Tag:

7 oktober

Dokumen Intelejen ‘Israel’ Sebut Tel Aviv Sudah Tahu Serangan Hamas 7 Oktober

TEL AVIV (Arrahmah.id) — Media Israel melaporkan beberapa pekan sebelum serangan kelompok perlawanan Palestina Hamas, militer Israel mengeluarkan laporan tentang rencana serangan itu dan itu diketahui oleh para petinggi intelijen. Sebuah dokumen baru mengungkap militer dan badan intelijen Israel memiliki pengetahuan rinci tentang rencana Hamas untuk menyerang Israel dan mengambil tawanan beberapa pekan sebelum serangan […]

Investigasi AP Ungkap Tuduhan Palsu ‘Israel’ tentang Pelecehan Seksual pada 7 Oktober

GAZA (Arrahmah.id) – Investigasi yang diterbitkan oleh Associated Press pada Rabu (22/5/2024) mengungkap tuduhan palsu ‘Israel’ mengenai kekerasan seksual yang dilakukan oleh pejuang Perlawanan Palestina selama Operasi Banjir Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023. Menyusul peristiwa 7 Oktober, protokol standar ‘Israel’ untuk serangan semacam itu dilaporkan gagal “karena skala serangannya”, menurut laporan tersebut. AP memeriksa kesaksian dua […]

Mengaku Gagal Cegah Serangan 7 Oktober, Kepala Intelijen Israel Mundur

Hidayatullah.com – Militer entitas Zionis Israel mengatakan bahwa kepala korps intelijennya telah mengundurkan diri karena gagal mencegah serangan Hamas pada tanggal 7 Oktober yang berhasil menembus pertahanan Israel yang dibanggakan. Aharon Haliva, kepala intelijen militer Israel, menjadi tokoh senior Israel pertama yang mengundurkan diri pada hari Senin, setelah serangan tersebut, yang diklaim oleh Israel telah menewaskan 1.200 orang dan sekitar 250 lainnya disandera. “Mayor Jenderal Aharon Haliva, berkoordinasi dengan kepala staf umum, telah meminta untuk mengakhiri posisinya, menyusul tanggung jawab kepemimpinannya sebagai kepala direktorat intelijen untuk peristiwa 7 Oktober,” kata militer dalam sebuah pernyataan lansir TRT World (22/04). “Diputuskan bahwa MG Aharon Haliva akan mengakhiri jabatannya dan pensiun dari IDF (tentara), setelah penggantinya ditunjuk dalam proses yang tertib dan profesional.” Baca juga: Sejumlah Kementerian Zionis Diserang Hacker Dunia   Dalam surat pengunduran dirinya, Haliva mengaku bertanggung jawab atas kegagalannya mencegah serangan tersebut. “Pada hari Sabtu, 7 Oktober 2023, Hamas melakukan serangan mendadak yang mematikan terhadap negara Israel,” tulisnya dalam surat tersebut, yang salinannya diberikan kepada para jurnalis oleh pihak militer. “Divisi intelijen di bawah komando saya tidak memenuhi tugas yang dipercayakan kepada kami… Saya membawa hari kelam itu bersama saya sejak saat itu. Hari demi hari, malam demi malam. Saya akan selamanya membawa rasa sakit yang mengerikan dari perang.” Militer Israel mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa kepala staf militer menerima permintaan pengunduran diri Haliva dan berterima kasih atas pengabdiannya.Dakwah Media BCA - Green.notice-box-green { border: 2px solid #28a745; /* Green border color */ background-color: #d4edda; /* Light green background color */ padding: 15px; margin: 20px; border-radius: 8px; font-family: inherit; /* Use the theme font from WordPress */ text-align: center; /* Center the text */ }Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/Pengunduran dirinya dapat membuka jalan bagi para petinggi keamanan Israel lainnya untuk menerima kesalahan karena tidak mencegah serangan tersebut dan mengundurkan diri.* Baca juga: (Video) Detik-Detik Pemukim Israel Tendang Bendera Palestina yang Dipasangi Peledak

“Israel” Murka! Restoran dengan Nama ‘7 Oktober’ Dibuka di Yordania

KARAK (Arrahmah.id) – Warga “Israel” dibuat marah setelah gambar dan video sebuah restoran di Yordania bernama ‘7 Oktober’ beredar secara online. Dalam sebuah video yang diunggah, sebuah suara menampilkan sebuah restoran shawarma “baru” di kota Karak, Yordania barat, yang konon diberi nama sesuai dengan tanggal serangan yang dilakukan tahun lalu oleh kelompok Palestina Hamas di “Israel” selatan. Video […]

Hamas dan Rahasia “Kemenangan” Serangan 7 Oktober

Serangan pejuang Hamas menimbulkan penderitaan bagi ‘Israel’, menempatkan dukungan perlawanan dan pembebasan Palestina  Oleh: Daniel Byman & Delaney Duff Hidayatullah.com | PADA 7 Oktober, pejuang Hamas mengejutkan ‘Israel’ dengan membantai lebih 1.200 orang dan menahan lebih dari 200 orang. Itu adalah sebuah keberhasilan taktis yang mengesankan kelompok pembebasan Palestina ini. Namun ketika pasukan ‘Israel’ terus meningkatkan kekuasaannya di Gaza, menyebabkan sebagian besar wilayah tersebut hancur dan menewaskan sekitar lebih 20.915 warga Palestina, apa yang dapat diklaim oleh Hamas sebagai pencapaian mereka? Ada baiknya kita memikirkan apa yang telah dicapai Hamas, dan apa saja kegagalannya, dengan mengkaji tiga dimensi yang berbeda: perjuangan Hamas melawan ‘Israel’, arena intra-Palestina, dan posisi internasional kelompok tersebut. Keberhasilan Melawan ‘Israel’ Serangan pejuang Hamas menimbulkan penderitaan bagi ‘Israel’ dan menghancurkan rasa amannya—keduanya merupakan tujuan Hamas. Serangan tersebut mengungkap keyakinan pemerintah ‘Israel’ bahwa Hamas tidak memiliki niat dan kemampuan untuk melancarkan serangan skala penuh di wilayah ‘Israel’. Asumsi ini, meskipun ada bukti yang bertentangan, membuat ‘Israel’ tidak siap menghadapi serangan Hamas yang menghancurkan. Kegagalan intelijen (‘Israel’) yang diakibatkannya, yang dilaporkan lebih berhasil daripada yang diantisipasi oleh para perencana Hamas, akan meninggalkan luka psikologis yang mendalam pada warga ‘Israel’ dan memaksa ‘Israel’ untuk mengevaluasi kembali pendekatannya terhadap keamanan di masa depan. Hingga tanggal 7 Oktober, dan dengan pengecualian roket sporadis yang ditembakkan ke ‘Israel’ dari Gaza yang sebagian besar dapat ditangani oleh pertahanan rudal ‘Israel’, ‘Israel’ dapat mengabaikan Hamas dan Palestina secara umum. Ketika krisis sesekali terjadi, seperti yang terjadi beberapa tahun sekali, kedua belah pihak akhirnya sepakat untuk mengambil versi status quo. Namun, dari sudut pandang Hamas, status quo perlahan-lahan mencekik perjuangan Palestina, dan ‘Israel’ menang di lapangan. Setiap tahun, permukiman haram (ilegal) di Tepi Barat bertambah luas, sementara Gaza mengalami stagnasi, dan tidak ada harapan bagi masyarakatnya. Kini ‘Israel’ harus memperhitungkan agresi yang belum selesai dengan Palestina daripada mengabaikannya. Respons ‘Israel’ juga dapat memperkuat Hamas. Hamas memaksa perjuangan Palestina kembali menjadi berita utama dunia, dan kampanye militer ‘Israel’ di Gaza—yang mengakibatkan kerugian besar bagi warga sipil di Gaza—membuat Hamas tetap bertahan di sana. Serangan darat ‘Israel’ berperan dalam narasi Hamas mengenai agresi ‘Israel’, mengasingkan ‘Israel’ dari negara-negara tetangganya, dan memperburuk ketegangan regional. Dalam jangka panjang, agresi ini menumbuhkan generasi baru warga Gaza yang memiliki perlawanan terhadap ‘Israel’, yang dapat meningkatkan dukungan terhadap Hamas di masa depan. Keberhasilan dalam Komunitas Palestina Hamas telah memulihkan apa yang disebut sebagai perlawanan di kalangan rakyat Palestina. Setelah Hamas dipercaya mayoritas warga dan mengambil alih Gaza pada tahun 2007, ia dihadapkan pada tuntutan sehari-hari untuk mengatur Gaza. Hal ini sering kali memerlukan penghindaran konflik dengan ‘Israel’ untuk memastikan bahwa tekanan ekonomi yang sudah besar terhadap Gaza tidak meningkat dan bahwa ‘Israel’ tidak melakukan serangan militer yang merusak di Gaza. Hal ini, pada gilirannya, menyebabkan Hamas membatasi serangannya sendiri dan terkadang tidak terlibat dalam pertempuran ketika ‘Israel’ menyerang Jihad Islam Palestina. Akibatnya, Hamas mendapati dirinya berada dalam posisi sebagai petugas polisi ‘Israel’ dan bukan musuh yang paling ditakuti, dan membuat marah sayap militernya dan menimbulkan kritik dari kalangan kelompok tersebut. Serangan Hamas yang sangat efektif meningkatkan dukungan terhadap perlawanan (secara umum) dan memulihkan kredibilitas Hamas (secara khususnya). Meskipun kita belum memiliki jajak pendapat yang kuat sejak pasca-Oktober. Pada periode 7 Oktober, jajak pendapat terbatas terhadap warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat serta laporan berdasarkan pengalaman menunjukkan dukungan yang kuat terhadap serangan 7 Oktober dan menunjukkan bahwa agresi ‘Israel’ di Gaza dan Tepi Barat telah membuat marah banyak warga Palestina yang bukan pendukung Hamas. ‘Israel’ membebaskan tahanan Palestina, yang disambut sebagai pahlawan di Tepi Barat, sebagai ganti warga ‘Israel’ yang dilepaskan Hamas pada 7 Oktober—sebuah kemenangan nyata bagi Hamas, yang dapat berargumentasi bahwa serangan mereka, bukan negosiasi yang dilakukan oleh saingannya, Otoritas Palestina (PA), inilah yang menyebabkan kebebasan para narapidana. Semua ini terjadi dengan mengorbankan Otoritas Palestina (PA) dan Palestina dengan slogan “mendukung perdamaian” nya. Tanpa ikut berperang, bahkan ikut menindak peserta demonstrasi anti-’Israel’, PA terlihat pengecut jika dibandingkan dengan Hamas. Agresi ‘Israel’ yang diprovokasi Hamas ikut mendiskreditkan pihak-pihak yang mengatakan bahwa “‘Israel’ bisa menjadi mitra perdamaian”. Keberhasilan Internasional Selama bertahun-tahun, perang Palestina-’Israel’ tampaknya menjadi perhatian dunia. Amerika Serikat fokus pada Tiongkok dan agresi Rusia di Ukraina, sementara pemerintah Arab mengabaikan masalah ini meskipun mereka hanya sekedar basa-basi, berakibat Palestina menjadi isu utama. Agresi ‘Israel’ terhadap serangan Hamas memperkuat narasi Iran yang menggambarkan ‘Israel’ sebagai kekuatan pendudukan yang secara brutal menindas warga Palestina.   Peristiwa ini dan krisis kemanusiaan yang terjadi di Gaza melemahkan citra ‘Israel’ di wilayah tersebut dan meningkatkan dukungan bagi banyak negara, termasuk Iran, yang menentangnya. Meskipun Iran menyangkal terlibat dalam serangan tersebut, keberhasilan operasi tersebut dapat mendorong Iran untuk berinvestasi lebih besar lagi pada “poros perlawanan”, yaitu jaringan kelompok pejuang regional yang bertujuan untuk mengganggu stabilitas ‘Israel’ dan sekutunya. Serangan itu juga menghentikan sementara perundingan normalisasi yang didukung AS antara ‘Israel’ dan Arab Saudi. Jika saja Riyadh mengakui ‘Israel’, hal itu akan menjadi landasan bagi negara-negara Arab lainnya untuk melakukan hal yang sama. Hal ini akan membuat Hamas semakin terisolasi dan hanya memiliki sedikit mitra yang memperjuangkan perjuangan Palestina. Namun setelah serangan itu, para pemimpin Saudi menjauhkan diri dari ‘Israel’ dan mengeluarkan pernyataan yang mendukung Palestina. Tindakan-tindakan ini sebagian besar dilakukan untuk menenangkan masyarakat yang mayoritas pro-Palestina setelah berbulan-bulan melakukan negosiasi dengan ‘Israel’, dan bukannya mengubah kebijakan Saudi menjadi pro-Palestina. Namun, mereka berpendapat bahwa dampak politik yang harus ditanggung Riyadh dalam normalisasi hubungan dengan ‘Israel’, yang selalu tinggi, kini jauh lebih tinggi. Di luar Timur Tengah, perang ini telah menghasilkan banyak dukungan bagi perjuangan Palestina. Demonstrasi pro-Palestina terjadi di seluruh Eropa. Dengan sedikit pengecualian, negara-negara selatan telah menganut narasi Palestina, menggambarkan perang tersebut sebagai salah satu negara kuat yang menyerang penduduk yang tidak berdaya dan menyesali apa yang dilihat banyak orang sebagai kemunafikan Barat dalam membela Ukraina sambil mengabaikan hak-hak rakyat Palestina. Hamas bahkan bisa mengklaim beberapa kemenangan di Amerika Serikat. Meskipun sebagian besar anggota Partai Republik dan Presiden AS Joe Biden mendukung ‘Israel’, Partai Demokrat terpecah belah, dengan generasi muda Demokrat khususnya, semakin kritis terhadap ‘Israel’. Meskipun tidak sampai pada tingkat mendukung Hamas, beberapa anggota parlemen dari Partai Demokrat menyerukan gencatan senjata, pembatasan bantuan militer AS, dan langkah-langkah lain yang bertentangan dengan kebijakan ‘Israel’. Harga Kesuksesan Apa pun keuntungan yang diperoleh Hamas, kerugiannya sangat besar. Baik kepemimpinan Hamas maupun aparat militernya kemungkinan besar akan terdegradasi akibat kampanye militer ‘Israel’. ‘Israel’ mengklaim telah membunuh puluhan komandan dan lebih dari 7.000 pejuang Hamas (sebuah pernyataan yang tidak didukung bukti, red). Terlebih lagi, ‘Israel’ kemungkinan akan melanjutkan kampanye pembunuhan terhadap para pemimpin Hamas selama bertahun-tahun atau bahkan beberapa dekade mendatang. Bagaimanapun, masyarakat awam di Gaza tentu saja akan menanggung akibatnya yang paling mahal. Banyak dari sekitar 20.915 orang yang gugur adalah anak-anak, dan kehancuran di Jalur Gaza serta pengungsian sebagian besar penduduknya akan melahirkan krisis berkepanjangan bahkan jika gencatan senjata segera dilakukan. Warga Gaza perlu melakukan pembangunan kembali, dengan bantuan dunia yang terbatas untuk melakukan hal tersebut. Kepedihan ini, bisa menimbulkan dampak bagi Hamas: hilangnya dukungan dari rakyat Palestina. Ketika penderitaan akibat perang memudar sementara kerugian dan kehancuran terus berlanjut, masyarakat Palestina mungkin melihat Hamas sebagai organisasi yang berbahaya daripada organisasi yang heroik. Namun, agar hal tersebut menjadi kenyataan, diperlukan pilihan yang kredibel untuk melakukan negosiasi dan cara-cara damai lainnya bagi Palestina untuk mencapai status kenegaraan dan tujuan lainnya. Hanya hal ini yang akan benar-benar mendiskreditkan perlawanan dengan kekerasan sebagai pilihan terbaik bagi rakyat Palestina.* Daniel Byman, peneliti senior di Center for Strategic and International Studies,  profesor di Program Studi Keamanan Universitas Georgetown. Delaney Duff, mahasiswa S2 di Program Studi Keamanan di Universitas Georgetown. Artikel dimuat di laman foreignpolicy.com

Washington Post: Agresi ‘Israel’ di Gaza adalah Perang Paling Merusak Abad Ini

Hidayatullah.com—Agresi penjajah “Israel” yang sedang berlangsung di Jalur Gaza sejak 7 Oktober tidak seperti agresi lainnya di abad ke-21, menurut laporan terbaru Washington Post. Media ternama ini menyebut, apa yang dilakukan penjajah Israel di Gaza adalah perang paling merusak di abad ini. Washington Post menggunakan data dari Pusat Satelit PBB, atau UNOSAT, yang menganalisis citra satelit dari zona konflik untuk menilai kehancuran di Gaza. Selain itu, laporan ini didasarkan pada wawancara dengan lebih dari “20 pekerja bantuan, penyedia layanan kesehatan, dan pakar amunisi dan peperangan udara”. Bukti-bukti menunjukkan teroris Israel melancarkan perangnya di Gaza dengan kecepatan dan tingkat kehancuran melebihi konflik apa pun yang terjadi. Kekejian Israel yang menghancurkan banyak bangunan, dan dalam waktu yang jauh lebih singkat, dibandingkan dengan jumlah bangunan yang dihancurkan selama pertempuran Rezim Suriah di Aleppo tahun 2013 hingga 2016 dan kampanye yang dipimpin AS untuk mengalahkan ISIS di Mosul, Iraq, dan Raqqa, Suriah, pada tahun 2017. “Serangan paling ganas datang dari udara, meratakan seluruh blok kota dan merusak lanskap,” kata laporan itu. Investigasi juga menemukan bahwa pasukan penjajah Israel telah melakukan “serangan udara berulang kali dan meluas” di sekitar rumah sakit dan fasilitas kesehatan, yang “seharusnya mendapat perlindungan khusus berdasarkan hukum perang.” “Citra satelit yang ditinjau oleh wartawan Post mengungkapkan lusinan kawah di dekat 17 dari 28 rumah sakit di Gaza utara,” kata laporan itu, menambahkan bahwa sepuluh kawah “menunjukkan penggunaan bom berbobot 2.000 pon, yang terbesar yang biasa digunakan.” “Tidak ada tempat yang aman. Titik,” kata Mirjana Spoljaric Egger, Presiden Komite Palang Merah Internasional, yang mengunjungi Gaza pada 4 Desember. “Saya belum pernah melewati satu jalan pun di mana saya tidak melihat kerusakan infrastruktur sipil, termasuk rumah sakit,” katanya dikuti media itu. Washington Post mengutip mantan Pelapor Khusus PBB untuk Palestina, Michael Lynk, yang mengatakan bahwa “skala kematian warga sipil Palestina dalam waktu singkat tampaknya merupakan angka korban sipil tertinggi di abad ke-21.” Dalam waktu dua bulan lebih, angkatan udara Israel menembakkan lebih dari 29.000 amunisi udara ke darat, 40 hingga 45 persen di antaranya tidak terarah, menurut penilaian terbaru dari Kantor Direktur Intelijen Nasional AS. Tingkat pemboman ini mencapai dua setengah kali lebih tinggi dibandingkan puncak upaya koalisi pimpinan AS untuk mengalahkan ISIS, yang pada puncaknya menembakkan 5.075 amunisi udara ke darat di Iraq dan Suriah dalam satu bulan, menurut data dari kelompok penelitian dan advokasi Airwars. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, 20.400 warga Palestina telah terbunuh, dan 53.320 lainnya terluka dalam genosida Israel yang sedang berlangsung di Gaza mulai tanggal 7 Oktober. Perkiraan Palestina dan masyarakat internasional menyebutkan bahwa mayoritas dari mereka yang terbunuh dan terluka adalah perempuan dan anak-anak.*

2.800 Tentara ‘Israel’ Direhabilitasi, Dua Pertiga Pasangannya Alami

Hidayatullah.com—Lebih dari 2.800 tentara Zonis ‘Israel’ sedang menerima perawatan rehabilitasi di departemen rehabilitasi Kementerian Pertahanan Israel sejak agresinya ke Gaza pecah pada 7 Oktober 2023, menurut media lokal pada Selasa. Sekitar 91 persen tentara yang sedang direhabilitasi itu mengalami luka ringan, 6 persen luka sedang, dan 3 persen luka parah, kata surat kabar Haaretz, mengutip data yang diberikan oleh kepala departemen rehabilitasi Limor Luria dalam sidang bersama Komisi Kesehatan Perang. Data tersebut juga menunjukkan bahwa 18 persen tentara menderita gangguan kesehatan mental dan gangguan stres pascatrauma (PTSD).  Haaretz mengatakan 48 persen tentara mengalami cedera pada bagian tubuh. Sementara itu, sebanyak dua pertiga warga ‘Israel’ yang pasangannya menjalankan tugas menjadi tentara cadangan IDF  berangkat ke Gaza, 1,5 kali lebih mungkin menderita depresi, kelelahan, dan kecemasan dibandingkan mereka yang pasangannya tidak dipanggil, demikian menurut penelitian baru Universitas Haifa. Dua pertiganya dilaporkan menderita depresi sedang hingga tinggi. Gejala depresi yang diderita antara lain; kesedihan, kesulitan merasakan kegembiraan, rasa bersalah berlebihan, kelelahan berlebihan, kurangnya motivasi, dan rasa tidak berarti, demikian dilaporkan The Jerusalem Post. Sekitar dua perlima dari warga ‘Israel’, dengan atau tanpa anak, yang berada di rumah sementara pasangan mereka bertugas sebagai cadangan – ratusan ribu tentara cadangan telah dipanggil sejak penjajah Israel memutuskan agresinya pada tanggal 7 Oktober – melaporkan gejala gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic stress disorder/PTSD), dibandig 30% pasangan yang saat ini tidak menjalankan tugas. Sementara sekitar 600 orang yang diwawancarai untuk penelitian ini, yang masih bersifat awal dan belum dipublikasikan. Depresi Setelah 7 Oktober Prevalensi gejala PTSD dan kecemasan sangat tinggi di antara semua orang dewasa di Israel, terutama di antara mereka yang memiliki pasangan yang bertugas sebagai cadangan.   Meskipun “Israel” memiliki sejarah panjang krisis – perang, operasi militer, dan pandemi Covid-19 –  namun durasi dan intensitas peristiwa traumatis mengerikan warga Israel akan memakan waktu bertahun-tahun untuk diproses, kata Prof. Noga Cohen dari Fakultas Pendidikan universitas tersebut yang merupakan salah satu peneliti yang memimpin penelitian tersebut. Turut dalam tim tersebut adalah mahasiswa doktoral Mor Keleynikov, dan Dr. Joy Bentov dari Departemen Pendidikan Khusus, bersama dengan Dr. Dana Lassri dari Sekolah Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial di Universitas Ibrani Yerusalem (HU) dan seorang psikolog klinis , dan Dr. Reuma Gadassi-Polack, dari Akademik College of Tel Aviv-Yaffo dan psikolog klinis di Tel Aviv Sourasky Medical Center. Orang Tua dan PTSD Tim peneliti berupaya untuk mengkaji bagaimana orang tua mengatasi perasaan negatif mereka sendiri dan anak-anak mereka yang dipicu oleh perang, dan bagaimana kedua faktor ini berhubungan dengan tekanan psikologis orang tua serta kesulitan perilaku dan emosional anak-anak. Analisis awal berdasarkan 307 orang tua – 60 ayah dan 247 ibu – menunjukkan bahwa sepertiga orang tua melaporkan gejala stres pasca trauma yang berada di atas ambang batas klinis PTSD. Namun, para peneliti mencatat bahwa penting untuk menyadari bahwa perang belum berakhir dan paparan langsung dan tidak langsung terhadap peristiwa traumatis masih berlangsung, sedangkan PTSD yang perlu diobati dapat didiagnosis hanya satu bulan setelah berakhirnya peristiwa traumatis tersebut. peristiwa. Perbedaan yang jelas juga ditemukan antara kedua kelompok dalam hal kecemasan, yang diwujudkan dalam gejala emosional seperti ketakutan akan masa depan, dan gejala fisik seperti tangan gemetar atau kesulitan bernapas. 38% dari mereka yang pasangannya saat ini bertugas sebagai tentara cadangan menunjukkan tingkat kecemasan yang parah dan 22% melaporkan tingkat kecemasan sedang. “Melihat temuan secara keseluruhan, orang tua yang pasangannya saat ini bertugas sebagai cadangan melaporkan 1,5 kali lebih banyak gejala kelelahan orang tua, depresi, stres, dan kecemasan dibandingkan dengan orang tua yang kedua pasangannya berada di rumah. Banyak orang tua yang berpartisipasi dalam penelitian ini melaporkan rasa bersalah karena mereka masih menikmati sedikit kesenangan dalam hidup, bahwa anak-anak mereka selama ini merasa aman. Mereka mengeluh tentang anak-anak mereka sementara orang lain telah kehilangan hal yang paling berharga. Misalnya, seorang ibu menulis: “Saat saya memeluk putri saya sebelum dia tidur, dia berkata kepada saya: ‘Pelukan dari ibu adalah yang terbaik, bukan?’ Hal itu membuat saya berpikir tentang semua anak yang tidak tidur. tidak mendapat pelukan dan semua orang tua yang tidak sempat memeluknya. Saya merasa bersalah dan tidak berdaya.” Perasaan bersalah ini dapat menimbulkan emosi negatif dan gejala depresi. Penggunaan welas asih – kemampuan kita untuk menyadari penderitaan orang lain namun juga memberikan ruang bagi penderitaan kita sendiri, untuk merawat diri kita sendiri, dan untuk menyadari bahwa perasaan negatif bisa menjadi lebih baik; kemampuan untuk mengenali bahwa setiap orang saat ini menderita, melakukan kesalahan, dan menghadapi kesulitan – semua ini dapat membantu kita sebagai orang tua untuk mengatasi kesulitan kita, serta kesulitan anak-anak kita, demikian kesimpulan para peneliti.*

2.800 Tentara ‘Israel’ Direhabilitasi, Dua Pertiga Pasangannya Alam Depresi

Hidayatullah.com—Lebih dari 2.800 tentara Zonis ‘Israel’ sedang menerima perawatan rehabilitasi di departemen rehabilitasi Kementerian Pertahanan Israel sejak agresinya ke Gaza pecah pada 7 Oktober 2023, menurut media lokal pada Selasa. Sekitar 91 persen tentara yang sedang direhabilitasi itu mengalami luka ringan, 6 persen luka sedang, dan 3 persen luka parah, kata surat kabar Haaretz, mengutip data yang diberikan oleh kepala departemen rehabilitasi Limor Luria dalam sidang bersama Komisi Kesehatan Perang. Data tersebut juga menunjukkan bahwa 18 persen tentara menderita gangguan kesehatan mental dan gangguan stres pascatrauma (PTSD).  Haaretz mengatakan 48 persen tentara mengalami cedera pada bagian tubuh. Sementara itu, sebanyak dua pertiga warga ‘Israel’ yang pasangannya menjalankan tugas menjadi tentara cadangan IDF  berangkat ke Gaza, 1,5 kali lebih mungkin menderita depresi, kelelahan, dan kecemasan dibandingkan mereka yang pasangannya tidak dipanggil, demikian menurut penelitian baru Universitas Haifa. Dua pertiganya dilaporkan menderita depresi sedang hingga tinggi. Gejala depresi yang diderita antara lain; kesedihan, kesulitan merasakan kegembiraan, rasa bersalah berlebihan, kelelahan berlebihan, kurangnya motivasi, dan rasa tidak berarti, demikian dilaporkan The Jerusalem Post. Sekitar dua perlima dari warga ‘Israel’, dengan atau tanpa anak, yang berada di rumah sementara pasangan mereka bertugas sebagai cadangan – ratusan ribu tentara cadangan telah dipanggil sejak penjajah Israel memutuskan agresinya pada tanggal 7 Oktober – melaporkan gejala gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic stress disorder/PTSD), dibandig 30% pasangan yang saat ini tidak menjalankan tugas. Sementara sekitar 600 orang yang diwawancarai untuk penelitian ini, yang masih bersifat awal dan belum dipublikasikan. Depresi Setelah 7 Oktober Prevalensi gejala PTSD dan kecemasan sangat tinggi di antara semua orang dewasa di Israel, terutama di antara mereka yang memiliki pasangan yang bertugas sebagai cadangan.   Meskipun “Israel” memiliki sejarah panjang krisis – perang, operasi militer, dan pandemi Covid-19 –  namun durasi dan intensitas peristiwa traumatis mengerikan warga Israel akan memakan waktu bertahun-tahun untuk diproses, kata Prof. Noga Cohen dari Fakultas Pendidikan universitas tersebut yang merupakan salah satu peneliti yang memimpin penelitian tersebut. Turut dalam tim tersebut adalah mahasiswa doktoral Mor Keleynikov, dan Dr. Joy Bentov dari Departemen Pendidikan Khusus, bersama dengan Dr. Dana Lassri dari Sekolah Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial di Universitas Ibrani Yerusalem (HU) dan seorang psikolog klinis , dan Dr. Reuma Gadassi-Polack, dari Akademik College of Tel Aviv-Yaffo dan psikolog klinis di Tel Aviv Sourasky Medical Center. Orang Tua dan PTSD Tim peneliti berupaya untuk mengkaji bagaimana orang tua mengatasi perasaan negatif mereka sendiri dan anak-anak mereka yang dipicu oleh perang, dan bagaimana kedua faktor ini berhubungan dengan tekanan psikologis orang tua serta kesulitan perilaku dan emosional anak-anak. Analisis awal berdasarkan 307 orang tua – 60 ayah dan 247 ibu – menunjukkan bahwa sepertiga orang tua melaporkan gejala stres pasca trauma yang berada di atas ambang batas klinis PTSD. Namun, para peneliti mencatat bahwa penting untuk menyadari bahwa perang belum berakhir dan paparan langsung dan tidak langsung terhadap peristiwa traumatis masih berlangsung, sedangkan PTSD yang perlu diobati dapat didiagnosis hanya satu bulan setelah berakhirnya peristiwa traumatis tersebut. peristiwa. Perbedaan yang jelas juga ditemukan antara kedua kelompok dalam hal kecemasan, yang diwujudkan dalam gejala emosional seperti ketakutan akan masa depan, dan gejala fisik seperti tangan gemetar atau kesulitan bernapas. 38% dari mereka yang pasangannya saat ini bertugas sebagai tentara cadangan menunjukkan tingkat kecemasan yang parah dan 22% melaporkan tingkat kecemasan sedang. “Melihat temuan secara keseluruhan, orang tua yang pasangannya saat ini bertugas sebagai cadangan melaporkan 1,5 kali lebih banyak gejala kelelahan orang tua, depresi, stres, dan kecemasan dibandingkan dengan orang tua yang kedua pasangannya berada di rumah. Banyak orang tua yang berpartisipasi dalam penelitian ini melaporkan rasa bersalah karena mereka masih menikmati sedikit kesenangan dalam hidup, bahwa anak-anak mereka selama ini merasa aman. Mereka mengeluh tentang anak-anak mereka sementara orang lain telah kehilangan hal yang paling berharga. Misalnya, seorang ibu menulis: “Saat saya memeluk putri saya sebelum dia tidur, dia berkata kepada saya: ‘Pelukan dari ibu adalah yang terbaik, bukan?’ Hal itu membuat saya berpikir tentang semua anak yang tidak tidur. tidak mendapat pelukan dan semua orang tua yang tidak sempat memeluknya. Saya merasa bersalah dan tidak berdaya.” Perasaan bersalah ini dapat menimbulkan emosi negatif dan gejala depresi. Penggunaan welas asih – kemampuan kita untuk menyadari penderitaan orang lain namun juga memberikan ruang bagi penderitaan kita sendiri, untuk merawat diri kita sendiri, dan untuk menyadari bahwa perasaan negatif bisa menjadi lebih baik; kemampuan untuk mengenali bahwa setiap orang saat ini menderita, melakukan kesalahan, dan menghadapi kesulitan – semua ini dapat membantu kita sebagai orang tua untuk mengatasi kesulitan kita, serta kesulitan anak-anak kita, demikian kesimpulan para peneliti.*