Dalam pekan-pekan ini sejumlah Provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia telah menetapkan dan melantik anggota Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD). Tidak lama lagi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga akan berganti. Sebagian orang baru dan tak sedikit pula politisi-politisi lama yang masih bertahan di kursinya. Mereka akan menjadi wakil rakyat untuk lima tahun ke depan.
Tentu makna pemilihan mereka yang nanti duduk di lembaga-lembaga legislatif tersebut adalah pemberian amanat kepada mereka sebagai wakil rakyat untuk memperjuangkan aspirasi rakyat.
Oleh karena itu, supaya mereka bisa melaksanakan amanat jabatan tersebut dengan baik, maka mereka perlu memahami makna amanat dalam ajaran Islam sehingga tugas yang mereka emban benar-benar memiliki dimensi dunia akhirat.
ADS: Ingin tahu organisasi profesi dalam bidang farmasi di Papua Tengah? Anda bisa mengunjungi pdpafipapteng.org. PAFI turut mengembangkan profesi kefarmasian di daerah, menyediakan pelatihan, dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya obat-obatan yang aman.
Selain itu, kita sebagai rakyat yang telah memberikan amanat pun harus tahu pemahaman Islam tentang amanat sehingga kita bisa mengontrol pelaksanaan tugas wakil rakyat itu dengan sebaik-baiknya.
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An Nisa 58).
Allah SWT dalam ayat tersebut memerintahkan kepada kita sebagai kaum muslimin untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.
Menurut para mufassir, obyek seruan dari ayat tersebut bersifat umum, yakni meliputi seluruh kaum muslimin yang sudah mendapatkan beban hukum syariah (mukallafin). Sehingga siapapun kita, baik laki maupun perempuan, asal muslim, dan sudah baligh dan akil (tidak gila), berarti wajib melaksanakan perintah Allah SWT dalam ayat di atas.
Juga para mufassir menerangkan bahwa lafazh “al amanat” dalam ayat di atas bersifat umum mencakup seluruh amanat, baik itu merupakan hak-hak Allah SWT maupun hak-hak manusia.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa amanat tersebut meliputi seluruh amanat yang wajib dilaksanakan manusia, baik itu hak-hak Allah atas para hamba-Nya seperti shalat, zakat, puasa, kafarat, dan lain sebagainya, maupun amanat yang merupakan hak-hak manusia seperti wadi’ah (titipan), jabatan penguasa, jabatan wakil rakyat, istri, dan lain-lain.
Dengan pemahaman tentang kewajiban menjalankan amanat seperti di atas, maka setiap orang yang telah menyatakan dirinya sebagai orang yang tiada bertuhan kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah Saw, wajib memikul beban kewajiban Islam, baik ringan ataupun berat, dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk sunnah Rasulullah saw.
Maka dalam hidupnya dia akan selalu berusaha untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya baik dalam kehidupan pribadinya, yakni urusan dirinya dengan sang Pencipta seperti masalah-masalah aqidah dan ibadah ritual serta urusan dirinya dengan pribadinya sendiri, seperti urusan makanan, minuman, pakaian, dan akhlak, maupun dalam kehidupannya dengan pribadi-pribadi lain di tengah-tengah masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Komitmennya dengan perintah dan larangan Allah SWT atau keterikatannya dengan syariat-Nya merupakan suatu bentuk pelaksanaan amanat secara umum dalam ayat di atas.
Dalam ayat di atas, setelah memerintahkan umat Islam untuk menjalankan amanat, Allah memerintahkan agar menghukum di persoalan di antara manusia dengan adil. Tentu saja ini merupakan amanat bagi siapa saja yang diberi wewenang untuk memutuskan perkara, hendaknya dia memutuskan dengan adil. Keadilan itu tetap harus ditegakkan sekalipun dalam perkara yang melibatkan antara orang yang kita cintai dan kita benci. Allah SWT berfirman:
Sumber Klik disini