Tag:
Abdurrahman bin Auf
Hidayatullah.com
Kecil-kecil Jadi “Abdurrahman bin Auf”
Hidayatullah.com | PAGI yang tampak tenang dipecahkan oleh keriuhan di dekat jalan raya. Sejumlah pria dewasa pun mencoba menenangkan situasi.
Keriuhan di Gunung Tembak itu tidak mengkhawatirkan sebenarnya. Karena yang terjadi bukan jual beli pukulan maupun tembakan, melainkan jual beli yang sebenarnya.
Hari itu, Sabtu, 14 Sya’ban 1445 H (24/2/2024), sedang berlangsung Market Day Santri Madrasah Ibtidaiyah Raadhiyatan Mardhiyyah (MI RM) Putra.
Ini adalah kegiatan jual beli laksana pasar. Saban pekan, para santri difasilitasi untuk berjualan makanan dan minuman. Mereka digilir per kelas per pekan, setiap Sabtu pagi.
Hari itu, sekitar pukul 09.00 WITA, usai pembelajaran di ruang-ruang kelas, para santri mulai meramaikan halaman madrasah. Saatnya bermain.
Sementara santri yang kena giliran berjualan, mulai menyiapkan stan masing-masing. Stannya berupa meja-meja belajar yang dikeluarkan dari ruang kelas. Sejumlah guru pun turut membantu penyiapan barisan “tenant” jualan.
Deretan pedagang cilik kini sudah bersiap. Para santri lainnya sudah duduk manis di depan mereka. Pada sesi pertama, santri berbelanja secara bergiliran per kelas.
Singkat kemudian, seorang guru memberikan aba-aba.
“Kelas 1 (maju terlebih dahulu),” ujar salah seorang ustadz bernama Perdamaian, melalui pengeras suara.
Santri-santri kelas 1 pun berdiri dan maju untuk mulai berbelanja. Secara tertib mereka memilih satu per satu jualan yang dijajakan sesuai selera masing-masing.
“Ini berapa harganya?” “Beli 1!”“Ada uang kembaliannya kah?”“Bla! Bla! Bla!”
Transaksi demi transaksi pun berlangsung dengan uang tunai Rupiah.
Sabtu pagi itu giliran kelas 3 yang berjualan. Ibrahim, misalnya, menjual es kelapa seharga Rp 5.000 per bungkus. Ia menjajakan setermos besar yang dibawakan bapaknya jelang dibukanya lapak tersebut.
Temannya, Fawwaz, menjual sate mi telor herbal, seharga Rp 2.000 per item dan minuman manis yang dibekukan seharga sama.
Ada beragam jenis jajajan makanan dan minuman lainnya. Mulai dari nasi kuning, kue basah, roti, hingga buah elai. Semua itu dibawa oleh setiap pedagang dari rumah masing-masing. Ada yang memproduksi di rumah sendiri oleh orang tuanya, ada pula yang membelinya di tempat lain lalu dijual kembali.
Usai kelas 1, giliran kelas 2 yang maju. Begitu seterusnya. Setelah kelas 6 mendapatkan giliran, saatnya sesi belanja bebas. Pada sesi ini, semua santri dipersilakan berbelanja, tanpa peduli kelas berapa.
Tak pelak, mereka berbondong-bondong memborong makanan dan minuman kesukaan masing-masing.
Tetap tertib, pesan para guru.
Bukan cuma para murid yang boleh berbelanja. Guru-guru juga tak ketinggalan. Sebagian guru pun ikut mempromosikan jualan murid-muridnya. Ada juga yang membantu menghitungkan uang jualan santri.
“Berapa harganya ini?” tanya ustadz lainnya, Salman Alfarisi, kepada salah seorang santri pedagang cilik. Lalu sang guru berteriak-teriak layaknya pedagang di pasar betulan.
“Brownies, brownies!”
Saat itu hadir juga beberapa wali murid, tampaknya penasaran dengan suasana market day yang diprakarsai oleh MI RM Putra itu.
Seorang wali murid pun tak ketinggalan membeli sejumlah makanan dan minuman.
Abdullah, santri kelas 3, terlihat riang gembira setelah jualannya, nasi goreng, ludes diborong pembeli.
Kepala MI RM Putra, Arifuddin Syafar, ikut serta meramaikan suasana.
“Market day di MI RM Putra sudah dimulai sejak semester 1 tahun 2023,” ujar Arifuddin kepada hidayatullah.com yang menyaksikan bazar mini di dekat Jl Mulawarman, Gunung Tembak, Kelurahan Teritip, Kota Balikpapan itu.
Benih yang Tumbuh
Detik-detik jelang berakhirnya market day, sempat terjadi kehebohan. Yang bikin heboh ketika seorang santri “memborong” sebagian kue yang masih tersisa, lalu membagikan ke teman-temannya. Sontak saja, santri lainnya mengerumuni santri senior yang baik hati berbagi kue tersebut. Santri itu diketahui merupakan putra dari salah seorang pengusaha muda setempat.
Pemandangan ini mengingatkan kita sosok Abdurrahman bin Auf, Sahabat Rasulullah yang kaya raya sekaligus dermawan.
Rupanya masih ada beberapa kue yang belum terbeli. Kali ini Perdamaian turun tangan lagi.
“Yang mau risol gratis, merapat! Ayo merapat! Merapat!” ujarnya dengan suara agak lantang. Kue salah satu santrinya ia bayarin.
Santri-santri pun kembali berkerumun, ditraktir gitu loh….
“Makan minum sambil duduk yah!” Terdengar suara guru mengingatkan peserta didiknya agar terus menjaga adab makan dan minum.
Sekitar sejam berlangsung, market day berangsur selesai. Meja-meja yang telah usai dipakai, segera dibersihkan dan dikembalikan ke tempat semula. Sampah-sampah sejak tadi dikumpulkan di tempat yang telah ditentukan.
Sementara santri, guru, dan wali murid mulai pulang. Begitu pula Kepala MI tersebut. Ia patut berbahagia atas berjalan lancarnya market day itu, dengan harapan tujuannya bisa tercapai. Mencetak kader-kader pengusaha.Dakwah Media BCA - Green.notice-box-green {
border: 2px solid #28a745; /* Green border color */
background-color: #d4edda; /* Light green background color */
padding: 15px;
margin: 20px;
border-radius: 8px;
font-family: inherit; /* Use the theme font from WordPress */
text-align: center; /* Center the text */
}Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/“Salah satu tujuannya adalah untuk menanamkan jiwa entrepreneurship kepada siswa sejak dini, membangun pengalaman siswa yang positif, melatih keberanian, komunikasi, kejujuran, dan mengenalkan nilai mata uang kepada peserta didik,” urai Arifuddin kepada hidayatullah.com usai kegiatan itu.
Benih harapan yang dipupuk itu perlahan mulai tumbuh. Seperti yang dirasakan Farida, ibunya Fawwaz. Ia gembira menyaksikan market day tersebut meskipun lebih banyak memantau dari jarak agak jauh. Kegembiraannya bertambah setelah mengetahui putranya, kelas 3 A MI RM Putra, sukses berbisnis hari itu. Semua jualan Fawwaz ludes tak tersisa.
“Ini keuntungannya, ditabung yah!” ujar Farida setelah menghitung laba yang diperoleh anak sulungnya itu. Beberapa lembar uang Rp 2.000-an ia sisihkan.
“Ini modalnya disimpan, diputar lagi, nanti dipakai modalnya (oleh) Musyawir,” tambah sang ibu laksana seorang manajer, menyisihkan uang lainnya. Nama terakhir yang disebut adalah adiknya Fawwaz.
Sabtu pekan depan, katanya, giliran Musyawir dan teman-temannya santri kelas 2 MI RM Putra, untuk berjualan di arena market day yang sama. Musyawir sudah bersiap-siap jadi pengusaha cilik berikutnya.
Mau jualan apa?
“Sama kayak Abang (Fawwaz)”, katanya sambil bermain, Sabtu siang.
Laksana Abdurrahman bin Auf, semoga kelak para santri kita itu menjadi pengusaha-pengusaha Muslim yang sukses dunia akhirat. Aamiin!*