Jakarta (SI Online) – Pemberitaan terkait eksklusivitas konsumsi halal kembali merebak. Terjadi penolakan wisata halal di beberapa daerah, seperti Bali, Sumatera Utara, dan yang terbaru Labuan Bajo, NTT.
Pada Mei 2024, LPPOM sempat memberikan fasilitasi sertifikasi halal di area kuliner Kampung Ujung, Labuan Bajo. Dengan berbagai persyaratan, salah satunya ketersediaan makanan halal, KNEKS kemudian meresmikan area ini sebagai zona Kuliner Halal, Aman, dan Sehat (KHAS).
Terbaru, sekitar awal Juli 2024, telah terjadi penolakan festival kuliner non-halal di Solo, Jawa Tengah. Seperti dilansir Kompas.com, Festival Kuliner non-halal tersebut sempat dihentikan. Karena protes warga, akhirnya festival ini dibuka kembali di Solo Paragon Mal di Jalan Yosodipuro Solo.
Direktur Utama LPPOM, Muti Arintawati menegaskan, lembaganya terus berkomitmen menghargai keberagaman umat di Indonesia.
Dalam hal konsumsi produk halal, sertifikat menjadi bukti yang menegaskan sebuah produk telah melakukan serangkaian proses pemeriksaan sehingga mampu dipastikan kehalalannya.
Muti juga menekankan, produk halal hanya dihasilkan dari bahan-bahan yang tidak diragukan kehalalannya, dan diproses pada fasilitas yang bebas dari kontaminasi bahan haram dan najis. Karena fasilitas produksi juga merupakan faktor penentu kehalalan produk, maka audit harus dilakukan dengan melihat proses produksi secara langsung (áinul yaqiin) di lokasi produksi.
Audit harus dilakukan saat proses produksi sedang berlangsung sehingga auditor bisa memverifikasi dan mengonfirmasi bahan-bahan yang digunakan melalui formula atau catatan produksi.
Untuk memperkuat keyakinan bahan-bahan yang digunakan, maka auditor juga harus melihat penyimpanan bahan dan produk di gudang, memeriksa dokumen pembelian bahandan mengamati kemungkinan-kemungkinan kontaminasi oleh bahan yang haram dan najis selama proses produksi dan penyimpanan. Untuk memberikan jaminan keberlangsungan proses produksi halal pelaku usaha harus menerapkan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH).
Menurut Muti, adanya deklarasi halal atau non halal, terlebih lagi jika dibuktikan oleh pihak ketiga, memberikan kejelasan bagi seluruh pihak terkait kehalalan dan keharaman sebuah produk. LPPOM selaku Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) mengambil peran tersebut sejak 35 tahun yang lalu.
“Apa yang dikerjakan oleh LPPOM selama ini merupakan bentuk nyata kami menerapkan prinsip himmayatul ummah, yaitu, menjaga umat dari makanan yang syubhat apalagi haram,” terang Muti Arintawati.
Pihaknya juga menekankan bahwa adanya klaim non-halal pada sebuah produk, justru jauh lebih baik daripada produk yang sesungguhnya haram tapi tidak memberikan informasi apa pun sehingga dapat menyesatkan konsumen muslim. Alasannya sudah jelas, untuk produk yang klaim non-halal hanya ditujukan bagi non-muslim.
Kejelasan label atau klaim non-halal untuk produk-produk yang mengandung bahan haram sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Pasal 92 menyebutkan pelaku usaha yang memproduksi produk yang berasal dari bahan yang diharamkan, wajib mencantumkan keterangan tidak halal berupa gambar, tanda, atau tulisan.
Sumber Klik disini