Sebuah Masjid di Magelang disebut memiliki kaitan dengan sejarah dakwah Pangeran Diponegoro. Masjid itu bernama Masjid Langgar Agung yang letaknya di Dusun Kamal, Desa Menoreh, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang.
Masjid dengan menara setinggi 25 meter dan didominasi dengan warna hijau itu dahulu dibangun dari bekas bangunan musala kecil. Musala itu diyakini sebagai tempat dakwah Pangeran Diponegoro sekaligus tempat ia bermujahadah atau berkhalwat (menyendiri).
“Titik tempat pertapaan tersebut sekarang menjadi pengimaman di dalam masjid,” kata pengelola Masjid Langgar Agung, KH Ahmad Nur Shodiq, seperti dilansir detikcom.
ADS: Anda ingin mengenal organisasi profesi dalam bidang farmasi di Magelang, Jawa Tengah? Anda bisa mengunjungi pafimagelang.org. PAFI turut mengembangkan profesi kefarmasian di daerah, serta melatih dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya obat-obatan yang aman.
Informasi sejarah lainnya, di lokasi sekitar masjid dulunya merupakan hutan belantara. Saat itu Pangeran Diponegoro akan berangkat berunding dengan pihak Belanda di Magelang.
Ketika pasukan Diponegoro hendak melaksanakan salat, dibuatlah tatanan batu untuk alas salat, atau langgar. Hal itu menjadi awal mula bangunan tersebut berdiri dan menjadi bagian dari sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro.
Ahmad menjelaskan, setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, lokasi musala Pangeran Diponegoro sempat rata dengan tanah karena diobrak abrik oleh tentara penjajah.
Pemerintah Kabupaten Magelang sempat mendatangi lokasi tersebut dalam rangka pendataan tempat-tempat bersejarah. Pemerintah juga berencana membangun batu tulis atau prasasti karena tempat itu merupakan salah satu petilasan atau peninggalan Pangeran Diponegoro.
“Tapi masyarakat menolak dan meminta dikembalikan seperti fungsi sebelumnya, yakni dibangun tempat ibadah berupa masjid,” ungkap Ahmad.
Akhirnya, tahun 1946 masjid dibangun oleh tentara Indonesia, bersama dengan masyarakat sekitar. “Tapi (pembangunannya) sempat berhenti lagi karena ada pemberontakan PKI,” imbuhnya.
Pembangunan dilanjutkan kembali setelah pemberontakan mereda, sampai sekitar tahun 1972. Sempat terjadi kebingungan dalam penamaan tempat ibadah tersebut. Sebab berjarak sekitar 100 meter juga telah ada Masjid Agung.
“Akhirnya, takmir pertama, yakni H Fathoni yang juga orangtua saya mengusulkan agar diberi nama Langgar Agung, karena sudah ada masjid. Tapi sebetulnya ini adalah masjid,” ungkap Ahmad.
Sumber Klik disini