RasulullahSikap beliau ini menjadi teladan bagi para sahabatnya dan umatnya agar senantiasa berpegang teguh dengan asas agama. Tidak berkompromi dalam permasalahan ini. Konspirasi orang-orang musyrik untuk melemahkan dakwah pun gagal. Umat Islam bertampah mulia dan teguh dengan agamanya. []SUMBER: KISAH MUSLIM

Agama Islam, Sistem Komprehensif yang Mengurusi Seluruh Aspek Kehidupan

ISLAM saat di masa modern ini, dicurigai sebagai faktor penghambat pembangunan (an obstacle to economic growth). Pandangan ini berasal dari para pemikir Barat. Padahal, jika kita jujur, ketika barat berada di masa kegelapan, justru negara-negara Islam lah yang memiliki kemajuan yang sangat pesat. Kemudian hasil pemikiran-pemikiran Islam dibawa ke barat sehingga barat bisa keluar dari masa kegelapan.Sungguh suatu anugerah yang tak terhingga, ketika Allah SWT memberikan nikmat terbesar dalam kehidupan manusia, yaitu nikmat iman dan Islam. Nikmat yang menjadikan ada sebuah pembeda (furqan) antara seorang muslim dengan musyrikin.BACA JUGA: Ini 3 Makna Sunnah dalam IslamNikmat Islam merupakan kunci surga Allah, yang di dalamnya terdapat banyak sekali kenikmatan abadi yang tiada habisnya, di mana setiap muslim dijamin oleh Allah akan dimasukkan ke dalam jannah-Nya, apabila menerapkan Islam secara kaffah dalam hidupnya.Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah 2: 208)Islam memiliki sifat-sifat dasar yaitu kesempurnaan, penuh nikmat, diridhai dan sesuai dengan fitrah. Sebagai agama, sifat-sifat ini dapat dipertanggungjawabkan dan menjadikan pengikutnya dan penganutnya tenang, selamat dan bahagia dalam menjalani hidup. Muslim menjadi selamat karena Islam diciptakan sebagai diin yang sempurna.Ketenangan yang dirasakan seorang muslim karena Allah memberikan segenap rasa nikmat kepada penganut Islam, kemudian kepada mereka yang mengamalkan Islam karena sesuai dengan fitrahnya.“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Rum 30: 30)BACA JUGA: Menyingkap Tuduhan Kaum Sekular terhadap Syariat IslamAgama Islam ini telah merangkum semua bentuk kemaslahatan yang diajarkan oleh agama-agama sebelumnya. Agama Islam yang Rasulullah SAW bawa ini lebih istimewa dibandingkan agama-agama terdahulu karena Islam adalah ajaran yang bisa diterapkan di setiap masa, di setiap tempat dan di masyarakat manapun.Kesimpulan yang agak tergesa-gesa ini hampir dapat dipastikan timbul karena kesalahpahaman terhadap Islam.Seolah-olah Islam merupakan agama yang hanya berkaitan dengan masalah ritual, bukan sebagai suatu sistem yang komprehensif dan mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk masalah pembangunan ekonomi serta industri perbankan sebagai salah satu motor penggerak roda perekonomian. []Sumber: Bank Syariah /Karya: DR. Muhammad Syafi’i Antonio, M.Ec /Penerbit:Gema Insani

Perkembangan Agama Tauhid di dalam Sejarah

oleh: Alwi Alatas Agama telah muncul di tengah masyarakat sejak awal sejarah umat manusia. Rasanya sulit bagi kita untuk menemukan masyarakat di masa lalu yang tidak mengenal agama. Seorang penulis, misalnya menyimpulkan bahwa “Tidak ada satu pun kebudayaan yang tercatat dalam sejarah manusia yang tidak menganut suatu bentuk agama tertentu” (Mark, 2018). Walaupun manusia sejak era kuno telah mempraktikan agama, seolah pada awalnya mereka hanya mempercayai tuhan yang banyak (politeisme). Jejak-jejak politeisme ini dapat dilihat secara jelas dengan adanya peninggalan berupa patung dan relief yang dianggap mewakili tuhan-tuhan oleh peradaban-peradaban kuno. Masyarakat Mesopotamia kuno, Mesir kuno, dan yang lainnya mengasosiasikan tuhan-tuhan mereka dengan benda-benda alam seperti bulan, matahari, dan badai atau dengan hewan-hewan tertentu seperti lembu jantan dan kucing atau dengan konsep-konsep tertentu seperti kebijaksanaan. Mereka memberi nama kepada tuhan-tuhan itu dan membayangkan tuhan-tuhan itu memiliki wujud seperti manusia juga. Tentu saja ini adalah imajinasi yang jauh dari kebenaran, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qur’an: Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka …. (QS 53: 23) Sebagian pemikir Barat cenderung melihat perkembangan agama secara linear. Auguste Comte, misalnya, menyarankan perkembangan agama dari festishisme, kepada politeisme, dan kemudian monoteisme. Perkembangan agama sejak politeisme, dan terutama monoteisme, telah membuka jalan bagi ilmu pengetahuan, tetapi pada perkembangan berikutnya sains menjadikan manusia tak lagi bergantung kepada agama, walaupun yang terakhir ini masih tetap eksis di era modern (Hamilton, 2001, h. 26). Di tempat lainnya, saat menjelaskan tentang masyarakat Timur Tengah pra-Islam, Ira Lapidus (1988) menulis bahwa agama dan tuhan pada awalnya bersifat lokal dan berkenaan dengan komunitas. Namun, seiring dengan meluasnya jejaring masyarakat, tuhan yang lebih universal mulai dikenal, dan tuhan-tuhan lainnya menempati stratanya masing-masing di dalam hirarki ketuhanan. Pada perkembangan berikutnya, Lapidus (1988, h. 6) menyatakan bahwa, “Dari supremasi universal dewa-dewa besar, hal ini hanyalah sebuah langkah, sebuah lompatan yang terilhami, menuju wahyu bahwa hanya ada satu Tuhan.” Maka dimulailah sejak saat itu monoteisme, diawali oleh nabi-nabi Bani Israil serta pendiri agama Zoroaster (Majusi) di Persia, dan kemudian diteruskan oleh Kristen dan juga Islam. Perkembangan agama telah dilihat secara linear, berkembang dari banyak tuhan ke satu tuhan. Cara pandang ini mungkin akan menggoda sebagian orang untuk membayangkan “lompatan” berikutnya, yaitu keadaan tanpa tuhan dalam masyarakat manusia. Hal semacam ini tampaknya telah diaminkan oleh sebagian masyarakat modern. Sebagian pemikir Barat terlalu obsesif dengan ide perkembangan yang bersifat linear dan progresif. Gagasan ini mewarnai banyak corak pemikiran mereka, termasuk di antaranya gagasan dialektika dan evolusi. Walaupun gagasan-gagasan ini mungkin memuaskan bagi sebagian orang, ada banyak persoalan di dalamnya. Dalam konteks perkembangan agama dan ketuhanan, cara pandang ini juga tidak sejalan dengan Islam. Memang tidak dipungkiri bahwa masyarakat di sepanjang sejarah telah mengalami perkembangan dan kehidupan keagamaan juga memiliki taraf perkembangan tertentu. Namun, Islam tidak melihat kemunculan monoteisme atau tauhid di dalam sejarah dalam pola perkembangan yang linear seperti di atas. Islam memahami bahwa asal kepercayaan keagamaan adalah tauhid, karena ia hadir bersama dengan eksistensi manusia yang pertama. Namun, pada generasi-generasi berikutnya mulai terjadi penyimpangan dan masyarakat mulai terjatuh ke dalam politeisme. Penyimpangan dari tauhid kepada penyembahan terhadap gambar atau patung telah berlaku antara era Nabi Adam as dan Nabi Nuh as (al-Qurthubi, 2006, h. 295-296). Lantas Tuhan mengutus seorang nabi, dalam hal ini Nabi Nuh as, ke tengah masyarakat untuk mengembalikan mereka kepada tauhid. Keadaan seperti ini, yaitu penyimpangan dan pelurusan, terus berulang di sepanjang sejarah. Mengacu pada penjelasan ini, pola perkembangan agama dan tauhid di dalam sejarah bukanlah linear tetapi fluktuatif. Kalaupun kita hendak menggunakan kata “perkembangan” untuk menjelaskan fenomena ini, maka makna development di sini adalah kembali kepada nilai-nilai tauhid yang asal. Ini kurang lebih sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas (1993) saat menggambarkan arti development dan progress bagi kaum Muslimin yang hidup pada hari ini. Beliau menulis: “Perubahan (change), perkembangan (development) dan kemajuan (progress), menurut sudut pandang Islam, mengacu pada kembalinya Islam sejati yang diucapkan dan diamalkan oleh Nabi Suci (semoga Tuhan memberkati dan memberinya kedamaian!) dan para sahabatnya yang mulia serta para pengikutnya (berkah dan salam bagi mereka semuanya!) dan keimanan serta amalan umat Islam sejati setelah mereka; dan mereka juga merujuk pada diri dan berarti kembalinya kepada keadaan dan agamanya semula (Islam).” (h. 86-87). Salah satu “problem” dari sudut pandang ini adalah kesulitan dalam pembuktiannya secara empiris. Pandangan perkembangan agama yang linier lebih mudah dijelaskan secara empiris. Masyarakat monoteis paling awal yang tercatat di dalam sejarah adalah komunitas Yahudi. Sebelum itu, bukti-bukti sejarah hanya menemukan praktek politeisme. Bukti-bukti sejarah politeisme dan paganisme memang lebih mudah didapatkan, karena banyaknya peninggalan-peninggalan fisik berupa patung dan relief dewa-dewa kuno yang antropomorfik. Tidak demikian halnya dengan ajaran tauhid yang merujuk kepada Tuhan yang esa dan tak dapat diindrakan. Mungkin ini juga yang menjadi sebab mengapa Allah mengangkat nabi-nabi dalam jumlah yang cukup banyak dalam komunitas Yahudi. Ini merupakan keutamaan yang Allah berikan kepada mereka di bandingkan umat-umat lainnya di masa lalu. Keutamaan ini membuat garis keagamaan tauhid menjadi sangat tebal di tengah komunitas ini. Hal ini membuatnya dapat terlihat dengan jelas di dalam lembaran sejarah, di tengah keberadaan mayoritas masyarakat kuno yang politeistik. Jika wujud sejarah masyarakat tauhid di era kuno terlalu samar dan banyak terputus, wujudnya di dalam komunitas Bani Israil tergariskan secara repetitif dan berkesinambungan untuk kurun historis yang panjang. Ia menjadi satu bukti yang melekat kuat di dalam sejarah. Namun, jika pemikir modern menerimanya sebagai keberadaan yang awal dari monoteisme, dan karenanya dimaknai sebagai sebuah transformasi dari bentuk ketuhanan politeisme yang lebih awal, Islam melihatnya sebagai sebuah contoh saja dari ajaran tauhid yang memang sudah ada sejak era yang lebih awal. Garis monoteisme itu menjadi jauh lebih tebal lagi di dalam sketsa sejarah dengan munculnya agama Islam yang dibawa oleh Nabi (saw) yang universal di Jazirah Arab. Sejak saat itu, agama tauhid tidak lagi menjadi agama komunitas yang terbatas, tetapi menjadi pemahaman yang diterima luas oleh banyak bangsa di dunia. Kini monoteisme menjadi nilai keagamaan yang diterima oleh masyarakat dunia secara lebih luas dan telah menjadi lebih menonjol dibandingkan politeisme. Kalaupun hendak dikatakan agama berkembang secara linear di dalam sejarah, maka gerak lurus itu bukan dari politeisme kepada monoteisme, tetapi dari eksistensi monoteisme yang bersifat terbatas dan kesukuan, kemudian berkembang menjadi dominan dan universal. Wallahu a’lam. Kuala Lumpur, 14 Dzul Hijjah 1445/21 Juni 2024 * Penulis adalah staf pengajar bidang Sejarah dan Peradaban di International Islamic University Malaysia (IIUM) Referensi Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. (1993). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC). Hamilton, Malcolm. (2001). The Sociology of Religion: Theoretical and Comparative Perspectives. London: Routledge. Lapidus, Ira M. A. (1988). History of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge University Press. Mark, Joshua J. (2018), 23 Maret. Religion in the Ancient Word. World History Encyclopedia. https://www.worldhistory.org/religion/ Al-Qurṭubī, Abū Abd Allāh Muḥammad ibn Aḥmad Abī Bakr. (2006). Al-Jāmiꜥ al-Aḥkām al-Qur’ān, Vol. 19. Beirut: Al-Resalah.

Islam Menjadi Agama Tercepat di Jepang

Jepang adalah rumah bagi kehadiran Muslim yang semakin meningkat seiring dengan perubahan yang dilakukan Hidayatullah.com | JEPANG bukan hanya negeri kuil dan tempat suci, saat ini juga tempat menjamurnya masjid. Hal terakhir ini disebabkan oleh peningkatan tajam jumlah Muslim. Di antara factor penyebabnya adalah pernikahan antara warga Muslim dan warga negara Jepang, serta adanya perpindahan agama di Jepang selama dua dekade yang menyebabkan peningkatan jumlah masjid sebanyak tujuh kali lipat. Profesor emeritus sosiologi di Universitas Waseda di Tokyo, Hirofumi Tanada, memperkirakan Jepang kini menjadi rumah bagi lebih dari 200.000 Muslim. Sebuah studi yang dilakukan Tanada dan rekan-rekannya menunjukkan terdapat 113 masjid di seluruh Jepang pada Maret 2021, naik dari hanya 15 pada tahun 1999.[embedded content]Angka tersebut didasarkan pada statistik pemerintah, persentase populasi Muslim menurut negara, dan angka keanggotaan Asosiasi Studi Islam di Jepang. Studi mereka menunjukkan bahwa sekitar 230.000 Muslim menyebut Jepang sebagai rumah mereka pada akhir tahun 2020. Dari jumlah tersebut, warga negara Jepang dan mereka yang memperoleh status penduduk tetap melalui perkawinan dan keadaan lainnya berjumlah sekitar 47.000, lebih dari dua kali lipat perkiraan 10.000 hingga 20.000 pada satu dekade sebelumnya. “Banyak dari mereka menjadi Muslim melalui pernikahan,” kata Tanada. “Semakin banyak orang yang mungkin bergabung dengan agama ini atas kemauan mereka sendiri,” tambah dia. Masjid pernah menjadi pemandangan langka di Jepang, namun sekarang sudah tidak ada lagi. Yang terbaru, Masjid Istiqlal Osaka, dibuka di Distrik Nishinari Osaka tahun lalu. Itu bertempat di bekas bangunan pabrik. Biaya renovasi sebagian besar ditanggung oleh sumbangan masyarakat Indonesia. Indonesia memiliki populasi Muslim terbesar di dunia (sekarang telah disalip Pakistan). Banyak orang Jepang menggunakan masjid untuk shalat, kata para pejabat. “Kami berharap menjadikan masjid ini tempat yang dapat dikunjungi oleh seluruh umat Islam,” kata Herizal Adhardi, seorang warga negara Indonesia berusia 46 tahun yang mengepalai entitas yang mengoperasikan Masjid Istiqlal Osaka. “Kami orang Jepang sebelumnya tidak mengenal Muslim,” kata Hirofumi Okai, seorang profesor sosiologi di Universitas Kyoto Sangyo yang mempelajari budaya Islam. “Sekarang mereka adalah tetangga kita, kita perlu memikirkan bagaimana hidup bersama mereka dalam masyarakat yang penuh keberagaman ini,” tambah dia seperti dikutip laman Asahi.com.*/Artikel ini ditulis oleh Tetsuaki Otaki dan Rikako Takai