Saat kaum Muslim bersuka cita menyambut Ramadan, duka belumlah hilang dari Bumi Palestina, tak terkecuali duka kaum perempuan di Palestina. Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza mencatat hampir 9.000 perempuan Palestina terbunuh oleh tentara Israel dalam serangan ke wilayah kantong tersebut.
Di tengah momen Hari Perempuan Sedunia, Juru Bicara Kemenkes, Ashraf al-Qudra, mengatakan bahwa bungkamnya komunitas internasional telah ikut andil dalam genosida terhadap perempuan Palestina. Ia pun menyebutkan 60.000 ibu hamil di Gaza menderita malnutrisi, dehidrasi, dan kekurangan layanan kesehatan yang layak.
Menurut Al-Qudra, perempuan Palestina, khususnya di Gaza, tengah menghadapi bencana kemanusiaan terparah seperti pembunuhan, pengungsian, penangkapan, keguguran, epidemi serta kematian yang disebabkan kelaparan sebagai akibat agresi Israel. (antaranews.com, 08/03/2024).
Sungguh kaum perempuan di Gaza mengalami penderitaan yang begitu memilukan dan mengerikan karena penjajahan Israel. Mirisnya, derita ini telah mereka kecap lebih dari 70 tahun lamanya. Derita ini pun nyata dimulai sejak sistem sekularisme-kapitalisme menjadi penggawa atas kaum Muslim.
Penderitaan kaum hawa di Gaza sejatinya ditandai sejak Perjanjian Balfour yang dikeluarkan oleh Inggris yang menjadi cikal bakal invasi Israel ke Palestina. Perjanjian Balfour dipandang menjadi salah satu peristiwa yang mempercepat terjadinya peristiwa Nakba, yakni pembersihan kaum Muslim Palestina pada tahun 1948 dan penjajahan yang dilakukan oleh Zionis.
Saat itu, kelompok Zionis yang dilatih oleh Inggris, mengusir 750.000 lebih Muslim Palestina dari tanah airnya secara paksa. Tidak dapat dimungkiri, kaum perempuan Palestina pun menjadi korban dalam pengusiran ini. Ironisnya, hingga saat ini entitas Zionis terus dijaga dan dilindungi keberadaannya oleh Amerika.
Di sisi lain, sekalipun gelombang seruan untuk menghentikan genosida di Palestina terus mengalir dari warga sipil di berbagai negara, tetapi faktanya resolusi yang dikeluarkan oleh PBB gagal menghentikan penjajahan Zionis atas Palestina. Empati PBB terhadap derita Palestina pun hanya omong kosong dan pencitraaan belaka. Menyeret Zionis ke meja hijau Mahkamah Internasional hingga saat ini pun belum menunjukkan hasil yang berarti.
Ironisnya, sekat nasionalisme sukses mengikis rasa peduli dan memiliki para pemimpin-pemimpin Muslim atas Palestina. Buktinya, mereka masih saja bergeming di balik kokohnya tembok besar Rafah yang memisahkan antara Gaza dan Mesir.
Konferensi CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) yang diklaim untuk melindungi perempuan pun nyatanya tidak berarti. Duka perempuan di Gaza terus saja terjadi, seolah tak bertepi.
Inilah buah getir dari penerapan sistem sekularisme-kapitalisme di tengah umat manusia. Sistem ini hanyalah membawa keburukan bagi manusia. Rusak dan merusak. Nyata tak mampu menjadi perisai dan penjaga bagi umat Islam di Gaza, Palestina, termasuk kaum perempuannya. Sistem ini terbukti melahirkan kehinaan dan kesengsaraan bagi umat manusia, tidak terkecuali kaum perempuan.
Sungguh bertolak belakang andai sistem Islam diterapkan secara komprehensif di tengah umat manusia. Paradigma Islam mendudukan kaum perempuan di tempat yang mulia sebagai ibu generasi, pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Perempuan dalam bingkai Islam nyata memiliki andil besar dalam membangun dan melahirkan para pemimpin peradaban. Tidak heran, jika kehormatan dan kemuliaan kaum perempuan begitu dilindungi dan dijaga dalan naungan sistem Islam.
Perlindungan dan penjagaan ini pun tercatat dengan tintas emas sejarah, yakni bagaimana Al-Mu’tashim, Sang Khalifah, menyambut panggilan seorang Muslimah yang dilecehkan penduduk Ammuria (Turki). Sehingga membuat Sang Khalifah mengirimkan pasukan dalam jumlah besar, bahkan disebutkan dalam sebuah riwayat, panjangnya barisan pasukan ini tidak putus dari gerbang istana Sang Khalifah yang berada di kota Baghdad hingga kota Ammuriah (Turki). Pasukan besar tersebut diturunkan semata-mata demi memenuhi jeritan panggilan satu Muslimah saja.
Apa yang dilakukan oleh Sang Khalifah, Al-Mu’tashim, jelas sangat kontras dengan sikap para pemimpin Muslim hari ini. Mereka hanya berani melontarkan kecaman dan kuntukan, tetapi tak satu pun yang berani mengirimkan pasukan militernya untuk menyambut panggilan pilu ribuan Muslimah dari Gaza, Palestina hingga Rohingya. Alhasil, membasuh duka perempuan di Gaza hanya dapat dilakukan jika sistem Islam kembali diterapkan secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu’alam bishshawab.[]
Jannatu Naflah, Praktisi Pendidikan
Sumber Klik disini