“Be the light that brings hope and that accelerates progress towards an equal, sustainable, and peaceful future,” inilah sepenggal pidato pembukaan yang disampaikan direktur eksekutif UN Women dalam perhelatan International Women’s Day pada 8 Maret lalu.
Betapa, perempuan hari ini masih berada di bawah bayang ketidak adilan dan ketidak sejahteraan. Tak terhitung nyawa ibu dan ibu masa depan melayang di berbagai belahan dunia. Ibu para syuhada di Palestina, Sudan, Myanmar, Afghanistan, dan di seluruh penjuru bumi.
Pun kondisi wanita yang terus menghadapi bayang kekerasan seksual dan kemiskinan di banyak negera berkembang hingga negara maju sekalipun. Besar harapan puan sedunia tuk perbaikan kondisi mereka. Kini, perempuan menyuarakan suara mereka.
‘Invest in Women : Accelerate progress’ menjadi salah satu upaya perempuan dunia menyuarakan haknya, fokus utamanya adalah percepatan kemajuan perempuan. Negara dan seluruh sektor didorong untuk berinvestasi pada pemberdaayan perempuan agar wanita mampu belajar dan berkarya, khusunya menyediakan dana untuk mewujudkan kesetaraan gender.
Wanita berdaya, title yang didambakan oleh wanita masa kini. Investasi pada wanita dianggap menjadi jalan keluar dari bayang kemiskinan yang mengancam perempuan. UN Nation menyebut pandemi COVID-19, konflik geopolitik, bencana iklim, dan gejolak ekonomi telah mendorong 75 juta orang ke dalam kemiskinan parah sejak tahun 2020. Hal ini dapat menyebabkan lebih dari 342 juta perempuan dan anak perempuan hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2030, sehingga tindakan segera menjadi penting.
Kemiskinan pada Perempuan menjadi perhatian khusus sebab kondisi ini menghasilkan efek domino karena bersifat lintas generasi. Namun, benarkah dengan investasi pada pemberdayaan perempuan akan mampu menyelesaikan problematika perempuan hari ini?
Bila kita melihat dengan sudut pandang yang lebih luas, penyebab kemiskinan tidak dapat dikaitkan hanya pada kondisi wanita yang tidak berdaya, atau sulitnya akses sektor formal dan ketidakadilan ekonomi yang menimpa mereka. Persoalan kemiskinan jelas bersifat lebih kompleks, melibatkan faktor individu, masyarakat dan utamanya negara sebagau penentu kebijakan ekonomi politik.
Perbaikan ekonomi tentu tak cukup hanya dengan menggantungkan beban pada perempuan.
Miris sekali bila wanita seolah bertanggung jawab, diperas tenga, serta potensinya dalam kerja paksa berwujud pemberdayaan ekonomi perempuan, sedang negara tetap abai dalam penjaminan kesejahteraan ekonomi keluarga. Perempuan hanya dijadikan alat pemutar roda produksi demi keuntungan negara dalam memenuhi tuntutan para pemilik modal, tak lebih untuk keuntungan finansial mereka semata. Hal ini tak lepas dari paradigma kehidupan saat ini, yaitu kapitalisme dengan semua nilai turunannya yang mengangagungkan materi sebgaai tujuan tertinggi.
Di sisi lain, pemberdayaan perempuan nyatanya malah membuat perempuan kehilangan identitas riilnya sebagai wanita pendidik generasi. Luka pengasuhan harus didapat generasi yang terpaksa menghadapi stress fisik dan mental para ibu yang Lelah bekerja. Para penerus peradaban itu minim merasakan kasih sayang seorang ibu.
Ditambah kehidupan bebas dunia kerja yang membuat perselingkuhan begitu mudah terjadi, hingga berujung kekerasan dalam rumah tangga dan rusaknya tatanan keluarga. Wanita kini telah terwarnai dengan pola pikir materialis dan liberal yang membuat mereka enggan menikah, memilih childfree, namun tetap memenuhi kebutuhan seksual lewat jalur seks bebas, FWB, dan sebagainya. Sungguh tampak nyata borok sistem kapitalis yang rusak dan merusak seluruh tatanan kehidupan.
Kondisi ini jauh sekali berbeda dari peradaban emas yang pernah tercatat dalam sejarah dunia. Seorang sejarawan Inggris, Julia Pardoe, menulis mengenai status ibu di era Kekhalifahan Utsmani tahun 1836: “Fitur yang sama-sama indah dalam karakter orang Turki adalah penghargaan dan penghormatan mereka terhadap ibu, dia tempat berkonsultasi dan menuangkan isi hati, yang didengarkan dengan penghormatan dan penghargaan, dimuliakan hingga akhir hayatnya, diingat dengan penuh kasih sayang dan penyesalan setelah pemakamannya.”
Itulah gambaran perempuan yang memiliki kedudukan mulia dalam Islam, perempuan yang dihormati karena peran muliannya sebagai ummu warobatul bait.
Sumber Klik disini